Berkembangnya isu gerakan Ahmadiyah yang memiliki nabi setelah nabi Muhammad saw di tengah masyarakat Indonesia khususnya, menimbulkan akibat yang tidak sederhana. Pendoktrinan atas kesesatan Ahmadiyah, pernah dialami oleh penulis saat menjadi siswa. Duduk perkara masalah kenabian menurut Ahmadiyah yang kurang jelas, membuat penilaian terhadapnya tidak komprehensif dan terkesan klaim-klaim semata.
Dilansir dari tirto.id pada tahun 2018 di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, jemaat Ahmadiyah diserang oleh massa. Penyerangan itu dilakukan sebanyak tiga kali tepatnya pada hari Sabtu siang dan malam (19/5/2018) serta Minggu pagi (20/5/2018). Beberapa fasilitas pun rusak akibat amukan massa. Lebih kurang ada delapan rumah yang rusak, empat motor mengalami kerusakan parah, dan dua puluh empat orang terpaksa dievakuasi ke kantor Polres Lombok Timur.
Mengenai masalah kenabian, di kalangan Ahmadiyah sendiri memiliki pandangan yang berbeda antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore. Akar perpecahan Ahmadiyah Qadian dan Lahore, seperti dijelaskan dalam buku Pangkal Perpecahan Ahmadiyah disebabkan oleh beberapa hal, seperti takfirul-muslimin, khatamun-Nabiyyin, nubuat ismuhu Ahmad, kekhalifahan Tuhan, dan muslih mau’ud.
Sedangkan yang berkembang di masyarakat biasanya masalah khatamun-nabiyun, Ahmadiyah Qadian menafsirkan perkataan Mirza Ghulam Ahmad secara tekstual saja bahwa ia diutus dan dapat ilham dari Tuhan. Berbeda halnya dengan Lahore yang menolak pendapat itu dan berpendapat bahwa, perkataan tersebut terkait dengan kesufian Mirza Ghulam Ahmad yang fana’ firrasul (Al-Azhari, 2016: 11-26).
Dalam buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, tahun berdiri antar keduanya pun juga berbeda. Ahmadiyah Lahore berdiri pada tahun 1888 berdasarkan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan Ahmadiyah Qadian berdiri pada tahun 1889 berdasarkan pelaksanaan pembaiatan kepada Mirza Ghulam Ahmad (Zulkarnain, 2011: 65).
Menurut Ahmadiyah Qadian ada tiga klasifikasi terkait masalah kenabian. Pertama, nabi Shahib asy-Syari’ah dan Mustaqil. Nabi Shahib asy-Syari’ah adalah nabi yang membawa syariat-syariat untuk manusia. Sementara nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi, tanpa mengikuti nabi-nabi sebelumnya. Seperti halnya nabi Musa as, yang mana beliau menjadi nabi bukan atas dasar mengikuti hukum-hukum nabi sebelumnya. Beliau langsung menjadi nabi dan membawa Taurat. Pun nabi Muhammad, yang dapat disebut sebagai nabi Shahib asy-Syari’ah dan Mustaqil.
Kedua, nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri’i. Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri’i adalah hamba Tuhan yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya dan tidak membawa syariat baru pula. Adapun nabi-nabi yang tergolong klasifikasi ini ialah Harun as, Daud as, Sulaiman as, Zakaria as, Yahya as, dan Isa as. Secara langsung mereka diangkat menjadi nabi tanpa mengikuti para nabi sebelumnya. Nabi-nabi ini meneruskan dan menjalankan syariat nabi Musa as, dalam kitab Taurat.
Ketiga, nabi Zhili at-Tasyri’i. Nabi Zhili at-Tasyri’i adalah hamba Tuhan yang mendapatkan anugerah dari Allah, karena kepatuhannya kepada nabi sebelumnya dan mematuhi syariat-syariatnya. Dan karena inilah nabi pada klasifikasi ini tidak dapat membawa syariat baru. Hamba Tuhan yang masuk klasifikasi ini ialah Mirza Ghulam Ahmad yang ittiba’ kepada Nabi Muhammad saw.
