Artikel

SUFISME DALAM ISLAM

Kumpulan Ceramah tentang Sisi Mistik Islam yang Disampaikan di Berbagai Kota di Inggris.

Oleh

KHWAJA KAMALUDDIN

MENYATU DENGAN TUHAN

(Sebuah Khotbah di New Life Centre Church, London)

“Allah berfirman: Hamba yang Aku cintai, Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah penglihatannya yang dengannya ia melihat, Akulah tangannya yang dengannya ia menggenggam, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan.”

“Allah berfirman: Wahai manusia! Ikutilah hukum-hukum-Ku, niscaya engkau akan menjadi seperti-Ku, lalu katakanlah ‘Jadilah,’ maka ‘ia pun jadi’.”

(Hadits Qudsi dari Nabi Muhammad SAW)

Dengan firman yang agung inilah Tuhan berbicara melalui lisan Nabi Muhammad sekitar tiga belas abad yang lalu. Apa pun yang pernah disampaikan dalam bentuk kiasan dan metafora, atau diucapkan dalam bahasa mistis oleh para pendahulunya—Isa, Musa, dan para nabi lainnya—mendapatkan perumusan yang jernih dalam kata-kata sederhana ini.

Kata-kata penuh makna ini meletakkan di hadapan seluruh dunia, dengan penekanan yang tak mungkin disalahpahami, tujuan tertinggi dari agama yang diturunkan Tuhan. Semua agama, dalam bentuk aslinya, berasal dari Tuhan, dan pada hakikatnya adalah satu dan sama. Campur tangan manusialah yang kemudian menyebabkan perbedaan. Firman tersebut menunjukkan suatu tingkatan kesempurnaan rohani, puncak dari segala kemajuan manusia menuju Tuhan. Sejak fajar kehidupan, dunia telah berulang kali menerima perwujudan nyata dari fenomena ini dalam wujud manusia.

Muhammad, Musa, Isa (semoga kemuliaan tercurah pada mereka), dan banyak lagi dari ras guru yang diberkahi, diutus untuk meneladankan jalan lurus menuju tujuan itu melalui kesempurnaan hidup mereka. Mereka telah menjalankan tugasnya dengan baik. Namun sayang, mereka yang mengaku mengikutinya justru tersesat. Sebagian dari para guru itu bahkan dianggap sebagai Tuhan, meskipun mereka tidak luput dari kelemahan-kelemahan yang menjadi takdir semua insan.

Andaikata bukan karena ungkapan-ungkapan yang paling jelas dan tegas dari lisan Nabi Muhammad—penjelas terbaik dan terakhir dari Keesaan Tuhan—niscaya beliau pun akan disembah sebagai tuhan yang setara dengan Tuhan. Mengingat kemurnian ajaran yang beliau bawa, mukjizat yang beliau perlihatkan, kehidupan yang beliau jalani, serta pencapaian luar biasa sebagai Manusia Muhammad dan Nabi Muhammad, semua itu tampak melampaui perbuatan para pembimbing umat manusia lainnya. Di hadapan bukti-bukti ini, yang keasliannya selalu tak terbantahkan, seorang tokoh seperti Muhammad tidak akan gagal untuk diterima sebagai “Bapa,” jika yang lain dianggap sebagai “Anak,” di dunia yang mudah percaya ini. Namun, penolakannya yang tegas dan berulang kali untuk mengaitkan apa pun dengan namanya selain gelar Utusan Tuhan telah menyelamatkan dunia Islam dari kehinaan karena menjadikan seorang teladan sebagai sesembahan.

Jangan berpikir Tuhan kita adalah “Tuhan yang pencemburu” jika Keesaan-Nya menjadi tema utama Al-Qur’an. Keyakinan pada keesaan Tuhan menciptakan gagasan tentang kesetaraan dan kesamaan antara manusia. Dia yang engkau anggap sebagai tuhan karena beberapa pencapaiannya yang tampak unik, sesungguhnya menjadi setara denganmu, dan apa yang ia peroleh secara potensial berada dalam jangkauanmu. Di dalam dirinya, sebuah cita-cita sejati berdiri di hadapanmu, membuka cakrawala harapan yang cemerlang dan kemungkinan-kemungkinan yang mulia di depan matamu.

Isa (Yesus) terbiasa melakukan keajaiban—sebuah pencapaian yang umum bagi para nabi—dan ia tidak menampik kemampuan orang lain untuk melakukan hal yang sama. “Aku hanyalah manusia sepertimu” (Al-Qur’an), demikian ucapan sang Penjelas Agung Keesaan Tuhan. Seseorang mungkin tidak akan mencapai puncak tangga tempat sang nabi berdiri, tetapi kata-katanya yang menggetarkan mampu menepis semua awan keraguan yang menyelimuti kemampuanku, dan membuka gerbang menuju harapan dan keberhasilan. Ia meyakinkanku bahwa dirinya dan diriku pada hakikatnya sama, berbagi cita-cita dan hasrat yang sama, dan sama-sama tunduk pada kekurangan manusiawi.* Dan begitu pula yang dilakukan Isa; namun sifat mudah percaya dan kebodohan akan mengabaikan fakta yang nyata ini dan justru menisbatkan kepadanya apa yang dengan jelas ia sanggah.

Isa mungkin Tuhan atau bukan; tetapi kegunaannya bagi kita sebagai teladan kemanusiaan menjadi nyaris nihil jika ia adalah Tuhan, karena tidak ada yang bisa membuat kita menjadi Ilahi dalam pengertian itu. Singkatnya, para nabi ini adalah citra Tuhan yang telah berevolusi dan bertindak sebagai teladan bagi yang lain. Mereka menjadi Ilahi, tetapi tetap dalam bingkai kemanusiaan. Inilah tujuan utama agama yang telah dijelaskan dengan sangat gamblang oleh Sang Nabi dalam firman-Nya: “Allah berfirman: Hamba yang Aku cintai, Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan Akulah penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan Akulah tangannya yang dengannya ia menggenggam, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan.” Ada juga sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Allah Yang Maha Kuasa berfirman: “Aku suka untuk dikenal, maka Aku ciptakan manusia.” Oleh karena itu, penciptaan manusia—atau lebih tepatnya manusia sempurna (insan kamil)—dalam citra Ilahi, disebabkan oleh sifat mahabbah (cinta) di dalam Diri-Nya. Sifat inilah yang menjadi landasan tasawuf dalam Islam.

