ArtikelHari Besar Islam

Keterkaitan Isra’ Mir’aj Nabi Musa dan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad

Keterkaitan antara Nabi Suci Muhammad saw. dengan Nabi Musa a.s. adalah salah satu tema keahmadiyahan. Sebab, untuk mengemukakan bukti kebenaran risalah Ahmadiyah, mau tak mau harus menyinggung perkara ini.

Isyarat tentang adanya keterkaitan itu dinyatakan dengan terang baik oleh Kitab Perjanjian Lama maupun oleh Quran Suci. Keterkaitan itu terwujud dalam beberapa hal sebagai berikut:

  1. Kedudukan Nabi Muhammad saw. dan Nabi Musa a.s. selaku nabi yang sama-sama membawa syariat (73:15)
  2. Julukan al-Masih Muhammadi (bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad) sebagaimana Isa Ibnu Maryam dijuluki al-Masih Israili (“Bagaimanakah kamu bilamana Ibnu Maryam datang di tengah-tengah kamu, dan (menjadi) imam kamu dari kalangan kamu” – HR Bukhari)
  3. Persamaan kedudukan antara para ulama pengikut Nabi Suci dengan kedudukan para nabi di kalangan Bani Israil (“Ulama ummatku adalah seperti nabi-nabi Bani Israil” – HR Bukhari)

Selain itu, perlu kiranya diuraikan juga adanya keterkaitan antara Nabi Suci dan Nabi Musa dalam persoalan Isra’ dan Mi’raj.

Hal ini akan tampak dengan jelas bila kita memperhatikan hubungan antara ayat pertama (yang meriwayatkan Isra’ Nabi Suci) dan ayat kedua (yang meriwayatkan soal Nabi Musa) yang tersebut dalam Surat 17, yang terkenal dengan Surat Bani Israil.

Bahkan di ayat pertama, keterkaitan itu telah dikemukakan secara tersirat, dengan disebutkannya Masjidil-Haram dan Masjidil-Aqsha. Yang pertama adalah pusat ruhani kaum muslimin, sedangkan yang kedua adalah pusat ruhani Bani Israil.

Apa yang diuraikan dalam surat 17 ayat 1 ini, mengisyaratkan adanya keterkaitan yang bersifat khusus, yang selama ini belum pernah disinggung, antara Isra’ dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Musa dengan Isra’ dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad saw.

 

Isra’ dan Mi’raj Nabi Musa a.s.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Musa a.s. diriwayatkan dalam Surat 18:60-82. Dalam riwayat ini disebutkan tiga tokoh utama, yakni Nabi Musa sendiri, kemudian seorang pemuda pengawal dan pelayan Nabi Musa (al-fata), dan seorang tokoh gaib (misterius) yang disebut hamba Tuhan (‘abdan min ‘ibaadina), yang kepadanya dilimpahkan rahmat dan ilmu dari Allah.

Dalam riwayat ini dijelaskan pula kearifan dan ketinggian ilmu sang Hamba Tuhan, yang kepadanya Nabi Musa hendak berguru.

“Musa berkata kepadanya, bolehkah aku mengikuti engkau dengan maksud agar engkau mengajarkan kepadaku kebaikan dari yang telah diajarkan kepada engkau. Ia (hamba Tuhan) menjawab, “Sesungguhnya engkau tak akan sanggup bersabar (selama) menyertaiku.” (18:66-67)

Meski sudah dikatakan bahwa ia tak akan tahan mengikuti si Hamba Tuhan, tetapi Musa tetap bersikeras untuk mengikutinya. Akhirnya Hamba Tuhan mengabulkan permintaan Musa, tetapi dengan syarat bahwa di dalam perjalanan, Musa tak boleh mempertanyakan apa saja yang dikerjakan olehnya.

“Ia berkata: Jika engkau akan mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku segala sesuatu, sampai aku menceritakan itu kepadamu.” (18:70)

Tetapi apa yang “diramalkan” oleh Hamba Tuhan itu benar-benar terjadi. Musa tak tahan mengikutinya, dan mengecam tiga perbuatan Hamba Tuhan yang dianggapnya aneh.

Kecaman pertama dilakukan Musa tatkala Hamba Tuhan melubangi kapal yang mereka tumpangi. “Maka berangkatlah mereka, sampai tatkala mereka naik sebuah perahu, ia melubanginya. (Musa) berkata: Apakah engkau melubanginya agar penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah berbuat sesuatu yang mengerikan!” (18:71)

Kecaman kedua dilakukan tatkala Hamba Tuhan membunuh seorang anak yang mereka jumpai dalam perjalanan. “Maka berangkatlah mereka, sampai tatkala mereka berjumpa dengan seorang anak, ia lantas membunuhnya. (Musa) berkata: Kenapa engkau membunuh anak yang suci, yang tak bersalah membunuh orang lain? Sungguh engkau telah berbuat sesuatu yang kejam!” (18:74)

Kecaman ketiga terjadi tatkala mereka tiba di sebuah kota yang penduduknya tak mau menjamu mereka, tetapi Hamba Tuhan malah membetulkan sebuah tembok bangunan di kota itu. Musa pun usul agar mereka menarik upah.

“Maka berangkatlah mereka, sampai tatkala mereka mendatangi penduduk kota untuk meminta jamuan para penduduk itu, mereka menolak menjamu mereka. Lalu mereka menemukan dalam (kota) itu sebuah sebuah tembok yang akan roboh, maka hamba Tuhan itu menegakkannya. (Musa) berkata: Jika engkau suka, ambillah upah untuk itu.” (18:77)

Setelah kejadian ketiga ini, Hamba Tuhan memutuskan untuk melakukan perpisahan dengan Musa, karena Musa tak dapat memenuhi syarat yang telah disepakatinya. Tetapi sebelum berpisah, Hamba Tuhan menjelaskan perbuatan yang telah ia lakukan, yang dianggap aneh oleh Musa.

“Adapun tentang perahu, itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di sungai. Aku ingin membuat cacat perahu itu, karena di belakang mereka terdapat seorang raja yang merampas semua perahu dengan paksa.

Adapun tentang sang anak, ayah-ibunya adalah orang beriman, dan aku khawatir, jangan-jangan ia melibatkan kedua orang tuanya dalam pendurhakaan dan kekafiran. Maka kami berharap agar Tuhan mereka mengganti dengan seorang anak yang lebih baik kesuciannya dan lebih dekat kasih sayangnya.

Adapun tentang tembok, itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta kekayaan milik mereka. Sedangkan ayah ibu mereka adalah orang saleh. Maka Tuhan dikau menghendaki agar mereka mencapai usia dewasa, dan mengeluarkan harta kekayaan mereka, sebagai rahmat dari Tuhan dikau.

Dan aku tak melakukan itu semua atas kemauanu sendiri. Ini adalah arti dari apa yang engkau tak dapat bersabar terhadapnya.” (QS 18:79-82)

Dari uraian ini, secara tersirat Hamba Tuhan itu tengah mengajarkan kepada Musa tiga tugas yang harus ia laksanakan. Peristiwa pertama mengisyaratkan agar Nabi Musa menyelamatkan Bani Israil dari penindasan Raja Fir’aun yang sewenang-wenang.

Peristiwa kedua mengisyaratkan agar Nabi Musa mengajak umatnya bertempur melawan bangsa yang lalim, walaupun pertempuran itu bisa berarti membunuh jiwa umatnya sendiri. Tetapi kematian mereka bukanlah tanpa arti, tetapi untuk meningkatkan mereka menjadi bangsa yang tinggi martabatnya.

Lantas, peristiwa ketiga mengisyaratkan agar Nabi Musa mengorbankan diri guna kepentingan bangsa Israil, yang adalah keturunan orang-orang saleh, tanpa menuntut balas budi dari mereka.

Jadi, jika kita perhatikan dengan seksama, terang sekali bahwa riwayat tersebut adalah pengalaman ruhani atau Isra’ dan Mi’raj Nabi Musa, yang melambangkan peristiwa besar yang akan beliau alami.

Para mufassir berbeda-beda pendapatnya tentang siapa “Anak Muda” yang mengawal dan melayani Nabi Musa, dan siapa “Hamba Tuhan” yang memberi pelajaran berharga kepadanya itu. Pada umumnya para mufassir berpendapat bahwa “Anak Muda” itu ialah Yoshua bin Nun, dan “Hamba Tuhan” itu adalah Nabi Khidlir.

Akan tetapi bila ayat-ayat itu kita renungkan sedalam-dalamnya, dan kita hubungkan dengan sejarah Bani Israil, maka mungkin sekali bahwa gambaran “anak muda” itu melambangkan Nabi Isa, yang kehadirannya dalam rangka meneruskan dan melengkapi syariat Musa. Dengan demikian akan menjadi jelas dan mudah diterima bahwa tokoh misterius yang disebut “hamba Tuhan”, yang kepadanya Nabi Musa berguru itu, melambangkan Nabi Suci Muhammad saw.

Isra dan Miraj Nabi Suci Muhammad saw.

Dalam Quran Suci, Isra’ Nabi Suci Muhammad saw. diuraikan dalam surat 17:1 dan 60. Adapun Mi’raj Nabi Suci diungkapkan dalam surat 53:1-18.

Diriwayatkan dalam Hadits bahwa sebelum Nabi Suci menjalankan Isra’ dan Mi’raj, jiwanya dibedah dan disucikan, lalu diisi dengan hikmah dan iman.

Lalu diriwayatkan, dalam perjalanan dari Masjidil-Haram menuju Masjidil-Aqsha, oleh Malaikat Jibril Nabi Suci dipersilahkan singgah di empat tempat, yakni Yatsrib, Madyan, Thursina dan Betlehem.

Lantas, sesampai di Masjidil-Aqsha, Nabi Suci menjadi imam shalat bagi para nabi yang bermakmum di belakangnya. Sampai di sini selesailah peristiwa Isra’.

Kemudian dilanjutkan dengan Mi’raj. Nabi Suci naik ke langit pertama sampai langit ketujuh, dan akhirnya sampai ke Sidratul-Muntaha. Di sini Jibril berhenti, tetapi Nabi Suci masih terus naik lagi.

Riwayat hadits ini mengisyaratkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Suci adalah pengalaman ruhani yang tiada taranya.

Diperlihatkannya empat tempat bersejarah di sekitar Masjidil-Aqsha, di mana para nabi terdahulu menyiarkan risalah Tuhan, mengisyaratkan bahwa beliau akan mewarisi berkah para nabi yang sudah-sudah. Seakan-akan pula, ini menjadi sebuah isyarat bahwa tak lama lagi Islam akan tersebar luas ke berbagai penjuru negeri.

Yatsrib, yang kini lebih dikenal dengan Madinah, adalah suatu kota ke mana Nabi Suci hijrah, tak lama sesudah Isra’ dan Mi’raj berlangsung. Di tempat inilah sejarah Islam mengalami babak baru, dan dakwah Islam mengalami kemajuan pesat.

Madyan, adalah suatu tempat dimana Nabi Musa a.s. mendapat asuhan dari Nabi Syu’aib. Di sana ia harus bekerja keras membanting tulang dan memeras keringat, sebagai syarat untuk membangun rumah tangga. Ini pelajaran berharga bagi Musa untuk membina dan membangun Bangsa Israil setelah dibebaskan dari penindasan Raja Fir’aun.

Thursina adalah sebuah bukit dimana Nabi Musa a.s. menerima wahyu tentang keterutusannya, dan menerima Kitab Taurat sebagai pedoman petunjuk bagi bangsa Israil.

Dan Betlehem, adalah tempat kelahiran Nabi Isa a.s., yang meneruskan dan melengkapi syariat Musa, dan merupakan nabi yang terakhir bagi bangsa Israel.

Lalu, peristiwa Nabi Suci bertindak sebagai imam shalat bagi para nabi di Masjidil-Aqsha, ini mengisyaratkan bahwa syaraiat Muhammad itu bagaikan muara bagi seluruh sungai-sungai kenabian yang muncul di berbagai tempat dan abad.

Sesudah itu, lantas Nabi Suci menjalankan Mi’raj. Ia naik dari langit yang satu ke langit yang lain, hingga akhirnya sampai di hadapan Tuhan. Beliau diperlihatkan keajaiban-keajaiban yang belum pernah diperlihatkan kepada seorang manusia di dunia. Ini mengisyaratkan betapa tingginya derajat Nabi Suci. Oleh karena itulah, beliau disebut sebagai sayyidul anbiyaa-i wal mursalin, pemimpin para nabi dan utusan.

 

Kaitan antara Isra’ Mi’raj Nabi Musa dan Isra Mi’raj Nabi Muhammad

Jika kita meninjau surat 18:80-82, lalu kita hubungkan dengan surat 53:1-18, tampak sekali adanya keterkaitan erat antara Isra’ dan Mi’raj Nabi Musa a.s. dengan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Keterkaitan itu antara lain sebagai berikut.

Surat 18:65 menerangkan bahwa “hamba Tuhan”, yang menjadi guru Nabi Musa, memperoleh ilmu langsung dari Allah sendiri. Sementara itu, di surat 53:5 diterangkan bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang langsung mendapat ajaran dari Tuhan Yang Maha Kuat.

Dalam surat 18:71-77, diriwayatkan bahwa Nabi Musa mengecam berbagai perbuatan yang dilakukan oleh “hamba Tuhan” sebagai perbuatan yang menyeleweng. Sementara itu, surat 53:2 menerangkan bahwa Nabi Muhammad tidaklah sesat dan tidak pula menyeleweng.

Surat 18:82 menerangkan bahwa “Hamba Tuhan” tidak bertindak atas kehendaknya sendiri. Sementara itu, surat 53:3-4 menerangkan bahwa Nabi Suci juga tidak berbicara atas kemauannya sendiri. Di surat 53:9 diterangkan bahwa hubungan erat antara Nabi Suci dengan Allah itu digambarkan seperti dua ujung busur yang diikat oleh satu tali.

 

Penutup

Apa yang diuraikan di atas hanyalah uraian yang amat singkat tentang keterkaitan antara dua peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yang masing-masing dialami oleh Nabi Musa a.s. dan Nabi Muhammad saw.

Namun demikian, akan tampak dengan jelas bahwa pengalaman ruhani yang dialami oleh Nabi Suci lebih sempurna daripada yang dialami oleh Nabi Musa a.s. Nabi Suci, misalnya, diisyaratkan telah melihat Tuhan (53:11-13), tetapi Nabi Musa baru berkeinginan melihat Tuhan (7:143).

Karena itulah, dalam surat 18:60-82, hubungan antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad digambarkan seperti murid dan guru.

Dalam surat 18:60 Nabi Suci dilukiskan sebagai majma’al-bahrain (tempat pertemuan dua lautan), yang mengisyaratkan adanya pertemuan antara alam nasut (alam kemanusiaan) dan lautan alam lahut (alam ketuhanan) di dalam dirinya. Sehingga hubungan Nabi Suci Muhammad saw. dengan Allah, seperti dinyatakan dalam 53:9, ibarat dua ujung busur yang terikat tali di antara keduanya. Ini menunjukkan keluhuran dan keagungan Nabi Suci di atas sekalian makhluk.

Oleh: Djohan Effendi | Sumber: Warta Keluarga GAI No. 21 – 1 September 1972 | Penyunting: Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »