Kolom

Solilokui Manusia Abad Ultra Modern

Abad Ultra Modern yang ditandai dengan perkembangan teknologi yang serba canggih menampilkan kenyataan bahwa kemajuan zaman semakin berkembang pesat. Dan manusia pun hanyut dalam arus era baru yang serba mutakhir itu. Banyak yang cenderung menyingkiri jerih payah, dan sebaliknya cenderung kepada macam-ragam dinamika hidup yang serba enak. Cenderung kepada meluapnya hawa nafsu, dan menafikan pertumbuhan jiwa yang tertanam di dalam hati sanubari.

“Kebobrokan telah timbul di daratan  dan di lautan karena ulah tangan manusia, agar Ia membuat mereka merasakan sebagian dari yang mereka lakukan, sehingga mereka mau kembali.” (QS Ar-Rum 30:41)

Iman pun semakin hari semakin membuncit. Tingkah laku manusia berubah. Pencitraan menjadi yang utama. Maka manusia pun berupaya selalu menciptakan situasi dimana ia dapat memperoleh pujian banyak orang. Berjalan melenggang dengan kepala digoyang. Duduk jinggrang dengan sikapnya yang kepalang. Seolah-olah dirinyalah yang paling gagah dan tenar.

Satu lagi yang membuat orang menepuk dada. Di zaman sekarang ternyata bukan hanya kaum wanita saja yang memakai perhiasan telinga. Tetapi kaum pria pun rupanya turut salang tunjang memakainya. Fikiran bertanya hati menduga: Apakah ini yang disebut pemuda masa kini?

Alangkah kasihan pohon yang tumbuh menjulang tinggi ke angkasa itu, kala ia dihuni kumbang pengerek batang, yang menggerogoti. Ketika angin datang, pohon rubuh karena akarnya tak kuat menahan diri untuk berdiri tegak. Ia semakin kewalahan menghadapi ketumbangan dirinya oleh angin taufan yang melanda.

“Dalam hati mereka terdapat penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka” (QS Al-Baqarah 2:10)

Ingin menjauh, di sana dihadang hujan lebat dan air bah yang meluap deras. Ingin sembunyi, di sana disambut gempa yang dahsyat disertai letusan gunung yang menggelegar. Ingin mengungsi, di sana tidak tahan mendengar suara petir yang menyambar-nyambar membelah percikan api kilat yang menjilat-jilat.

“Yaitu api yang dinyalakan oleh Allah, yang menjilat-jilat dihati” (QS Al-Humazah 104:6-7)

“Ataukah bagaikan hujan lebat dari langit yang di dalamnya adalah gelap gulita, dan petir dan kilat” (QS Al-Baqarah 2:19)

Awan yang datang menambah kegelapan pada perjalanan, semakin pedih di dada. Sinar matahari pun tak kuasa menembus awan hitam pekat, hanya panas menyengat. Tiupan angin menerbangkan debu-debu, sering mampir di pelupuk mata. Duh! Alangkah sesatnya diri ini!

“… Mereka melupakan Allah, maka Ia melupakan mereka!” (QS Al-Baqarah 9:67).

Hari-hari bertopang dagu menggigit  jari menyesali diri, merasa asing terhadap nikmat Ilahi, menangisi kekalahanya. Penyesalan, ya penyesalan. Ratap demi ratap beku dalam kesendirian yang rahasia. Berbaring dalam ruang gelap menahan pedih di dada. Dingin mencekap semakin mempertebal selimut dosa yang melumuri tubuhnya. Duduk merunduk dengan menahan dadanya yang berasa nyeri.

Dengan tergagap, sembari mengucap kata samar “tolonglah daku,” nampaknya dia sudah terlalu banyak menguras air mata. Dengan suaranya yang lantang serak-serak berteriak-teriak minta pertolongan. Yang ini di lukiskan dalam Qur’an Suci, “… Lalu manakala kemalangan menimpa kamu, kamu berteriak minta tolong kepada-Nya” (QS An-Nahl 16:53).

Hal ini dilukisakan pula dalam  Bibel, “Mereka itu telah berteriak, tetapi seorang penolong pun tiada. Teriaknya kepada Tuhan, tetapi tiada disautnya akan mereka itu” (Mazmur 18:42)

Kiranya tiada hari yang indah, bila insan dunia ini tanpa mereguk ketenangan, ketentraman dan kedamaian yang harmonis. Kikisan air mata untuk melepaskan kejenuhan dan kesepian, namun kepahitan terus menjenguk, bila kemanisan itu hanya bersifat sementara saja.

Di antara kesepian itu ada keindahan yang pahit. Merasa dalam hatinya ada gundukan rasa resah yang membujur menelungkup di dada. Ada pula kepahitan itu menjadi nikmat. Karena dirinya merasa adalah gudang ilmunya, namun sayang, ilmu yang selama di tabungnya itu semakin membeku. Tidak terkontrol bahwa nantinya akan memporak-porandakan diri sendiri, yang akibatnya menyesatkan, makin lama makin berantakan.

Menara itu tinggi sekali menjulang, dengan kibaran panji-panji kepalsuan. Tapi sayang, tidak bisa bertahan lebih lama. Menara itu tinggal puing-puing belaka, karena ganasnya sang petir yang begitu gesit menyambar.

Jika kita mau menyimak sejenak apa yang ada di sekeliling kita, apakah itu berupa bencana, kesusahan, kekecewaan, kesukaran dan lain-lain, ini benar-benar rahmat yang besar bagi pertumbuhan jiwa kita. Hendaknya hati yang peka ini sudi merendah diri ke hadirat Ilahi.

Hujan lebat dari langit dapat menumbuhkan bumi yang mati menumbuhkan bunga-bunga yang indah dan harum baunya. Alam semesta di ciptakan untuk kita, dimaksud agar kita bisa menggunakan dengan sebaik-baiknya. Sayang sekali kita selalu jungkir balik untuk mengerti maksud kandungan tersebut.

“Sesungguhnya kami menciptakan manusia supaya mengatasi kesukaran”(QS Al-Balad 90:4).

Bencana yang menimpa kita berupa kegagalan, kesukaran, kepahitan, kesengsaraan, kekecewaan yang menyedihkan, semua itu sebenarnya, bahwa Allah dengan lambat laun mendekat kepada kita dengan memberi kesempatan yang baik bagi kita, agar kita mau membentuk watak yang telah lama rapuh. Yang itu justru merupakan rahmat yang terpendam untuk membersihkan kotoran yang melekat di dalam kalbu kita.

Kekecewaan, kegagalan, kesukaran, kesusahan, dan sebagainya itu memang menyakitkan. Dan kadang-kadang kita sendiri sulit untuk mau menerima semua itu. Karena yang dihadapi adalah teror keji yang selalu datang dalam pertumbuhan, fitnah dan caci maki terus menghantui diri dan tiada mereda, seolah-olah hati hancur terkoyak-koyak, segala umpatan terus datang silih berganti memberondong.

Tapi ingat: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Sorga, padahal kamu belum pernah menjalani seperti (apa yang dialami oleh) orang-orang yang sudah lalu sebelum kamu. Kesengsaraan dan mala petaka telah menimpa mereka, dan mereka diguncangkan sehebat-hebatnya…” (QS Al-Baqarah 2:214).

Memang bersabar, meski bersabar itu cukup mahal tebusannya, setiap hari terus menerima ejekan, sindiran yang menggigit hati sering mampir di telinga. Musik yang iramanya jazz hina semakin bergema di istana hati. Rasa pilu bagaikan disengat kalajengking.

Dengan itulah sebenarnya motivasi bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa kita yang telah lama rapuh. Kita dapat mengambil banyak pelajaran dari segala kejadian yang menyakitkan hati untuk kita jadikan tolak ukur dalam mengapai kebahagiaan. Semakin berat yang kita lakukan, semakin banyak pula kebahagiaan yang kita rasakan, dari hasil yang kita lakukan.

“… maka barang siapa berjalan benar, ia berjalan benar untuk jiwanya sendiri; barang siapa sesat ia hanya menyesatkan jiwanya sendiri….” (QS Yunus 10:108).

