ArtikelTokoh

Ghulam Ahmad: Dari Filsafat hingga Tasawuf

Sebagai seorang pembaharu (mujaddid), Ghulam Ahmad merupakan seorang pemikir, tapi ia bukan seorang rasionalis dalam arti yang menjadikan akal sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran.

Oleh: Ngutsman Mukromin, S.Fil.I, M.Phil.

Ghulam Ahmad: The Great Reformer
Ghulam Ahmad: The Great Reformer

Istilah jasmani dan rohani, dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah telah menjadi satu entitas tunggal karena penyebutannya yang tidak dapat dipisahkan. Di samping itu, kajiannya pun telah mengalami banyak perkembangan dan diungkapkan dalam berbagai ragam istilah bahasa. Istilah “jasmani”, mau tidak mau harus dipersandingkan dengan “rohani”, kata “raga” dijodohkan dengan “jiwa”, sementara sebutan untuk “jasad” berpasangan dengan “roh”. Keaneka-ragaman penyebutan ini menunjukkan bahwa realitas tersebut menyimpan banyak misteri yang tidak terpecahkan. Tapi pada intinya, jasmani dan rohani merupakan dua hal yang berbeda namun saling melengkapi.

Manusia bagi dirinya sendiri, merupakan seonggok makhluk misterius yang masih menyimpan banyak teka-teki. Konon dari sekian banyak jumlah manusia yang pernah mendiami bumi, dari dulu hingga sekarang, masing-masing memiliki perbedaan baik dalam jasmani maupun rohaninya. Ada orang cakap namun perangainya buruk, ada juga orang cantik namun inteleknya rendah. Namun ada juga seseorang yang cacat jasmani namun rohaninya mapan, dan lain sebagainya.

Menurut Ghulam Ahmad, manusia adalah sebuah organisme material (jasmani) yang di dalamnya terpancar cahaya ilahiah (rohani). Setiap makhluk yang dinamakan manusia pasti memiliki dua unsur tersebut, yakni jasmani dan rohani. Jasmani/badan/raga merupakan bentuk wadag manusia (material), sementara rohani/jiwa/roh adalah bentuk halus manusia (immaterial). Antara yang material dan immaterial masing-masing tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi:

 “Jiwa tidak dapat berfungsi tanpa raga; raga anda akan membeku dan kedinginan tanpa jiwa. Seekor burung yang sedang terbang di angkasa sampai tak kelihatan; bayangannya akan jatuh pada salah satu bagian dari bumi.” [1]

Semenjak awal, tradisi mistisisme Islam (tasawuf) memang sudah menekankan bahwa keberadaan jasmani dan rohani menjadi unsur penting bagi eksistensi manusia. Mistisisme Islam adalah tradisi keilmuan yang tidak bisa lepas dari pengaruh filsafat emanasi Plotinus yang menyatakan bahwa roh memancar dari zat Tuhan dan suatu saat akan kembali kepada-Nya. Namun dengan masuknya roh ke dalam materi lantas ia menjadi kotor, dengan demikian agar roh dapat kembali pada asalnya ia harus disucikan. Selama ratusan abad ­hingga sekarang­­, perdebatan di kalangan para sarjana muslim mengenai aspek rohani manusia tak kunjung usai.

Pemikir-pemikir seperti Ibn Sina, al-Farabi, al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa jiwa merupakan akibat dari emanasi Tuhan. Di samping itu jiwa pun mengalami perkembangan, sampai pada tingkatannya yang tertinggi. Apa yang disebut intelek tidak lain adalah jiwa yang sudah mencapai tingkatannya yang tertinggi. Pada saat itulah manusia bisa berhubungan dengan alam ketuhanan. Sementara itu para pemikir sufistik pun tidak jauh berbeda, hanya saja mereka lebih memfokuskan kajiannya pada tazkiyah al-nafs.

Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, setelah ia membagi jiwa manusia menjadi jiwa tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa rasional, dia pun melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa jiwa pun memiliki kecenderungan sufistik (cahaya ketuhanan). al-Ghazali akhirnya mengemukakan, tingkatan jiwa manusia dapat terbagi menjadi 7 (tujuh) macam, antara lain: al-nafs al-ammarah, al-nafs al-lawwamah, al-nafs al-mulhammah, al-nafs al-kamilah, al-nafs al-mut‘mainnah, al-nafs al-rad}iyyah dan al-nafs al-mard}iyyah. Sementara di sisi lain Ibn Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa pembagian jiwa hanya ada 3 (tiga) macam, yakni: al-nafs al-ammarah, al-nafs al-lawwamah dan al-nafs al-mut‘mainnah. Rupanya baik al-Ghazali maupun Ibn Qayyim sepakat bahwa al-nafs al-ammarah merupakan jiwa yang memiliki kecenderungan buruk sementara al-nafs al-lawwamahadalah jiwa yang masih bimbang, suka dengan kebaikan tapi juga masih sering dengan kejahatan. Dan terakhir, al-nafs al-mut‘mainnah ialah jiwa yang tenang (tuma’ninah).

Sementara itu, Ghulam Ahmad banyak memiliki kesamaan dengan Ibn Qayyim yang membagi maqam kejiwaan manusia dalam tiga tiga tingkatan, yakni: al-nafs ammarah, al-nafs lawwamah dan al-nafs mut‘mainnah.[2] Sejauh pengamatan penulis, Ghulam Ahmad dalam kajiannya terhadap jiwa cukup sederhana, tidak sebagaimana al-Gazali yang membeda-bedakan pengertian jiwa dalam tinjauan filsafat dan tinjauan tasawuf.[3] Dalam hal ini, Ghulam Ahmad menerangkan:

Apa­bila kita renungkan dengan seksama, kita akan mengetahui bahwa induk ruh justru tubuh itu juga. Sesungguhnya ruh itu tidak jatuh dari atas dan masuk ke dalam kandungan wanita hamil, melainkan ia adalah suatu nur (cahaya) yang justru terkandung dalam nutfah (benih manusia) secara tersembunyi, dan semakin bercahaya seiring perkembangan tubuh (embrio).[4]

Roh manusia memang tidak jatuh dari langit dan kemudian bertemu dengan embrio, melainkan ia adalah suatu nur yang terkandung dalam nutfah. Dalam hal ini Ghulam Ahmad memang tidak sepakat dengan para pendahulunya, terutama al-Gazali, yang meyakini kebenaran teori emanasi.

Jiwa manusia selalu mengalami evolusi dari tingkat primitif ke tingkat yang lebih tinggi, sementara perkembangannya dipengaruhi oleh perilaku jasmaniah dan berlaku pula untuk sebaliknya. Jasmani dan rohani memang tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Menurut Ghulam Ahmad, perilaku jasmani akan sangat mempengaruhi kondisi rohani, begitu pula keadaan rohani pun selalu menyembul dalam keseharian lahiriah manusia.[5] Misalnya, seorang vegetarian, yang tidak pernah memakan sesuatu selain tumbuh-tumbuhan, maka dari kebiasaan makannya itu akan menimbulkan sifat lemah lembut pada dirinya. Sama halnya dengan binatang herbivora, ia tak pernah memiliki agresifitas sebagaimana binatang karnivora, karena dipengaruhi oleh sesuatu yang ia makan. Seseorang yang berpura-pura gembira di hadapan orang lain, maka secara alamiah hatinya akan merasa gembira.[6]

Konteks Nalar Pemikiran Ghulam Ahmad

Sejarah yang membentuk hidup Ghulam Ahmad memang berbeda jauh dengan masa al-Ghazali ataupun Ibn Qayyim al-Jauziyah, sehingga ide-ide yang kemudian keluar dari perenungannya pun tidak sama dengan para pendahulunya, meski dalam beberapa hal ia mengakui apa yang diajarkan oleh al-Ghazali dan Ibn Qayyim. Ghulam Ahmad hidup di sebuah penggal sejarah sewaktu ilmu pengetahuan “barat” sedang merangkak menuju masa kejayaannya, sementara dunia Islam sedang mengalami kemundurannya. Sedang negerinya tercinta, India, masih dalam cengkeraman kuku-kuku tajam Kerajaan Inggris.

Dalam beberapa hal Ghulam Ahmad memang tidak sepakat dengan para pemikir rasionalis dari “barat”. Bahkan karena itu, ia sering sekali berseteru pendapat dengan Ahmad Khan, yang dianggap berpikiran kebarat-baratan itu.

