Lailatul Qadar adalah sebutan khusus bagi salah satu malam di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Kata lail atau lailah artinya malam hari, sementara kata qadar makna aslinya ukuran. Namun demikian, biasanya Lailatul Qadar diterjemahkan sebagai “malam yang agung” atau“malam yang mulia.”
Dalam Qur’an Suci, kata Lailatul Qadar disebutkan dalam dua tempat. Pertama dalam Surat 97, disebutkan sebanyak tiga kali.
“Sesungguhnya Kami menurunkan itu dalam lailatul-qadar. Dan apakah engkau mengerti, apakah lailatul-qadar itu? Lailatul-qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Di malam itu, malaikat dan ruh turun dengan izin Tuhannya mengenai berbagai perkara (‘amr). Damai, hingga terbitnya fajar” (QS 97:1-5).
Kedua, dalam Surat 44, tetapi disebut sebagai lailatin mubaarakah (malam yang diberkahi):
“Demi Kitab yang terang. Sesungguhnya Kami menurunkan itu pada malam yang diberkahi (lailatin mubaarokah). Sesungguhnya Kami selalu memberi peringatan. Di dalamnya dijelaskan segala firman Tuhan yang penuh hikmah, suatu perintah dari Kami.” (QS 44:2-5).
Menilik dua ayat di atas, tampak dengan jelas bahwa malam itu disebut Lailatul Qadar atau Lailatin Mubaarakah, semata karena Quran Suci diturunkan pada malam itu.
Sementara itu, di lain tempat, dinyatakan bahwa Qur’an Suci diturunkan di Bulan Ramadan (lihat QS 2:285). Ini memberi petunjuk bahwa Lailatul Qadar atau Lailatin Mubaarakah itu terjadi di Bulan Ramadan.
Qur’an diturunkan pada Lailatul Qadar mengandung arti bahwa wahyu Tuhan mulai diturunkan pada malam itu. Dengan kata lain, Nabi Suci saw. menerima wahyu untuk pertama kalinya pada malam itu.
Karena itu, malam Lailatul Qadar diperingati juga sebagai malam diturunkannya Qur’an Suci.
Disebut “malam yang agung” (lailatul qadar) atau “malam yang diberkahi” (lailatul mubaarakah) karena dengan diturunkannya Quran Suci pada malam itu, berarti diturunkannya pula sendi dasar wahyu atau firman Allah yang baru bagi dunia ini, berisi segala perkara (amr) yang penuh hikmah dan ilmu.
Dalam uraian sebelumnya, kami menerangkan bahwa sepuluh hari terakhir bulan Ramadan biasanya digunakan secara khusus untuk beribadah.
Sekalipun Islam tak membenarkan adanya sistem pertapa, namun dalam sepuluh hari terakhir itu, kaum Muslimin diizinkan hidup bagaikan pertapa, dengan jalan berdiam diri dalam Masjid (i’tikaf) dan menyingkiri segala urusan duniawi.
Karenanya, banyak sekali riwayat Hadits yang menerangkan bahwa Nabi Suci menganjurkan kaum Muslimin untuk mencari Lailatul Qadar di antara tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir Bulan Ramdan (HR Bukhari 32:3), atau pada tujuh malam terakhir bulan itu (HR Bukhari 32:2).
Menurut sebagian Hadits, Lailatul Qadar terjadi pada tanggal dua puluh lima, dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan Ramadan. Tetapi dalam Hadits lain, diriwayatkan pula bahwa sebagian Sahabat Nabi melihat Lailatul Qadar dalam mimpi (ru’ya) pada tujuh hari terakhir Bulan Ramadan (Misykatul Masabih, 7:9-11).
Tetapi patut diperhatikan bahwa Lailatul Qadar adalah pengalaman rohani Nabi Suci, bukan pengalaman jasmani. Dan sebagaimana diuraikan dalam Hadits di atas, Lailatul Qadr adalah juga pengalaman rohani para Sahabat Nabi.
Oleh sebab itu, salah kaprah jika mengira bahwa Lailatul Qadar adalah perkara jasmaniah, yang dapat ditengarai atau diamati melalui perubahan-perubahan alam fisik pada malam itu.
Lailatul Qadar adalah pengalaman rohani bagi orang yang bermujahadah dalam ibadah di bulan Ramadan, semata-mata untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Suci saw. dan para Sahabatnya.
Dinukil dari buku “Islamologi” karya Maulana Muhammad Ali. Bab Puasa, Sub Bab “Lailatul Qadar” (Darul Kutubil Islamiyah, 2013)
Comment here