Telah berulang kali kunyatakan, janganlah kalian merasa senang dan puas hanya dengan mengaku sebagai muslim dan menjadi pengikrar lafadz “lâ ilâha illallâh”. Orang yang membaca Qur’an Suci pasti paham benar, bahwa Allah Ta’ala tak mungkin berkenan dengan pengakuan-pengakuan yang hanya terbatas pada lisan belaka.
Dalam Qur’an Suci tercantum kisah Umat Yahudi. Mulanya mereka mendapat limpahan anugrah dari Allah Ta’ala. Tapi, setelah nyata benar iman mereka hanya sebatas di bibir saja, sementara hati mereka penuh dengan kebohongan, khianat, serta pikiran buruk terhadapNya, maka Allah Ta’ala mendatangkan berbagai adzab kepada mereka.
Sebagian dari mereka bahkan disebut “kera” dan “babi”. Padahal, di tangan mereka terdapat Taurat dan Zabur. Mereka menyatakan iman kepada kedua Kitab Suci itu, dan kepada para Nabi pembawanya. Akan tetapi Allah tidak mencintai mereka, sebab iman mereka hanya tinggal di bibir saja, sedang hatinya kosong.
Tahlil adalah intisari Qur’an Suci yang diajarkan kepada setiap muslim. Bagi kebanyak-an orang, mungkin menghafalkan kitab-kitab yang tebal itu sulit. Oleh sebab itu, Allah Yang Maha Bijaksana mengajarkan kalimat yang singkat ini. Tetapi banyak orang sesat pikir, karena mengira bahwa hanya dengan membaca kalimat tahlil saja sudah cukup membuat mereka masuk sorga.
Mereka salah paham atas sabda Nabi Suci, “barangsiapa mengucapkan lâ ilâha illallâh, maka dia akan masuk dalam Sorga.”
Sungguh, bukanlah demikian! Tahlil yang sesungguhnya adalah ketika manusia mengikrarkan “lâ ilâha illallâh” dalam lisannya, dan membenarkan ucapan itu dengan hatinya, dengan kesadaran bahwa tiada sesembahan (ma’bûd), kekasih (mahbûb), dan tujuan sejati (maqshûd), kecuali Allah.
Apabila manusia mengikrarkan kalimat tahlil dengan sungguh-sungguh, maka baginya tidak mungkin ada kekasih yang mutlak kecuali Allah, tidak ada sesembahan yang mutlak selain Allah, dan tidak akan ada tujuan akhir selain Allah.
Dengan kata lain, selama Allah tidak diutamakan atau diprioritaskan, selama Allah tidak dijadikan sebagai sesembahan, selama Allah tidak dipandang sebagai titik tujuan kehidupannya, maka tidak mungkin manusia dapat mencapai keselamatan.
Tahlil adalah meniadakan semua Ilâh kecuali Allah Yang Esa. Karena itu, hendaknya manusia menyucikan hatinya dengan mengeluarkan semua Ilâh yang mendekam dalam dirinya, dan hanya mengabadikan dalam hatinya satu Ilâh semata, yakni Allah Ta’ala!***
[Ghulam Ahmad, Safinatu Nuh]
Comment here