Artikel

Tadabbur Al-Qur’an Sebagai Kewajiban Intelektual Untuk Memperoleh Pengertian Yang Benar Tentang Agama

high angle shot of woman in brown hijab reading quran on a tablet

Mengapa kita diharuskan memikirkan makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Qur’an Suci dan diharuskan berusaha memperoleh pengertian yang jelas tentang apa yang ada di dalamnya itu? Sebab, kita memiliki kewajiban intelektual untuk berusaha memperoleh pengertian yang benar dalam beragama.

Kehidupan moral dan spiritual, sosial dan ekonomi, serta politik dan budaya kita, sebagai manusia seumumnya, banyak sekali bergantung kepada iman, pandangan, ide, pengertian, asas, norma dan nilai mana yang kita yakini, kita fahami, kita akui kebenarannya, dan kita pergunakan sebagai motif dan dasar bagi perbuatan-perbuatan kita di dalam lapangan kehidupan mana pun juga.

Karena itu, keyakinan itu kita musti kita peroleh dari hasil pemeriksaan, penelitian, dan pertimbangan atas ajaran-ajaran itu, dengan mempekerjakan daya-daya akal dan mempergunakan ilmu secara bebas dan efektif, bersifat teguh, tidak dangkal dan statis. Dan bukan keyakinan yang dipaksakan atau yang dicapai dengan jalan bertaklid buta kepada pendapat orang lain, atau dengan kata lain, memperbudakkan intelektualitas kepada orang lain.

Dengan keyakinan yang didapat melalui proses semacam itu, orang tak akan mudah terombang-ambing oleh faham, pandangan, teori, ideologi atau sistem hidup yang lain.

Tetapi janganlah orang memandang setiap perbedaan faham, sanggahan, kritik, keragu-raguan, yang bisa saja timbul dalam hati seseorang tentang kebenaran pendapat orang lain, yang diakibatkan oleh penggunaan akal secara bebas dan kritis itu, sebagai suatu keangkuhan atau sebagai suatu tanda kemunduran, apalagi sebagai kemurtadan.

Selama kita berpegang teguh kepada kepentingan bersama dan kepada tujuan hidup yang harus diusahakan tercapainya bersama-sama atas dasar ajaran, asas, norma dan nilai pokok yang sama pula (QS 3:6), dan tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri, selama itu pula perbedaan faham, sanggahan dan keragu-raguan yang jujur itu berharga, karena merupakan suatu jaminan bagi kemajuan.

Sebabnya, kelemahan manusia bukan saja terletak pada kemungkinan dia berbuat atau berpendapat salah. Kelemahannya terletak juga pada kenyataan bahwa dia acapkali justru tidak insaf akan kelemahannya sendiri.

Pada hemat kami, itulah salah satu makna yang terkandung dalam peringatan Nabi Suci Muhammad saw., bahwa perbedaan itu adalah rahmat (ikhtilaafu ummati rohmatun). Sabda Nabi ini direfleksikan dua abad kemudian oleh Ibnu an-Nadim (wafat 845 M), dengan mengumumkan kepada khalayak intelektual di masanya bahwa syarat mutlak pertama bagi pengetahuan adalah justru keragu-raguan itu.[1] Dan karena itu, kemudian majulah cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para sarjana Islam dalam abad pertengahan.

Dan baru dua belas abad sepeninggal Nabi Suci Muhammad saw., prinsip yang sifatnya umum itu kita dapati dikemukakan di Eropa dalam bentuk yang khusus mengenai ilmu pengetahuan. “La critique est la cie de la science”. Sanggahan adalah kehidupan ilmu pengetahuan (Causin). Ilmu pengetahuan maju justru karena selalu ada usaha untuk menggantikan teori-teori yang telah lampau, yang ternyata salah, dengan teori yang dipandang lebih mendekati kenyataan.

Quran Suci berulang kali memperingatkan kita supaya mempergunakan kemampuan akal kita dengan cara yang sebaik-baiknya, antara lain dalam mempelajari, mengkaji dan memahami Al-Qur’an.

