Edisi KemerdekaanTokoh

Mahmud Lamako Latjuba (1909 – 1975)

Sumber: Instagram Sophia Latjuba
Sumber: Instagram Sophia Latjuba

Mahmud Lamako Latjuba adalah salah satu pendiri Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Lahir pada tanggal 2 Mei 1909 di Una-una, Sulawesi Tengah. Beliau adalah anak keturunan Arab yang sudah sejak lama bermukim di nusantara.

Sejak muda, Latjuba meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Mula pertama datang ke Yogyakarta, beliau tinggal di di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, salah seorang anak bangsa yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai tokoh bangsa. Dari Tjokroaminoto, Latjuba banyak menimba ilmu organisasi dan berkenalan dengan tokoh politik seperti Mohammad Roem, Soekarno, Syarifudin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, dan lainnya.

Tahun 1924, beliau bersama Soedewo, Moehammad Hoesni dan Syamsurizal, mengikuti kelompok kajian Islamic Study Club (ISC), yang dipimpin oleh Mirza Wali Ahmad Baig, seorang muballigh Ahmadiyah Lahore, yang datang dan menetap lama di Yogyakarta atas undangan Persyarikatan Muhammadiyah. Kelompok diskusi ini menyelenggarakan kajian-kajian keislaman dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain karena alasan bahwa Ahmad Baig hanya mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, tetapi juga karena buku-bukunya yang dikaji memang berbahasa Inggris, utamanya The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali.

Tahun 1925, Latjuba bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikan antara lain oleh Syamsurizal, Moehammad Koesban, dan Soedewo. Beliau juga bergabung dengan Moeslim Broederschaap yang didirikan oleh Minhadjurrahman Djojosoegito dan Moehammad Hoesni pada tahun yang sama. Tiga tahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1928, bersama dengan Djojosogito dan kawan-kawan, beliau mendirikan De Ahmadiyya Beweging, yang di tahun 1930 resmi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore.

Tahun 1932, beliau melanjutkan sutdi di Jurusan Sospol Universitas Lahore, India. Tahun 1937, beliau kembali ke Yogyakarta dan tinggal di rumah H. Zarkasyi, salah satu tokoh Persyarikatan Muhammadiyah kala itu. Beliau kemudian menikah dengan gadis pilihannya bernama Siti Fatihah. Dari pernikahannya ini beliau dikaruniai lima orang anak.

Sepulang dari Lahore, beliau kembali aktif dalam kegiatan GAI. Di samping itu, beliau juga aktif dalam kegiatan politik dan bergabung dengan Partai Masyumi, karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh gerakan Islam seperti Moehammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, S.M. Kartosuwirjo, Abu Hanifah, M. Natsir, dan lain-lain.

Tanggal 3 Maret 1947, beliau terpilih menjadi salah satu anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) dari unsur Masyumi.KNIP adalah cikal bakal lembaga legislatif di Indonesia, dan tanggal pembentukannya, 29 Agustus 1945, diresmikan sebagai hari jadi DPR RI. Melalui Masyumi juga, Latjoeba terpilih menjadi anggota DPRS pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (Sumber: Buku Kronik Revolusi Indonesia).

Tahun 1949, berlangsung perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Gravenhage, Belanda. Perundingan itu melahirkan keputusan untuk mengembalikan ibukota RI dari Yogyakarta ke Jakarta. Muncullah gagasan dari pemerintah RIS untuk membuat suatu situs peninggalan sebagai tanda mata dan peringatan perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta. Disepakatilah peninggalan itu berupa Masjid Jami’ di daerah Kota Baru, yang kala itu banyak dihuni oleh tentara pejuang yang beragama Islam. Maka pada 14 Oktober 1949, dibentuklah Panitia Pendirian Masjid Peringatan Syuhada. Mahmud L. Latjuba tergabung dalam kepanitiaan tersebut sebagai penanggung jawab keuangan bersama dengan BPH Prabuningrat dan M.J. Prawirojuwono. Lalu di tahun berikutnya, tepatnya sejak 23 Juli 1950, beliau dipindah jabatan menjadi sekretaris panitia. Saat menjadi Duta Besar RI untuk Karachi, beliau juga memfasilitasi bantuan dari Pemerintah Karachi untuk masjid Syuhada berupa 24 helai permadani buatan yang diterimakan pada tanggal 13 September 1953 (Sumber: Buku Kenang-kenangan Masjid Syuhada, 20 September 1952). Lihat linknya di sini.

