Allah Ta’ala telah menganugerahkan potensi pada setiap manusia untuk bisa menerima wahyu dan ilham. Sebab jika potensi ini tidak ada pada manusia, maka argumen saja tidak cukup. Karena itu, siapapun nabi yang datang, untuk mengerti kenabian, wahyu, dan ilhamnya, Allah Ta’ala telah menaruh simpanan dalam fitrah setiap manusia, dan simpanan itu adalah mimpi (ru’ya). Seandainya seseorang tidak pernah mengalami mimpi yang benar, bagaimana mungkin dia bisa percaya bahwa ilham dan wahyu merupakan sesuatu yang berharga dan dibutuhkan?
Salah satu kebiasaan Allah Ta’ala:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (Al Baqarah, 2:286).
Oleh karena itu, Allah memberikan potensi ini pada semua manusia.
Keyakinanku, orang yang berbuat buruk dan pendosa pun pada suatu waktu mengalami mimpi yang benar, dan kadang juga menerima ilham. Meski orang itu mengambil faedah dari kondisi itu atau tidak.
Pendek kata, bila orang kafir dan orang beriman, keduanya bisa mengalami mimpi yang benar, lalu timbul pertanyaan, apa bedanya ru’ya orang kafir dengan ru’ya orang beriman?
Menurutku, perbedaan besar keduanya adalah: Pertama, ru’ya orang kafir sangat sedikit menjadi kenyataan, sedangkan ru’ya orang beriman banyak menjadi kenyataan.
Kedua, ru’ya orang beriman banyak mengandung kabar baik (basyarat) yang tidak terdapat dalam ru’ya orang kafir.
Ketiga, ru’ya orang beriman jelas, sedangkan ru’ya orang kafir tidak jelas.
Keempat, ru’ya orang beriman adalah ru’ya tingkat tinggi.
(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 5, hlm. 232-233).
Comment here