“Tidakkah mereka ber-tadabbur (berulang-ulang mempelajari, meneliti, menyelami, merenungkan dan berusaha memahami) tentang apa yang disabdakan (Tuhan) kepada mereka di dalam Qur’an?” (QS 23:68; lihat juga QS 4:82, 47:24, 38:29, 12:12, 67:100)

Istilah lain selain tadabbaruun yang digunakan oleh Quran Suci adalah “tafakkaruun” (artinya: merenungkan, menimbang-nimbang) dan “tafaqqahuun” (artinya: mengusahakan diri untuk memperoleh pengertian tentang agama) (QS 9:122).

Di samping itu, orang-orang yang tidak mau mempergunakan kuasa-kuasa rohani mereka untuk berfikir atau bermenung, dicela dengan keras oleh Allah di dalam Quran Suci. “Dan sesungguhnya, yang paling keji di antara binatang pada pandangan Allah adalah orang-orang yang tuli, bisu, dan tak pandai memahami dengan akal mereka.” (QS 8:22; lihat juga QS 7:179, 25:44)

Apakah akibatnya jika suatu kaum tidak mau mempergunakan daya-daya fikirnya dengan cara bebas dan kritis? Qur’an dengan indah membuat kalam ibarat, “Orang-orang yang dibebani Taurat, kemudian tidak menjalankannya, ialah ibarat keledai yang memikul kitab-kitab …” (QS 62:5; lihat juga QS 59:14-15, 40:58, 2:171).

Mengapa kita diharuskan berfikir, menimbang-nimbang, dan merenungkan, bila membaca Quran Suci atau bila mendengarkannya? Karena memang itulah fungsi akal manusia!

Akal dianugerahkan kepada manusia tidak supaya dimiliki saja, tanpa digunakan untuk berfikir. Tidak pula untuk menjejalkan, menimbun dan menyimpan ke dalamnya sebanyak mungkin pengetahuan semata (verbalisme). Melainkan supaya dipergunakan dengan cara yang sebaik-baiknya: yakni untuk mencari, menemukan, memahami, menangkap dan menguasai makna-makna, ide-ide dan hubungan-hubungan serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari pengetahuan-pengetahuan itu.

Qur’an Suci adalah sebuah kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan “bagi orang-orang yang tahu” (QS 41:3), bahwa yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad saw. dari Dzat Yang menciptakan, memelihara dan memimpinnya kepada kesempurnaan itu ialah kebenaran (QS 13:19).

“Orang yang tahu” (ulil albab) itu adalah orang-orang yang mempunyai dan mengerjakan daya-daya penangkapan makna, ide dan pengertian atau daya fikirnya secara abstrak (mujarrad) dan kritis. Mereka adalah orang-orang yang dianugerahi hikmah (QS 2:269),[2] dan karenanya mengingat-ingat dan tak mengabaikan Quran Suci dalam kehidupan mereka sehari-hari (QS 38:29, 39:3).

Tiap-tiap asas pokok yang perlu bagi kesejahteraan rohani manusia diterangkan dalam Quran Suci (QS 16:89) dan bagi petunjuk yang diberikan itu, dikemukakan pula alasan-alasannya yang lengkap (QS 2:185). “Dan tiadalah mereka itu dapat mengemukakan kepada engkau suatu pertanyaan, melainkan telah kami berikan kepada engkau kebenaran dan sebaik-baik keterangan” (QS 25:33).

Jadi, Quran Suci bukan saja mengandung jawaban atas sekalian keberatan tentang ajaran-ajarannya, melainkan mengemukakan juga alasan-alasan tentang kebenaran pernyataan-pernyataannya.

Akan tetapi hendaklah kita camkan benar-benar bahwa perintah Allah supaya mendayagunakan kemampuan akal dalam lapangan agama dan hukum itu sekali-kali tidak berarti menjadikan sekalian ajaran agama semata-mata hanyalah bersifat intelektualistis atau rasionalistis saja. Tidak pula perintah itu berarti bahwa Quran Suci memandang akal atau intelegensia sebagai satu-satunya pusat pengalaman rohani manusia, seperti anggapan orang Barat sejak zaman Rene Descartes (1596-1650).

Dalam perspectif Descartes, kita harus memandang suatu ajaran tak benar kalau tak dapat diterima oleh akal atau “tak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah,” atau jika ajaran itu tak dapat dinyatakan dengan istilah-istilah yang dapat difahami oleh “akal sehat.”

Sudah sejak abad pertengahan, orang Barat memandang akal itu sebagai daya yang maha kuasa (supreme), sedemikian rupa sehingga di sana ahli-ahli agama berusaha membuktikan adanya Tuhan dengan dalil-dalil atau argumen-argumen yang mereka susun menurut logika deduktif ajaran Aristoteles (384-322 SM). Seakan-akan Allah memerlukan pertolongan dan pembuktian dari makhluk-makhluk-Nya untuk menyatakan eksistensi-Nya.

Salah faham tentang maha kuasanya akal (supremacy of reason) yang sesudah zaman Descartes merajalela di Barat sepanjang abad ke-18 dan ke-19, dan yang ditanamkan pula di hati kaum terpelajar di daerah-daerah jajahan melalui pendidikan dan pengajaran secara Barat itu, menelurkan suatu kekeliruan yang besar sekali. Yakni anggapan seakan-akan alam peristiwa-peristiwa (world of phenomenon atau perceptual world) dan alam kebendaan (material world) itu ialah satu-satunya alam kenyataan (world of reality).

Maka malapetaka kesalahfahaman ini akhirnya menjadi tempat materialisme berurat berakar dan tumbuh dengan suburnya, dan ikut pula menyebabkan munculnya paham ateisme, kapitalisme, marxisme dan komunisme, serta sikap skeptis dan apatis, atau ketidakpedulian, akan agama.

Pengetahuan dan intelegensia adalah unsur-unsur yang penting dalam akhlak (budi pekerti) yang sudah matang. Akan tetapi pengetahuan dan intelegensia saja tidaklah cukup, sebab orang-orang yang cerdik kadang-kadang bisa menjadi jahat dan dapat mempergunakan pengetahuan dan intelegensinya untuk tujuan-tujuan merusak, pertama-tama dirinya sendiri kemudian orang lain.

Kalau Quran Suci mengharuskan kita menyelami ajaran-ajarannya sedalam-dalamnya dengan akal, maka hal itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Kitab Suci itu mengangkat akal manusia menjadi daya rohani yang paling penting, yang memungkinkan manusia mengetahui dan memahami seluruh segi (aspek) dari hakikat kenyataan (realitas), memecahkan segala macam kesulitan yang dihadapi dalam hidupnya, dan menunjukkan kepadanya jalan yang tepat menuju arah kesejahteraan dan kebahagiaan sejati.

Tak seorang ahli dalam lapangan ilmu pengetahuan yang mana pun tahu, misalnya, tentang mekanisme atau seluk beluk sesuatu proses atau peristiwa (fenomena). Ilmu pengetahuan tak mungkin dapat mengetahui ciri-ciri asli (intrinsic nature) dari hakikat kenyataan (reality), yang menjadi dasar (subtratum) peristiwa-peristiwa yang ditelitinya.

Yang bisa diketahuinya dari fenomena itu bukanlah peristiwa-peristiwa itu sendiri, melainkan semata sifat-sifatnya yang dapat diukur dan sesuatu yang disebut subjective mental constructs, yaitu suatu susunan yang dihasilkan oleh proses-proses yang rumit dalam otak-benak manusia, yang menjalin rangsangan-rangsangan dari luar menjadi kesan-kesan indera (sense impressions) yang baru, dan mempersatukannya dengan yang lama sehingga tersimpan dalam ingatannya.

Quran Suci mengajarkan dengan tegas bahwa Allah “menciptakan tiap-tiap sesuatu, kemudian menentukan ukuran baginya” (lihat QS 25:2, 80:19, 65:3). Ini mengisyaratkan bahwa kemampuan dan kemungkinan daya akal manusia pun ada batasnya, yang tak mungkin dilampauinya.[3]

Selain mengajarkan bahwa akal manusia itu tak besar kuasanya, Quran Suci juga memperingatkan manusia supaya berusaha meningkatkan taraf pengetahuannya dari ilmul-yaqin (keyakinan yang diperoleh dengan menimbang-nimbang dan menarik kesimpulan dari suatu fenomena) kepada ‘ainul-yaqin (keyakinan yang diperoleh dengan pengamatan), dan berujung kepada haqqul-yaqin (keyakinan yang diperoleh dengan mengalami sendiri) (lihat QS 102:5-7, 56:95, 69:51).

Quran Suci juga menarik perhatian kita kepada adanya proses-proses rohani yang sifatnya tidak rasionalistis. Tingkatnya jauh lebih tinggi daripada proses-proses aqliyah (proses yang berjalan menurut prinsip-prinsip logika).

Yang teramat sangat besar pengaruhnya pada tingkah laku manusia adalah proses-proses rohani yang hanya dapat dipandang dan difahami dari sudut daya-daya kesadaran (conscious powers). Pada kebanyakan manusia, daya kesadaran itu tetap terpendam dalam jiwa mereka sebagai “keadaan potensial,” karena tak pernah dipergunakan dan diperkembangkan dengan sadar dan sengaja.

Daya kesadaran itu, sebagaimana diamanatkan oleh Tuhan, dapat diperkembangkan melalui tiga tingkat perkembangan pokok: an-nafs al-ammarah (tingkat hewani, QS 12:53), an-nafs al-lawwamah (tingkat insani, QS 75:2), dan an-nafs al-muthmainnah (tingkat spiritual, QS 89:27).

Berdasarkan keterangan singkat di atas itu, jelas bahwa pengertian yang benar tentang ajaran-ajaran Quran Suci hanya dianugerahkan kepada orang-orang yang hatinya (jiwa, akal, intelegensinya) bersih dari pengaruh proses-proses rohani yang negatif dan proses-proses asosiasi yang tak terkendalikan.

“Dan sesungguhnya, itu ialah Quran yang penuh kebaikan (bagi umat manusia), dalam sebuah Kitab yang terpelihara (dari segala usaha dalam tulisan), yang tiada seorang pun dapat menyentuhnya (memahaminya), kecuali orang-orang yang dibersihkan (jiwanya). Wahyu dari Dzat yang menciptakan, mengatur, memelihara dan memimpin serwa sekalian alam kepada kesempurnaan.” (QS 56:77-80).[]

Dinukil dan diselia dari mukadimah buku “Intisari Quran Suci” karya Soedewo P.K., Darul Kutubil Islamiyah, 1989. Di bawah sub judul “Kewajiban intelektual untuk berusaha memperoleh pengertian yang benar dalam agama.”


[1] Lihat dalam Philip K. Hitti, History of the Arabs, London, 1946 hlm 430

[2] Hikmah adalah pengetahuan tentang penafsiran Quran dan mengatakan apa yang benar tentang itu (TA). Pengetahuan tentang perkara-perkara yang baik dan melakukannya, pengetahuan tentang perkara-perkara yang teramat baik sekali dengan jenis pengetahuan yang teramat baik sekali (TA)

[3] Tentang hal ini lihat misalnya Saxe Commins & Robert N. Linscott (ed.): Man and the Universe: The Pihlosopher of Science, New York, 1954; J.W.N. Sullivan: The Limitations of Science,a Mentor Book, 1957; A.N. Whitehead: Science and the Modern World,a Mentor Book, 1957; Karl Pearson: The Grammar of Science, Everyman’s Library 939, 1952; Bertrand Russel: Our Knowledge of the External World, a Mentor Book, 1956; dan George Allen and Unwin Ltd.: Human Knowledge, Its Scope and Limits, London, 1956.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »