Artikel

Perdamaian Dunia Dimulai Dari Perdamaian Antar Umat Beragama

candle burning

Bapak, Ibu dan Saudara sekalian. Assalamu’alaikum wr. wb.

Semangat Perdamaian yang digaungkan di dalam forum ini telah menggugah dan menggetarkan hati saya. Wahyu Ilahi telah turun untuk tegaknya “The Ambassador for Peace di Indonesia”. Sebuah wadah yang sangat mulia, yang bertujuan menciptakan perdamaian dan persatuan umat manusia di muka bumi yang sama-sama kita cintai ini.

Perdamaian akan menjadikan tiada lagi permusuhan di antara kita. Tiada lagi kekerasan di antara kita. Tiada lagi perceraian di antara kita. Dan tiada lagi dusta di antara kita. Semua bergerak seiring sejalan, seirama dengan damai.

Perdamaian merupakan satu-satunya hal yang memiliki kedalaman dimensi bagi kehidupan, dan merupakan sumber yang mengikat bagi bangsa yang bermarabat. Perdamaian akan menciptakan solidaritas dan persatuan antar umat beragama, antar umat berkepercayaan, antar umat berbagai warga kulit, dan antar umat berbagai suku bangsa.

Oleh karenanya, saya sangat berbesar hati, bahwa Bapak, Ibu dan Saudara yang hadir di sini adalah hamba-hamba daripada perdamaian yang sama-sama kita rindukan.

Khusus kepada Mr. Garry Ansdell, Mr. Javier Aguayo dan Mr. Dan Wooding, saya mengucapkan selamat datang. Selamat bergabung dengan kami Pecinta Perdamaian Indonesia.

Anda datang dari negeri yang jauh, dan dari bangsa yang berbeda dengan kami. Tetapi karena gelora semangat perdamaian dan rasa cinta yang anda miliki begitu berapi-api, menjadikan anda tidak melihat semua perbedaan itu. Seperti dikatakan sang nabi penyair dari Libanon, Kahlil Gibran, “bila cinta sudah berkata, maka ikutilah meski jalan yang akan ditempuh terjal dan berliku.”

Artinya, kita tak bisa menolak kehendak cinta, tetapi harus mengikutinya meski harus dengan pengorbanan.

Seperti Bapak Proklamator Indonesia, Bung Karno, sering berkata, “Jer Basuki Mawa Beya”, kemuliaan itu memerlukan pengorbanan, tapi “tidak ada pengorbanan yang sia-sia,” demikian Sir Oliver Lodge mengatakan.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Cinta kepada diri sendiri tidak harus menghancurkan orang lain. Cinta kepada rumah tangga, tidak harus merampas hak-hak tetangganya. Dan cinta kepada tanah air, tidak harus menyerang dan menjajah negara atau bangsa lain.

Ternyata jika ditelusuri, cinta dan perdamaian memiliki karakteristik yang menarik, spesifik, humanis dan beretika, yaitu “tolong menolong antar sesama umat manusia”.

Saya mohon maaf, bila saya bicara tentang “nasionalisme”. Tapi nasionalisme yang saya bicarakan di sini bukan nasionalisme dalam arti yang sempit, melainkan nasionalisme yang luas, seluas langit yang memayungi bumi kita, yaitu “nasionalisme yang mengabdi kepada kepentingan seluruh umat manusia yang ada di muka bumi yang indah ini.”

Tidak satu pun manusia di muka bumi ini bersedia dibelenggu jiwanya. Tidak satu pun manusia di muka bumi ini bersedia dirantai hatinya. Dan tidak satu pun manusia di muka bumi ini bersedia dibatasi ruang geraknya.

Dalam segala hal, semua manusia ingin mendapatkan kebebasan sebanyak-banyaknya, sebanyak udara yang dihirup oleh kehidupan, atau sebanyak air yang dibutuhkan oleh semua ciptaan Tuhan.

Maka dengan menghayati hal itu secara akrab, akan diperoleh kearifan bahwa “kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan pilihannya adalah sesuatu yang hakiki. Sehingga penjajahan, penindasan, penghancuran martabat manusia, adalah haram dan harus dihapuskan dari muka bumi.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosio-religius sudah ada sejak adanya sejarah manusia. Mereka membuka ruang kesadarannya dengan cara mencuci dirinya, mencuci hatinya, mencuci batinnya untuk melepaskan semua kotoran yang melekat pada dirinya, guna menghayati Tuhan sebagai penciptanya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama pada hakekatnya hanyalah merupakan metode atau cara yang terarah dan benar bagi manusia untuk mengenal Tuhannya.

Di dalam “Declaration of Rights of Virginia”, yang diterima pada 12 Juni 1776, kita baca pada pasal 16, “That religion, or duty wich we owe to our creator, and the manner of discharging it, can be directed only be reason and conviction, not by force of violence; and therefore all men are equally entitled to the exercise of religion according to dictates of conscience.” (Aagama dan kewajiban yang harus kita tunaikan terhadap Pencipta kita, serta cara menunaikannya, hanya dapat ditertibkan dengan nalar (fikiran sehat) dan keyakinan, tidak dengan paksaan atau kekerasaan. Dan karena itu, sekalian manusia sama berhak menjalankan agama dengan bebas menurut nasehat suara hatinya).

Di dalam revolusi Prancis lahir “Declaration des Droits de l’homme at du citoyen 1989”. Pasal 10 dari pernyataan itu berbunyi, “Nul ne doil etre inquite pour ses opinions, meme religieuses, pourvu que leur manifestation ne trouble pas l’ordre publique etabil par la Loi” (Tiada seorang pun akan diganggu karena pendapat-pendapatnya, sekalipun mengenai agama, asalkan pernyataannya tidak mengganggu ketertiban umum yang ditetapkan oleh hukum).

Di dalam Pasal 18 dari “Universal Declaration of Human Rights”, yang diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di tahun 1948, disebutkan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice and observance.” (Tiap orang berhak bebas berfikir, berangan-angan maupun beragama. Hak itu meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaannya. Dan kebebesan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum atau dengan sendirinya, menyatakan agama atau kepercayaannya dalam perbuatan mengajarkannya, praktek, ibadah dan perbuatan menjalankannya).

Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian. Dari ketiga deklarasi dunia di atas dapat disimpulkan bahwa agama bukanlah agama bila tidak lahir dari keyakinan yang keluar dari mata hati manusia itu sendiri. Maka selaras dengan martabat yang tinggi itu, manusia harus diberi kebebasan sepenuhnya tanpa suatu tekanan atau desakan atau umpan pemikat untuk menentukan pilihan batinnya.

Jadi, kebebasan berfikir dan kebebasan beragama merupakan asas yang harus kita bela. Dengan juga penghormatan kepada semua agama dan pemeluknya merupakan satu hal yang harus kita junjung tinggi. Sehingga apabila ada seseorang yang mengatakan bahwa hanya agama yang dianutnya saja yang merupakan satu-satunya agama yang benar adalah sangat keliru.

Kita sering malas untuk berfikir tentang makna-makna agama, tetapi amat disayangkan apabila hal tersebut kita tinggalkan. Kita harus berfikir bahwa agama pada dasarnya adalah metode atau cara untuk “mendapatkan cinta kasih Tuhan dengan cara memberikan cinta kasih kita kepada semua ciptaan-Nya.”

Jadi, perlakuan kita terhadap sesama manusia itu harus dilakukan tanpa mengenal agama, keyakinan ataupun kepercayaan, dan juga bukan sekedar melampiaskan perasaan atau hawa nafsu, melainkan merupakan hasil “pemikiran yang dalam yang didasari pada norma-norma, baik norma agama, sosial, etika atau pun hukum”, dan harus dilakukan melalui penghayatan kepada Tuhan selaku Sang Pencipta.

Dalam hal ini saya lebih senang menyebut sebagai “kecerdasan berfikir yang dilandasi penghayatan ketuhanan,” yaitu pola pikir yang mendasarkan kepada sifat-sifat kebenaran.

Maka selaras dengan martabat yang tinggi itu, kita tidak dibenarkan membelenggu kebebasan seseorang yang sedang mencari cinta kasih Tuhan dengan cara menekuni dan menjalankan agama, keyakinan atau kepercayaan yang dipilihnya, yang antara lain meliputi: jalan mana yang akan ia tempuh, azas mana yang akan ia pakai, norma mana yang akan ia pilih, cara bagaimana yang ia akan gunakan, nilai mana yang akan dijunjung tinggi, untuk memuja Tuhannya.

Semuanya harus kita hormati dan kita beri kebebasan seluas-luasnya. Sehingga bila ada gedung-gedung tempat ibadah, seperti Masjid, Gereja, Kuil, Kanisah bahkan Biara sekalipun diserang, maka kita wajib melindungi dan mengamankan, meski harus dengan mengorbankan jiwa raga.

Dengan demikian, menempatkan azas kemerdekaan untuk memeluk agama yang dipilih sendiri dan penghormatan kepada keluhuran kepribadian manusia pada tingkat yang setinggi-tingginya, harus kita hormati dengan baik.

Fathurrahman Irshad (kelima dari kiri), delegasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dalam forum Ambassador For Peace di Jakarta, September 2014

Bapak, Ibu dan Saudara sekalian. Saya ingin bercerita sedikit tentang kerukunan beragama dan penghormatan pada keluhuran pribadi manusia dalam menciptakan persatuan dan kesatuan di Indonesia.

Sejak dahulu kala, beribu-ribu tahun yang lalu, ketika Indonesia berbentuk kerajaan, seperti pada zaman kerajaan Majapahit, Kediri, Sriwijaya, dll., rakyat Indonesia sudah menanggalkan segala sifat fanatisme, seperti fanatisme agama, kepercayaan, adat istiadat, daerah, cara hidup, kultur, kebangsaan, darah dan ras, untuk hidup di bawah satu payung pemerintahan dan dalam satu ketatanegaraan dengan rukun dan damai.

Mereka mewujudkannya dengan membangun sifat tolong menolong, saling menghormati, baik dalam menjalankan agama atau kepercayaan, atau dalam menjalankan kegiatan yang lain.

Adalah tradisi pada masyarakat muslim di Maluku, saling tolong menolong dan gotong royong membantu pembangunan Gereja sebagai tempat ibadah kaum Nasrani, dan kaum Nasrani saling juga bahu membahu dan gotong royong membantu pembangunan masjid, sebagai tempat ibadah umat Muslim.

Demikian juga pada masyarakat yang lain, para pemeluk agama yang berbeda saling menghormati dan saling bantu membantu.

Tapi akhir-akhir ini saya sering bersedih hati, ketika menyaksikan tindak kekerasan yang berdalih agama dengan menghancurkan tempat-tempat iabdah atau bahkan membantai penganutnya.

Seperti yang terjadi di Ambon, yang dulu aman sentausa. Juga di Poso, Sulawesi. Di Cikeusik, Jawa Barat, tempat ibadah dihancurkan dan penganutnya dibantai dengan cara yang tidak manusiawi.

Di Nusa Tenggara Timur, masyarakat Muslim dalam kuantitas yang kecil dihalangi untuk membangun Masjid, dan di Aceh terjadi penghalangan terhadap kaum minoritas untuk membangun Gereja.

Di Bekasi, sebuah Gereja dirobohkan. Dan terakhir, saya dengan sebuah masjid di Sukabumi ditutup penguasa, membuat saya sedih karena bertolak belakang dengan perdamaian antar umat beragama yang saya impikan.

Itu semua karena dipicu oleh bangsa sendiri yang tidak memiliki pola pikir yang baik, dan adanya campur tangan bangsa lain yang memiliki kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik dan kepentingan ekonomi, atau hanya karena tidak senang menyaksikan adanya kerukunan rakyat dan umat beragama di Indonesia.

Bapak, Ibu dan Saudara sekalian. Semua memerlukan renungan kita. Dan perdamaian yang kita cita-citakan akan terlaksana bila kita jalankan dengan tulus ikhlas dan keluar dari lubuk hati yang paling dalam agar Tuhan bersedia campur tangan serta merestui apa yang sama-sama kita rindukan.

Oleh karenanya saya berharap agar setiap perbuatan yang kita lakukan harus sesuai dengan nalar (fikiran sehat) atau atas dasar “kecerdasan berfikir yang dilandasi penghayatan ketuhanan.”

Demikian sekelumit isi hati saya. Bila pertemuan ini telah usai, dan bapak, ibu dan Saudara sekalian harus pulang kembali ke rumah masing-masing, sampaikan salam hangat saya untuk keluarga.

Tidak ada kata-kata berpisah, yang ada hanya kata, “sampai jumpa lagi.”

Oleh: Fathurrahman Irshad

Disampaikan dalam acara “Rapat Kerja Ambassador For Peace untuk Indonesia”, yang diselenggarakan pada 26-28 September 2014 di Hotel Arya Duta, Jakarta.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »