Dalam khazanah Islam, secara definitif Isra Mi’raj diartikan sebagai perjalanan pribadi Nabi Suci Muhammad saw. pada malam hari dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha. Kemudian naik melewati tujuh langit, dan terus naik ke Baitul-Makmur, Sidratul-Muntaha, Al-Mustawa hingga ke Arsy Tuhan untuk berhadapan langsung dengan-Nya.
Peristiwa Isra Nabi Suci secara khusus dinyatakan dalam Quran Suci 17:1, sementara Mi’raj Nabi Suci diuraikan dalam QS 53:1-18. Selain itu, banyak sekali riwayat hadits yang melengkapi detail peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. ini.
Secara linguistik, kata isrâ dalam bahasa arab berasal dari akar kata sarâ, yasrî, sirâyatan, sarâyanan artinya “berjalan di malam hari.” Jika “berjalan di siang hari” bahasa arabnya sâra, yasîru. Kata sarâ bila mendapat imbuhan alif di awal kata, menjadi asrâ, yusrî, isrâ’an yang artinya juga berjalan di malam hari.
Kata sarâ maupun asrâ keduanya dipakai di dalam Quran Suci. Kata sarâ digunakan Allah di dalam Quran dalam bentuk perintah kepada Nabi Luth agar meninggalkan Kota Sodom di akhir malam (QS 11:81; 15:65). Kata itu digunakan pula untuk memberi perintah kepada Musa agar meninggalkan Mesir di malam hari (QS 20:77; 26:52; 43:23).
Sedangkan kata asrâ digunakan di dalam Quran Suci untuk Nabi Suci Muhammad saw., sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Maha-suci Dia Yang menjalankan hamba-Nya di malam hari (asrâ bi ‘abdihii) dari Masjid Suci ke Masjid yang jauh, yang sekelilingnya Kami berkahi, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian pertanda Kami” (QS 17:1).
Sementara itu, kata mi’râj berasal dari akar kata ‘araja, ya’ruju, ‘urûjan/ma’rajan (maknanya naik), mengandung arti tangga atau tempat naik. Jamak dari kata mi’râj adalah ma’ârij (QS 70:3).
Isra dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Suci mengandung makna yang sangat dalam, antara lain sebagai penggenapan atas nubuat para nabi terdahulu. Nubuat itu bisa kita baca antara lain dalam Kitab Ulangan 34:10-12, yang menyebut Nabi Muhammad saw. “seperti Musa, yang dikenal Tuhan berhadapan muka.” Atau nubuat Nabi Daniel, bahwa “Anak manusia akan menghadap Allah Yang Maha-tinggi (Dan 7:13-14).
Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Suci terjadi pada tanggal 27 Rajab 620 M, dua tahun sebelum Nabi Suci hijrah ke Madinah. Tahun itu adalah tahun pertama pasca pemboikotan Bani Hasyim yang berlangsung selama empat tahun lamanya (616-619 M).
Di samping itu, Nabi Suci kala itu baru saja mengalami duka cita yang teramat dalam, karena wafatnya dua orang tercinta. Pertama, Abu Thalib, paman Nabi yang selama ini selalu melindunginya. Disusul kemudian Siti Khadijah, istri yang selalu setia mendukung dan mendampinginya dalam berdakwah. Tahun itu dikenal dengan sebutan ‘Amul-Huzni, Tahun Berduka cita.
Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Suci terjadi secara rohani. Sebabnya, dalam QS 17:60 peristiwa itu disebut dengan istilah ru’yâ (artinya mimpi atau impian) atau kasyaf (penglihatan rohani). Dalam khazanah Jawa disebut ngraga sukma. Istilah ru’ya atau kasyaf ini juga digunakan sebagai salah satu bentuk cara Allah berfirman kepada manusia (QS 42:51).
Bahkan, peristiwa Mi’raj Nabi Suci dilukiskan secara ruhaniah dengan kata-kata indah, “Ia (Muhammad) berada di cakrawala yang paling tinggi. Lalu ia mendekat dan bertambah dekat lagi; maka ia berjarak dua busur atau lebih dekat lagi. Maka Ia (Allah) mewahyukan kepada hambaNya apa yang Ia wahyukan. Hati tak mendustakan apa yang ia lihat” (53:7-11).
Ayat-ayat ini dikuatkan oleh banyak riwayat hadits, salah satunya yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa tatkala Malaikat Jibril mendatangi Nabi Suci pada malam itu, “mata beliau tidur, tetapi hati beliau tak tidur, dan demikianlah halnya para Nabi, mata mereka tidur tetapi hati mereka tak tidur.”
Pengalaman semua Nabi
Isra Mi’raj Nabi Suci Nabi Suci Muhammad saw., yang terjadi “dalam keadaan antara tidur dan jaga” (HR Bukhari) itu, dialami pula oleh para nabi sebelumnya. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Pertama, Nabi Ibrahim a.s. (hidup sekitar tahun 2000 SM). Mi’raj Nabi Ibrahim diisyaratkan dalam Quran Suci 6:7. Allah berkenan memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi. Setelah hijrah dari Ur di Babil ke Kanaan, peristiwa Mi’raj Ibrahim itu diulang kembali (lihat Kej 12:1-8).
Kedua, Nabi Yakub a.s. (hidup sekitar tahun 1800 SM). Dalam perjalanannya dari Bersyeba ke Haran, ia bermalam di suatu tempat. Beliau tidur berbantal batu, lantas beliau bermimpi melihat tangga sepanjang jarak dari bumi ke langit, dan terlihat beberapa malaikat naik turun melalui tangga itu. Yakub Mi’raj menghadap Tuhan dan Tuhan berkenan berfirman kepadanya tentang negeri yang dijanjikan (lihat Kej 28:10-22).
Ketiga, Nabi Musa a.s. (hidup sekitar tahun 1400 SM). Pengembaraannya mencari ilmu, yang diuraikan dalam QS 18:60-82, terjadi sebelum ia mengalami Mi’raj. Peristiwa pengembaraannya itu mengandung makna yang amat dalam, karena penjabarannya secara historis-teologis melibatkan tiga nabi agung, termasuk Nabi Isa Almasih a.s. dan Nabi Suci Muhammad saw.
Nabi Musa, yang sebagian besar masa kenabian dan kerasulannya dijabarkan pasca hijrahnya dari Mesir ke Tanah yang dijanjikan itu, banyak menghadapi kesulitan dan penderitaan. Maka dari itu beliau banyak menerima ru’ya, kasyaf atau visiun, bahkan sering berwawan sabda dengan Ilahi secara langsung (lihat QS 4:164). Karena itu beliau disebut Kalimullah.
Suatu hal yang harus diingat adalah penegasan Musa, bahwa ketika ia berhadapan langsung dengan Tuhan muka dengan muka (Ul 34:10-12), hal itu terjadi secara rohani, dalam ru’ya, kasyaf atau visiun (Bil 12:6; Kel 34:28).
Dalam keadaan seperti itulah Musa menerima bacaan seperti bacaan dalam surat Alfatihah, lalu Musa bershalat dengan ruku’ dan sujud, juga menerima berbagai macam hukum (Kel 34:6-8).
Keempat, Nabi Yesaya a.s. (hidup sekitar tahun 750 SM). Yesaya hidup di masa ketika Kerajaan Israel telah surut dan pecah menjadi dua, yakni Kerajaan Selatan dan Kerajaan Utara.
Kerajaan Selatan atau Negeri Yahuda yang terdiri dari dua suku. Ibu kotanya Yerusalem, dan masjidnya adalah Bait Allah Yerusalem. Sedangkan Kerajaan Utara atau Negeri Israel terdiri dari 10 suku, ibukotanya Samaria, masjidnya di atas gunung Gerizim. Antara kedua kerajaan itu sering bermusuhan. Hal ini membuat Nabi Yesaya amat prihatin dan sedih.
Yesaya mengalami Mi’raj, melihat Tuhan di ‘Arsy yang jubahNya memenuhi Bait Suci. Para Malaikat senantiasa memahasucikan Tuhan. Beliau diberi tahu tentang kekerasan hati bangsanya yang akan dibinasakan olehNya (Yes 6:1-13). Nubuat ini tergenapi pada tahun 722 SM, ketika Israel diserbu oleh bangsa Asyur hingga musnah.
Kelima, Nabi Yehezkiel a.s. (sekitar tahun 600 SM). Beliau adalah seorang Nabi yang ikut ditawan di Babil pada tahun 597 SM. Beliau telah memperingatkan kaumnya bahwa Yerusalem akan dihancurkan karena dosa-dosa mereka (Yeh 6:1-13).
Di Babil, Yehezkiel mendapatkan banyak impian, kasyaf atau penglihatan-penglihatan tentang Tuhan (Yeh 1:1-3), juga di-isra Mi’rajkan dari Kasdin ke Yerusalem (Yek 8:3-18; 11:24). Perkara ini diisyaratkan secara tersirat Quran Suci 2:259, tentang dibangunnya kembali negeri yang telah dibinasakan.
Keenam, Isa Almasih (hidup pada abad pertama Masehi). Isra Mi’raj Nabi Isa a.s. diterangkan dalam Mat 4:1-10 yang memberi pesan “janganlah menyembah selain Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti”.
Tetapi Mi’raj beliau menurut cerita Lukas dan Markus terjadi 40 hari setelah Paskah, seperti halnya hari Natal 25 Desember dan pengudusan hari Minggu berasal dari kekafiran (9:30), yakni apotheose dari mitologi Yunani-Romawi yang mengajarkan bahwa jiwa setelah berpisah badan pergi naik ke dunia Ilahi atau kedewaan.
Nubuat tentang Keagungan Nabi Muhammad saw.
Dengan memperlihatkan uraian dan contoh-contoh di atas teranglah bahwa substansi Isra dan Mi’raj para nabi adalah salah satu manifestasi cara Allah menyatakan kehendak-Nya kepada mereka, yakni menyampaikan firman-Nya dengan cara “dari belakang tirai” (min warâ’in hijâbin) yang beraneka ragam tingkatannya (lihat 42:51).
Demikian pula halnya dengan Isra Mi’raj yang dialami oleh Nabi Suci Muhammad saw. Bahkan, sebagaimana ditegaskan dalam Quran Suci 17:1 dan 53:18, Isra Mi’raj Nabi Suci Muhammad saw. mengandung nubuat agung dan penyingkapan berbagai tanda bukti Allah kepadanya.
Karena tanda bukti tentang keagungan itu diperlihatkan dalam bentuk ru’ya atau kasyaf, maka tidak bisa dipahami secara harfiah atau hakiki. Ayat-ayat dan Hadits yang berkaitan dengan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. itu harus ditafsirkan sedemikian rupa dalam kaca mata rohani.
Berikut ini beberapa alasan atau penjelasan mengapa peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. bersifat ruhaniah.
Pertama, merujuk pada kata ‘abdihî (hamba-Nya) dalam QS 17:1, sebagian ulama menafsirkan bahwa yang diperjalankan adalah badan jasmani dan rohani Nabi Muhammad saw. Tetapi, jika kita perhatikan ayat-ayat Quran lain yang menggunakan kata yang sama, kata itu tidak selalu dan harus ditujukan pada manusia secara jasadi (jasmani), tetapi dapat juga hanya berarti rohani saja.
Kita bisa lihat misalnya dalam QS 89:27-30, di sana dinyatakan, ”Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu (‘ibâdi), dan masuklah ke dalam SorgaKu.” Kata ‘ibâd (hamba-hamba)” di dalam ayat ini dinyatakan tanpa merujuk pada manusia secara jasadi.
Kata ‘abdihi (hamba-Nya) dalam ayat itu juga bisa ditujukan kepada segenap umat manusia. Dalam arti, mereka dapat diperjalankan Allah dan “mengendarai buraq,” jika berbuat berdasarkan petunjuk Ilahi, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Suci Muhammad saw. yang menjadi teladan terbaik bagi manusia (QS 33:21, 3:32).
Kedua, tentang Masjidil-Haram. Kata masjid (akar kata sajada, yasjudu, sujûdan artinya merendahkan diri atau menunduk, sujud) maknanya tempat orang bersujud atau tempat orang bersembahyang. Nabi Suci bersabda, bahwa “Seluruh muka bumi dijadikan masjid bagiku” (HR Bukhari).
Kata harâm berasal dari akar kata harama, yahrimu artinya melarang, atau dari akar kata harima, yahramu atau haruma, yahruma, hurman/hurmatan/harâman artinya yang dihormati. Makna kata harâm adalah dilarang, haram/tak halal. Tetapi Ibnu Abbas mengartikannya wajib atau harus. Sementara, kebanyakan mufassir mengartikannya sebagai suci. Sehingga Masjidil-Haram artinya Masjid Suci.
Masjidil-Haram dalam QS 17:1 secara hakiki adalah Masjid yang berada di Mekah, yang menjadi terminal Nabi Suci mengawali dan mengakhiri Isra dan Mi’raj-nya. Akan tetapi dari arti harfiahnya mengandung arti filosofi bahwa sebelum “dijalankan Allah,” seorang hamba harus selalu tunduk atau sujud kepada apa yang diharamkan yang mengakibatkan ia berada dalam kegelapan rohani, yang secara majasi disebut malam atau lail (lawannya nahâr artinya siang).
Ketiga, tentang Masjidil-Aqsha, arti harfiahnya masjid yang jauh. Tempat dimana Nabi Suci bertolak untuk Mi’raj. Secara hakiki, pada tahun 620 M, Masjid Al-Aqsha yang dalam riwayat Hadits menjadi tempat Nabi Suci bershalat jamaah dengan ribuan nabi, belum dibangun. Jangankan masjidnya, reruntuhannya saja pun tidak ada.
Masjidil-Aqsha yang ada di Yerusalem saat ini, yang secara salah telah dirujuk oleh umat Islam sebagai masjid yang dimaksud dalam QS 17:1, adalah sebuah Masjid yang dibangun oleh Khalifah Dinasti Umayah, AL-Walid bin Abdul-Malik, tahun 701 Masehi, hampir dua abad sesudah peristiwa Isra Mi’raj Nabi Suci Muhammad saw.
Lokasi masjid itu, tatkala Isra Mi’raj terjadi, adalah berupa tempat pembuangan sampah yang telah berlangsung sejak tahun 135 M. Semula, di lokasi itu terdapat bangunan atau kanisah yang didirikan oleh Nabi Sulaiman. Kanisah itu dibangun oleh Nabi Sulaiman selama 7 tahun, yakni tahun 968-961 sebelum Masehi.
Bangunan itu lantas dibumihanguskan oleh Nebukadnezar dari Babil pada tahun 597 SM. Lalu dibangun kembali di bawah pimpinan Nabi Uzair-Nehemia pada tahun 539-516 SM, dan dihancurkan lagi oleh Jendral Titus pada tahun 70 Masehi (Lihat QS 17:5-7).
Barulah 18 tahun sesudah peristiwa Isra Mi’raj, tepatnya tahun 638 M, lokasi itu dibersihkan oleh Khalifah Umar bin Khathab. Tahun 691 M, di masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) dibangunlah Qubbatush-Shakhrah di lokasi itu. Kemudian pada tahun 701, di masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik (705-715 M), agak ke selatan dari lokasi itu, dibangunlah sebuah Masjid, yang akhirnya dengan merujuk peristiwa Isra Mi’raj, dikenal sebagai Masjidil-Aqsha hingga saat ini.
Secara profetis, yang dimaksud masjidil-aqsha, atau yang secara harfiah berarti “masjid yang jauh,” sebagaimana dituju QS 17:1 adalah Masjid Nabawi di Madinah, yang dibangun oleh Nabi Suci Muhammad saw. pasca hijrah pada tahun 622 M, dan juga masjid-masjid lain yang menjadi pusat penyiaran Islam di seluruh pelosok dunia.
Arti harfiah “masjidil-aqshâ” adalah “tempat sujud yang jauh,” dalam arti setelah “dijalankan Allah” seseorang akan mencapai maqam tempat sujud yang jauh, yang di sekelilingnya diberkati Allah.
Sarana pokok untuk mencapainya adalah shalat maktubah, lima kali sehari semalam yang oleh Nabi Suci disebut “Mi’rajnya orang-orang beriman”. Di dalam shalat terdapat dialog langsung antara seorang hamba dengan Allah yang disaksikan oleh para malaikat.
Keempat, tentang Buraq. Menurut riwayat hadits, kendaraan Nabi Suci tatkala Isra adalah burâq (akar katanya barq yang berarti kilat). Buraq, menurut riwayat hadits juga, menjadi kendaraan para nabi terdahulu.
Dalam riwayat hadits pula, setiba Nabi Suci di Masjidil Aqsha dalam Isra, buraq itu ditambatkan di luar masjid. Nabi Suci lantas shalat berjamaah dengan semua Nabi terdahulu. Nabi Suci bertindak sebagai imam shalat, dan para nabi menjadi makmumnya.
Secara biologis kendaraan Nabi Suci itu dalam sejarah atau biologi tidak pernah ada. Sebabnya, kendaraan itu adalah kalam ibarat untuk berbagai simbol keduniaan, sebagaimana unsur-unsurnya diuraikan dalam Quran Suci 3:14, yaitu: wanita, anak-anak, harta berharga berupa emas dan perak, kuda atau kendaraan yang baik, binatang ternak dan sawah ladang, yang kesemuanya divisualisasikan oleh Nabi Suci dengan simbol-simbol indah dalam berbagai Hadits.
Para Nabi Utusan Allah adalah orang-orang yang telah mampu mengendarai atau mengendalikan buraq-nya, karena mereka adalah “hamba-hamba yang mulia, yang tak mendahuluiNya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintahNya” (QS 21:26-27).
Karena itu, hanya dengan mengendarai buraq itulah, Nabi Suci Muhammad saw. bisa meninggalkan “masjidil-haram” yang menyebabkan kegelapan malam menuju ke “masjidil-aqsha” yang di sekelilingnya diberkati oleh Allah SWT.
Nabi Suci serta para nabi lainnya dapat melaksanakan shalat dengan khusyu’ setelah kendaraan buraq-nya ditambatkan di luar masjid. Jadi buraq, yang menjadi simbol duniawi yang berkekuatan dahsyat itu, hanya bisa ditundukkan oleh wahyu Ilahi.
Kelima, tujuan Isra Mi’raj adalah melihat sebagian ayat-ayat Tuhan yang agung (QS 17:1; 53:18), yang semuanya bersifat rohani. Karena sifatnya rohani, maka yang bisa melihat adalah juga penglihatan rohani semata.
Dalam berbagai riwayat hadits, selama Isra Mi’raj, Nabi Suci melihat berbagai peristiwa, yang itu hanya bisa dipahami dan dimaklumi jika terjadi secara ruhaniah. Misalnya Nabi Suci melihat orang berenang-renang di lautan darah dan dirajam, yang melukiskan nasib para pemakan riba.
Nabi Suci juga melihat orang menggunting bibirnya sendiri secara berulang-ulang, yang melukiskan orang yang suka menggunjing. Atau Nabi Suci melihat orang makan daging busuk, padahal disediakan daging segar di rumahnya, yang menggambarkan seorang suami atau istri yang suka melacur atau berselingkuh.
Keenam, dalam riwayat hadits, Nabi Suci memimpin shalat para nabi seluruhnya sebelum Mi’raj. Dan ketika Mi’raj, beliau bertemu dengan sejumlah nabi. Nabi Suci bertemu Nabi Adam di langit pertama, Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua, Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Idris di langit keempat, Nabi Harun di langit kelima, dan Nabi Musa di langit keenam.
Padahal, semua nabi sebelum Nabi Muhammad itu telah wafat. Maka dari itu, akan tidak bertentangan dengan logika jika perjumpaan Nabi Muhammad saw. dengan para nabi itu terjadi secara rohani, tidak secara jasmani.
Peristiwa Nabi Suci menjadi imam shalat bagi para nabi semata menggambarkan kemuliaan dan kehormatan Nabi Suci di antara para nabi sebelumnya. Sekaligus menegaskan beliau sebagai nabi terakhir yang menjadi pelengkap penyempurna kenabian.
Lalu gambaran pertemuan Nabi Suci dengan para nabi di berbagai lapisan langit, terlebih Nabi Suci dapat naik terus hingga ke Sidratul Muntaha dan berhadap-hadapan dengan Allah, sementara Nabi lainnya hanya berada di langit bawahnya, menunjukkan keluhuran derajat Nabi Suci berada di atas para nabi itu.
Ketujuh, pengalaman Mi’raj Nabi Suci yang dilukiskan dalam Quran Suci 53:7-18 hanya bisa dipahami secara rohani. Misalnya, dalam ayat itu Nabi Suci disebut bertemu dan melihat Allah. Jika ini dipahami secara jasmani, maka tentu bertentangan dengan penegasan Allah bahwa “Penglihatan tak dapat menjangkau Dia” (6:103). Menurut Siti Aisyah, adalah bohong besar jika dikatakan Nabi Suci melihat Allah secara kasat mata.
Demikian pula “melihat Sorga sebagai tempat tinggal abadi” dalam ayat itu jika dipahami secara jasmani akan bertentangan dengan sabda Nabi Suci, bahwa Sorga itu “mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar dan belum pernah terlintas dalam pikiran” (HR Bukhari, lihat QS 32:17).
Nubuat Tentang Kemenangan Islam
Isra Mi’raj adalah sarana Allah memperlihatkan ayat-ayat-Nya yang agung kepada Nabi Suci, berkenaan dengan kemenangan dan kejayaan yang akan beliau capai, baik secara duniawi maupun ukhrawi. Kemenangan itu diisyaratkan dalam Hadits dengan perlambang Nabi Suci menjadi imam shalat bagi segenap para Nabi.
Kemenangan duniawi akhirnya beliau raih bukan hanya di semenanjung Arabia saja, melainkan pula kejayaan di seluruh kawasan Timur Tengah, yang kala itu tengah dikuasai oleh dua negara adidaya, yaitu Imperium Romawi di belahan bumi Barat dan Kekasiaran Persia di belahan bumi Timur.
Sejarah mencatat, kedua imperium agung itu berhasil ditaklukkan oleh putra-putra Islam yang gagah berani, dan secara perlahan mundur dari kontestasi kekuasan, lalu akhirnya lenyap sama sekali dari panggung sejarah dunia.
Kekaisaran Persia ditaklukkan sejak 638 M, dan kemudian musnah sama sekali sejak tahun 652 M. Sementara itu, Imperium Romawi penaklukkannya memakan waktu agak lama, dimulai sejak Jendral Khalid bin Walid menaklukkan Yerusalem di tahun 637, lalu disusul wilayah lain di Asia dan Afrika Utara. Barulah setelah Konstantinopel takluk dibawah Sultan Muhammad II dari Turki Utsmani tahun 1452, Imperium Romawi musnah sama sekali.
Wilayah yang dimenangkan umat Islam itu diperlihatkan kepada Nabi Suci secara tersirat dalam Quran Suci 17:2-3. Di situ disebut-sebut nama Musa (yang dilahirkan di Mesir) dan Nuh (di Mesopotamia). Karena itu, dalam riwayat Hadts, Nabi Muhammad saw. melihat dua sungai di Sorga yang juga mengalir di bumi, yaitu Sungai Nil di Mesir dan Sungai Euphrat-Tigris di Mesopotamia.
Dalam Kitab Bibel, Mesir dan Mesopotamia adalah representasi dunia seluruhnya, yang pernah diperlihatkan kepada Ibrahim akan diwariskan kepada keturunannya untuk selama-lamanya (lihat Kej 15:17-21).
Setelah Quran Suci menyinggung kawasan Timur Tengah, Allah berkenan memperlihatkan kepada Nabi Suci sejarah Bani Israel selama dua ribu tahun, bahwa mereka berbuat kerusakan dua kali di bumi setelah masa kejayaannya (QS 17:4), sebagaimana juga telah dinubuatkan oleh Musa dalam Taurat (lih Ul 28:49-63; 30:15).
Karena kedurhakaannya kepada Allah, Bangsa Israel dibiasakan oleh bangsa lain sebanyak dua kali (QS 17:5), yakni pada tahun 597 SM dan 586 SM oleh Nebukadnezar dari Babil (lih Ul 28;15; 47-53). Mereka bisa kembali ke Tanah Yang Dijanjikan di bawah pimpinan Nabi Uzair, setelah Babil dikalahkan oleh Cyrus Agung, Raja Persia, pada Juli 597 SM (17:6 lih Ul 30:1-5; Ezr 1:3-5).
Sekembalinya ke Tanah Yang Dijanjikan itu, mereka bersegera membangun kembali Bait Allah di Yerusalem dan membangun masyarakat berdasakan hukum Taurat. Tetapi keadaan mereka tidak semegah kejayaan mereka yang pertama. Akhirnya, dengan mudah mereka ditaklukkan kembali.
Untuk kedua kalinya mereka mengalami kebinasaan. Kali ini mereka ditaklukkan oleh Jendral Titus, putra Kaisar Romawi, Vespasianus, pada tahun 70 Masehi (17:7; lih Ul 32;18-26; Mat 23:37-39; 24:1-2), yang mengakibatkan mereka mengembara ke seluruh dunia tanpa tanah air (QS 2:65; 7:166).
Dalam QS 17:60, Bangsa Israel dilukiskan sebagai “pohon yang dilaknati”, sebab mereka dilaknati oleh Allah (QS 5:13) dengan perantaraan lidah Daud dan Isa bin ibnu Maryam (QS 5:78). Akibatnya mereka tetap dalam laknat Allah, malaikat dan manusia, semuanya (QS 3:87-88).
Mereka dilukiskan sebagai kera dan babi yang mengabdi kepada setan (QS 5:60), “tangan mereka terbelenggu” alias kikir dan bakhil, dan senantiasa menyalakan perang (QS 5:64) yang mengakibatkan terjadinya kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia, terutama bagi umat Islam sejak zaman Nabi Suci sampai sekarang ini.
Bani Israel dalam Perjanjian Lama diterapkan kepada umat Yahudi (Yes 49:6-7), sedang dalam Perjanjia Baru diterapkan kepada umat Kristen (Gal 6:16). Sejarah mencatat, Tanah yang dijanjikan Ilahi kepada keturunan Ibrahim, pewaris pertama kaum Yahudi, setelah muncul umat Kristen, merekalah yang mewarisinya sejak awal abad ke 4 Masehi, karena Kristen menjadi agama Negara Romawi.
Tetapi akhirnya setelah muncul Islam, merekalah sejak awal abad ke 7 Masehi menjadi pewaris sah Tanah yang dijanjikan itu. Hal inilah yang telah dijanjikan Ilahi kepada Nabi Ibrahim lalu diperlihatkan kembali oleh Allah kepada Nabi Suci dalam Isra dan Mi’raj yang penjabarannya dalam sejarah anak cucu Ibrahim dapat kita saksikan sampai sekarang (lihat QS 4:51-55).[]
Sumber: Draft Buku Ensiklopedia Ahmadiyah, Oleh: S. Ali Yasir | Penyunting: Asgor Ali
Comment here