Paus Fransiskus, Pesan Damai, dan Silaturahim
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia merupakan sebuah moment penting dan istimewa, khususnya bagi umat Katolik, karena ini merupakan kunjungan kenegaraan dan pastoral dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia dan kepala negara Vatikan. Sudah barang tentu harus disambut dengan tangan terbuka dan penuh sukacita yang tidak hanya oleh umat katolik tapi juga seluruh bangsa Indonesia. Hal ini karena umat Katolik di Indonesia merupakan bagian dari bangsa Indonesia, saudara kita yang disatukan oleh ikatan kebangsaan dan juga ikatan kemanusiaan. Oleh karena itulah kita harus menerima beliau dengan besar hati dan perasaan gembira.
Sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi keadaban, sudah barang tentu kita harus mampu membangun semangat persaudaraan itu dengan menunjukkan sikap hormat. Perbedaan yang ada ras, suku, agama bukanlah halangan untuk saling mememuliakan tak juga boleh jadi alasan untuk menistakan liyan. Tuhan saja memuliakan Bani Adam (sebagaimana tertera dalam QS. Al Isra 17:70) apalagi kita yang adalah makhlukNya. Tentu harus melakukan hal yang sama, terlebih lagi beliau Paus Fransiskus adalah tokoh agama, panutan umat Katolik sedunia.
Sebagai seorang tokoh spiritualitas dunia, konteks kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia tentu saja akan semakin memperkuat pesan cinta kasih beliau. Dalam pandangan saya, Paus Fransiskus adalah sosok pemimpin spiritualitas dunia yang gencar menyiarkan berbagai pesan cinta kasih, persaudaraan, dan perdamaian melalui sikap dan tindakan beliau, seruan-seruan beliau, kebijakan dan tulisan-tulisan beliau, maupun syiar beliau yang disampaikan melalui berbagai media dan kesempatan.
Salah satu wujud nyata dari pesan cinta kasih, persaudaraan, dan perdamaian yang menurut saya penting adalah silaturahim itu sendiri. Silaturahim atau saling mengunjungi, atau memberikan kehadiran kita di tengah sesama umat manusia tentu saja dapat semakin mempererat persaudaraan, memberikan kesejukan bagi kita, sesama umat manusia. Selain itu perjumpaan, tatap muka, dan dialog merupakan cara paling bermartabat untuk mengeliminir prasangka dan membangun kesepahaman di tengah apapun perbedaan yang ada. Dalam konteks itu pulalah menurut saya upaya Paus Fransiskus bersilaturahim dengan kita semua seluruh bangsa Indonesia menjadi sangat bermakna
Bagi saya, Paus Fransiskus tidak saja hadir bagi umat Katolik saja, tetapi bagi seluruh bangsa Indonesia, baik yang beragama maupun tidak beragama; baik yang beragama Katolik, Islam, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, agama-agama lokal yang berkembang di Indonesia. Tentu kami akan menyambut dengan positif dan penuh sukacita sebagai tamu terhormat sebagaimana saat menyambut para Bhiksu Tudhong yang datang dari Thailand ke Indonesia melakukan perjalanan spiritual dengan berjalan kaki dalam konteks rangkaian acara Waisak Nasional 2024 di Candi Borobudur beberapa waktu lalu.
Tentu saja hal ini akan semakin memberikan citra positif bagi bangsa Indonesia yang tengah serius menghadapi tantangan terbesar kebhinekaan, yakni kecenderungan konflik yang bersumber dari klaim kebenaran masing-masing kelompok keagamaan yang eksklusif.
Apresiasi Moderasi Beragama
Dalam konteks ini pula saya ingin mengapresiasi dan mendukung sepenuhnya inisiatif Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama RI yang menggulirkan kebijakan Moderasi Beragama dengan mengembangakan cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan lebih menampilkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berdasarkan prinsip adil, berimbang dan taat konstitusi sebagai kesepakatan kebangsaan.
Berbagai upaya yang dilakukan baik melalui pelatihan, kampanye dan praktik baik yang dimotori oleh Kementerian Agama Republik Indonesia secara perlahan mampu membangun sikap saling menghormati dan menerima dengan suka cita di tengah perbedaan agama dan kepercayaannya, tradisi, ras, suku. Karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang harus disyukuri dan dirayakan.
Program Moderasi Beragama ini tentu saja menjadi salah satu upaya untuk menghormati komitmen kebangsaan kita dalam Pancasila yang pada Sila Pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, Pancasila sebagai komitmen mendasar kebangsaan kita telah menjamin dan menjadi payung dalam keberagaman dalam konteks umat beragama sekaligus menjunjung tinggi persaudaraan antar sesama bangsa Indonesia meski berbeda agama dan kepercayaannya.
Dalam konteks implementasi program Moderasi Beragama inilah kami merasakan bahwa sikap masyarakat sudah sedikit banyak berubah. Akan tetapi memang belum dapat dikatakan selesai, karena membangun budaya berfikir, bersikap dan berperilaku dalam beragama butuh upaya serius oleh semua pihak, terutama dalam hal cara pandang yang eksklusif yang menganggap diri dan kelompok sebagai yang paling benar, dan masih melihat perbedaan sebagai sesuatu yang mengancam.
Meskipun demikian, kita harus tetap optimis dan positif untuk masa depan Indonesia yang lebih baik dalam konteks kebhinekaan. Apalagi saat ini kita sedang menyongsong Era Indonesia Emas 2045, merayakan seabad Kemerdekaan Republik Indonesia, satu abad kita dalam berbangsa dan bernegara di tengah segala macam perbedaan yang ada. Kita percaya bahwa Indonesia yang bhinneka dalam budaya, agama dan kepercayaan, suku, bahasa, dan golongan masih bertahan hingga berabad-abad kemudian melampaui rekam jejak nenek moyang kita seperti Sriwijaya ataupun Majapahit.
Kesetaraan Gender: Wujud Cinta Kasih, Perdamaian, dan Persaudaraan
Sebagai bagian dari perempuan Indonesia, dalam momentum kunjungan Paus Fransiskus ini, saya ingin menitipkan pesan penting kepada beliau. Pesan itu adalah agar beliau semakin mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki baik di ruang privat maupun ruang publik sebagai wujud konkrit atas semangat dan pesan cinta kasih, perdamaian, dan persaudaraan.
Perlu disadari bersama bahwa ketimpangan gender di banyak negara, tak terkecuali Indonesia, telah melahirkan banyak kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan di Indonesia kasus ini berada pada posisi darurat kekerasan (terutama kekerasan seksual) karena angka kasusnya terus naik, fenomenanya seperti gunung es dan muncul dengan berbagsi bentuk, skala, ruang & modusnya bervariasi. Mirisnya lagi kasus itu terjadi diruang yang seharusnya perempuan terlindungi seperti rumsh dsn ruang pendidikan.
Berbagai tantangan yang muncul mulai dari kuatnya budaya patriakhi yang didukung tafsir agama yang bias gender di tambah lagi dengan level kesadaran masyarakat yang masih rendah, seringkali menempatkan perempuan berada pada posisi objek yang rentan mengalami kekerasan. Proses penegakan hukum yang lambat dan tidak pro korban seringkali membuat si korban memilih bungkam. Belum lagi soal penanganan kekerasan seksual yang kompleks (pencegahan, penindakan, perlindungan dan pemulihan) membutuhkan kerjasama banyak pihak.
Berbagai hal tersebut tentu menjadi keprihatinan yang luar biasa bagi kita semua, terutama para pegiat pendidikan dan pemuka agama. Kita bersyukur masih ada para aktivis perempuan yang berani bersuara dan mendorong hadirnya kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat.
Dorongan itu pun membuat semakin banyak perempuan kini berani untuk bersikap dan bersuara. Tidak hanya itu, sekarang para laki-laki juga sudah banyak yang bersuara. Pihak pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait mulai bergerak dengan munculnya undang- undang dan berbagai kebijakan di bawahnya terkait penanganan kasus ini, salah satunya adalah Permendikbud no 46 tahun 2023 tentang TPPKS yang terkenal dengan jargon 3 dosa pendidikan.
Sayangnya, meski secara struktur memang berjalan dengan pesat, tapi secara kultur masih jalan di tempat karena kesadaran masyarakatnya yang masih rendah. Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa peran dan fungsi domestik perempuan sebagai bagian dari “kodrat” yang harus diterima secara legowo dan sabar.
Dalam semangat itulah saya sungguh berharap Paus Fransiskus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sedunia juga berkomitmen menyuarakan dan mengarusutamakan kesadaran gender dan penghormatan terhadap kesetaraan perempuan dan laki-laki di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Upaya beliau untuk secara konsisten menyuarakan perlindungan terhadap perempuan, mengakui dan menghargai peran dan kontribusi perempuan dalam masyarakat, mengecam tindakan sunat perempuan di berbagai kesempatan adalah serangkaian afirmasi positif Paus Fransiskus dan Gereja Katolik yang patut diapresiasi. Bahkan dalam Deklarasi Abu Dhabi pun terdapat butir khusus berkaitan dengan perempuan.
Di samping itu, dalam konteks Gereja Katolik, keberanian beliau untuk semakin memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk mengisi posisi-posisi penting dan strategis dalam Gereja Katolik tentu saja menjadi afirmasi positif pula dalam konsistensi beliau dan keberpihakanya pada perwujudan kesetaraaan dan keadilan gender.
Kami terus berharap agar Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik bersama dengan para pemimpin dan umat seluruh Gereja Katolik sedunia dapat bahu-membahu secara konsisten menyuarakan dan memperjuangkan hadirnya kesetaraan dankeadilan gender di seluruh dunia. Terlebih lagi apabila Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik bersama dengan umatnya dapat bahu-membahu bersama seluruh umat manusia dari lintas agama membangun sebuah strategi afirmasi bagi kesetaraan dan keadilan gender di seluruh dunia. Tentu ini akan menjadi sebuah gerakan yang dahsyat bagi perubahan dunia yang lebih baik di masa depan.
Agaknya mimpi yang besar itu dapat kita mulai bersama dengan upaya yang sangat sederhana, yakni dengan cara mengakui, menghormarti, dan memuliakan perempuan dengan menempatkannya sebagai subyek penuh dalam kehidupan. Hal ini bisa diwujudkan dengan tidak sekedar memandangnya sebagai makhluk fisik, tapi juga makhluk sosial, makhluk intelektual, dan juga makhluk spiritual. Dengan cara pandang seperti itulaki-laki dan perempuan akan mampu bekerjasama untuk mewujudkan sebesar-besar kemaslahatan bagi seluruh alam dengan sikap hormat dan saling memuliakan, karena hanya orang mulia yang mampu memuliakan liyan, termasuk terhadap perempuan.[]
Oleh: Anis Farikhatin | Aktivis Perempuan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Guru Pendidikan Agama di SMA Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) 1 di Yogyakarta. Anggota Perhimpunan Rahima (Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan) dan pegiat di PaPPirus (Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius)
Comment here