Di setiap penghujung bulan Rajab, kita memperingati suatu peristiwa yang menjadi momentum besar dalam sejarah Islam, yakni peristiwa perjalanan spiritual Nabi Muhammad saw., yang dalam khazanah Islam disebut Isra dan Mi’raj.
Peristiwa rohani ini diabadikan dalam Surat al-Isra ayat 1. Di penghujung ayat ini, dinyatakan bahwa Isra Mi’raj itu bertujuan untuk “li nuuriyahuu min aayaatina”, memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Karena itu, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw., tentu bukan sekedar peristiwa historis, atau apalagi bahkan sekedar dongeng tentang perjalanan antar dimensi Sang Nabi. Peristiwa Isra’ Mi’raj, adalah pengalaman rohaniah Rasulullah saw., sebagaimana disinggung dalam Surat Al Isra’ ayat 60, yang menjadi titik tolak bagi hidup dan perkembangan Islam di kemudian hari.
Wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, tak jauh sebelum Isra Mi’raj terjadi, menjadi latar belakang peristiwa ini. Kematian mereka menjadi pukulan bagi Nabi Suci Muhammad saw. Mengingat keduanya adalah pelindung Sang Nabi, yang saling melengkapi satu sama lain.
Tetapi tentu bukan hanya karena kehilangan keduanya itu semata yang membuat Nabi Suci mengalami kesedihan yang amat sangat. Melainkan oleh karena adanya kenyataan bahwa pasca wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, intensitas perundungan dan penganiayaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy kepada dirinya dan para pengikutnya semakin menjadi-jadi.
Hal itu membuat Rasulullah saw. menjadi gelisah, takut dan khawatir akan masa depan syiar Islam yang diembannya. Tetapi, peristiwa Isra’ dan Mi’raj, menjadi jawaban Allah atas kesedihan dan kekhawatiran yang mendera Sang Nabi.
Sebab, meski secara lahiriah tak ada lagi orang-orang yang dapat melindunginya, tetapi tokh selalu ada Allah, yang setia kepadanya, tak meninggalkannya, dan tetap memberikan perlindungan kepadanya, dengan perlindungan yang jauh lebih kuat.
Ini terbukti, misalnya, pada saat Nabi Suci berhasil lolos dari rencana pembunuhan kaum kafir Quraisy sesaat sebelum ia hijrah, tak selang berapa lama sesudah peristiwa Isra Mi’raj. Ini seolah menjadi pesan yang pertama dari Isra dan Mi’raj yang dialami Nabi Suci.
Pesan kedua dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu, bahwa bukan saja Nabi Suci akan mendapat perlindungan Allah dari jangkauan tangan-tangan musuh yang bermaksud melenyapkannya, tetapi bahkan ia justru akan dimuliakan dan mencapai puncak keluhuran spiritual.
Lebih dari itu, usaha yang telah dilakukan olehnya lebih dari 10 tahun, akan segera menuai hasil yang gilang-gemilang, dengan tercapainya kemenangan Islam. Inilah pesan ketiga yang diisyaratkan oleh Allah melalui perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw.
Untuk mencapai ketiga perkara itu, yakni perlindungan Allah, keluhuran spiritual, dan kesuksesan Nabi Suci dalam penyiaran Islam, ada tiga hal juga yang musti dilakukan dan dipenuhi oleh Rasulullah saw. Ketiga hal itu adalah shalat, jihad dan hijrah.
Shalat berada di urutan pertama, karena shalat merupakan praktik ritual spiritual yang sangat penting, atau bahkan yang terpenting, guna mencapai kedekatan dengan Allah. Sebabnya, kedekatan dengan Allah, yang ini hanya bisa dicapai melalui shalat itu, membuat Allah bersukacita melindungi Nabi Suci Muhammad saw.
Maka dari itu, di suatu ayat dikatakan “innash-shalaatu tanhaa anil fahsyaai wal munkar”, shalat itu dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, shalat adalah perisai pelindung bagi orang beriman.
Mi’raj merupakan isyarat dari puncak keluhuran yang dapat dicapai oleh manusia. Melalui mi’raj, Nabi Suci Muhammad mencapai kedekatan dengan Allah, yang digambarkan seperti dekatnya dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.
Kedudukan spiritual semacam itu sesungguhnya dapat dicapai pula oleh siapa pun dengan cara shalat. Itulah makanya, Sang Nabi bersabda, “ash-shalaatu mi’raajul mu’minin”, shalat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman.
Pertanyaannya adalah, shalat yang bagaimana, yang mampu menjadikan orang yang menjalankannya akan dapat mencapai kedekatan yang begitu rupa dengan Allah, yang dengan begitu ia akan mendapat perlindungan dari Allah sebagai imbalannya?
Jawabnya adalah shalat yang khusyu’, shalat yang benar-benar menghadirkan diri di hadapan Allah, seolah-olah kita melihat Allah hadir di hadapan kita saat kita shalat.
Rasulullah saw. bersabda, “u’budillaha ka annaka taraahu,” shalatlah seakan-akan engkau melihat Allah. Artinya, kita harus menghilangkan eksistensi kita, sehingga yang ada pada kita hanyalah yang esensi.
Dalam shalat yang khusyu’, kita menjelma menjadi makhluk ruhani, yang memungkinkan kita dapat mencapai kedekatan dengan Allah. Dalam istilah sufi, hal ini disebut sebagai fanaa fillaah, yakni hilang atau lebur kedirian kita dalam kecintaan kepada Allah.
Syarat kedua untuk mendapat perlindungan Allah, mencapai keluhuran spiritual dan meraih kemenangan Islam, adalah jihad, dalam arti perjuangan yang sungguh-sungguh. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa jihad yang paling utama adalah mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi potensi kekuatan ruhaniah.
Dalam perjalanan spiritual Isra’ dan Mi’raj sang Nabi, hawa nafsu itu dilukiskan dengan binatang imajiner yang disebut buraq. Buraq dilukiskan sebagai binatang berbadan kuda yang gagah, berkepala wanita cantik dengan berbagai hiasan yang indah-indah.
Buraq adalah gambaran pesona duniawi seperti yang dilukiskan dalam ayat ketiga belas dari Surat Ali Imran.
Rasulullah saw. digambarkan mampu mengendarai atau mengendalikan buraq, dalam arti ia mampu mengendalikan hawa nafsu duniawinya, sehingga ia memiliki kemampuan ruhani yang spektakuler, sehingga mampu berjalan menembus langit, untuk mendekat dan semakin dekat lagi dengan Allah, sampai pada tingkat ketinggian, yang bahkan malaikat pun tak mampu mencapainya.
Maka dari itu, untuk bisa berdekat-dekat dengan Allah, dalam Mi’raj-Nya Nabi Suci Muhammad saw. digambarkan harus menambatkan buraq-nya.
Ini mengisyaratkan bahwa perkara duniawi, yang dapat menjadi belenggu yang menjerat manusia menaiki tangga ruhani mencapai Tuhan, harus ditanggalkan dan ditinggalkan.
Orang yang telah mampu menguasai atau mengendalikan buraq, dalam arti hawa nafsu duniawi, pasti akan memiliki sikap peduli, memiliki kepekaan sosial, dan bukan sebaliknya bersikap individual dan egoistis.
Dalam implementasinya, sikap ini akan melahirkan perbuatan dan usaha-usaha demi keselamatan dan kesejahteraan sesama manusia.
Itulah sebabnya, kendati Rasulullah saw. telah mencapai puncak kesuksesan dan kemuliaan, yakni bertemu dengan Allah, tetapi beliau sangat peduli dengan umat manusia seluruhnya, sehingga mengharuskannya “turun kembali” ke alam manusia seumumnya, untuk menjadi contoh agar manusia dapat mencapai kedudukan serupa yang ia alami.
Syarat ketiga untuk beroleh perlindungan Allah, keluhuran spiritual dan kemenangan Islam, adalah hijrah. Hijrah, secara harfiah berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Manusia sering terjebak dalam kondisi yang melingkunginya, yang membuat jangkauan pandangannya menjadi sempit. Sehingga, untuk mencapai kondisi yang lebih baik, ia harus memiliki keberanian melakukan pembaharuan atas pikiran, sikap dan tindakannya.
Demikianlah halnya juga dengan apa yang terjadi pada Rasulullah saw. Dakwah Rasulullah saw. selama lebih dari 10 tahun di Mekah, tidak banyak membuahkan hasil yang cukup berarti.
Hingga akhirnya, seketika sesudah Rasulullah hijrah ke Yatsrib, yang kelak berubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah, dakwah Nabi Suci berkembang dengan pesatnya.
Dan dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun, dan dengan melalui perjuangan yang hebat, peperangan yang panjang, Rasulullah pun beroleh kemenangan dan kesuksesan yang gilang gemilang, dan orang-orang pun berbondong-bondong masuk dalam Islam, sebagaimana dilukiskan dalam Surat An-Nashr.
Jadi, sekali lagi, Isra Mi’raj Nabi Suci Muhammad saw. bukanlah semata-mata peristiwa historis biasa, atau apalagi sekedar dongeng tentang perjalanan antar-dimensi, melainkan pengalaman ruhaniah Rasulullah Muhammad saw. yang monumental, yang menjadi pembuka tabir kesedihan, kekalutan dan kekhawatiran Nabi Suci saw. dalam menyiarkan Islam, agama Allah yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Semoga dengan memperingati Isra dan Mi’raj, kita semua dapat meneladani Rasulullah saw., untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan di dalam perjuangan kita mendekatkan diri ke haribaan Allah SWT, dan menyiarkan agamanya yang mulia, melalui shalat yang sebenar-benarnya shalat, jihad yang sesungguh-sungguhnya jihad, dan hijrah dengan setulus-tulusnya niat untuk berubah menjadi lebih baik setiap hari dan setiap waktu. Amin.
Ringkasan Khutbah Jumat pada Jumat Terakhir bulan Rajab 1443 H
Oleh: Asgor Ali
Comment here