Istilah infâq berasal dari akar kata nafaqa, yanfiqu, nafâqan yang artinya menafkahkan. Secara khusus, infaq yang dimaksud di dalam Islam adalah infaq fii sabiilillaah, dalam arti membelanjakan sebagian harta untuk kepentingan kemanusiaan menurut ajaran Islam.
Kata infaq berakna “membelanjakan harta.” Istilah ini selaras dengan shadaqah (berasal dari akar kata shadaqa, yashduqu, shidqan artinya kebenaran), yang diserap dalam bahasa Indonesia sebagai sedekah. Kata ini selaras juga dengan kata ihsân (berasal dari akar kata hasana/hasuna, yahsunu, husnan artinya kebaikan), yang bermakna berbuat baik. Dalam Quran Suci, kata infaq, shadaqah, dan ihsan, digunakan secara silih berganti untuk menyebut.
Secara fiqhiah, infak atau sedekah dibedakan menjadi dua macam. Pertama, infak atau sedekah wajib (QS 2:3; 9:103) yang biasa disebut zakât. Penerimanya ialah kaum melarat (fuqarâ), kaum miskin (masâkin), para petugas yang mengurusinya (‘âmilîn), orang yang hatinya condong kepada kebenaran (mu’allafin), tawanan yang ingin bebas (riqâb), orang yang terlilit hutang (gharimîn), sabîlillâh dan ibnussabîl atau orang-orang musafir (QS 9:60).
Kedua, infak atau sedekah sunnah, yang dibicarakan hampir dalam semua halaman Quran Suci. Secara khusus dibicarakan dalam ruku’ 36 dan 37 Surat Al-Baqarah. Semula dibicarakan pahala infak, yang “diumpamakan sebutir biji yang tumbuh menjadi tujuh bulir dengan seratus biji setiap bulir, dan Allah masih melipat gandakan lagi bagi siapa yang Ia kehendaki” (QS 2:261). Syaratnya “tak diikuti dengan comelan dan hal yang menyakitkan hati” (QS 2:262), sebab “ucapan manis dan pengampunan lebih baik daripada infak yang diikuti dengan ucapan yang melukai hati.” (QS 2:263).
Jika syarat itu dilanggar, infak itu seperti halnya orang yang membelanjakan hartanya karena ingin dilihat oleh manusia (riya’) dan ia tak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Perumpamaannya “seperti batu licin dengan sedikit tanah di atasnya, lalu turun hujan lebat, maka tinggallah itu gundul, licin kembali, sehingga ia tak mendapatkan keuntungan sedikit pun darinya.” (QS 2:264).
Sebaliknya, infaknya seseorang yang mendapat perkenan Allah, diibaratkan “bagai kebun di dataran tinggi yang kejatuhan hujan lebat, sehingga keluarlah buahnya dua kali lipat. Dan jika pun tak turun hujan lebat, hujan gerimis sudah cukup membuatnya berbuah lebat.” (QS 2:265).
Infak fii sabiilillah ini diperagakan oleh para sahabat sejak mereka di Mekah maupun di Madinah. Namun setelah berhijrah ke Madinah, mereka diperintahkan untuk berinfak lebih besar lagi karena mendapat cobaan yang lebih hebat lagi, karena adanya serangan musuh. Perintah itu dibarengi dengan peringatan kembali, tentang bahayanya infak untuk pamer atau diiringi dengan comelan dan menyakiti perasaan orang yang disedekahinya, karena infaknya akan sia-sia belaka (QS 2:266).
Islam menghendaki infak atau sedekah itu didasarkan motif cinta kepada Allah, sehingga pemberian infak atau sedekah itu dapat membina perasaan bahwa sekalian manusia adalah satu keluarga. Maka aturan infak selanjutnya dianjurkan agar menginfakkan barang-barang halal yang sebaik-baiknya, bukan barang-barang yang buruk (QS 2:267).
Di tempat lain ditegaskan bahwa seseorang haruslah menginfakkan apa yang dicintainya (QS 3:92). Jika hal itu dilakukan, bisikan setan bahwa infak menyebabkan kemelaratan akan lenyap. Sebaliknya jika manusia mengikuti bisikan setan menyebabkan kemelaratan nasional, karena warga masyarakat yang melarat dan miskin akan melakukan fahsya’ (akhlak buruk) dalam mencari nafkah (QS 2:268).
Jadi dalam perbuatan menginfakkan harta untuk urusan-urusan sosial tersimpan rahasia kemajuan dan kesejahteraan nasional. Inilah yang dituju oleh kalimat “Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Ia kehendaki, dan barangsiapa diberi hikmah, dia itu sebenarnya diberi banyak kebaikan” (QS 2:269). Karena itu, jika seseorang bernazar infak fi sabililah, maka nazar itu harus dipenuhi (QS 2:270).
Oleh karena infak atau sedekah itu tujuan utamanya membina perasaan bahwa manusia adalah satu, maka mengeluarkan infak secara terbuka itu baik sekali. Yang dimaksud tentu bukanlah mengeluarkan infak “untuk dilihat oleh manusia” alias riya.’ Menurut Maulana Muhammad Ali, yang dimaksud adalah “memberi sokongan untuk pembangunan guna kepentingan umum, atau untuk pertahanan nasional, atau untuk kemajuan nasional, atau untuk kesejahteraan umum.”
Sementara itu, memberi infak secara rahasia kepada orang melarat itu juga baik, karena dengan demikian seseorang dapat menghapus perbuatannya yang buruk, yakni mencegah diri dari membeberkan kemelaratan saudara-saudaranya dan mencegah untuk merasa sombong (QS 2:271).
Perlu diingat peringatan Nabi Suci bahwa “infak umat Islam bukanlah untuk kesejahteraan umat Islam saja, melainkan pula untuk kesejahteraan kaum kafir atau non-Islam. Dan Islam tak membenarkan perbedaan agama sebagai rintangan untuk memberikan infak kepada orang yang pantas menerimanya.”
Quran Suci menganjurkan agar infak rahasia itu pertama-tama diberikan bukan kepada peminta-minta atau pengemis, melainkan “untuk kaum melarat yang terkurung di jalan Allah, mereka tak dapat pergi berusaha di bumi; orang bodoh mengira bahwa mereka itu kaya, karena menjauhkan diri dari meninta-minta” (QS 2:273). Termasuk golongan ini antara lain orang yang berjuang untuk membela Islam tetapi tak mempunyai mata pencaharian. Ayat ini juga mengindikasikan bahwa Quran Suci tak membenarkan perbuatan meminta-minta atau mengemis.[]
Dinukil dari naskah buku “Ensiklopedia Ahmadiyah” karya S. Ali Yasir
Comment here