Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Engkau sekali-kali tak dapat mencapai ketulusan, sebelum engkau membelanjakan sebagian dari harta yang engkau cintai. Dan apa pun yang engkau belanjakan, sungguh Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 92)
Ia juga berfirman, “Sesungguhnya bagimu ada teladan yang baik dalam diri Ibrahim, dan orang-orang yang bersama dengannya.’’ (QS Al-Mumtahanah: 4)
Hari Raya Idul Adha hari ini kita peringati dalam suasana dan kondisi pandemi akibat tersebarluasnya Covid-19, yang membuat kegiatan peribadatan kita menjadi serba terbatas.
Di tahun 2019, di mana virus ini mulai teridentifikasi, ibadah haji dilaksanakan dengan peserta tidak kurang dari 2,5 juta orang. Tetapi di tahun 2020, dalam rangka mencegah meluasnya penyebaran Covid-19, jamaah haji dibatasi hanya sampai 10 ribu orang saja.
Dan di tahun 2021 ini, Pemerintah Arab Saudi membatasi peserta Haji sejumlah 60 ribu orang saja, dan itu pun berlaku hanya bagi penduduk Saudi Arabia dan sekitarnya yang telah divaksin.
Dari kenyataa tersebut kita mendapatkan gambaran yang jelas. Bahwa demi mencegah penularan wabah, maka perlu diberlakukan pembatasan-pembatasan dalam berbagai hal, termasuk dalam pelaksanaan ibadah. Sebagaimana halnya juga yang terjadi dalam pelasanaan ibadah haji, salah satu ibadah yang sangat penting bagi seorang muslim.
Meskipun, kalau kita melihat ritual Thawaf di layar TV, kita dapat merasakan harapan yang begitu besar dalam hati setiap muslim untuk berkesempatan mengunjungi rumah Allah, dan berharap segala rintangan, hambatan dan batasan-batasan yang ada, diangkat oleh Allah SWT.
Dua ayat Al-Quran yang saya bacakan di awal mengandung pelajaran yang penting bagi kita semua. Dalam buku Fathi Islam, Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan ayat tersebut, “Kamu tidak dapat mencapai amal kebajikan yang amat jelas perbedaannya dengan amal keburukan, hingga saatnya kamu membelanjakan di jalan Allah SWT hartamu, atau apapun yang sangat kamu cintai keberadaannya.”
Perayaan Idul Adha dilatari oleh suatu riwayat, tentang ujian Allah Ta’ala kepada dua hamba yang dikasihi-Nya, yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Nabi Ismail a.s. Keduanya diuji kesetiaan dan ketaatannya secara mutlak, dengan kata lain ke-“islam”-annya, kepada Allah Ta’ala. Dan keduanya berhasil lulus dari ujian itu dengan baik.
Ibrahim diuji atas apa yang sangat dicintainya, yaitu anaknya sendiri. Anak yang kehadirannya ia mohonkan dalam doa-doa di sepanjang hidupnya. Sebab itu, perintah Allah untuk mengorbankan sang anak yang dikasihinya itu, adalah ujian yang sangat berat baginya.
Sedangkan Ismail diuji untuk menyerahkan hak hidupnya dalam sebuah pengorbanan. Tetapi ia tampak tidak ragu sama sekali menyerahkan hidupnya itu, semata-mata demi memenuhi perintah Allah Ta’ala.
Ibrahim telah menempuh berbagai ujian selama hidupnya. Dan selalu saat Tuhan memerintahkannya untuk berserah diri, ia secara spontan dan tanpa keraguan menjawab, “Sesungguhnya aku berserah diri kepada Rabb semesta alam.” (QS Al-Baqarah: 131).
Maulana Nuruddin menyatakan bahwa pernyataan itu seharusnya juga berlaku bagi setiap muslim. Jika Ibrahim tidak pernah sekalipun menunda kepatuhannya terhadap perintah Allah, maka kita umat muslim juga harus berlaku demikian.
Tetapi kenyataannya tidak sedikit kaum muslimin yang merasa berat dalam melaksanakan perintah Allah. Contohnya dalam hal melaksanakan perintah shalat. Bahkan ada sebagian kita yang melaksanakan sholat hanya dua kali dalam setahun, yaitu Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha.
Nabi Ibrahim senantiasa berkomunikasi dan berdoa ke hadirat Allah Ta’ala. Ini seharusnya juga menjadi prioritas setiap orang beriman, untuk berusaha selalu menjaga amalnya, dan berdoa memohon ridha Allah Ta’ala.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menekankan agar jangan sekali-kali kita berdoa untuk memohon hal-hal yang bersifat duniawi. Tetapi berdoalah untuk memohon ridha dan perkenan dari Allah. Sebab, jika Allah telah ridha, maka semua hal akan tercukupi. Allah akan merahmati, mengampuni dan membuka pintu-pintu rejeki bagi kita. Jika pintu-pintu itu sudah terbuka, maka apakah lagi yang mau kita minta?
Betapa besar dan beratnya ujian Allah kepada Ibrahim. Ia diminta untuk mengorbankan anak yang ia mohonkan dalam doanya sedari muda, dan baru dikabulkan saat ia memasuki usia senja.
Demikian halnya juga yang dirasakan oleh Siti Hajar, istrinya. Sebab, anak yang ia kasihi, yang lahir dari rahimnya sendiri, diambil dari tangannya untuk dikorbankan tepat di depan matanya.
