Edisi KemerdekaanTokoh

Minhadjoerahman Djojosoegito (1889 – 1966)

Nama lengkapnya Raden Ngabehi Haji Minhadjoerrahman Djojosoegito. Lahir 16 April 1889 dan wafat 21 Juni 1966. Beliau adalah Putra pertama Kyai Raden Nganten Mangunharso, seorang naib di daerah kelahirannya, Sawit, Boyolali. Djojosoegito memiliki hubungan kekerabatan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama, melalui Nyai Napikah, istri Hasyim.

Silsilahnya dapat ditelusuri demikian. Kyai Ropingi, Penghulu di Magetan, berputera beberapa orang, di antaranya Kyai Muhammad Ilyas di Sewulan, Madiun dan Kyai Hasan Mustaram, Penghulu Naib di Slagreng, Magelang. Kya Hasan Mustaram memiliki beberapa orang putra, antara lain Raden Nganten Mangunharso, ayahanda Djojoseogito.

Kyai M. Ilyas Sewulan beranak dua orang. Yang pertama Nyai Napikah, yang kemudian menikah dengan Kyai Hasyim Asy’ari, Tebuireng dan melahirkan K.H. Wahid Hasyim (ayahanda Abdurrahman Wahid — Gus Dur); seorang lagi bernama Kyai Qalyubi, Penghulu Surabaya, ayah dari K.H. Muh. Ilyas (Menteri Agama pasca Wahid Hasyim). Lihat silsilah Djojosoegito di sini.

Sedari kecil hidup dalam lingkungan pesantren dengan nuansa keagamaan yang cukup kental. Dalam pengantar Qur’an Djarwa Djawi, beliau menulis:

“Saya, Djojosoegito, meskipun dari kecil adalah seorang santri, berkat bimbingan orangtua serta pendidikan pesantren, namun sebetulnya dalam menjalankan syari’at Islam, saya ini sampai sekitar tahun 1915 boleh dikatakan hanya ikut-ikutan saja tanpa ilmu. Namun berkat kemurahan Alah SWT, seorang lim besar di Kauman, Surakarta, yakni K.H. Ahmad Hisyam Zaini, yang baik hati, telah membimbing saya selama kira-kira 4 tahun. Di sanalah, sedikit demi sedikit, mulai terbit fajar pengetahuan saya tentang Islam.”

Juga dalam surat beliau tertanggal 8 Desember 1956 ada tertulis:

“Mulai kecil diasuh dan dibimbing oleh ibu dan ayah saya dalam hidup beragama dan oleh paman saya, misalnya: K. Imam Barmawi, K. Zainal Muchtaram dan oleh kyai-kyai lainnya, misalnya: K. Djumali, Thahir, Na’im, dll. Hidup saya di pondok pesantren beberapa lamanya, rupanya pengaruhnya tak ada akan hilang-hilangnya.”

Tahun 1920, Djojosoegito bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah dan mendapat bimbingan langsung dari K.H. Ahmad Dahlan hingga akhir hayat beliau. Tahun 1923, bersama anggota persyarikatan lainnya, mendirikan Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah, dan menjadi Ketua Majelis yang pertama.

Pengurus Muhammadiyah [1918-1921]
Pengurus Muhammadiyah [1918-1921]
Sejak tahun 1922, Djojosoegito mulai mengenal dan mempelajari Islam dari buku-buku yang diterbitkan oleh Ahmadiyah Lahore, Woking Muslim Mission & Literary Trust, dan Ashraf Publication. Beliau juga belajar langsung kepada Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, yang datang pada tahun 1924 di lingkungan Muhammadiyah. Terkait dengan hal ini beliau menulis:

“Terbukanya mata akan dunia Islam, terutama mula-mula saya dapat dari Kyai Ahmad Hisyamzaini, Kyai H. Ahmad Dahlan (Pendiri dan Pemimpin Muhammadiyah). Apalagi setelah saya menerjunkan diri ke dalam Muhammadiyah tidak kurang 8 tahun. Tahun 1921/1922, sudah mulai saya dengar nama Ahmadiyah.

Dengan kedatangan muballigh Ahmadiyah (Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig), mulailah saya mendapat pengertian tentang Ahmadiyah (1923-1937). Yang amat menarik hati kami ialah keberaniannya membuka HAQ keinginan Islam dan Rasulullah di negeri-negeri Kristen, yang selama ini selalu menindas dan memusuhi Islam dan muslimin serta nabinya, karena tidak menginsafi keindahannya.

Kesempatan sekarang ini kami pergunakan untuk bersyukur kepada Allah atas keikhlasan beliau-beliau ini semua yang akibatnya bisa membentuk jalan hidup kami, turut menyiarkan dan membela Islam dan nabinya.” (Surat Djojosoegito di Yogyakarta, tertanggal 8 Desember 1956).

Tahun 1925, bersama Moeh. Hoesni, beliau mendirikan Moeslim Broederschaap dan menerbitkan Majalah Correspondentie Blad yang memuat wacana keahmadiyahan. Pada tahun 1926, Haji Rasul, ayah dari Hamka, mengadakan dialog terbuka dengan  Mirza Wali Ahmad Baig. Perdebatan ini menjadi awal terkucilnya Djojosoegito dari lingkaran petinggi Muhammadiyah. Pada 5 Juli 1928, Muhammadiyah menerbitkan Maklumat yang melarang adanya pengajaran paham Ahmadiyah di dalam lingkup Muhammadiyah. Djojosoegito, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Purwokerto, dikeluarkan dan dicopot dari jabatannya.

Djojosoegito dan kawan-kawan kemudian mendirikan organisasi baru bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore. Organisasi ini dibentuk pada 10 Desember 1928 dan resmi diakui pemerintah pada 4 April 1930.

Buah karya Djojosoegito, antara lain Qur’an Suci Djarwa Djawi, Wedharing Sabda Kawasa, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, Pengertian Ahmadiyah, dll.[]

Lihat foto keluarga Djojoseogito Tahun 1957 di sini

Artikel Terkait:
Sejarah Singkat GAI
Sebuah Era Dengan Kejadian-Kejadian Penting

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here