Lalu, bagaimana cara mencapai tingkatan rohani itu agar aku dapat menjadi kekasih Allah? Bisakah aku membuat diriku dikasihi Tuhanku hanya dengan mempersembahkan begitu banyak pujian dari bibirku, dengan duduk dalam sebuah lingkaran dan mengulang-ulang rumusan iman dalam kata-kata, dan dengan menghitung nama-nama-Nya pada biji-biji tasbihku? Semua itu mungkin membantuku, mungkin membantu pikiranku sampai batas tertentu, tetapi di luar itu, semua itu tak ada gunanya. Bahkan seiring berjalannya waktu, kebiasaan akan mengambil alih, dan pengulangan sebuah rumusan menjadi pekerjaan mekanis semata. Ruh dan jiwa yang pernah tercipta di dalam diriku telah sirna.

Dudukku dalam lingkaran dan hitungan tasbihku tak ubahnya seperti putaran roda doa seorang Lama Buddha, di mana setiap putaran dianggap setara dengan ratusan kali penyebutan Nama Suci. Dengan demikian, mereka melengkapi jumlah doa yang seharusnya mereka panjatkan kepada Tuhan mereka. Pengulangan doa dan wirid nama-nama Ilahi hanyalah sebuah persiapan; tetapi ada sesuatu yang lebih dibutuhkan untuk menarik cinta Ilahi.

Tidakkah kita lihat di sekeliling kita bahwa melalui daya tariklah benda-benda menyatu dan menghasilkan buah yang didambakan? Melalui hukum afinitaslah keajaiban-keajaiban ini mewujud di dunia. Atmosfer dipenuhi tetesan hujan, tetapi tetesan itu hanya tertarik ke tempat di mana permukaan di bawahnya ditumbuhi pepohonan. Fenomena ini adalah salah satu dari sekian banyak bukti kehadiran cinta Ilahi yang menyebar laksana elektron di empat penjuru alam semesta. Namun, kita membutuhkan sebuah konduktor di dalam diri kita untuk menarik percikan cinta Ilahi ini ke arah kita. Kita perlu memiliki cinta untuk menarik cinta. Untuk menjadi kekasih Allah, seseorang harus terlebih dahulu mencintai-Nya dengan segenap hati dan jiwa. Sebagaimana firman Allah dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta; dan barangsiapa mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya dua depa; dan barangsiapa berjalan menuju-Ku, Aku akan berlari menujunya.” Begitulah Tuhan kita. Rahmat-Nya datang kepada kita, tetapi rahmat itu mengikuti tindakan kita seratus kali lipat. Cintailah Dia, dan engkau akan menjadi kekasih-Nya.

Namun, apakah cinta ini sesungguhnya? Sebuah kata di ujung setiap lidah, sebuah gairah yang dialami setiap jiwa, namun sangat sulit untuk dipahami secara hakiki dalam hubungannya dengan Tuhan. Bahasa Arab memiliki keindahan yang luar biasa dalam menggambarkan makna sesungguhnya dari hal-hal yang diwakili oleh kata-katanya. Di dalamnya, dua kata “Khullat” dan “Hubb,” berarti persahabatan dan cinta. Yang pertama berarti menjadi kosong, dan yang kedua berarti mengisi. Sedikit perenungan atas makna keduanya akan menyingkap proses cinta. Ia menuntut pengosongan dari satu hal dan pengisian dengan hal lain. Jika jiwamu dilanda cinta, maka hampir tidak ada ruang di dalamnya untuk objek pemujaan lainnya. Bagaimana engkau bisa mencintai Tuhan jika pikiranmu sudah penuh dengan hal-hal yang tidak ilahi? “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Qur’an, 2:165).

Dalam ayat ini, cinta manusia kepada Tuhan, yang merupakan dasar sejati dari Islam—penyerahan mutlak kepada Dzat Ilahi—dinyatakan lebih kuat daripada semua ikatan cinta dan persahabatan lainnya. Agar hati dan jiwa kita dapat dipenuhi oleh cinta Ilahi, sangat penting untuk mengosongkannya dari objek lain selain yang berkaitan dengan “Tuhan” kita. Kecuali jika hati benar-benar terbenam dalam pikiran tentang Tuhan kita, seseorang tidak dapat merasakan berkah yang datang kepada manusia melalui cinta kepada Tuhan itu.

Izinkan aku menjadi lebih personal. Pernahkah engkau benar-benar mencintai seseorang? Jika pernah, maka bayangkanlah saat-saat gairahmu memuncak, saat cintamu meluap kepada kekasihmu. Pikirkan saat-saat ketika dia menyita seluruh perhatianmu. Engkau menyendiri, merasakan kehadiran orang yang kau puja; engkau mulai berbicara pada kehadiran imajiner ini. Orang mungkin menganggapmu gila. Tapi tidak begitu. Kondisi ini hanyalah pertanda bahwa seluruh keberadaanmu basah kuyup dalam pikiran tentang cintamu, bahwa engkau senantiasa memiliki bayangan kekasihmu di depan mata batinmu. Pernahkah engkau mengintensifkan cintamu kepada Tuhan sampai ke tingkat itu? Jika tidak, bagaimana engkau bisa berharap Dia menjadi mata dan tanganmu serta anggota tubuhmu yang lain?

Tahukah engkau bahwa cara terbaik untuk menyenangkan orang yang kau puja adalah dengan menundukkan sepenuhnya keinginanmu pada orang itu, melepaskan cara berpikirmu dan mengadopsi cara berpikirnya? Itulah tahap akhir dari cinta, di mana sang pecinta sepenuhnya memfanakan dirinya di atas altar cinta untuk objek pengabdiannya.

Isa telah mencapai tingkat tertinggi cintanya kepada Sang Bapa. Ia dengan riang menanggung setiap kesulitan yang menghadang jalannya dan tidak gentar bahkan untuk naik ke kayu salib. Siapkah kita untuk pengorbanan yang begitu dahsyat? Siapkah kita untuk meneladaninya, mengikutinya dalam memikul salib kita sendiri sebagaimana ia memikul salibnya? Aku khawatir tidak! Kita jelas tidak siap untuk kemungkinan seperti itu, betapapun fasihnya lidah kita dalam menyanyikan puji-pujian bagi cinta dan kemuliaan Tuhan. Sisi pengecut dalam diri kita setiap saat mencoba menghindari setiap kesulitan kecil. Itulah sebabnya ia telah menciptakan siasat-siasat cerdik berupa “Syafaat,” “Penebusan,” atau “Pendamaian.” Ini, bisa dikatakan, adalah jalan pintas di mana sebuah upaya sia-sia dilakukan untuk mencapai tujuan keselamatan tanpa harus menanggung cobaan dan penderitaan yang esensial untuk tujuan itu. Apakah ini terdengar seperti mencintai Tuhan? Lalu mengapa merindukan cinta-Nya untukmu ketika engkau tidak pernah pantas mendapatkannya?

