ArtikelRamadhan

Puasa Sarana Latihan Menjadi Manusia Pengendali Nafsu

man praying in mosque

Menurut Islam, puasa terutama sekali dilakukan untuk melatih disiplin rohani atau spiritual. Dalam setidaknya dua ayat, yakni QS 9:112 dan 66:5, Qur’an Suci menyebut orang yang berpuasa sebagai musafir rohani (saih).

Istilah saih ini berasal dari kata saha, yang makna aslinya adalah bepergian. Imam Raghib, dalam kitab Al-Mufradat fi Gharibil-Qur’an, menyatakan bahwa seseorang disebut saih manakala ia menjauhkan diri bukan saja dari makan dan minum, melainkan juga dari segala macam kejahatan atau kemaksiatan.

Dalam ruku’ yang membicarakan soal Puasa Ramadhan, Qur’an Suci mencantumkan satu ayat khusus, yang menerangkan kedekatan Allah dengan manusia seumumnya (QS 2:186). Dan yang dituju oleh puasa sejatinya adalah itu, yakni menjadi bertambah dekatnya manusia kepada Allah.

Kalimat terakhir dari ayat khusus itu berbunyi, “Maka hendaklah mereka (manusia semuanya) memenuhi seruan-Ku (dengan menjalankan puasa), dan beriman kepada-Ku, agar mereka menemukan jalan yang benar.” (QS 2:186).

Dalam Hadits ditekankan juga bahwa tujuan puasa adalah semata untuk menggapai ridla Ilahi. “Orang (diperintah) menjalankan puasa di bulan Ramadan, supaya ia beriman kepada-Ku dan mencari keridlaan-Ku” (HR Bukhari 2:28).

Dalam Hadits lain, Nabi Suci bersabda, “Puasa adalah perisai. Karena itu, hendaklah orang yang tengah berpuasa tidak berbicara kotor … Dan sungguh, bau mulut orang yang puasa itu lebih harum, menurut Allah, daripada minyak kesturi. Sebab, ia berpantang untuk makan, minum dan mengumbar syahwat, semata-mata untuk mencari keridlaan-Ku. Sungguh, puasanya hanyalah untuk-Ku” (Bu. 30:2).

Tak ada godaan yang lebih besar daripada godaan untuk menuruti nafsu makan dan minum manakala makanan dan minuman itu tersedia. Tetapi bagi orang yang berpuasa, godaan itu dapat diatasi, bukan hanya sehari dua hari, melainkan berhari-hari bahkan hingga satu bulan lamanya. Tiada lain tujuannya kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pelaku puasa bisa saja melahap hidangan lezat yang tersedia untuknya, tetapi ia tetap memilih bertahap dalam laparnya. Boleh jadi ia berhadap-hadapan dengan minuman segar, tapi ia bersikeras menahan dahaga dan mengeringkan tenggorokannya. Ia tak mau menyentuh makanan dan minuman itu, semata-mata karena ia sadar bahwa ia tengah menjalankan perintah Allah.

Bahkan meskipun ia tengah berada di dalam rumah yang sepi, di tempat dimana tak mungkin ada orang yang tahu bahwa ia bisa membasahi tenggorokannya dengan segelas minuman segar, ia tetap enggan memasukkan air minum itu meski setetes ke dalam mulutnya. Sebab, dalam batinnya telah berkembang perasaan dekat kepada Allah, dan setia dalam ketaatan kepada-Nya.

Maka apabila datang godaan, ia pasti dapat mengatasinya, karena saat itu juga suara batinnya akan berkata, “Allah ada di sampingku, dan Ia melihatku.”

Maka, tak ada ibadah lain yang dapat mengembangkan perasaan dekat kepada Allah dan perasaan berada di samping-Nya, selain ibadah puasa yang dijalankan terus-menerus selama satu bulan lamanya.

Bagi sebagian orang, eksistensi Allah boleh jadi masih dalam tahapan keyakinan. Tetapi bagi orang yang berpuasa, eksistensi Allah adalah sebuah realitas. Tahapan iman sedemikian ini hanya dapat dicapai melalui disiplin rohani, yang menjadi dasar dilaksanakannya puasa.

Puasa mendorong manusia pada kesadaran akan adanya hidup yang bernilai tinggi, lebih tinggi daripada hidup yang bermakna sekedar untuk makan dan minum, yakni kehidupan rohani atau spiritual, dan menghayati dirinya dalam kehidupan itu.

Puasa juga menjadi dasar bagi kehidupan yang penuh dengan disiplin moral. Puasa menjadi sarana berlatih manusia, yang mengajarkan perihal akhlak luhur, agar ia senantiasa siap berhadapan dan bertahan dalam penderitaan seberat apapun, dan pantang kalah terhadap perkara-perkara yang terlarang baginya. Dan latihan itu berlaku efektif, karena diulang setiap hari hingga sebulan lamanya.

Sebagaimana latihan jasmani dapat memperkuat tubuh manusia, maka latihan akhlak melalui puasa, dengan cara menghindarkan diri dari segala sesuatu yang terlarang baginya, akan memperkuat dimensi moral hidup manusia. Dan hanya melalui puasa sajalah, ajaran bahwa segala sesuatu yang terlarang harus disingkiri dan segala sesuatu yang buruk harus dibenci, dapat diaktualisasikan.

Melalui puasa, manusia dapat mencapai aspek-aspek lain dalam perkembangan akhlaknya, dengan cara terlebih dulu menaklukkan nafsu jasmaninya. Puasa selama sebulan penuh mengajarkan manusia suatu nilai yang luhur, yaitu bahwa ia bukan lagi budak daripada nafsu jasmaninya. Tetapi dia adalah majikan daripadanya, sebab haluan hidupnya dapat ia ubah sesuai dengan kemauannya sendiri.

Manusia yang dapat menguasai dan mengendalikan nafsunya sesuai dengan keinginannya, bahkan dapat memerintah nafsunya itu melalui kekuatan batinnya yang kuat, adalah manusia yang telah mencapai derajat akhlak yang paling tinggi. Dan derajat itu, bisa dicapai dengan menjalankan puasa dengan sebenar-benarnya.

Dinukil dan disunting dari buku “Islamologi” karya Maulana Muhammad Ali, Bab Puasa, sub bab “Disiplin Spiritual dan Moral dalam Puasa” (Penerbit Darul Kutubil Islamiyah, 2007)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here