Artikel

Mengantarkan masa depan anak-anak kita Melalui Pendidikan Yang Tepat dan Berkualitas

teacher asking a question to the class

Apa yang terlintas di benak para orangtua ketika anak-anak mereka pergi ke sekolah? Tentu saja jawabnya bermacam-macam: agar pintar, berakhlak, dapat ijasah untuk bekal masa depan, agar kelak mendapat pekerjaan yang layak, dsb.

Para orangtua berani membayar mahal untuk sebuah sekolah yang diyakininya mampu memenuhi harapannya. Hal ini berjalan seiring dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang berkualitas.

Untuk memenuhi harapan para orang tua tersebut, muncul sekolah dengan berbagai predikat yang menyertainya, seperti sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah berprestasi, dsb. Banyak model pendidikan yang ditawarkannya: ada fullday school, boarding school, international school, sekolah alam, dll., yang tentu saja diikuti dengan konsekuensi biaya yang lumayan mahal.

Berbagai tawaraan tersebut sering membuat para orang tua kebingungan menentukan sekolah mana yang “terbaik” untuk anaknya. Bagi orang tua yang tidak cukup memiliki wawasan, tak jarang mereka terjebak oleh trend dan opini masyarakat yang tidak jelas orientasinya. Tak jarang pula mereka hanya latah.

Bahkan ada pula yang secara ekstrim tidak mengirim anaknya ke sekolah dan mengambil alternatif home schooling, karena merasa sekolah yang ada tidak cukup memenuhi standar kualitas sebagaimana yang diharapkannya. Sekolah dinilai tidak efektif. Keunggulan sekolah sering hanya diukur dari kemampuan kognitif (perolehan NEM), gedung dan fasilitasnya, atau kepopuleran namanya.

Ada juga orang tua yang dalam memilih sekolah buat anaknya lebih karena pertimbangan biaya. Maka pilihan utama kemudian mengirim anak anaknya ke SMK dengan harapan cepat lulus dan cepat bekerja,  tanpa mempedulikan minat, bakat  dan kemampuan anak. Apalagi didukung oleh fakta banyaknya sarjana yang tidak dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang keahliannya.

Mereka berebut lahan kerja yang semestinya diambil oleh orang yang memiliki kualifikasi pendidikan di bawahnya. Hal itu sangat mungkin terjadi karena yang ada di kepala para sarjana itu ketika kuliah lebih mementingkan status kemahasiswaannya, lulus dengan titel sarjana dan ijazah untuk kemudian ”melamar” kerja kantoran atau jadi PNS.

Memaknai kembali pendidikan

Pendidikan merupakan sebuah proses human being (memanusiakan manusia) menuju terbentuknya pribadi yang berkualitas dan berkarakter; yakni manusia yang memiliki kemampuan kreatif-produktif serta memiliki jati diri yang sesuai dengan pandangan Islam, yaitu manusia yang mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi (khalifatullah), sebagai hamba Allah (’abdullah) serta sebagai mahluk yang mulia (makhluqillah).

Sekolah sebagai salah satu bagian dari lembaga pendidikan, diharapkan mampu berfungsi sebagai “wahana belajar hidup” bagi siswanya sehingga melahirkan generasi yang mampu berfikir kritis dan kreatif yang memungkinkan dirinya mengembangkan peran serta secara aktif dalam dunia sosial yang selalu berubah.

Para ahli sepakat akan pentingnya pendidikan agama sejak dini, terutama pada lima tahun pertama (the golden age) dimana seluruh fundamen/dasar kecerdasan anak diletakkan. Apalagi di tengah arus perubahan sosial yang demikian cepat, dimana kita sering dihadapkan pada situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya.

Kadang sulit dibedakan antara tuntunan dan tontonan. Sering juga ditampilkan sosok yang paginya di puja, malamnya dihujat; sore di mimbar esoknya di penjara. Hal itu terus berlangsung seiring dengan perubahan politik dan kultural serta bergesernya struktur-struktur sosial lama. Semua itu memunculkan keadaan-keadaan baru yang sering tidak diikuti dengan kesiapan yang memadai.

Pendidikan seharusnya mampu berperan memberikan pembinaan akhlak anak didik dan berkelakuan yang benar. Dalam keadaan seperti ini kita memerlukan manusia yang memiliki keberanian hidup, yang bersedia dan mampu berdiri di atas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri, dan tidak menggantungkan nasibnya pada pemerintah atau birokrasi besar.

Kemampuan demikian memerlukan pengayaan pengalaman untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang hanya mungkin diperoleh dan berkembang dalam iklim belajar yang terbuka, dialogis dan demokratis. Hal ini karena kekayaan pengalaman dan pembelajaran yang demokratis akan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial dimana dirinya terlibat.

Ada beberapa hal yang kiranya layak dipertimbangkan oleh para orang tua untuk memilih sekolah yang terbaik bagi generasi masa depan, yaitu sekolah yang:

  1. Memberikan kenyamanan baik secara fisik maupun lingkungan psikologis yang memadai (luas area dan fasilitasnya memadai, sehat, menyenangkan, demokratis, humanis dan menghargai perbedaan). Proses belajar akan maksimal jika didukung oleh lingkungan yang kondusif.
  2. Mengacu pada nilai nilai agama sebagai landasan moral. Tentu saja agama dalam hal ini bukan saja dipandang sebagai sumber moral yang normatif/ fiqih oriented (halal/haram, pahala/dosa, surga/ neraka,) seperti yang selama ini terjadi, tetapi lebih sebagai etika sosial. Guru agama yang selama ini sering terjebak pada fiqih yang cenderung kaku dan rigit diajak menuju fiqih yang lebih mengutamakan nilai nilai kemanusiaan universal seperti kemaslahatan, menghargai perbedaan, kepedulian pada sesama, keadilan dll, sehingga agama benar benar menjadi rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian pendidikan agama akan lebih kontekstual, aktual, fungsional, menarik dan lebih bercita rasa.
  3. Menjamin kemerdekaan dan hak anak melalui pemberian kesempatan dan pengalaman sebanyak banyaknya bagi tumbuh-kembangnya potensi yang dimiliki anak (bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga psikososial, kreatifitas produktif, maupun ketrampilan motorisnya).

Para orang tua tentu saja sadar akan perlunya kesiapan mental yang tangguh dan kokoh bagi anaknya untuk memasuki dunia modern yang mengglobal dan penuh dengan segala tantangan serta resiko yang mengiringinya. Untuk mewujudkannya tentu saja tidak bisa dilakukan secara kilat dan instan. Ia harus disemaikan dan dipupuk sejak dini dan melalui proses pendidikan yang terencana dengan baik dimulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat.

Dari sekian institusi yang ada, keluarga tetap merupakan pilar utama yang memberi peluang paling berpengaruh dan menentukan terhadap perkembangan kepribadian anak. Hal di atas dikarenakan orang tuanya (utamanya ibu) merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya, sekaligus peletak dasar kecerdasan yang akan menentukan perkembangan selanjutnya.

Dengan demikian tanggung jawab utama pendidikan anak berada di pundak kedua orang tuanya sebagai pemegang amanat dari Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw.: “Tiap-tiap anak terlahir sesuai dengan fitrahnya. Orang tuanyalah yang akan membentuknya apakah ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi…”

Namun dengan adanya berbagai tanggung jawab dan keterbatasannya, tidak salah jika para orang tua mempercayakan sekaligus mendelegasikan ”sebagian” tanggungjawab pendidikan anaknya kepada sekolah ataupun masyarakat. Untuk itu perlu kiranya kesadaran yang mendalam dari para orang tua agar tidak menyerahkan tanggung jawab pendidikan anaknya sepenuhnya kepada sekolah. Di sinilah pentingnya komunikasi serta kerja sama yang sinergis antara wali murid dan sekolah.

Hal lain yang tak kalah menentukan keberhasilan anak di sekolah adalah bagaimana orang tua membekali anaknya sebaik-baiknya ketika mau memasuki dunia sekolah, di samping juga bimbingan, perhatian, kasih sayang dan komunikasi yang efektif mutlak diperlukan. Untuk dapat melaksanakan tugas dan perannya dengan baik, tentu saja orang tua juga dituntut untuk terus belajar dan mengembangkan ketrampilan dan wawasannya.[]

  • Penulis: Anis Farikhatin | Guru SMA PIRI 1 Yogyakarta
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here