Izinkan aku mengambil contoh lain dari keengganan manusia untuk berusaha sungguh-sungguh. Aku kira engkau pernah mendengar tentang Batu Bertuah (Philosopher’s Stone) yang dalam pencariannya, generasi manusia di Timur dan Barat Abad Pertengahan menyia-nyiakan hidup mereka, karena batu itu diyakini dapat mengubah logam paling hina menjadi emas murni hanya dengan sentuhannya. Kegagalan demi kegagalan, bagaimanapun, telah menyadarkan kita akan absurditas keyakinan kita pada Batu Bertuah dalam hal logam. Tetapi dalam hal lain, kita masih tertipu. Kita masih mengejar hal yang sama dalam urusan spiritual. Sisi pengecut kita menghindari kerja keras dan ingin menuai hasil yang baik—panen tanpa pernah mengolah tanah. Ia mencari Batu Bertuah lain, yang ia pikir telah ia temukan dalam nama Penebusan Dosa. “Amal tidak ada gunanya, hukum adalah kutukan, tetapi keyakinan pada Salib secara ajaib mengubah yang hina menjadi mulia.” Ini adalah kisah lama yang sama tentang keengganan manusia untuk merasa pantas setelah berbuat sesuatu; kerinduan hampa dari si pemalas untuk memiliki segalanya tanpa melakukan apa-apa.

Tetapi kita dapat mengubah kerja keras kita yang jujur menjadi emas yang berkilauan; demikian pula kita diberkahi dengan kapasitas penuh untuk mencapai kebahagiaan spiritual dan kebahagiaan Ilahi, asalkan ada kemauan untuk berbuat dan berusaha secara pribadi untuk meraihnya. Jika kita tidak pernah bisa percaya pada adanya Batu Bertuah, maka kita harus ingat bahwa tidak ada realitas dalam teori atau dogma transmutasi spiritual mana pun. Jika kita dengan tulus ingin masuk ke dalam Kerajaan Surga, maka, dalam kata-kata Isa, kita hanya bisa melakukannya dengan menaati perintah-perintah-Nya.

Bisakah kita dengan wajar menunjukkan pada diri kita sendiri satu ungkapan pun dari Isa yang mengindikasikan bahwa ia memikul salib untuk membebaskan kita sepenuhnya dari konsekuensi dosa-dosa kita? Sebaliknya, nasihatnya yang jelas kepada kita adalah, “Jika kamu ingin layak menyandang nama-Ku, pikullah salibmu sendiri.” Ia disalibkan agar ia dapat menyampaikan kepada kita pelajaran tentang pelayanan pribadi individu. Inilah tingkatan tertinggi cinta Ilahi, di mana menyerahkan nyawa oleh sang pemuja bukanlah hal besar untuk mendapatkan keridhaan Sang Kekasih.

Namun jangan terkecoh oleh kata-kata, karena kesalahpahaman kata-kata inilah yang telah menjadi sumber pemborosan nyawa yang tak berkesudahan di atas altar Yang Mahakuasa dalam bentuk pengorbanan manusia yang begitu umum dalam agama-agama mitologi. Pengorbanan daging dan darah hanyalah simbol dari pengorbanan jiwa kita, kehendak kita yang menguasai daging dan darah kita. Bunuhlah semua hasrat pribadimu, keinginan egoismu. Biarlah hidup dan matimu hanya untuk-Nya. Bunuhlah semua hasrat dan kecenderungan yang muncul dari daging dan darah. Tundukkan penilaianmu pada penilaian Yang Maha Tinggi. Biarlah “Kehendak-Mu, bukan kehendakku,” menjadi aturan hidupmu. Ketika engkau mengambil sikap penyerahan diri mutlak ini, maka engkau benar-benar mencapai tujuan Cinta Ilahi. Betapa indahnya nabi Islam mendemonstrasikan kebenaran ini, “M?t? qabla an tam?t?” (“Matilah sebelum engkau mati”), yakni, lepaskan dirimu dari semua hal yang dituntut oleh jiwa dan ragamu secara bersamaan sebelum jiwamu terlepas dari ragamu; karena pada kenyataannya semua hal ini sama sekali asing bagi esensi jiwamu.

Kebenaran inilah, prinsip agung inilah, yang diutarakan oleh Yahya Sang Pembaptis (Yohanes Pembaptis): “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian daripadaku… Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (Matius 3:11).

Betapa benarnya kata-kata ini! Namun, sungguh malang, sisi pengecut dalam diri kita tidak menyadari maknanya. Ada orang-orang yang berpikir dan dengan mudah percaya bahwa sebuah celupan di dalam air memberikan pengampunan dosa yang diperlukan dan menghasilkan sifat baru dalam diri kita. Mereka tidak dapat memahami apa arti baptisan dengan air dan apa itu baptisan dengan api. Para penyembah simbolisme ini bahkan tidak konsisten dalam keyakinan dan tindakan mereka. Jika dengan baptisan api mereka memahami keyakinan mereka pada Isa, maka mereka seharusnya membaptis diri mereka dalam api, bukan dalam air. Mereka seharusnya menuangkan bara panas di kepala mereka, bukan air. Tapi ini semua hanyalah kepura-puraan.

Yahya mengucapkan kebenaran harfiah ketika ia mengucapkan kata-kata itu. Alasan ia menggunakan perumpamaan dan kiasan adalah karena tingkat intelektual generasi yang ia ajak bicara masih belum matang. Firman Al-Qur’an dan sabda Nabi Suci adalah penyempurnaan dari metode-metode lama yang menyajikan semua kebenaran kepada manusia dalam ungkapan yang paling sederhana dan mudah. Al-Qur’an mengungkapkan dirinya sebagai berikut mengenai hal ini:

“Sibghah Allah (celupan/baptisan Allah). Dan siapakah yang lebih baik Sibghah-nya (celupannya) daripada Allah?” (QS. 2:138)

Ketika engkau ingin mencelup kain, pertama-tama engkau harus mencucinya dan membersihkannya dari semua noda dan kotoran. Demikian pula, agar kain kalbumu dapat tercelup sempurna dalam warna Allah, maka engkau harus ingat bahwa proses ini tidak akan pernah berhasil kecuali engkau menghilangkan semua noda darinya, hasil dari ketercelupannya dalam hasrat duniawi yang rendah. Engkau harus menggunakan air yang akan menghilangkan semua noda ini dengan leluasa. Air ini adalah air “tobat”.