Tahun 1951, beliau ikut memperjuangkan asas ius soli dan stelsel pasif bagi kewarganegaraan RI, yang juga didukung oleh banyak golongan, termasuk golongan keturunan Arab. Asas ius soli (law of the soil) adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran seseorang. Berbeda dengan asas ius sanguinis (law of the blood) yang menetapkan kewarganegaraan seseorang atas dasar kewarganegaraan orangtuanya, tanpa mengindahkan di mana ia dilahirkan. Dalam hal ini, atas nama warga keturunan Arab, beliau berpidato di harapan parlemen pada tahun 1951, yang isinya antara lain berupa tuntutan agar pemerintah mengadakan undang-undang kewarganegaraan dengan sistem passief. (sumber di sini)

Tahun 1952, Latjuba diangkat menjadi sebagai Kuasa Usaha sementara (Charge d’Affairs ad Interim) dengan gelar Duta Luar Biasa dan Menteri Berkuasa Penuh untuk memimpin Kedutaan Besar Republik Indonesia di Karachi (Pakistan). Pengangkatan beliau ini didasarkan pada Kepres RI No. 38 Tertanggal 13 Februari 1952, yang ditandatangani oleh Soekarno dan Ahmad Soebardjo sebagai Menteri Luar Negeri. (sumber di sini)

Tahun 1956, beliau dipindah tugas dan menjadi Duta besar RI untuk Mesir. Pada tahun ini, beliu mengajak tokoh-tokoh Indonesia di Kairo untuk mendukung berdirinya Sekolah Indonesia Cairo (SIC) di kawasan Dokki, Giza, Cario. Sebagai bentuk dukungannya, beliau memasukkan lima orang anaknya ke sekolah itu. Drs. H. Thabrani Iskandar (1982), dalam hal ini berkomentar, “Makin dipercayalah SIC, sebagai contoh terbaik ialah Bapak Duta Besar H. Mahmud L. Latjuba, begitu datang di Cairo dengan tidak ragu-ragu memasukkan putra-putrinya ke SIC. Dengan sikap positif ini semakin kokohlah SIC”. (Sumber: Selayang Pandang Sekolah Indonesia Cairo, lihat linknya di sini)

Sekembalinya dari tugas sebagai Duta Besar, beliau menetap di Jakarta. Di tengah berbagai kesibukannya, beliau tak pernah absen dalam pengajian, jalsah atau muktamar yang diselenggarakan GAI. Tahun 1971, bersama H.M. Bachroen, beliau menerjemahkan buku Barahini Ahmadiyah buah karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Karya terjemah ini terbit kali pertama pada tahun yang sama, tetapi hanya baru bagian Mukaddimah-nya saja (lihat bukunya di sini).

Dalam Muktamar GAI Tahun 1973 di Purwokerto, beliau ditetapkan sebagai Ketua III PB GAI. Pada Jalsah tahun 1975, beliau menawarkan diri membantu Ketua Umum saat itu, H. M. Bachroen, untuk menerjemahkan The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali. Beliau menerjemahkannya dimulai dari surat-surat juz amma. Sayang sekali, beliau tidak dapat melanjutkan pekerjaan itu, karena pada tahun 1975 beliau dipanggil oleh Allah Ta’ala.

Mahmud Lamako Latjuba wafat pada tanggal 7 Desember 1975 di Jakarta dalam usia 66 tahun. Sumbangsih beliau bagi GAI dan bangsa Indonesia pada umumnya semoga selalu dikenang dan diteladani oleh kita semua, sebagai generasi penerus perjuangannya.[bas]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »