Kata i’tikaf berasal dari kata ‘akafa artinya “senantiasa berkemauan kuat untuk menetapi sesuatu atau setia kepada sesuatu” (LL).
Secara harfiah, kata i’tikaf bermakna tinggal di suatu tempat. Tetapi dalam terminologi syariat Islam, kata i’tikaf mengandung arti “bertinggal di Masjid untuk beberapa hari, teristimewa di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.”
Imam Bukhari membahas soal i’tikaf ini dalam satu bab tersendiri, yaitu bab 33, semata demi untuk menerangkan bahwa perkara ini adalah Sunnah Nabi yang patut untuk diteladani.
Bahkan, Bukhari meriwayatkan, Nabi Suci mendirikan satu bangunan khusus di halaman Masjid demi untuk keperluan i’tikaf ini (HR Bukhari 33:7).
Selama hari-hari itu, orang yang menjalani i’tikaf (mu’takif) mengasingkan diri ke Masjid, dan meninggalkan segala urusan duniawi. Ia tak beranjak dari Masjid kecuali hanya untuk memenuhi keperluan hajat, seperti buang air kecil maupan besar, mandi, dan sebagainya (HR Bukhari 33:3-4).
Tidak hanya laki-laki, tetapi perempuan juga diperbolehkan untuk beri’tikaf di Masjid (HR Bukhari 33:6). Dan mu’takif boleh menerima tamu atau dikunjungi oleh istri atau suaminya (Bu. 33:11). Sebaliknya, menurut riwayat lain, orang yang tengah beri’tikaf juga diperbolehkan mengunjungi orang sakit (HR Abi Daud 14:78).[1]
Orang boleh menjalani i’tikaf di lain hari di luar Bulan Ramadan (HR Abi Daud 14:76). Tetapi dalam Hadits, I’tikaf khusus disebutkan di hari-hari terakhir bulan Ramadan. Demikian pula dalam Qur’an, I’tikaf hanya diuraikan sehubungan dengan Bulan Ramadan.
Dinukil dari buku “Islamologi” karya Maulana Muhammad Ali. Bab Puasa, Sub Bab I’tikaf (Darul Kutubil Islamiyah, 2013)
[1] Dalam Hadits ini diuraikan bahwa orang yang sedang i’tikaf tak diperbolehkan mengunjungi orang sakit atau membantu menguburkan jenazah. Meskipun, keduanya masuk dalam katagori memenuhi hajat.
Comment here