Renungkanlah kata-kata Yahya Sang Pembaptis. Baptisannya adalah baptisan air, yaitu baptisan tobat—sebuah persiapan untuk menerima warna Allah, tetapi baptisan dari Yang Akan Datang adalah baptisan celupan atau api: keduanya memiliki arti yang sama dan keduanya merujuk pada Penghibur yang sama yang akan datang setelah Isa. Ketika selembar kain dicelup, ia kehilangan semua jejak warna aslinya; demikian pula, segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam api akan mengambil rupa dan sifat api. Inilah bentuk yang benar dari baptisan dalam Ruh Allah. Kita tidak membutuhkan darah orang lain untuk menghapus dosa-dosa masa lalu kita. Kita harus mencuci kain kita sendiri terlebih dahulu dengan air dan kemudian merendamnya dalam celupan yang pekat.

Penyembahan berhala dan patung batu adalah hal-hal dari masa lalu, meskipun hal-hal lain telah menggantikannya di gereja-gereja di Barat. Tetapi kita adalah budak dari sesuatu yang lebih buruk. Kita menyembah motif-motif keji dan rendah serta hasrat-hasrat serupa lainnya. Kita telah menjadikan hawa nafsu kita sebagai tuhan kita. Keinginan-keinginan jasmani kita, yang pemuasan sebagiannya diperlukan untuk menjaga jiwa dan raga tetap bersama agar dapat membuat kemajuan lebih lanjut yang telah ditakdirkan oleh Pencipta kita di alam ini, telah menguasai kita. Kita menyembahnya siang dan malam. Pelajarilah batinmu, dan lihatlah apakah pikiranmu bebas dari semua itu. Jika ya, maka engkau pasti telah memberikan akses kepada ruh Tuhan di dalam dirimu; hatimu kini telah menjadi singgasana-Nya, tubuhmu adalah kemah suci-Nya di mana hanya Dia yang menjadi objek penyembahanmu; maka sesungguhnya engkau mencintai Tuhan. Bahkan, Tuhan mencintaimu. Maka sesungguhnya Dia adalah tanganmu, dan Dia adalah kakimu. Mukjizat menjadi mudah terjadi pada tahap ini, tetapi itu adalah pertanda kehadiran Tuhan di dalam dirimu dan bukan bukti Keilahianmu. Engkau telah menyempurnakan jalan kemanusiaanmu, dan telah melahirkan pikiran Ilahi, engkau telah memanifestasikan sifat-sifat Ilahi dalam jubah kemanusiaan. Tetapi engkau tetaplah manusia.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (Al-Qur’an). Begitu transendennya Dzat Ilahi, dan begitu jauh di atas segala konsepsi material, sehingga kemiripan dengan-Nya bahkan tidak dapat dibayangkan secara metaforis; karena tidak hanya tidak ada yang seperti Dia, tetapi, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, tidak ada sesuatu pun yang seperti kemiripan dengan-Nya. Begitulah konsep Dzat Ilahi yang murni transendental dalam Islam. Dia tidak hanya di atas segala batasan material, tetapi bahkan di atas batasan metafora.

Melakukan mukjizat tidak membuat seseorang menjadi Ilahi. Itu membutuhkan fana (peniadaan diri); oleh karena itu, bunuhlah egomu. Isa tidak pernah memikul salib kecuali untuk Dirinya sendiri, untuk peningkatannya sendiri. Melalui gerbang rasa sakit dan kesengsaraan, ia menyenangkan Bapa-Nya dan menjadi salah satu dari yang terpilih. Ia meletakkan di hadapan kita, tanpa ragu, sebuah pelajaran yang luar biasa. Ia menunjukkan kepada kita jalan, bahwa pencapaian Cinta Ilahi hanya terletak melalui pemikulan salib kita sendiri. Pengorbanan wujud fisik kita memang merupakan hal yang sulit, tetapi jauh lebih sulit adalah penyerahan hasrat-hasrat hina kita dalam pengabdian kepada Tuhan; oleh karena itu, serahkanlah dirimu, jiwamu, semua keuntungan duniawimu, semua motif kepentingan pribadi, dalam memajukan hasrat-hasrat rendahanmu, dan engkau akan mencapai ketinggian dari mana Nabi Muhammad memproklamasikan:

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” — AL-QUR’AN, 6:162-163.

INDIA YANG RELIGIUS

(Pidato oleh Khawaja Kamal-ud-Din di Galeri 7-8, Old Bond Street, dengan Mr. Marmaduke Pickthall sebagai ketua)

India selalu disebut sebagai negeri keragaman dan perbedaan. Ia dianggap bukan satu negara dan satu bangsa, melainkan kumpulan negara dan komunitas. Mungkin bagi orang luar, inilah satu-satunya ciri yang tampak. Tetapi bagi mereka yang menjadikan India sebagai rumah, negeri yang indah ini tidak sepenuhnya tanpa ciri-ciri keharmonisan, dan yang utama di antaranya adalah semangat religiusitasnya, kehidupan keagamaannya. Semangat itu meresapi kuil-kuil, tempat-tempat suci, dan masjid-masjid di India. Itulah satu sumber bersama dari mana India mengambil kekuatan untuk kelangsungan kehidupan religiusnya.

Budaya Barat, dengan kecenderungan ateistiknya, tiba di panggung ketenangan religius dan kepuasan spiritual ini, dan melancarkan serangan pertamanya pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Kemajuan materialnya menyihir kami, dan kilaunya yang dangkal menyilaukan pandangan kami. Langkah kami goyah, dan kami mulai meraba-raba dalam kegelapan skeptisisme, tetapi untungnya bagi ibu pertiwi, beberapa faktor mulai bekerja segera, yang menghasilkan kebangkitan besar semangat lama. Keharmonisan dalam agama dan modernisme dipulihkan. Orang-orang dari universitas yang mendalami teori-teori ilmu pengetahuan modern kembali menemukan kedamaian mereka di masjid-masjid dan kuil-kuil, dan eksperimen ilmiah berjalan seiring dengan praktik keagamaan.

Pada dini hari, ketika kemewahan, yang lelah dengan kebinatangan, menemukan istirahat di ranjang yang nyaman, kami mendengar tabuhan genderang, dentingan lonceng, dan tiupan sangkakala yang mengundang para pemuja ke kuil dan tempat suci masing-masing. Dari puncak menara masjid, terdengar seruan melengking menembus keheningan fajar. “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad membawa pesan untukmu (bahwa jika engkau) bergegas menuju shalat, (engkau) bergegas menuju kemakmuran. Shalat lebih baik daripada tidur; (karena) Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan tiada objek sembahan lain selain Allah.”

Tidak ada perbedaan antara hari Tuhan dan hari-hari biasa bagi pikiran orang India. Tempat-tempat ibadahnya membuka tangan bagi para pemuja setiap pagi dan sore. Jika urusan duniawi menyerap perhatian dan energi kita siang dan malam, tidakkah urusan rohani memiliki klaim yang sama persis atas kita?

