“Meskipun banjir ombak asik dalam sanubari saja dimasa usia pancaroba dilondong hanyutkan sampai sekarang terus dihilirkan oleh kejadian 1917 perhatian saya tehadap Islam terus berjalan. Pengertian yang masih saya ingat dari tafsir Qur’an itu, tentulah tiada berarti lagi. Yang tinggal dibawah lantai kesadaran (subsunciousness) ialah kesan semata-mata. Tetapi terjemahan Qur’an ke daam bahasa Belanda dahulu beberapa kali saya tamatkan, semua buku dan diktatnya Almarhum Snouck Hurgroaje tentang Islam sudah saya baca. Baru ini di Singapura saya baca lagi terjemahan Islam kebahasa Inggris oleh Sales dan ahli Timur, ialah Maulana Muhammad Ali Almarhum.
….
Berhubung dengan keterangan diatas maka sejarah-Islam dalam lebih kurang 1200 tahun sesudahnya Muhammad SAW yakni sejarah yang condong pada politik seperti pengangkatan Imam baru, menurut dan menurutkan partai Ali atau meneruskan pilihan yang demokratis seperti pengangkatan Abubakar, Umar, dan Usman; perbedaan mazhabnya Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki satu aliran Islam kearah kegaiban (mysticisme) pada satu pihak (Imam Gazali) dan kenyataan (rationalisme), sampai ketiadaannya Tuhan-Tuhan (Atheisme), pada lain pihak (Mutazaliten); pergerakan Islam yang baru kita kenal sekarang seperti Wahabi, Muhammadiyah dan Ahmadiyah; semuanya ini mesti diseluk dengan sejarahnya politik, ekonomi, seperti bumi dan perantara masyarkat Muslimin di Eropa Selatan, Afrika, Asia Barat dan Tengah diluar maksudnya buku ini dan diluar kekuasaan kesempatan saya.”
(Tan Malaka, Madilog, sub bagian 3: Kepercayaan Asia Barat. Poin C. Islam)
Selengkapnya di sini
Comment here