Berbeda halnya dengan Ahmadiyah Lahore, mereka membuat dua klasifikasi kenabian. Pertama ada nabi hakiki, maksudnya adalah nabi yang membawa syariat. Selanjutnya yang kedua ada nabi lughawi, maksudnya adalah seorang manusia biasa, tetapi ia memiliki kriteria atau persamaan yang cukup banyak dengan para nabi, yaitu menerima wahyu. Meskipun wahyu yang diterima tidak bersifat langsung tetapi mengandung pengajaran mengenai hal-hal yang gaib (Zulkarnain, 2011: 103-104).
Terkait status kenabian Mirza Ghulam Ahmad, faksi Ahmadiyah Lahore memaknai perkataan Mirza Ghulam Ahmad yang menyebut dirinya sebagai nabi, ialah secara majazi dan dalam konteks tasawuf. Menurut mereka Allah akan menganugerahkan kehormatan bagi siapa saja yang telah mencapai fana’ firrasul. Selain itu juga ada kesamaan yang besar yaitu sama-sama menerima wahyu.
Jadi, menurut Ahmadiyah Lahore, perkataan Mirza Ghulam Ahmad yang menyebut dirinya sebagai nabi adalah pengertian yang sama dengan para sufi lainnya. Mereka juga memandang bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid atau muhaddas. Dan mereka menolak secara tegas pendapat faksi Ahmadiyah Qadian.
Ahmadiyah Qadian memaknai perkataan—dirinya nabi—atau memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang wajib diyakini keberadaanya. Dalam faksi ini, jemaat tidak boleh membeda-bedakan antara satu nabi dengan nabi lainnya, sebagaimana ajaran dalam al-Quran. Dan termasuk pesan Nabi Muhammad untuk mengikuti Mahdi yang telah dijanjikan (Al-Azhari, 2016: 60-106).
Meski begitu, keduanya bersepakat tentang berakhirnya nabi tasyri’i dan nabi mustaqil setelah Nabi Muhammad. Dalam hal lain, mereka juga sepakat dengan istilah wahyu yang disematkan kepada siapa pun selepas sepeninggalan Nabi Muhammad karena masalah itu sesuai kehendak-Nya. Tetapi salah satu di antara keduanya—Lahore, tidak sepakat dengan istilah nabi yang digunakan sepeninggalan Nabi Muhammad, meskipun seorang tersebut mendapatkan wahyu dari Allah Swt.
Kemudian mengenai khatamun nabiyyin, Ahmadiyah Lahore percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan sesudahnya tidak ada lagi nabi. Berbeda halnya dengan Ahmadiyah Qadian yang menyatakan bahwa, khatamun nabiyyin sebagai semulia-mulianya nabi bukan penutup para nabi. Karena khatam menurut mereka jika disambungkan dengan umat atau pun kaum maka bermakna pujian. Hal itu seperti ungkapan “Plato adalah semulia-mulia di antara orang bijaksana” (Zulkarnain, 2011: 106-109).
Dengan demikian, menggebyah uyah bahwa Ahmadiyah—tanpa melihat faksinya—adalah aliran sesat karena mempunyai nabi baru yaitu Mirza Ghulam Ahmad sangatlah disayangkan dan tidak seharusnya itu terjadi. Padahal keduanya memilki perbedaan mengenai cara pandang masalah kenabian. Baiknya, langkah tabayun dan sikap objektif mesti didahulukan, bukan malah memborbardir pemeluk Ahmadiyah dengan cacian dan hinaan. Kalau demikian, kapan Indonesia akan dewasa dan arif dalam menyikapi ragam perbedaan?
Retrieved from Artikula.Id | Penulis : Andika Setiawan [Tim Redaksi Artikula.Id]
Referensi:
- Al-Azhari, Amir Aziz terj. Yatimin A.S. 2016. Pangkal Perpecahan Ahmadiyah. Yogyakarta: Pedoman Besar Ahmadiyah Indonesia.
- Ridhoi, M. Ahsan “Kronologi Penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB” dalam https://tirto.id, diakses tanggal 16 Januari 2020.
- Zulkarnain, Iskandar. 2011. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
Comment here