Seorang Muslim, ketika meninggalkan tempat tidurnya, sebelum minum teh paginya, harus menghadap Tuhannya, dan harus hidup dari firman-firman yang keluar dari Mulut Suci-Nya, dengan membaca doa-doa yang diwahyukan kepadanya melalui Utusan Tuhan. Waktu makan siang tiba dan ia bergegas ke tempat ibadahnya sebelum menuju mejanya. Teh sorenya harus didahului lagi oleh shalatnya. Saat matahari terbenam, ia kembali bersujud kepada Penciptanya. Engkau mungkin minum teh malam dengan biskuit dan anggur sebelum tidur, tetapi engkau akan menemukan seorang Muslim, sebelum ia beristirahat, terkadang berdiri dengan tangan bersedekap di dada, terkadang berlutut, terkadang rukuk, dan terkadang sujud dengan kepalanya, satu-satunya tanda penghormatan duniawi dan peniadaan diri di hadapan Kekasihnya.

Religiusitas bukanlah sekadar tingkat cinta yang kuat, dan cinta harus mengikuti keindahan dan kebajikan, dan siapakah yang lebih dermawan daripada sumber agung segala kebajikan dan rahmat itu? Dan apalagi keindahan itu selain nama lain dari kebajikan. Apakah engkau hanya melihat keindahan pada wajah yang menawan dengan mata kelam bak kijang, hidung mancung, rambut ikal hitam legam berkilau, dahi menonjol, dan (izinkan aku menggunakan perumpamaan Timur) postur seperti pohon cemara? Ya, ciri-ciri ini adalah tanda keindahan di masa muda saya. Kini, gairah baru dan cita-cita baru menemukan objek pemujaan baru, dan bersamanya konsepsi saya tentang keindahan berubah. Tidak ada yang indah dalam dirinya sendiri. Keindahan adalah sesuatu yang memuaskan kerinduanmu, hatimu, dan jiwamu.

Religiusitas berarti, apa awalnya, dan apa tahap akhirnya? Hampir semua dari kalian, aku kira, pernah mengalami gairah cinta, dan memiliki seorang kekasih. Apa yang tidak akan engkau lakukan untuk menyenangkan kekasihmu? Engkau tidak akan meninggalkan satu pun batu tak terbalik untuk melaksanakan kehendak “cintamu,” dan ini hanyalah tahap pertama dari religiusitas. Isa menginisiasi kita ke dalam tahap pertama religiusitas kepada Tuhan ini ketika ia mengajarkan kita dalam doanya: “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Ini, kataku, adalah langkah pertama dari tangga yang menuju tujuan akhir kemanusiaan; yaitu kehilangan individualitas kita dan meleburkan diri kita ke dalam Diri Yang Agung itu. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Takhallaqu bi akhlaqillah.” (Berakhlaklah dengan akhlak Allah).

Lepaskan dirimu dari kepribadianmu sendiri, dan kenakanlah Moral Ilahi. Jadi, jika Isa mengajarkan kita langkah pertama religiusitas kepada Tuhan, Muhammad datang untuk membawa kita pada kesempurnaannya. Jika aku berkata demikian, aku tidak bermaksud membuat perbedaan yang tidak adil. Jauh dari seorang Muslim untuk melakukannya. Ia telah diperintahkan dalam Kitab Sucinya untuk tidak membedakan antara seorang Nabi dengan Nabi lainnya. Para Nabi selalu berbicara dan menanamkan kebenaran sesuai dengan standar intelektual para pendengarnya.

Isa mendapati dirinya di antara para penatu dan nelayan. Ia sering mengeluhkan kecerdasan mereka yang rendah, dan karena alasan inilah ia terpaksa berbicara kepada mereka dalam perumpamaan dan kiasan. Tetapi Muhammad (semoga damai menyertai keduanya) datang pada saat dunia, melalui ajarannya, akan mengalami pergolakan besar dalam pembelajaran dan budaya dalam waktu singkat setelah kerasulannya. Jika Isa, oleh karena itu, hanya menginisiasi kita pada misteri cinta dan pengabdian kepada Tuhan, Muhammad membawa kita ke tujuannya. Dan bukankah Isa telah mengatakan hal yang sama tentang Muhammad:

“Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya, itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” — Yohanes 16:12-13.

Religiusitas tidak hanya berarti menyanyikan himne, atau mengucapkan kata-kata tertentu, dan melakukan gerakan tangan dan tubuh lainnya. Ini hanyalah indeks dari apa yang dirasakan pikiran. Religiusitas, seperti yang kukatakan sebelumnya, pada tahap awalnya terdiri dari menundukkan kehendak kita sendiri pada Kehendak Yang Tinggi itu dan agar “Kehendak-Mu terlaksana di bumi seperti di surga.” Apakah sekarang sulit untuk menemukan apa kehendak-Nya di Surga, dan, untuk mempersingkat ruang lingkup diskusi, kehendak-Nya mengenai berbagai anggota umat manusia? Bukankah Pemeliharaan-Nya bersifat universal? Tidakkah Dia tidak membedakan antara manusia dengan manusia dan ras dengan ras dalam pemeliharaan fisik dan spiritual-Nya? Tidakkah Dia telah memberikan anggota tubuh dan sendi yang sama, tangan dan hati yang sama, kepada semua orang?

Religiusitas menuntut peniadaan diri (fana). Melalui berbagai jenis penyangkalan diri, engkau kehilangan individualitasmu sendiri dan mempersiapkan dirimu untuk bersatu dengan Yang Maha Tinggi. Buddha mengatakan hal yang sama ketika ia mengajarkan bahwa “Nirwana” yaitu peniadaan diri—adalah keselamatan. Islam, yang merupakan nama agamaku, secara harfiah berarti pasrah pada kehendak Ilahi. Ciptakan semangat berkorban dalam diri individu dan kejahatan itu sendiri akan menjadi terusir. Kejahatan bukanlah sesuatu yang orisinal atau bawaan dalam sifatmu. Itu adalah tambahan dan perolehan. Dosa adalah anak dari keegoisan dan keturunan dari ketamakan.

Aku baru saja berbicara tentang tahap akhir dari religiusitas, yaitu, kehilangan individualitasmu ke dalam Kepribadian agung itu dan aku juga berkomentar bahwa penyangkalan diri adalah satu-satunya gerbang yang harus dilalui setiap pemuja sebelum menyadari Kebenaran itu. Untuk mencapainya, berbagai sistem diperkenalkan oleh berbagai guru yang sesuai dengan berbagai waktu dan iklim. Berbagai ordo monastik dan pertapaan asketis yang beragam diperkenalkan untuk membunuh sifat jasmani. Orang-orang meninggalkan rumah mereka menuju hutan dan gunung untuk melepaskan diri dari urusan duniawi, yang merupakan gangguan besar, dan untuk mendapatkan semangat kontemplasi yang sejati.

