Artikel

Manusia Beradab

Manusia adalah apa yang diperbuat dalam usahanya mencapai tujuan-tujuannya. Wataknya akhirnya bercorak sesuai dengan perbuatan-perbuatannya, bukan seperti apa yang dikehendaki atau yang diinginkannya.

Itu adalah suatu hukum yang hanya dapat dilanggar dengan mengkhianati nilai-nilai akhlak (moral). Sebab suatu tujuan, dan cara mencapainya itu, berjalin secara organis. Artinya, secara fungsional keduanya tak dapat dipisahkan.

Sehingga kalau perbuatan-perbuatan seseorang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai hidupnya, maka pribadinya menjadi belah (divide personality).

Bagaimana mungkin orang yang menindas kemerdekaan perseorangan akan bisa memelihara kemerdekaan?

Bagaimana mungkin suatu sistem hidup (way of life) yang menganjurkan supaya manusia berkata bohong, dan mempergunakan cara-cara  yang tidak jujur dan kejam asalkan tujuan tercapai, akan dapat menciptakan dunia baru yang lebih baik dan damai?

“Tujuan menghalalkan cara” (ends justify the means), atau “tujuan yang baik memaafkan penggunaan cara-cara jahat”, adalah ajaran dari Barat, dan jadi moralitas atau disiplin komunisme dan fasisme, yang jelas terang merusak akhlak manusia.

Untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu bertemu dengan Allah (QS 84:5), syarat yang tak boleh tidak dan harus dipenuhi manusia adalah melaksanakan perbuatan-perbuatan baik (QS 18:11).

Mengapa perbuatan baik? Sebab perbuatan baik itu lestari (QS 18:46, 19:76). Ia dapat meniadakan perbuatan jahat (QS 11:114, 64:9), dan bersifat tumbuh hingga bertambah-tambah menjadi banyak (QS 334:39, 4:40, 10:26, 2:261). Sebab, Allah itu Asy-Syakir (QS 4:147).

Tiap-tiap perbuatan, baik maupun buruk, kecil maupun besar, ada pengaruh dan akibatnya kepada batin kita (QS 34:3). Dan perbuatan-perbuatan baik mempersiapkan batin kita untuk tumbuh dan berkembang, yang akhirnya menjadi tubuh rohani dari jiwa kita di akhirat (QS 87:10, 13).

Itulah sebabnya manusia diwajibkan menyatakan (mewujudkan) sifat-sifatnya yang baik dengan perbuatan yang baik (QS 11:7, 67:2, QS 5:48), dan menyesuaikan perbuatannya itu dengan perkataannya (QS 2:44, 61:2-3).

Perhatian kita harus diarahkan ke luar, kepada tujuan di luar diri kita sendiri, dan tujuan-tujuan yang melampaui diri kita sendiri. Minat kepada perkara-perkara yang di luar diri kita harus lebih besar daripada diri kita, dan akhirnya kita harus dapat lupa akan diri kita sendiri, terbenam dalam pengabdian kepada perkara-perkara yang lebih besar dan lebih luhur dari hidup kita sekalipun.

Jika ada sesuatu, yang kepadanya kita terutama sekali harus mengabdikan diri, maka sesuatu itu bukanlah diri kita sendiri, bukan kebajikan dan kebaikan sendiri, dan bukan pula kemuliaan atau kesempurnaan diri sendiri.

Manusia itu makhluk sosial. Artinya, tak ada perwujudan dan perkembangan yang sejati dari sifat-sifat kepribadiannya, yang tidak membawa serta perkembangan dan kemajuan orang lain.

Semakin luhur dan semakin murni motif pengabdian diri kita untuk kemaslahatan banyak orang lain, maka makin sempurna pula pengaruh dan akibatnya pada batin kita sendiri.

Pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan manusia dalam lapangan akhlak rohani justru terletak pada pengabdian dirinya kepada perkara-perkara di luar kepentingannya sendiri, berupa perhatian dan pengabdian dirinya kepada pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan sesama manusia.

Perhatian dan pengabdian diri kepada perkara-perkara itu dapat demikian besarnya, sehingga ia lupa akan dirinya sendiri dan terbenam di dalamnya.

Maka tanpa harus membuat kesehatan dan kesejahteraan batin sendiri sebagai tujuan, perkara-perkara pengabdian kepada orang banyak itu akan memelihara dan memperkembangkan kesehatan dan kesejahteraan struktur batin manusia itu dengan sendirinya.

Semakin banyak dan semakin tinggi perkara-perkara yang kita lakukan untuk kebaikan orang lain, maka semakin banyak dan semakin tinggi pula perkara-perkara yang dapat mendatangkan kebaikan yang setinggi-tingginya kepada diri kita sendiri.

Perbuatan yang sifatnya tidak mementingkan diri sendiri, melainkan mengutamakan kepentingan dan kebaikan umum itu, hendaknya di mana-mana menjadi tujuan kita. Karena, berdasarkan Firman Allah di QS 6:163, teranglah bahwa yang disebut orang yang beradab itu ialah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri!

Dinukil dan diselia dari buku “Intisari Quran Suci” karya Soedewo P.K. (Darul Kutubil Islamiyah: 1965)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »