Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw., tampaknya menjadi titik tolak bagi hidup dan perkembangan Islam di kemudian hari. Berbicara Isra’ Mi’raj, tentu bukan sekedar membicarakan peristiwa masa lalu atas sebuah peristiwa historis, melainkan mengkontekstualisasikan peristiwa itu pada masa kini. Jika tidak, maka perstiwa-peristiwa keagamaan seperti itu akan menjelma menjadi mitos belaka.
Wafatnya Khadijah dan Abu Thalib merupakan pukulan bagi Nabi saw., mengingat keduanya, selama itu, merupakan backing yang saling melengkapi. Tetapi tentu bukan hanya itu yang membuat Nabi saw. Mengalami kesedihan yang amat sangat.
Sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas keselamatan pengikutnya, kini ia dituntut oleh kenyataan semakin mengingkanya intensitas penganiayaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy, yang sebelumnya sedikit-banyak dapat tertahan oleh kharisma Abu Thalib dan tidak enak hati kepada Khadijah yang dermawan itu.
Peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi saw., dengan demikian, merupakan jawaban atas kesedihan yang mendalam yang mendera Nabi saw. Kendati tidak ada lagi orang-orang yang melindunginya secara lahiriah, Allah tidak akan meninggalkannya, melainkan akan tetap memberikan perlindungan, dengan perlindungan yang jauh lebih kuat.
Ini akan terbukti nanti, ketika upaya pembunuhan yang dirancang oleh kaum kafir Quraisy pada suatu malam, Nabi saw., atas petunjuk Allah, berhasil meloloskan diri. Inilah pesan pertama dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj yang dialami Nabi saw.
Pesan kedua dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu bukan saja Nabi saw. akan mendapat perlindungan dari Allah dari jangkauan tangan-tangan musuh yang bermaksud melenyapkannya, tetapi, bahkan Nabi saw. akan mencapai puncak keluhuran yang malaikat pun tak mampu mencapainya. Lebih dari itu, usaha yang telah dilakukan lebih dari 10 tahun, akan segera menuai hasil yang gilang-gemilang, yakni tercapainya kemenangan Islam. Inilah pesan ketiga yang diisyaratkan oleh Allah melalui perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw.
Untuk mencapai tiga hal tersebut, yakni perlindungan Allah, mencapai keluhuran kedudukan, dan kemenangan Islam, ada tiga gal yang dilakukan oleh Rasulullah saw., yakni shalat, jihad dan hijrah.
Shalat berada di urutan pertama, karena shalat merupakan praktik ritual yang sangat penting (kalau tidak ada yang terpenting) guna mencapai kedekatan dengan Allah yang dengan itu Allah akan melindunginya. Maka kalau di suatu ayat dikatakan bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar yang dilakukan oleh orang lain kepadanya. Dengan kata lain, shalat menjadi perisai bagi orang Islam.
Kalau Mi’raj merupakan isyarat puncak keluhuran yang dapat dicapai oleh manusia, dalam arti bahwa manusia akan mencapai kedekatan dengan Allah hingga lebih dekat dibandingkan dua busur (faqooba qousaini atau adnaa), dan hal ini sudah dicapai oleh Muhammad saw., maka kedudukan serupa sesungguhnya dapat dicapai pula oleh siapa saja, pengikut Muhammad, dengan cara shalat. Itulah makanya, beliau mengatakan bahwa shalat merupakan mi’raj-nya orang-orang mukmin.
Pertanyaannya adalah: shalat yang seperti apa sehingga orang yang menjalankannya akan mencapai kedekatan yang begitu rupa dengan Allah, yang dengan begitu akan mendapat perlindungan dari Allah?
Informasi yang sampai kepada kita tentang cara shalat Rasulullah saw., sekurang-kurangnya, dalam shalat kita harus merasa berada di hadapan Allah. Ini artinya, kita harus menghilangkan eksistensi kita (fisik), sehingga yang ada pada kita hanyalah yang esensi (ruhani).
Jadi, sekurang-kurangnya pada waktu shalat, kita menjelmakan diri kita sebagai makhluk ruhani yang hanya dengan ini saja memungkinkan kita dapat mencapai kedekatan dengan Allah. Dalam istilah sufi, hal ini disebut sebagai fana fillaah, yakni hilang kediriannya (lebur) dalam kecintaan kepada Allah.
Syarat kedua untuk mencapai ketiga hal tersebut adalah jihad. Secara umum jihad diartikan sebagai perjuangan yang sungguh-sungguh. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa jihad yang terpenting adalah mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi potensi ruhaniah.
Dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi, hawa nafsu dilukiskan dengan binatang imajiner yang disebut buraq. Buraq dilukiskan sebagai binatang berbadan kuda yang gagah, berkepala wanita cantik dengan berbagai hiasan yang indah-indah. Ini gambaran pesona duniawi seperti yang dilukiskan dalam ayat 13 Surat Ali Imran, yakni bahwa pada umumnya orang menyenangi wanita, anak laki-laki, perhiasan dari emas dan perak, kuda yang indah, ternak dan ladang.
Rasulullah saw. mampu mengendarai (mengendalikan) buraq, dalam arti Rasulullah mampu mengendalikan hawa nafsu duniawinya itu, sehingga beliau memiliki kemampuan ruhani yang spektakuler, mampu berjalan menembus awan untuk mendekat dan semakin dekat lagi dengan Allah, sampai pada tingkat yang bahkan malaikat pun tak mampu mencapainya.
Maka untuk melanjutkan Mi’raj Nabi saw. harus menambatkan buraqnya. Ini mengisyaratkan bahwa duniawi menjadi belenggu yang menjerat manusia menaiki tangga ruhani mencapai Tuhan.
Orang yang telah mampu menguasai/mengendalikan buraq (hawa nafsu duniawi) pasti sikap, misalnya: kepedulian kepada sesama, akan terbuka tutupnya. Dalam implementasinya, sikap ini akan melahirkan perbuatan dan usaha-usaha demi keselamatan dan kesejahteraan orang lain, dan sebagainya.
Itulah pula sebabnya, kendati Rasulullah telah mencapai puncak kesuksesan, yakni bertemu dengan Allah, tetapi beliau sangat peduli dengan umat manusia seluruhnya, sehingga menyebabkan beliau “turun kembali” ke komunitas manusia seumumnya untuk memberi contoh agar semuanya mencapai kedudukan serupa beliau.
Syarat ketiga adalah hijrah. Hijrah, secara harfiah berarti berpindah (dari suatu tempat ke tempat lain). Manusia sering terjebak dalam kondisi yang melingkunginya, yang membuat jangkauan pandangannya menjadi sempit. Untuk mencapai kondisi yang lebih baik, harus memiliki keberanian untuk melakukan pembaharuan pemikiran dan tindakan.
Rasulullah saw., dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, hingga waktu yang cukup lama tidak pernah keluar dari lingkup Mekah. Ketika muncul gagasan untuk meraih sasaran baru, yakni dengan berdakwah ke kota Thaif, ternyata gagal.
Kendati demikian beliau tidak putus asa, melainkan mencoba sasaran lain lagi, yakni orang-orang Yastrib yang berziarah ke Kakbah. Ternyata mendapat respon yang positif, dan bahkan menjanjikan harapan besar. Dan hijrah Nabi saw. ke Madinah menjadi isyarat berkembangnya Islam untuk mencapai kemenangan.[]
Penulis : Mulyono | Sekretaris PB GAI
Dimuat pertama kali di situs ini pada 16 September 2004
menurut para ulama islam penafsiran isro’ mi’roj yang bener begini nih….
Peristiwa Isro Mi’raz adalah merupakan kejadian yang sangat luar biasa dan bentuk cinta Alloh kepada Rosululloh. Alloh sendirilah yang memperjalankan Nabi Muhammad SAw.Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad SAW dapat saja langsung menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya menuju Masjidil Aqsha, pusat peribadahan nabi-nabi sebelumnya. Ini dapat diartikan bahwa b umat Islam tidak memiliki larangan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, sekalipun kepada golongan di luar Islam. Hal ini dikarenakan, Islam menghargai peraturan-peraturan sebelum Islam, seperti halnya khitan yang telah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim AS.
Peristiwa Isro Mi’raj terjadi ketika nabi sedang dalam kesedihan , dua orang penyokong nabi dalam melakukan dakwah yaitu Istri nabi siti Khodijah dan pamannya Abu Thalib telah berpulang kerahmatulloh.
Saat itu ketika nabi sedang tertidur di dalam masjidil Haram didatangi oleh malaikat Jibriel dan mikail dibedah dada nabi dan di cuci hatinya dengan air zamzam untuk menghilangkan sifat-sifat buruk setelah itu hati nabi dimasukan dengan iman dan hikmah . Ini adalah merupakan pencucian yang kedua kalinya yang di alami nabi, sebelumnya nabi pernah juga di cuci hatinya dan diisi dengan Rahmah cinta dan kasih sayang sewaktu nabi di asuh oleh Halimatus Sya’diyah. Setelah dilakukan pencucian tersebut Nabi memulai perjalanannya menuju masjidil Aqso (palestina) dengan berkendaraan Burouq ( sejenis kuda yang kecepatannya melebihi cahaya). Sesampainya di Masjidil Aqso Nabi di sambut oleh para nabi dan rosul untuk melaksanakan sholat berjamaah dan Nabi Muhammad Saw sebagai imamnya. Hal ini merupakan suatu bentuk kehormatan bahwa derajat Nabi Muhammad diatas kenabiaan lainnya.
Setelah melampaui Masjidil Aqsha, Nabi langsung diangkat naik sampai ke langit tujuh, lalu Sidratul Muntaha dan Baitul Ma’mur.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, pada saat peristiwa Mi’raj, Nabi Muhammad SAW berada di Baitul Ma’mur, Allah SWT mewajibkannya beserta umat Islam yang dipimpinnya untuk mengerjakan shalat limapuluh kali sehari-semalam. Nabi Muhammad menerima begitu saja dan langsung bergegas.
Namun Nabi Musa AS memperingatkan, bahwa umat Muhammad tidak akan sanggup dengan limapuluh waktu itu. ”Aku telah belajar dari pengalaman umat manusia sebelum kamu. Aku pernah mengurusi Bani Israil yang sangat rumit. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mitalah keringanan untuk umatmu.”
lalu Nabi Muhammad kembali menghadap Sang Rabb, meminta keringanan dan ternyata dikabulkan. Tidak lagi lipapuluh waktu, tapi sepuluh waktu saja. Nabi Muhammad pun bergegas. Namun Nabi Musa tetap tidak yakin umat Muhammad mampu melakukan shalat sepuluh waktu itu. ”Mintalah lagi keringanan.” Nabi kembali dan akhirnya memeroleh keringanan, menjadi hanya lima waktu saja.
Sebenarnya Nabi Musa masih berkeberatan dengan lima waktu itu dan menyuruh Nabi Muhammad untuk kembali meminta keringanan. Namun Nabi Muhammad tidak berani. “Aku sudah meminta keringanan kepada Tuhanku, sampai aku malu. Kini aku sudah ridha dan pasrah.”
Nabi Muhammad memang mengakui bahwa pendapat Nabi Musa AS itu benar adanya. Lima kali shalat sehari semalam itu masih memberatkan. Namun lima waktu itu bukankah sudah merupakan bentuk keringanan?!
Peristiwa isra’ dan mi’raj diabadikan oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Isra’. Bahkan peristiwa inilah yang mengawali surah ini.sebagaimana Firman Alloh “
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Isra’: 1).
Sudut pandang tentang isra’ dan mi’raj memang bisa beragam; dari kacamata akidah, isra mi’raj mengajarkan tentang kekuasaan Allah swt. yang tidak terhingga.
Dari sudut pandang sains, mengajarkan bagaimana dunia keilmuan masih menyisakan teori ilmiah yang belum terkuak.
Dari sudut pandang Ahlak , peristiwa ini mengajarkan bagaimana adab dan akhlak seorang hamba kepada Khaliqnya. Sungguh beragamnya sudut pandang ini menunjukkan keagungan peristiwa yang hanya sekali terjadi sepanjang kehidupan manusia, dan hanya terjadi kepada seorang insan pilihan, Rasulullah saw.
Sayyid Quthb menafsirkan ayat pertama dari surah Al-Isra ini dengan menyebutkan bahwa ungkapan tasbih yang mengawali peristiwa ini menujukkan keagungannya, karena tasbih diucapkan manakala menyaksikan atau melihat sesuatu yang luar bisa yang hanya mampu dilakukan oleh Dzat yang Maha Kuasa. Sedangkan lafadz “bi’abdihi” adalah untuk mengingatkan status manusia (Rasulullah) dengan anugerahnya yang bisa mencapai maqam tertinggi sidratul muntaha, agar ia tetap sadar akan kedudukanya sebagai manusia meskipun dengan penghargaan dan kedudukan yang tertinggi sekalipun yang tidak akan pernah dicapai oleh seluruh manusia sampai hari kiamat.
lucu le nafsiri isro’ mi’roj………kemekelen le ngguyu aku,,,,