Islam, bagaimanapun, datang pada saat urusan duniawi harus mengambil aspek baru dan ketika monastisisme tidak lagi diinginkan. Ia datang dengan cara-cara sederhananya untuk mencapai tujuan religiusitas tanpa mengabaikan kewajiban sosial dan tugas-tugas duniawi. Melalui shalat dan puasa yang terus-menerus, melalui berbagai amal dan hajinya, dan melalui praktik keagamaan lainnya, seorang Muslim mencoba mengendalikan hawa nafsunya dan menyeimbangkan keinginannya, dan menciptakan dalam dirinya pikiran yang asyik dalam cinta dan pengabdian. Dalam melayani kemanusiaan, ia melayani Penciptanya. Dengan ketenangan pikiran, ia menghadapi semua pasang surut kehidupan. Siangnya bersama manusia, tetapi malamnya bersama Tuhan.

EKSPRESI DIRI & KESADARAN KOSMIK

(Dari Sudut Pandang Muslim dengan Beberapa Pengamatan tentang “Pemikiran Baru”)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” — Al-Qur’an, Al-Mu’minun.

Beberapa ayat dari surat “Al-Mu’minun” dari Al-Qur’an ini mengandung dua kata penting dalam teks aslinya. Yang satu adalah “al-falah,” yang biasa diartikan sebagai kesuksesan atau pencapaian tujuan seseorang. Yang lainnya adalah “waris,” yang berarti ahli waris, yang menandakan bahwa mereka yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas tidak hanya akan mencapai kesuksesan dalam kehidupan ini, tetapi akan terus ada dengan kesuksesan di kehidupan akhirat. Makna harfiah dari kata “falah” adalah membuka sesuatu untuk mengungkapkan sifat-sifat intrinsiknya.

Kata ini juga digunakan dalam bahasa Arab untuk membajak, yaitu membuka permukaan bumi untuk mengaktifkan kekuatan produktifnya yang terpendam. Kata bahasa Inggris plough (bajak) tampaknya berasal dari kata Arab “falah” ini. Ini adalah salah satu keindahan mencolok dari bahasa Arab bahwa kata-katanya dalam pengertian primernya menunjukkan keadaan yang, ketika disadari, menyampaikan makna yang sama. Hal ini diilustrasikan dengan baik dalam kata “falah” ini, yang tidak hanya berarti kesuksesan, tetapi juga menandakan apa yang merupakan kesuksesan sejati. Kesuksesan sejati terdiri dari mengolah semua kemampuan sesuatu hingga kesempurnaannya, yaitu, realisasi atau penyingkapan kekuatan laten—ekspresi diri.

Ekspresi diri adalah penyingkapan kapasitas dan keindahan bawaan yang tertanam dalam kodrat manusia sebagai amanah dari Tuhan. Melalui ekspresi inilah seseorang dapat mencapai ketinggian spiritual yang gemerlap dengan percikan sifat-sifat Ilahi.

Sangat memuaskan bahwa Eropa generasi kita akhirnya mulai menyadari semangat sejati agama dan keluar dari bentuk-bentuk konvensionalnya. Manusia secara naluriah adalah pemuja pahlawan, dan akibatnya ia memandang tunduk pada beberapa takhayul sebagai ketaatan pada kewajiban agama. Demikian pula, sekadar iman pada dogma ini atau itu telah dianggap oleh sebagian orang sebagai tujuan akhir agama. Tetapi ini adalah gagasan yang keliru. Agama sesungguhnya adalah pedoman hidup, yang bila diikuti akan membawa seseorang pada kesadaran akan keindahan batin dan membantunya mengubahnya menjadi kenyataan.

Sama seperti kesadaran moral tidak tercapai selama seseorang bergerak dalam lingkup kesadaran individu, demikian pula jendela spiritual tidak terbuka bagi seseorang yang perhatiannya masih terbatas pada kesadaran nasional. Keadaan spiritual sejati adalah seiring dengan kesadaran ras manusia. Ada tahap yang lebih tinggi lagi di luar keadaan kesadaran ini. Itu hanya tercapai ketika seseorang mengorbankan kepentingan pribadinya demi, bukan komunitas di mana ia menjadi anggota, bukan pula ras tempat ia berasal, tetapi demi seluruh alam semesta. Ketika semua dorongan untuk memperbesar diri dengan mengorbankan apa pun di alam semesta telah mati, maka ia telah benar-benar berhasil mendaki puncak kemegahan dan kemuliaan spiritual tertinggi. Kepentingannya kemudian diidentikkan dengan kepentingan setiap atom di alam. Inilah tahap kesadaran kosmik, titik ekspresi diri manusia dan tahap akhir persiapan untuk ekspresi dirinya yang sejati. Di sini spiritualitasnya menjadi matang sepenuhnya. Sifat fisiknya telah mereda dan mengambil bagian dari Sifat Ilahi. Ia telah memasuki lingkungan suci dan semacam persatuan tercipta antara dia dan Tuhannya. Dalam keadaan spiritualitas seperti inilah Isa berseru: “Aku dan Bapa adalah satu.”

FISIKALITAS, MORALITAS, SPIRITUALITAS

Tidak ada salahnya untuk mengatakan beberapa kata di sini tentang Spiritualitas—subjek yang begitu banyak dibicarakan dan begitu sedikit dipahami, tetapi yang hanya dapat dicapai dengan menumbuhkan Kesadaran Kosmik.

Sebelum mencoba memberikan konsepsi Islam tentang istilah tersebut, keindahan, kesederhanaan, dan keakuratannya, kami akan mengajak pembaca untuk memperhatikan gagasan populer mengenai hubungan jiwa dan raga, yang telah banyak berkontribusi pada kebingungan makna sejati. Jiwa dan raga dianggap sebagai dua entitas independen, benar-benar terpisah satu sama lain sampai yang terakhir terbentuk dan yang pertama masuk ke dalamnya. Hal ini secara alami memunculkan gagasan bahwa fungsi bagian material manusia, yaitu tubuh, adalah “fisikalitas” dan fungsi jiwa yang sama sekali tidak terhubung dengan sifat fisik, adalah “spiritualitas”, seolah-olah ada dua kompartemen kedap air dalam pikiran yang sama. Spiritualitas dengan demikian dikatakan hanya dapat dicapai ketika saingannya, fisikalitas, telah dihancurkan total. Peniadaan yang satu, bisa dikatakan, mengarah pada kelahiran yang lain. Bunuhlah hasrat dan nafsu alamiahmu, dan ambillah kehidupan asketis seperti biarawan atau biarawati, dan barulah engkau akan dapat mencapai puncak kemuliaan spiritual. Sungguh pandangan yang tidak wajar dan tidak masuk akal!

Faktanya, pikiran manusia adalah satu kesatuan utuh, tidak terbagi menjadi dua bagian komponen yang terpisah, yang selalu bermusuhan satu sama lain. Jiwa bukanlah unsur asing yang dimasukkan ke dalam materi pada tahap perkembangan tertentu. Sebaliknya, ia adalah pendamping yang tak terpisahkan dari materi dalam segala bentuknya dari kondisi elektronik mentah hingga tahap sempurna pada manusia. Menurut konsepsi Islam, jiwa adalah anak dari tubuh, yaitu produk dari materi.

Faktanya, “fisikalitas” dan “spiritualitas” bukanlah dua hal terpisah yang bertentangan satu sama lain dan tidak pernah bisa didamaikan. Analisis tahap tengah di antara keduanya, yaitu penghubung, yaitu moralitas, mengungkapkan fakta bahwa keduanya adalah bentuk dan kondisi yang berbeda dari hal yang sama, dan bahwa fisikalitas adalah landasan yang sangat diperlukan untuk pengembangan spiritualitas.

Untuk meringkas semuanya, manusia berada dalam sifat fisik (hewani), ketika ia menyerah pada pemuasan buta atas hasratnya, tidak peduli dengan mengorbankan siapa pun. Unsur moral muncul dalam dirinya ketika ia mulai membedakan antara “milikku” dan “milikmu,” dan menghormati hak orang lain. Tetapi ia melambung tinggi ke alam spiritual ketika ia memperoleh kebiasaan mengorbankan, dengan wajah tersenyum, semua sarana untuk memuaskan dorongan sifatnya sendiri demi kesejahteraan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Spiritualitas kemudian tidak terdiri dari penghancuran sifat hewani kita, juga tidak sama dengan jumlah total beberapa moralitas lembut, seperti yang biasa diduga. Ia terletak pada pengaturan yang satu dan sublimasi yang lain—penyeimbangan hasrat kita yang tepat dan penyerahan diri kita pada pelayanan jutaan makhluk-Nya. Singkatnya, seseorang berada di kedalaman kebinatangan ketika segala sesuatu adalah “milikku” baginya; ia naik ke tingkat moral ketika baginya “milikku” adalah “milikku” dan “milikmu” adalah “milikmu”; tetapi ia melambung tinggi di ranah spiritualitas ketika tidak ada yang “milikku” dan segalanya “milikmu.”

Betapa indahnya Al-Qur’an menggambarkan tiga tahap sifat manusia ini dalam kata-kata yang fasih berikut:

  1. “Nafsu Ammarah” (jiwa yang biasa memerintah), yang mendorong pada apa pun yang baik atau buruk untuk memuaskan hasrat tertentu. Ini adalah tahap hewani atau fisik.
  2. “Nafsu Lawwamah” (jiwa yang mencela diri sendiri), yang mengekang kecenderungan rendah untuk melanggar batas-batas hak. Ini adalah tahap moral.
  3. “Nafsu Mutmainnah” (jiwa yang tenang), yang membuat seseorang kehilangan dirinya dalam pelayanan alam semesta pada umumnya. Terserap hati dan jiwa dalam kebaikan dunia, seseorang diangkat tinggi ke alam Surgawi di luar jangkauan awan-awan kepedulian dan kesedihan duniawi, di mana selalu ada sinar matahari dan kebahagiaan. Inilah puncak kemuliaan spiritual, yang dibicarakan oleh Al-Qur’an dalam istilah-istilah berikut:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

ELIKSIR KEHIDUPAN

(Di Theosophical Hall, Folkstone, Inggris)

“Melebur dalam Tuhan” dan “menjadi satu dengan-Nya” adalah hasrat pertama dan terakhir dalam diri rata-rata manusia—sebuah kerinduan manusiawi yang luhur yang telah terbukti sejak zaman dahulu kala, dalam berbagai balutan frasa yang sesuai dengan “zaman dan iklim” yang berbeda. Agama menciptakan dan memelihara gairah Ilahi ini dalam diri kita. Manusia, konon, telah diciptakan menurut gambar Tuhan. Ia memiliki unsur Ilahi di dalam dirinya. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkannya, tetapi ia terhalang dalam pengejaran ini. Ia memiliki hasrat lain di dalam dirinya. Sifatnya mewakili sisi fisik dan mental.

Mistisisme dalam Islam tidak boleh disamakan dengan apa yang dipahami olehnya di beberapa kalangan di sini. Ketika seorang teolog rata-rata gagal memahami makna sebenarnya dari beberapa teks Alkitab, atau tidak dapat memahami atau menjelaskan beberapa narasi dalam Kitab Suci secara rasional, kecerdikannya datang membantunya; ia segera melompat ke beberapa penjelasan yang dipaksakan, dan dengan kepuasan pikiran yang penuh menamai prestasi anehnya ini sebagai penafsiran mistis Kitab Suci.

Telah dijelaskan bahwa unsur Ilahi yang menuntut evolusi untuk menjadikan manusia citra Tuhan yang sempurna telah dibalut dalam berbagai hasrat dan keinginan manusia, dan kecuali kematian datang lebih dulu atas semuanya, tahap tinggi ini tidak dapat dicapai. Hari di mana kematian datang atas kehidupan duniawi kita adalah hari kemenangan spiritualitas dan hari penyingkapan Dzat Ilahi. Kita buta selama kita tidak buta terhadap semua pemandangan lain, dan kita tidak bernyawa selama kita tidak bernyawa di bawah tangan Tuhan. “Matilah sebelum engkau mati,” sabda Nabi Islam. Tahap ini tidak tercapai kecuali semua anggota tubuh kita dan semua fakultas yang menopang kita dibuat bekerja dalam penyerahan total kepada Tuhan; hidup dan mati kita tidak memiliki tujuan lain selain dalam keridhaan Tuhan. Ketika seorang mistikus Muslim telah menyerahkan kehendak dan niatnya pada kehendak Tuhan, niat Tuhan menjadi niatnya, dan ia tidak memiliki kesenangan selain dalam ketaatan kepada-Nya. “Kehendak-Mu dan bukan kehendakku” adalah semboyannya. Inilah arti harfiah Islam. Islam adalah api yang membakar yang membakar semua hasrat rendah, dan, membakar semua tuhan palsu, mempersembahkan hidup, harta, dan kehormatan kita sebagai korban di hadapan Tuhan.

BAPTIS DENGAN AIR DAN API, DIJELASKAN

ISLAM – SIBGHATULLAH (CELUPAN ALLAH)

Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian daripadaku lebih berkuasa daripadaku, aku tidak layak membawa kasut-Nya. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. — MATIUS 3:11

Baptisan dengan air adalah warisan dari Yudaisme ke Kristen. Ia dapat bertahan dari pengaruh fatal ajaran Paulus, yang membebaskan para penganut Gereja Kristen dari beban Perintah-perintah. Tetapi jika hukum adalah kutukan, seperti yang kita simpulkan dari tulisan-tulisan Santo Paulus, dan ketaatannya tidak perlu, bukankah adopsi dan kelanjutan ritus inisiasi Yahudi menuju kebenaran di Gereja Kristus merupakan suatu anomali?

Islam, perkembangan akhir dari agama Tuhan, muncul ketika zaman akal dan budaya intelektual umum mendekati fajar. Oleh karena itu, ia mengajarkan agama secara rasional; ia melepaskannya dari semua selubung ritual, dan menunjukkan wajahnya dalam warna aslinya; realitas dimanifestasikan dari simbol dan tanda, dan banjir cahaya dilemparkan pada misteri ajaran Ilahi. Sibghah adalah padanan kata Arab untuk kata Baptisan. Secara harfiah berarti mencelupkan sesuatu ke dalam pewarna. “Sibghah, atau warna Allah, adalah Islam,” demikian firman Kitab Suci kita. Ketika kita mencelupkan sesuatu ke dalam pewarna, ia kehilangan warna aslinya dan mengambil warna baru. Tujuan Baptisan adalah sama; untuk menjadi satu dengan Tuhan, dan untuk berjalan dengan rendah hati bersama-Nya. Kita tidak dapat mencapai keadaan spiritual ini kecuali kita kehilangan keberadaan kita ke dalam keberadaan Tuhan, yang berarti kehilangan warna kita sendiri dan mengadopsi warna Tuhan. Yahya Sang Pembaptis bermaksud sama ketika ia merujuk pada baptisan dengan api. Ketika sesuatu dimasukkan ke dalam api, ia tampaknya kehilangan entitasnya sendiri, dan mengambil warna dan atribut api. Baptisan Ilahi adalah terjun ke dalam api itu, untuk menghabiskan entitas kita sendiri dan menjadi seperti orang mati di tangan Tuhan, tanpa kehendak pribadi, atau pelaksanaan kebijaksanaan kita sendiri, tetapi penyerahan mutlak pada Kehendak-Nya dan ketaatan implisit pada Perintah-Nya. Inilah arti harfiah Islam. Oleh karena itu firman Al-Qur’an, yang mengatakan: “Islam adalah Baptisan Tuhan.”

Seluruh masalah ini bermuara pada satu pertanyaan: Apakah baptisan dalam nama Kristus dan keyakinan kita pada salib secara ajaib mengubah kita menjadi satu dengan Tuhan: apakah itu melumpuhkan semua hasrat dan keinginan kebinatangan kita dan menjadikan kita hanya sebagai robot di tangan Tuhan? Jika demikian, kita benar-benar dibaptis dengan api. Tetapi jika untuk mencapai tingkat tinggi Penyerahan Diri kepada Tuhan itu kita memerlukan suatu program disiplin, suatu pelatihan di mana kita harus belajar bagaimana memenangkan kemenangan Tuhan dalam perjuangan sehari-hari dalam hidup kita antara kehendak kita dan kehendak Yang Maha Tinggi, dan antara kebijaksanaan dan keinginan kita dengan kebijaksanaan dan keinginan Yang Mahakuasa, kita memang membutuhkan hukum dan bimbingan eksternal, dan seluruh penalaran Santo Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Roma tampaknya benar-benar keliru, dan Isa tampaknya adalah Utusan Tuhan yang sejati dengan mengatakan:

“Karena itu siapa yang meniadakan salah satu dari perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.”

Isa dalam kata-kata ini mengajarkan Islam—injil ketaatan dan perintah. Tetapi agamanya mengalami penyimpangan pertama di tangan Santo Paulus, yang menjadi lengkap pada Konsili Nicea. Tuhan mengutus Muhammad sebagai penghibur untuk membimbing dunia menuju seluruh kebenaran (Yohanes 16:7-8). Ia mengajarkan agama Tuhan dalam proporsi yang sebenarnya.

Membawa kematian total pada hasrat dan keinginan kita sendiri adalah baptisan dengan api. Jika kita berhasil melakukannya, kita berada dalam posisi untuk menanamkan dalam diri kita sifat-sifat Ilahi, ini adalah baptisan dengan Roh Kudus. Seperti besi di dalam api, kita kehilangan warna dan atribut kita sendiri, dan menjadi seperti api; panas memancar dari kita dan kita melakukan semua fungsinya. Ketika tahap itu tercapai, Tuhan menjadi seperti ‘anggota tubuh dan sendi kita, tangan kita adalah tangan-Nya, mata kita adalah mata-Nya, dan kaki kita adalah kaki-Nya. Kita melakukan keajaiban dan mukjizat. Jika Kekristenan dalam bentuknya yang sekarang menghasilkan hasil seperti itu, Baptisan dalam Salib adalah baptisan dengan Roh Kudus dan api, dan jika hal-hal ini telah punah dalam sejarah Gereja Kristen, dan catatan-catatan lama adalah cerita dan mitos baru, baptisan yang dirujuk oleh Yahya Sang Pembaptis adalah Islam.

Catatan Kaki Asli:

  • Gagasan tentang kenabian tidak boleh disamakan dengan gagasan kesetaraan manusia. Ayat dalam Al-Qur’an di mana Injil kesetaraan manusia ini diberikan kepada kita justru menjadikan kenabian dan pencapaian manusia lainnya sebagai dua hal yang berbeda: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa'” (QS. 18:110). Kerasulan Ilahi—yang secara teknis berarti kenabian—yakni membawa pesan petunjuk dari Tuhan kepada manusia untuk peningkatannya, adalah pilihan ilahi, dan oleh karena itu merupakan karunia dan bukan pencapaian. Itu adalah sebuah penugasan, bukan prestasi, sehingga tidak terbuka untuk semua orang, sebagaimana firman Al-Qur’an: “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya” (QS. 6:125). Jika risalah telah menjadi lengkap dan petunjuk telah mencapai kesempurnaannya, seperti yang diyakini umat Islam tentang Al-Qur’an, maka pintu kenabian harus ditutup. Namun, hal ini tidak boleh disamakan dengan kemampuan menerima wahyu dari Tuhan. Berbicara kepada Tuhan dan diajak bicara oleh-Nya adalah tujuan seorang Muslim, dan itu terbuka bagi setiap manusia. Al-Qur’an mengungkapkan seluruh pedoman hidup yang menjadikan manusia penerima berkah Ilahi ini.
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here