Tetapi perintah itu tetap mereka laksanakan, semata-mata demi ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Ta’ala. Apalagi, Ismail sendiri berkata, “Lakukan saja, sebab Allah telah memerintahkan demikian.”
Ibrahim, Hajar dan Ismail adalah contoh teladan para hamba yang tingkat kepatuhan dan keimanannya demikian tinggi kepada Allah Ta’ala.
Karena mereka berhasil lulus dalam ujian, mereka mendapatkan ganjaran dan apresiasi dari Allah. Penghargaan Allah kepada mereka bisa kita baca salah satunya dalam Kitab Kejadian 22:17-18, “Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku.”
Itulah hadiah dari Allah atas keberhasilan mereka melewati ujian keimanan yang begitu berat, yaitu keturunan yang banyak, yang menjadi para pemimpin di berbagai negeri.
Ini selaras dengan doa Ibrahim sendiri, “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a’yun, waj’alnaa lil muttaqiina imaama. Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri dan keturunan yang menyenangkan hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan, 25:74)
Doa Ibrahim itu sangat terkenal dan abadi sepanjang masa, dipanjatkan oleh semua orang hingga kini.
Ganjaran Allah lainnya bagi Ibrahim adalah kehormatan yang tinggi baginya di kalangan umat Islam, Kristen, Yahudi, dan bahkan Hindu, di seluruh dunia. Dalam buku Muhammad in World Scriptures, Maulana Abdul Haq Vidyarthi membuktikan bahwa Brahma dalam mitologi Hindu tidak lain adalah Ibrahim, dan istri Brahma yang bernama Sarvati tidak lain adalah Siti Sarah.
Boleh dikata, Ibrahim diberkati dengan kedudukannya yang mulia di dalam hampir semua agama di dunia. Dan Hari Raya Idul Adha adalah pengingat bagi kita semua atas ujian yang dihadapi Ibrahim, dan kepatuhannya terhadap perintah Allah yang membawanya kepada kemuliaan dan penuh berkah itu.
Kata kurban berarti ‘kedekatan’, mengandung makna bahwa ibadah kurban seharusnya menjadi sarana untuk kita mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sayangnya, ibadah kurban di Hari Raya Idul Adha dewasa ini, seolah-olah terbatas pada ritual saja.
Korban hanya diartikan secara terbatas sebagai penyembelihan hewan semata, tanpa memperhatikan makna esensial yang terkandung dalam ritual tersebut. Bahkan, adakalanya ibadah kurban menjadi ajang pamer dan riya, dengan cara menunjukkan banyaknya atau besarnya hewan yang bisa dikurbankan di media sosial.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menasehatkan, “Saat engkau menyembelih hewan qurban, saat itu juga engkau harus menyembelih nafsu ammarah-mu, atau sifat-sifat binatang yang ada dalam dirimu, yang menjadi akar dari semua kejahatan dan dosa sejak diciptakannya manusia.”
Kita harus bersikap pasrah kepada Allah. Selayaknya hewan kurban yang tidak mengerti bahwa dia akan disembelih esok hari, maka kita harus juga berserah diri kepada Allah, dan menyerahkan jiwa kita kepadaNya untuk diambil kapan saja Ia mau.
Bukankah hari-hari ini kita menyaksikan, berapa saja orang yang tanpa diduga tanpa dinyana mati, dalam kurun waktu sebulan terakhir karena menjadi korban pandemi Covid-19?
Hari Raya Idul Adha mengajarkan kepada kita konsep pengorbanan, kepatuhan dan keimanan yang absolut terhadap kehendak dan perintah Allah Ta’ala. Sejarah ibadah kurban juga telah memberikan kita tiga sosok teladan, yaitu Ibrahim, Hajar dan Ismail, yang layak menjadi role model bagi setiap umat Islam laki-laki, perempuan maupun anak-anak.
Maulana Nuruddin menyatakan, “Ingatlah, hewan apa pun yang disembelih untuk ibadah kurban, daging dan darahnya tidak akan mencapai Allah, melainkan ketakwaan dan kepatuhan kitalah yang menuju kepada-Nya.
Bukan darah dan dagingnya, bahkan juga bukan jenis dan ukuran hewan kurbannya, melainkan niat ibadah, ketakwaan dan kepatuhan kitalah yang harus menjadi fokus utama.
Yang mati dalam kurban seharusnya bukan hanya binatang, tetapi juga nafsu ammarah kita. Sebagaimana jiwa binatang kurban bisa kita ambil kapan saja, maka sungguh jiwa kita juga bisa diambil oleh Allah kapan saja Ia menghendakinya.
Oleh karenanya, sudah selayaknya kita senantiasa berserah diri dan mematuhi perintah Allah, dan mengikuti teladan Ibrahim a.s. dalam “membangun rumah Allah,” sehingga ia diberi ganjaran berupa kemuliaan dan keberkahan.”
- Disadur dari Khotbah Idul Adha 1442 Hijriah oleh Abdul Karim Saeed Pasha | Amir Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL)
- Khotbah disampaikan dalam bahasa Urdu, diterjemahkan dan disampaikan ulang dalam bahasa Inggris oleh Mayor Iqbal Ahmad.
- Disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Mokhammad Harun. Disunting dan diberi judul oleh Asgor Ali.
Comment here