Ayat ini benar-benar memberi hiburan kepada kita, dan rupanya kita telah dijenguk oleh kesadaran, bahwa datangnya bencana yang menyakitkan hati itu dari tangan kita sendiri. Dan sebaliknya, dengan segala bencana dan malapetaka yang menimpa kita itu seharusnya kita jadikan cambuk bagi tenaga perbuatan kelak, dengan penuh taqwa dan iman yang kuat agar kita bisa mewarnai kesukaran itu dengan keindahan dan keelokan budi, sehingga kita mau menerima semua itu dengan lapang dada.

Sayang sekali, sekarang shalat kita sehari-hari itu kadang-kadang hanya mengulangi kata-kata saja, seperti burung kakatua, yang artinya tidak pernah kita fahami.

“Sesungguhnya beserta dengan Kesukaran adalah kemudahan. Sesunguhnya beserta dengan kesukaran adalah kemudahan.” (QS Al-Insyirah 94:5-6)

Dua kali ayat ini di sebutkan dalam Qur’an Suci, hendaknya hati yang peka ini sanggup menyelupkan diri dengan warna Ilahi.

Hinaan, umpatan, fitnah dan caci maki itu tidak membahayakan sedikit pun kepada kita, jika kita tidak mendapat kutukan Allah yang Agung. Karena tiap-tiap daya batin kita adalah kebun yang rimbun dalam keadaan terpendam. Apabila itu kita kembangkan dengan sempurna, kebun itu akan berubah menjadi lezat, dan penghuninya tentu akan melahap sepuas-puasnya. Akan tetapi jika daya batin itu kita sia-siakan atau kita salah gunakan, maka batin ini akan mengalami surut dan akhirnya berubah menjadi pohon kejahatan.

Alam semesta dengan aneka ragam isinya ini mengandung banyak kebaikan bagi kita. Namun kekeliruan dalam cara memperlakukan, maka barang itu sendirilah yang merubah menjadi kesukaran bagi kita. Dengan demikian inilah motor pendorang yang bergerak secara otomatis hendak mencari gelombang hati dengan gelombang pemancar Firman Ilahi.  Sehingga suara pemancar wahyu dapat kita tangkap  dengan  telingga hati. Dan bagi yang menangkap pun tentu mengalami evolusi diri, mau tidak mau pasti akan bergerak secara otomatis pula.

Dengan berjalan sempoyongan perlahan bangkit hendak mengorbankan diri di jalan Allah yang bijak. Akhirnya cepat kaki ringan tangan, tulus hati ramah tamah, menguatkan ikat pinggang, menyingsingkan lengan baju, merangkak perlahan di atas kerikil tajam, untuk menciptakan umat manusia tercinta menjadi “saleh dan syuhada” dengan selalu mendambakan pertolongan Allah yang Maha Penolong. Keyakinan yang mendalam akan pertolongan-Nya itulah yang menghilangkan rasa malas, takut, kecil hati dan putus asa.

Dan sebagian malam bangunlah untuk menjalankan itu, sebagai tambahan di luar yang di wajibkan kepada engkau; boleh jadi Tuhan engkau akan menaikan engkau pada kedudukan yang amat tinggi” ( QS Bani Israil 17:79).

Larut malam telah tiba, rembang mengantung makin mencekam. Seseorang berdiri merunduk, memandangi debu-debu hina, manghadap kiblat saat-saat ketegangan yang pernah membuatnya sengsara. Berulang kali ia bersujud mencium debu-debu hina itu disertai tetesan mutiara yang mengalir bening dari sudut matanya yang berbinar-binar.

Desiran angin malam senada dalam kemesraan alam, berpadu dalam situasi hening. Meronta-ronta ingin lepas dari belenggu duka. Menengadahkan tangan meminta-minta kepada-Nya, sembari menahan isak yang tersengal-sengal. Senandung asa membisikkan kata damai dalam hati, selembut sutera melambaikan tuk mengucap sembah kepada-Nya.

Semilir angin datang membelai, dengan bisik-bisik manis, “Tahajudlah, sayang. Aku ada disisimu” Bisik-Nya. Ini adalah jalan yang benar, marilah kita kerjakan sekuat-kuatnya, meskipun udaranya buruk dan airnya deras, jangan peduli.

 

  • Judul Asli: Menjilatnya Api di Pelupuk Mata
  • Penulis: Edy Sumadi
  • Sumber: Majalah Warta Keluarga GAI No. 05 Th 1987

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »