Dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya Rosa Mauela Abendanon, istri dari J.H. Abendanon, Menteri Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda pada masanya, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kata-kata “Door Duisternis Tot Licht.” Secara harfiah artinya, “Dari Gelap Kepada Cahaya”.
Surat-surat Kartini itu oleh J.H. Abendanon dikumpulkan, lantas kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Judul buku itu ia ambil dari kata-kata itu: “Door Duisternis Tot Licht.” Buku itu terbit untuk pertama kalinya di tahun 1911.
Sayangnya, kata-kata ini sedikit agak melenceng maknanya dalam terjemah bahasa Melayu yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1922, yang dikerjakan oleh Empat Saudara Sastrawan Pujangga Baru, salah satunya Armijn Pane. Judul Buku itu, “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Mungkin, sebagai seorang sastrawan, Pane bermaksud membuatnya menjadi lebih puitis. Lagipula di kemudian hari Pane juga merombak sedemikian rupa buku itu menjadi seperti roman. “Roman kehidupan perempuan Kartini,” begitu pengakuan Pane sendiri.
Terjemah Pane tentu tidaklah salah. Cuma seolah jadi lepas, atau setidaknya agak jauh maknanya, dari sumber muasalnya kalimat itu sendiri.
Muasal kalimat adagium itu adalah bunyi penggalan ayat di dalam Quran Suci Surat Al-Baqarah ayat 257, “Minadz-dzulumaati Ilan-Nuur.” Arti penggalan ayat ini sama persis dengan kalimat yang diulang-ulang Kartini di dalam surat-suratnya ke Abendanon itu.
Dari mana Kartini tahu ayat itu? Dari Kyai Saleh Darat. Lebih tepatnya, dari Kitab Terjemah dan Tasir Qur’an karya seorang Kyai yang bernama asli Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani, yang bermukim di Semarang, bertajuk Faidh al-Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan.
Kitab Tafsir ini boleh dikata menjadi kitab terjemah dan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa, meskipun ditulis dengan aksara Arab Pegon. Kitab ini baru memuat 13 Juz Al-Quran, mulai dari surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim.
Kitab terjemah tafsir itu konon lahir karena terinspirasi oleh Kartini sendiri. Hal ini diisyaratkan oleh Kyai Saleh Darat sendiri dalam mukadimah Kitab itu. Kartini oleh Kyai Saleh Darat dalam mukadimah itu disebut sebagai “ikhwan kita fiddin.”
Karenanya, kitab itu dihadiahkan Kyai Saleh Darat kepada Kartini, sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Kartini menyebutnya sebagai “kado pernikahan yang tak bisa dinilai manusia.”
Menurut riwayat, Kartini berkenalan untuk pertama kalinya dengan Kyai Haji Saleh Darat di tahun 1891, dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, paman Kartini. Waktu itu, umurnya baru 13 tahun.
Kyai Saleh Darat kala itu memberikan ceramah tentang tafsir Surat Al-Fatihah. Kartini begitu khusyuk mendengarkan ceramahnya. Sebabnya, selama ini, Kartini hanya tahu membaca surat itu, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini secara khusus menemui Kyai Saleh Darat. Dalam pertemuan itu, Kartini menumpahkan kekaguman, sekaligus kegelisahannya.
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah,” ucap Kartini. “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
“Namun saya heran,” Kartini melanjutkan, “mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Pemerintah Belanda pada masa itu secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan senada seirama, para ulama kala itu juga memfatwa haram bagi barang siapa yang berani menerjemahkan atau menafsirkan Al-Qur’an.
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar tertanggal 6 November 1899, Kartini menuliskan keadaan itu, “Al-Quran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.”
“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca,” lanjut Kartini. “Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.”
Atas inspirasi Kartini dalam pertemuan itulah, Kyai Saleh Darat menemukan keberanian untuk melawan aturan dan pola pikir mainstrem kala itu.
Selama hampir sebelas bulan, sejak Februari hingga Desember 1892, Kyai Saleh Darat mengerjakan Kitab Terjemah Tafsirnya. Sayangnya, belum seluruh surat Al-Quran semuanya ia bisa terjemah-tafsirkan, Kyai Saleh Darat wafat.
Melalui Kitab inilah, Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Ayat yang kemudian seolah lekat menjadi ciri khas ketika orang mengingatnya.
Allaahu waliyyul ladziina aamanu. Yukhrijuhum minadz-dzulumaati ilan-nuur. Allah adalah kawan orang beriman. Ia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.
Kartini amat terkesan akan ayat itu, dan merasakan sendiri proses perubahan di dalam dirinya, dan mengubah cara pandangnya tentang Islam dan dunia.
Alam pikirnya yang gelap gulita memandang keadaan kehidupan di sekelilingnya, seolah mendapatkan penerangan dari cahaya yang terpendar dari petunjuk-petunjuk Ilahi di dalam Qur’an yang ia baca, dan yang ia tahu artinya.
Perubahan cara berfikir atau paradigma Kartini itu tampak dalam berbagai suratnya yang belakangan.
Antara lain, dalam suratnya kepada Abendanon, tertanggal 12 Oktober 1902, Kartini menulis, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya, tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah.”
Lagi, dalam suratnya kepada Van Kol, tertanggal 21 Juli 1902, Kartini menulis, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Sayangnya, tak berlama-lama Kartini bisa mentadarusi-mentadabburi kitab terjemah dan tafsir Quran karya Kyai Saleh Darat itu. Tak juga Kartini bisa meluluskan tekadnya “memperbaiki citra Islam”, dan “bekerja membuat agama lain memandang Islam patut disukai” itu.
Sebabnya, di tahun 1903, empat hari sesudah melahirkan putra tunggalnya, ia wafat. Ketika itu, usianya baru 25 tahun.
Tapi, Al-Qur’an telah nuzul ke dalam dirinya. Dan cahaya yang ia temukan di dalam Al-Qur’an itu, telah ia pancarkan melewati ruang dan waktu, menjadi inspirasi perempuan, dan juga laki-laki, di segala tempat dan di segala zaman.
Maka dengan itu, bolehlah Kartini mendapat gelar tertinggi sebagaimana yang ia cita-citakan. Cita-cita, yang ia tuangkan dalam suratnya ke Abendanon, tertanggal 1 Agustus 1903, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.”
Asgor Ali, yang belum jadi Hamba Allah
21 April 2022 M / 18 (atau 19) Ramadhan 1443 H
Comment here