Artikel

4 Sikap Mental Yang Harus Dimiliki Seorang Muslim

Seorang muslim adalah seorang yang selamat, dan selalu berbuat selamat kepada orang lain. Dengan demikian, seorang muslim sejati haruslah memiliki sifat diri yang konstruktif (membangun), bukan destruktif (merusak).

Karena itu, segala langkah dan gerak seorang muslim musti dan harus selalu menuju ke arah perbaikan, keselamatan dan kesempurnaan tumbuh kembang umat manusia khususnya, dan seluruh makhluk ciptaan Allah pada umumnya.

Allah adalah sumber kebaikan. Dan barangsiapa tidak memusatkan dirinya kepada Allah, tentu dia tidak akan menghasilkan kebaikan sedikit pun. Sebaliknya apabila seseorang selalu memusatkan diri kepada Allah, maka dia akan selalu memancarkan sinar kebaikan kepada sesama manusia, bahkan kepada semua makhluk di alam semesta ini.

Manusia yang hidupnya tidak memusatkan diri kepada Allah, tidak ada bedanya dengan budak belian yang tak memiliki kuasa apa-apa atas dirinya. Dia akan dikuasai hawa nafsu, yang selalu mendorong dan menggiringnya ke dalam jurang kerusakan dan kehancuran.

Manakala seorang manusia tidak memusatkan diri kepada Allah, dan justru dikuasai oleh hawa nafsunya, sehingga amal perbuatannya selalu menuju ke arah kerusakan, maka ia tidak bisa disebut sebagai seorang muslim.

Karena itulah, seorang muslim dipastikan adalah orang yang memiliki sikap mental yang mapan dengan relasi-relasi di dalam maupun di luar dirinya.

Dan berikut adalah 4 sikap mental seorang muslim menurut ajaran Islam.

 

  1. Sikap mental seorang muslim Terhadap Allah Ta’ala

Sikap mental seorang muslim kepada Allah diisyaratkan dalam Quran Suci sebagai berikut: “Dan orang-orang yang beriman, mereka sangat cinta kepada Allah” (QS 2:165)

Dalam ayat ini, Allah membuat stempel dalam hati seorang muslim, yaitu “sangat cinta kepada Allah”. Manifestasinya adalah dia selalu mencintai sesama manusia, yang menjadi pancaran (reflection) cintanya kepada Allah.

Dengan cinta kepada Allah itulah orang bisa memusatkan diri atau mensentraliasi diri kepada Allah. Dengan cinta itu, manusia akan sanggup melakukan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dan karena cinta itu pulalah manusia sanggup berkorban untuk memenuhi rasa cintanya.

Tanpa cinta kepada Allah, seseorang hanya bisa disebut sebagai muslim di bibir saja, yang tak mau melakukan kewajibannya selaku seorang muslim. Maka dari itu, apabila ada seorang mengaku muslim tetapi perbuatannya selalu jahat dan merusak, sebenarnya dia bukan seorang muslim sejati, karena dia telah berkhianat kepada Allah.

Sebab, kalau dia benar beriman dan cinta kepada Allah, maka tak mungkin dia mau berbuat khianat kepadaNya, dengan cara berbuat jahat dan kerusakan di dunia. Sebab, perbuatan-perbuatan semacam itu amat dibenci oleh Allah.

 

  1. Sikap mental seorang muslim terhadap sesama muslim

Rasulullah Muhammad saw. menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai muslim atau mukmin manakala ia tidak dapat mencintai saudaranya sesama muslim, seperti ia mencintai dirinya sendiri (HR Imam Bukhari)

Allah juga telah memberi garis tegas dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka perdamaikanlah antara saudaramu dan berbaktilah kepada Allah, agar supaya kamu mendapat kebahagiaan.” (QS 49:10).

Dari ayat dan hadit di atas, jelas dan tegas bahwa barangsiapa mengaku muslim atau mukmin, maka dia harus mencintai saudaranya sesama muslim atau sesama mukmin atas dasar dorongan hatinya bertaqwa kepada Allah.

Maka siapa pun yang mengakui Allah Yang Maha Esa sebagai Tuhannya, Muhammad saw. sebagai nabinya, Al-Quran sebagai kitab pedoman hidupnya, dan Masjid sebagai tempat ibadahnya, dia harus diperlakukan sebagai saudara sesama muslim. Keselamatan dan keamanan diri dan harta bendanya harus dijaga.

Bahkan, terhadap kaum muslimin yang telah berlalu pun, kita diwajibkan untuk mendoakan agar mereka diampuni segala dosa dan kesalahannya. Sebagaimana firman Allah:

“Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami beriman, dan janganlah engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang beriman. Ya Tuhan kami, Padukalah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (QS 59:10)

Maka dengan sikap sebagaimana telah digariskan oleh Al-Quran dan Hadits Nabi di atas, tidak sepantasnya seorang muslim bertengkar atau bermusuhan dengan sesama muslim. Karena sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas, permusuhan atau pertengkaran itu pasti bersumber dari kedengkian. Sementara, kedengkian berasal dari kesombongan.

Dengki dan sombong adalah dua watak bawaan setan. Setan adalah musuh Allah dan orang-orang yang beriman. Dengan demikian, bila kita masih mempunyai hati dengki dan sombong, maka kita termasuk anggota atau simpatisan setan, sekaligus menjadi musuh Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal, musuh Allah itu pasti binasa lahir dan batinnya.

 

  1. Sikap mental seorang muslim terhadap sesama manusia

Sifat sombong adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah Ta’ala. Sebab dengan sombong, manusia akan merasa lebih tinggi, lebih besar dan lebih kuasa daripada Allah. Maka dari itu kesombongan adalah watak yang salah dan harus diberantas paling pertama oleh tiap-tiap jiwa seorang muslim.

Allah menegaskan hal ini dalam Al-Quran, “Dan janganlah engkau memalingkan muka terhadap manusia (karena sombong), dan jangan pula engkau berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan angkuh.” (QS 31:18)

Sebaliknya, seorang muslim sejati adalah manusia yang penuh simpatik dan penuh rasa cinta kasih kepada sesama. Seperti yang dilukiskan dalam Al-Quran: “Dan hamba Tuhan Yang Maha Pemurah itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Dan apabila ia dicaci maki oleh orang-orang yang bodoh, mereka berkata: “Damai!” (QS 25:63)

 

  1. Sikap mental seorang muslim terhadap kaum kafir dan musyrik

Seorang muslim adalah manusia yang murah hati. Karena itu, sudah semestinya sikap mentalnya juga menunjukkan kemurahan hati, karena ia mengikuti tuntunan Tuhan Yang Maha Pemurah.

Seorang muslim juga tidak akan pernah menonjolkan emosinya, rasa sentimen, balas dendam dan sebagainya. Akan tetapi selalu mengutamakan rasio dan akal budinya. Sebab, hanya akal budilah yang bisa mempertimbangkan segala sesuatu sebagai benar ataukah salah.

Semua langkah dan sepak terjang seorang muslim adalah menuju ke arah keselamatan seluruh manusia, baik yang beriman maupun tak beriman kepada Allah Ta’ala. Bahkan meskipun kaum tak beriman itu membenci dan memusuhi dia.

Senang dan bencinya orang kafir atau musyrik kepada seorang muslim, tidak menjadi ukuran bagi perbuatannya. Yang menjadi motivasi perbuatan seseorang muslim adalah adanya cita-cita dalam dirinya untuk menyelamatkan umat manusia.

Dalam arti, seorang muslim merasa berkewajiban untuk umat manusia dari kegelapan, sehingga berakhir dalam siksa api neraka karena perbuatan mereka. Untuk ini dan karena inilah seorang muslim selalu memperingatkan kaum kafir dan musyrik, tentu dengan jalan bijaksana, dan menggunakan Al-Quran sebagai saranannya.

Dalam perkara ini, seorang muslim berpegang teguh dan berpedoman pada perintah Allah, sebagaimana termaktub dalam Quran Suci sebagai berikut:

“Dan tinggalkan saja orang-orang yang mengambil agama untuk main-main dan senda gurau. Dan yang telah tertipu oleh kehidupan dunia, dan peringatan mereka kepada kitab ini (Al-Quran) supaya tak ada jiwa dibinasakan (masuk neraka) karena perbuatannya. Tak ada bagi dia seorang pelindung selain Allah, dan bila seorang tadi menebus dirinya dengan segala tebusan tentu tidak akan diterima. Mereka adalah orang yang harus masuk neraka, sebab perbuatannya sendiri. Mereka akan diberi minum dengan air yang mendidih dan akan mendapat siksa yang pedih karena mereka kafir.” (QS 6:70).

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa seorang manusia bisa masuk neraka karena akibat perbuatannya sendiri. Kita tak akan mampu menolaknya, karena itu memang resiko dari perbuatannya.

Namun demikian kita telah diberi perintah oleh Allah SWT untuk mencegah agar jangan sampai ada sesuatu jiwa masuk neraka karena hasil perbuatannya. Ini menunjukkan Cinta Kasih dan Maha Murah-nya Allah kepada manusia. Dan hal ini harus diwujudkan oleh orang seorang muslim dalam hidupnya.

Allah tidak menghendaki adanya manusia berdosa, sehingga mendapat siksa neraka. Tapi Ia menghendaki agar manusia selalu berbuat baik, sehingga dapat merasakan nikmatnya alam surga.

Bahkan, seseorang yang terlanjur berbuat dosa pun masih diberi kesempatan untuk bertaubat dan dilarang berputus asa. Sebab keputusasaan adalah kegagalan mutlak di dalam kehidupan.

Allah berfirman, “Katakanlah: Duhai hambaku yang melewati batas terhadap jiwanya sendiri, janganlah putus harapanmu terhadap rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala kesalahan. Dan sesungguhnya Dia itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS 39:53).

Tetapi tidak berarti Tuhan memberi kesempatan manusia untuk bermanis mulut, sehingga bisa menjastifikasi perbuatan jahatnya, sembari berkata: “biarlah aku seperti ini, tokh nanti aku bisa bertaubat dan Tuhan akan mengampuniku.” Orang seperti ini berarti meremehkan atau mengejek Allah. Orang yang demikian ini justru akan disiksa di dalam api neraka.

Secara psikologis atau kejiwaan, bagaimana sikap kita terhadap kaum kafir? bolehkah kita mengikuti kehendak kaum kafir yang memuja hawa nafsu?

Al-Quran memberi jawab tegas perihal ini, agar seorang muslim tidak mengikut gerak-gerik kaum kafir. Malah kita diperintahkan untuk bertindak tegas terhadap kaum kafir.

Tegas bukan berarti kejam. Tegas berarti memiliki prinsip atau pendirian tertentu. Kita tidak boleh mengikuti pandangan kehendak dan konsepsi kaum kafir, mengingat tidak pernah terjadi mereka ini memiliki iktikad baik terhadap kaum muslimin. Apalagi segala konsepsinya senantiasa didorong oleh hawa nafsu yang rendah.

Konsentrasi hidup dan jiwanya adalah pada egoisme individualisme dan ambisius. Kaum kafir selalu menganggap dirinya paling benar dan bisa memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Karena hal-hal tersebut maka seorang muslim harus dengan tegas menolak kompromi dengan kaum kafir dalam bidang ideologi dan konsepsi.. Sebab sekiranya orang Islam mau mengikuti ideologi kaum kafir, yang akan terjadi adalah kehancuran.

Allah berfirman, “Lalu kami jadikan engkau mengikuti jalannya hukum. Maka ikutilah jalan itu, dan janganlah engkau ikuti nafsu rendah kaum yang tak mengerti.” (QS 45:18).

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang kafir itu diklasifikasikan sebagai “orang yang tak mengerti,” yang cuma hidup dengan mengikuti nafsu rendah saja. Sementara, seorang muslim sudah ditetapkan hidupnya “harus mengikuti jalannya hukum.”

Meskipun seorang muslim harus menolak ideologi kaum kafir, tetapi dalam kehidupan sosial sehari-hari ia diharuskan tetap bergaul seperti biasa, yakni seperti bergaul kepada manusia pada umumnya.

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Hanya saja Allah melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dari tempat tinggalmu, dan kepada yang membantu mengusir kamu. Dan barang siapa bersahabat dengan mereka, sungguh mereka orang yang aniaya.” (QS 60:9)

Dari dua ayat ini kita jadi punya cara bagaimana kita harus bersikap kepada kaum kafir. Dari dua ayat ini pula kita bisa menolak tuduhan-tuduhan yang dilancarkan orang-orang non muslim yang antara lain menyatakan bahwa “Para pengikut Nabi Muhammad saw. sangat benci kepada orang-orang non muslim karena fanatik buta (ta’asub).”

Tuduhan-tuduhan semacam itu jelas adalah fitnah yang tak berdasar. Propaganda semacam ini hanya bisa mempengaruhi orang-orang bodoh yang tak mau mempelajari Al-Quran, khususnya dua ayat di atas.

Selain dilarang bersekutu dengan kaum kafir yang memerangi dan mengusir kita, kita juga dilarang berserikat dengan orang-orang yang membantu mereka memerangi dan mengusir kita. Sebab mereka ini termasuk golongan orang yang dimurkai Tuhan.

Siapakah golongan orang yang dimurkai Allah itu? Mereka adalah kaum Yahudi, yang selalu menolak para nabi Allah. Kapitalis Yahudi selalu ingin meluaskan kapitalnya ke negara-negara lain. Lihat saja hasilnya di negara-negara Timur Tengah.

Sebelum Perang Dunia I mereka menghasut Jerman, tetapi tidak berhasil. Kemudian menghasut Inggris dan Amerika melalui raja minyak seperti Weisman, Theodor Herzel, Adolf Zukar sebagai dekingnya.

Contoh lain adalah Karl Marx, sebagai pencipta ideologi komunis. Dia adalah Yahudi asli yang tidak percaya pada hari akhir.

Melalui usaha tiga negara, yakni Inggris, Amerika dan Rusia, berdirilah negara Israel. Dan hingga kini selalu membuat heboh negara-negara Timur Tengah. Kalau diteliti secara seksama, kekacauan dunia yang terjadi hingga kini adalah bersumber dari akal licik orang-orang Yahudi.

Siapapun tahu George Soros adalah orang Yahudi yang mengendalikan Amerika. Atau, kita tidak heran lagi dengan George W. Bush yang berbuat keji terhadap kemanusiaan. Tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB, di bawah kendalinya Amerika menyerang Irak yang jelas-jelas bertentangan dengan Piagam PBB dan Hukum Internasional

Dengan kenyataan seperti yang terurai di atas maka Yahudi termasuk bangsa yang terkena murka Allah Ta’ala, dan karena itu orang Islam dilarang bersekutu dengan mereka.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu bersekutu dengan orang-orang yang terkena murka Allah. Sungguh mereka itu hilang pengharapannya kepada akhirat, seperti hilangnya pengharapannya kaum kafir yang telah menjadi ahli kubur.” (QS 60:13)

Dari ayat ini lebih jelas lagi bahwa orang-orang yang terkena murka Allah itu tak memiliki pandangan akhirat. Mereka hanya berpandangan duniawi belaka. Atau dengan kata lain: hanya bersifat materialistis semata.

Selanjutnya bagaimana sikap muslim bila nyata-nyata mereka memusuhi, memerangi, mengusir dan menindas? Dalam posisi seperti ini, kita diberi izin berperang untuk membela diri dan mempertahankan hak kita.

Perintah perang di dalam Islam bukan bersifat ofensif, tetapi defensif. Tujuan perang menurut Islam adalah:

  1. Menghentikan segala permusuhan agama
  2. Melindungi tempat-tempat suci
  3. Menegakkan kebebasan beragama
  4. Menghilangkan fitnah

Allah mengizinkan perang dengan melalui prasyarat, seperti ditegaskan:

“Diizinkan berperang bagi mereka yang diperangi, atau karena sebab mereka dianiaya. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa untuk menolong mereka.” (QS 22:39)

Sekiranya terjadi perang oleh sebab sebagaimana ayat di atas, maka orang-orang Islam dilarang untuk menyerah hingga mereka hancur atau kalah, atau kita menjadi syahid karena membela kebenaran. Sebaliknya, kalau mereka meminta damai, orang Islam harus menyambut permntaan itu dengan gembira. Sebab, Islam itu cinta perdamaian.

“Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS 8:61)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang muslim harus berjiwa ksatria, tidak boleh meminta, tetapi harus mampu memberi damai. Sekiranya mereka meminta damai tapi untuk menyusun kekuatan baru, kita tidak boleh ragu-ragu dan syak wasangka, tapi harus tetap waspada dan bertindak berdasarkan fakta.

Kalau mulutnya minta damai sedangkan hatinya bagaimana, itu menjadi urusan Allah. Kita harus yakin bahwa Allah selalu menolong pihak yang benar.

Demikianlah sikap mental seorang muslim menurut ajaran Islam yang betul-betul sangat terpuji, bermutu tinggi, berjiwa besar, bersifat ksatria dan bertawakal kepada Allah, Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta.[]

 

Penulis: K.H. Sayyid Ahmad Yazid Burhany | Gerakan Ahmadiyah Kediri

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here