Sir Sayid Ahmad Khan (1817-1898), yang hidup sezaman dengan Ghulam Ahmad, oleh sementara orang dianggap sebagai pembaharu, karena banyak jasanya terhadap Islam. Pendiri Muhammadan Anglo Oriental College (1875) ini mengetengahkan Islam dengan jalan rasionalisme, seperti halnya kaum Muktazilah pada zaman Dinasti Abbasiyah, yaitu menempatkan Islam di bawah filsafat manusia yang bersifat materiaslistis. Misalnya materi mereka anggap azali dan abadi, sedang Allah itu hanyalah illatul-‘ilâl (sebab yang tertinggi yang tidak memunyai kodrat dan iradat); ijabâtud-du’â (terkabulnya doa) mereka tolak, sebagaimana ditulis dalam bukunya Ad-Du’â wal-Istajaba, bahwa terkabulnya doa bukanlah fakta, melainkan hanya sejenis perasaan terhibur dalam hati setelah seseorang berdoa kepada Tuhan; nubuwwat adalah suatu bakat manusia, bukan karunia yang diamanatkan Ilahi kepada hambanya yang terpilih; malaikat dianggapnya kekuatan yang tersimpan dalam materi; dan sebagainya.

Menurut Ghulam Ahmad, ajaran Ahmad Khan tersebut bertentangan dengan ajaran Quran Suci, Hadits Nabi dan pengalaman orang-orang suci yang lahir dari zaman ke zaman. Beliau angkat pena dan meluruskan pendapat yang keliru tersebut, dan kemudian lahirlah buku Barakatud-Du’a.[7]

Sebagai seorang pembaharu (mujaddid), Ghulam Ahmad merupakan seorang pemikir, tapi ia bukan seorang rasionalis dalam arti akal dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran. Menurut penuturan Asep Burhanudin, Ghulam Ahmad tahu persis bahwa wahyu tidak mungkin akan bertentangan dengan akal, namun sayangnya akal kerap kali membuat manusia terjerumus dalam kesesatan. Menurutnya akal yang baik ialah akal yang suci, dalam arti akal yang selalu disertai dengan kebijaksanaan dan ketakwaan.[8] Oleh karena itu, apabila akal telah menemui jalannya yang buntu maka ia harus segera kembali kepada wahyu Allah SWT. Di samping akalnya, manusia memiliki batin sebagai satu-satunya fasilitas tercanggih untuk berhubungan langsung dengan Tuhan.[9]

Tasawuf Ghulam Ahmad

Ghulam Ahmad lahir di masa kekuasaan Dinasti Moghul menuai kehancurannya. Kondisi masyarakat waktu itu betul-betul kacau, konflik agama bisa kapan saja terjadi, Agama Islam menjadi sasaran empuk bagi serangan agama lain, terutama misionaris Nasrani dan Sikh. Sebagai wakil dari Islam, Ghulam Ahmad tampil menghadapi serangan mereka, mengumandangkan kebesaran Tuhan dan kemenangan Islam (fathi Islam) di atas agama-agama lain.

Ghulam AhmadGhulam Ahmad adalah seorang sufi, setidaknya itulah yang kita tangkap dari kesehariannya. Dari situ dapat diketahui pula bahwa ia membaca manusia pun dalam kerangka seorang sufi. Manusia, di samping makhluk jasmani juga memiliki sisi lain yang disebut rohani, intisari gerak hidup manusia terletak pada rohaninya, sementara rohani –idealnya– senantiasa mengalami evolusi (perkembangan) dari tingkat primitif menuju tingkat yang lebih tinggi. Dengan mengikuti perkembangan rohaninya, secara otomatis manusia akan sampai kepada Khaliknya, bahkan lebur (fana’) bersama-Nya. Tujuan hidup manusia di dunia tidak ada yang lain kecuali beribadah kepada-Nya, beribadah tidak cukup hanya dengan mendirikan Rukun Islam yang 5 (lima) –setelah melaksanakan Rukun Iman, melainkan manusia harus betul-betul mendekat kepada-Nya. Bagi Ghulam Ahmad, seorang mukmin sejati adalah ia yang menyadari tujuan hidupnya dan kemudian menjalankannya.

Sedangkan mengenai jalan (cara) tujuan hidup, Ghulam Ahmad menyaratkan hanya ada 5 (lima), yakni: mengenal Allah, berdo’a kepada-Nya, mujahadah, istiqamah, dan kasyf. Lagi-lagi Ghulam Ahmad mengumumkan adanya jalan lain yang berbeda dari model tasawuf pada umumnya semisal al-Ghazali yang menyarankan ada 7 (tujuh) macam stasiun, antara lain: taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, dan ridla.

Pada dasarnya apa yang diucapkan Ghulam Ahmad dengan para pendahulunya tidak jauh berbeda. Mengenai perihal taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal dan ridla, bagi Ghulam Ahmad, ketujuh stasiun itu sudah termasuk (inhern) dalam 3 (tiga) tahap perkembangan jiwa. Lima maqamat pertama yakni; taubat, wara’, zuhud, fakir  dan sabar, tergabung dalam perbaikan al-nafs al-lawwamah, sedangkan dua maqamat selanjutnya yakni tawakkal dan ridla, merupakan bagian wajib dari al-nafs al-muthmainnah. Oleh karena itu, di luar kewajiban rohaniah tersebut, sebagai rangkaian jalan menuju Tuhan, Ghulam Ahmad menuturkan hal-hal lain yang tak kalah pentingnya.

Adanya perbedaan sudut pandang seperti itu semata-mata lebih karena refleksi sosial yang dihadapi berbeda. Sebagaimana telah disebutkan, Ghulam Ahmad hidup di masa mantalitas umat Islam berada pada titik bekunya, di saat bid’ah, tahayul maupun perbuatan syirik merajalela. Di samping itu, umat Islam sering mengalami teror teologis dari pemuka agama-agama lain, hal itu cukup membuat mereka “sock teologis” tingkat akut. Maka tak ayal bila konsepsi tarekatnya lebih menitikberatkan urusan teologi –mengenal dan mengimani Allah– pada tingkat dasarnya.

Kemudian berdo’a dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar maksud mulianya dikabulkan. Tidak lupa Ghulam Ahmad pun menekankan bahwa do’a bukanlah sebuah alasan seseorang menjadi malas bekerja keras, bahkan idealnya do’a baru diucapkan setelah ia bekerja mati-matian supaya Allah membukakan hatinya kepada al-shirat al-mustaqim (jalan yang lurus). Sebagaimana diketahui, do’a merupakan simbol bagi orang lemah –secara jasmani maupun rohani, artinya kondisi umat Islam pada saat itu sedang lemah, tak berdaya. Makanya dengan menggantungkan segala urusan hanya kepada Allah semata dapat menghindarkan sifat putus asa dan membangkitkan kembali spirit juang kaum muslimin.

Setelah kewajiban berdo’a, satu kewajiban lagi yakni mujahadah. Mujahadah ialah berjuang keras dan sungguh-sungguh dengan mendayagunakan segenap harta, jiwa dan raga. Mujahadah dalam konteks tasawuf tiada lain kecuali berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sementara mujahadah dalam kaitannya dengan pemikiran Ghulam Ahmad secara umum ialah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menghidupkan kembali cahaya Islam, berjihad dengan keindahan (jamali). Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Muhammad Ali sebagai berikut:

Pendiri Gerakan Ahmadiyah mengemukakan bahwa tujuan menyiarkan Islam bukanlah suatu perkara biasa, akan tetapi harus dianggap sebagai mujahadah, suatu sarana penyucian jiwa. Mujahadah adalah istilah teknis untuk penyucian jiwa melalui berbagai latihan rohani. Para pemimpin rohani biasanya menerima bai’at para pengikutnya untuk mencapai kemajuan rohani, lalu menasehati para muridnya dengan berbagai dzikir (melafalkan kebesaran Ilahi) dan mujahadah (mengingat Allah dengan rajin dan khidmat). Pendiri Gerakan Ahmadiyah mengganti segala dzikir dan mujahadah ini dengan sesuatu yang betul-betul menguntungkan risalah Islam dan lebih sesuai dengan Sunnah Nabi. Di samping itu, sebenarnya tidak ada jejak ajaran mistik seperti itu dalam kehidupan Nabi Suci yang belakangan diajarkan para sufi, yang ini bisa berakibat kaum Muslimin jadi malas tanpa harapan. Pendiri Gerakan menerima bai’at para pengikutnya, lalu mengajak mereka untuk berjuang sekuat-kuatnya demi risalah Islam dan mencurahkan segala kemampuan demi syiar Islam. Dengan demikian beliau membangun kekuatan kaum Muslimin yang sedang tidur nyenyak, lalu menuntun mereka untuk mencapai tujuan yang lebih mulia. Beliau mengajarkan bahwa penyucian jiwa itu dapat dicapai bukan melalui dzikir-dzikir yang tak ada jejaknya dalam ajaran Nabi maupun para sahabat beliau tetapi dengan jihad rohani yang bisa membawa risalah Islam kepada orang lain.[10]

Sementara yang dimaksud degan istiqamah ialah konsistensi di dalam perjuangan, tidak mudah menyerah. Atau bila menurut al-Ghazali lebih sesuai diartikan sebagai sabar dalam perjuangan. Selain istiqamah –dalam maqam keempat ini– Ghulam Ahmad pun menyarankan kepada sang salik supaya bergaul dengan kaum shalih, yang dimaksudkan supaya mengambil suri tauladan dari perjuangan mereka. Dalam konteks Fathi Islam, yang dimaksud dengan pergaulan bersama orang-orang shalih adalah berkumpul dengan orang-orang yang satu perjuangan, satu visi-misi bersama.

Terakhir kasyf, sama artinya dengan tahap kemenangan. Seorang salik diharapkan tabah dalam menjalani kasyf ini karena pada saat-saat demikian ia akan mengalami apa yang disebut fana’. Menurut M. Amin Syukur, sebetulnya di atas maqam tersebut masih ada maqamat lagi, seperti; mahabbah (cinta), ittihad (persatuan), hulul dan wahdah al-wujud.[11] Dalam hal ini Ghulam Ahmad tidak menekankannya, karena doktrin tasawufnya terfokus pada fana’ fi rasul dan fana’ fi Allah. Sebagaimana diketahui bahwa Ghulam Ahmad hendak mengarahkan pemahaman umat Islam supaya meninggalkan syirik dan kembali kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan maksud demikian pula ia mendapatkan kasyf Allah dan menerima wahyupengangkatannya menjadi mujaddid serta al-mahdi dan masih untuk menyelamatkan umat Islam dari keterpurukannya.

Apresiasi terhadap Pemikiran Ghulam Ahmad

Ghulam Ahmad merupakan sosok manusia langka, seseorang yang dengan gigih berjuang demi agamanya. Hampir separuh sisa hidupnya ia gunakan untuk merenung dan mendekat kepada Allah sampai suatu hari ia mendapatkan wahyu dari Allah untuk menyebarkan panji-panji kebesaran Islam.

Dengan adanya keterangan-keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya Ghulam Ahmad adalah seorang sufi. Meskipun sebagai seorang sufi, ia tidak sebagaimana seorang sufi yang mengasingkan diri sepenuhnya dari urusan duniawi. Ia juga bukan seorang pengikut tarekat tertentu yang senantiasa menggunakan waktunya untuk banyak berdzikir kepada Allah SWT.  Ia adalah seorang sufi yang bertahan hidup di tengah “konflik” masyarakat, bahkan ia berusaha semaksimal mungkin untuk melerai konflik tersebut. Dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, ia tidak henti-hentinya berjuang keras untuk menyiarkan keindahan syariat Islam.

Bila berbicara mengenai kecenderungan, tasawuf Ghulam Ahmad rupanya sesuai bila digolongkan dalam tasawuf modern (neo-sufisme),[12] Pasalnya, meski sebagai seorang sufi, ia tak pernah melupakan kewajiban sosialnya sebagai seorang yang memiliki pengikut yang masing-masing meminta untuk diayomi, makanya ia memposisikan tasawuf sebanding dengan syari’at.

Sebagai seorang mujaddid yang bidang garapannya syari’at, teologi dan tasawuf, Ghulam Ahmad telah berhasil menyelaraskan ketiga disiplin ilmu yang asumsinya berbeda itu. Menurutnya, syari’at tak mungkin dapat dipisahkan dari teologi dan tasawuf, dan begitu pula sebaliknya. Hubungan ketiganya terletak pada satu hal, semua bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, sementara al-Qur’an dan Hadis –yang sumbernya dari Nabi Suci Muhammad SAW– pun berasal dari Allah SWT. Sesuatu yang memiliki sumber satu, pasti terjalin hubungan yang erat.

Prestasi seperti itu merupakan sesuatu yang langka di masa hidupnya. Ia memang tidak melakukan perubahan yang berarti dalam bidang syari’at, karena sebagian besar hidupnya disibukkan oleh isu-isu teologis, sementara perilaku kesehariannya mencerminkan kehidupan tasawuf.

     Anak-anak sama akrabnya dengan Ahmad. mereka duduk di pangkuannya dan menceritakan dongengan-dongengan dari kamar tidur mereka tentang katak, burung gagak dan binatang-binatang. Ia mendongengkan cerita juga kepada mereka, sebagaimana hal itu dikenang. Anak-anak memperlakukan dia sebagai seorang sahabat.
Seorang sahabat isterinya pernah tinggal selama sebulan di rumahnya. Anak perempuan sahabat tadi kadang-kadang menghibur dirinya dengan masuk ke kamarnya dan mengipasinya selagi ia bekerja. Pada suatu hari anak itu merasa lebih nyaman duduk di dekat jendela. Ia berseru, “Kemarilah dan duduklah di sini. Aku merasa lebih enak di sini.” Ahmad pun bangkit dan duduk di tempat sesuai arahan si anak perempuan itu.
Manakala anak-anak laki-laki pada berangkat untuk menempuh ujian matrikulasi, mereka pada memohon jabat tangan untuk dido’akan. Ketika baru saja ia membalikkan badan mau kembali masuk rumah, tiba-tiba jubahnya ditarik dari belakang.
“Hai, Tuan, aku terlewatkan,” seru seorang anak laki-laki kecil.
Ahmad membalikkan badan, tersenyum dan menjabat tangan anak laki-laki itu. “Semoga kalian semua lulus,” katanya.[13]

Dari kesehariannya tercermin bahwa ia seorang yang sabar, santun dan sederhana dalam hidup. Sekiranya itulah yang dapat kita tangkap dari penuturan para pengagumnya. Dan sebaliknya dari para penentangnya, pasti kita akan mendapatkan kabar yang berbeda. Jikalau boleh berapologi, “… dalam komentar banyak orang, manusia memang tidak ada yang sempurna.” []



[1] Jalaluddin Rumi dalam Mulyadhi Kartanegara, Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu (Jakarta: Mizan, 2004), hlm. 42.

[2] Bandingkan dengan Psikoanalisis modern semisal Sigmund Freud yang juga membagi tingkat kejiwaan manusia dalam 3 (tiga) tahap yakni: id, ego dan super ego. Bila dibandingkan dengan Ghulam Ahmad, agaknya Freud tidak mengakui adanya sisi spiritualitas jiwa manusia

[3] Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi Al-Ghazali (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), hlm. 20.

[4] Mirza Ghulam Ahmad, Filsafat Ajaran Islam terj. Shah Muhammad dan Ahmad Anwar (tk: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1993), hlm. 9.

[5] Mirza Ghulam Ahmad, Filsafat Ajaran Islam, hlm. 7.

[6]  Mirza Ghulam Ahmad, The Philosophy of The Teaching of Islam (London: Islam International Publication Ltd, 1996), hlm. 30.

[7] Tim Penyusun, Ensiklopedi Ahmadiyah, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, hlm. 52-53.

[8] Asep Burhanudin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 151.

[9]  Mirza Ghulam Ahmad, Barahini –  Ahmadiyah terj. Idris L. latjuba dan M. Bachrun (tk: Gerakan Ahmadiyah Indonesia, tt), hlm. 31.

[10] Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah terj. Muhammad Syarif E. Koesnadi (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2002), hlm. 17-18.

[11] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, hlm. 49.

[12] Sebagaimana yang ditulis M. Amin Syukur dalam mengomentari Hamka bahwa tasawuf modern (neo-sufisme) merupakan tasawuf yang meletakkan esoterisme tetap dalam koridor syari’ah. Tokoh-tokoh yang anggap sebagai perintis neo-sufisme ialah Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Ibn Taimiyah sedangkan di Indonesia ialah Hamka, mereka menerima sampai batas tertentu kebenaran klaim sufisme intelektual, mereka menerima kasyf sebagai sebagai pengetahuan yang sebanding dengan kesucian hati. Semangat neo-sufisme sebenarnya menekankan aktifitas salafi dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, hlm. 140-143.

Satu hal yang menjadi karekteristik neo-sufisme ialah bahwa pada masa sufisme klasik (orthodoks) penekanan aspek yang paling dominan ialah sifat estetik-metafisis atau mistik filosofis sementara dalam neo-sufisme aspek rekonstruksi moral sosial masyarakat menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa karakteristik neo-sufisme ialah aktivis-puritanis (sebuah upaya pembaruan ajaran-ajaran sufisme klasik). Muhammad Ali Murtadlo, Neo Sufisme: Studi Atas Pemikiran Jalaluddin Rakhmat, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), hlm. 45.

[13] Ian Adamson, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad of Qadian terj. Suhadi Madyohartono (London: Elite International Publication Ltd., 1989), hlm. 101.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (1)

  1. QS:Al-Ahzab | Ayat: 40
    Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Comment here

Translate »