Khutbah

Kurban dan Haji, Perlambang Bagi Orang Bertaqwa

Pada hari ini, kaum muslimin seluruh dunia bersama-sama sedang melaksanakan ibadah shalat Idul Adha. Ibadah di Hari Raya Qurban ini adalah ibadah murni warisan dari Nabiullah Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s.

Ibrahim adalah manusia terpilih, rasul Allah yang patuh, sabar, taat, ikhlas, tawakkal, melaksanakan tugas besar dan berat, walaupun mengalami penderitaan, kekurangan serta susah payah. Ibrahim adalah contoh teladan bagi umat manusia.

Pada usia kurang lebih 80 tahun, Ibrahim dikaruniai seorang anak, yang ia beri nama Ismail. Ismail memiliki watak akhlakul karimah, patuh terhadap kedua orang tuanya. Di usia Ismail kurang lebih 14 tahun, Ibrahim mendapatkan perintah untuk mengorbankan anak satu-satunya itu. Ini adalah ujian bagi Ibrahim tentang kesempurnaan imannya serta ketinggian cintanya kepada Allah.

Sebelum perintah Tuhan itu dilaksanakan, Ibrahim berkonsultasi terlebih dahulu dengan putranya tercinta. Tetapi karena keduanya orang yang tulus, maka Ismail juga memohon kepada ayahnya untuk melaksanakan perintah tersebut, dengan hati yang ikhlas.

Riwayat ini termaktub di dalam al-Quran, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. Maka setelah keduanya berserah diri, Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS Ash-Shaffat, 37:102-107).

Di dalam ajaran Islam, yang dimaksud kurban bukan hanya perbuatan mengalirkan darah binatang dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin saja. Menyembelih binatang kurban itu dihubungkan dengan perbuatan takwa, berserah diri kepada Allah, rendah hati, serta senantiasa sabar dalam menghadapi kesulitan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan salat dan orang yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka.” (QS Al-Hajj, 22:34-35).

Jadi, ketika kita menyembelih hewan kurban harus mengucapkan takbir, dengan harapan agar hati menjadi gemetar sewaktu nama Allah disebut. Sehingga kita insyaf, bahwa jika binatang yang kita kuasai saja pasrah dikorbankan, maka sudah sewajarnya kita juga harus mau mengorbankan hidup kita di jalan Allah.

Oleh sebab itu, di tengah-tengah ayat yang menerangkan hal kurban, dicantumkan pula kalimat “orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka.” Ini mengisyaratkan sebuah anjuran agar kaum muslimin bersikap sabar dalam menghadapi fitnah dan kesukaran di jalan Allah.

Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman, “Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Hajj, 22:37).

Jadi jelas bahwa yang diterima oleh Allah bukanlah kurban yang hanya dalam bentuk lahiriah saja, melainkan yang diterima adalah kurban dalam arti yang esensial, yang menjadi dasar dari ibadah kurban itu sendiri, yakni ketakwaan.

Ibadah kurban adalah rangkaian ibadah haji bagi kakum muslimin yang telah mampu pergi ke tanah suci Mekah. Ibadah haji adalah ibadah yang penuh pengorbanan dalam rangka memenuhi perintah Allah.

Ibadah haji menggambarkan tingkat kemajuan rohani yang paling tinggi. Rukun haji yang pertama kali, yakni ihram, menggambarkan pemutusan hubungan manusia dengan segala perkara duniawi demi cintanya kepada Allah. Segala pakaian yang indah dan mahal-mahal ditanggalkan, demi dua lembar kain putih tak berjahit, bagaikan orang mati yang terputus hubungannya dengan dunia fana ini.

Manasik ihram diberlakukan untuk mengingat pengorbanan Ismail dan ibunya, Siti Hajar, yang diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkan tanah airnya yang subur di Mesopotamia, dan menetap di padang pasir Arabia yang tandus. Peristiwa ini dinyatakan oleh Ibrahim, yang direkam dalam Quran, “Tuhan kami, Aku telah tempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak menghasilkan buah-buahan, di dekat rumah engkau yang suci.” (QS Ibrahim, 14:7).

Ibadah haji memiliki arti yang penting bagi kehidupan manusia. Sebab, ibadah haji menjadi sarana penyatuan hati manusia sedunia, saling menghormati dalam persaudaraan, tanpa memperhatikan asal-usul bangsa atau sukunya.

Wukuf di Arafah adalah peristiwa besar dan penuh hikmah. Di situlah segenap jamaah haji beroleh pengalaman rohani yang tinggi. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa umat manusia adalah umat yang satu. Semuanya adalah hamba Allah dan keluarga Allah.

Meskipun mereka berasal dari berbagai bangsa di dunia, tetapi tidak dapat dibedakan lagi antara yang kaya dan yang miskin, antara pejabat tinggi dengan pasukan kuning atau tukang sampah, antara presiden dengan rakyatnya, antara yang berkulit putih dan berkulit hitam, karena semuanya berpakaian yang sama, yakni dua lembar kain putih tak berjahit.

Mereka melakukan ibadah yang sama, di tempat yang sama, dengan tujuan yang sama, dengan cara yang sama, dan sama-sama mengucapkan kalimat seruan yang sama. Labbaiik allaahumma labbaiik, labbaiika laa syariikalaka labbaiik, “Aku di sini ya Allah, aku di sini di hadapan Engkau! Tak ada sekutu bagiMu, aku di sini menghadapMu.”

Persyaratan lain dalam menunaikan ibadah haji antara lain adalah melontar tiga jumrah, yaitu jumrah Aqabah, Wustha dan Sughra. Secara lahiriah manasik ini tampak hanya melontarkan sejumlah kerikil ke arah jumrah. Sedangkan secara batiniah, perbuatan itu sesungguhnya melempari setan yang berada dalam dada manusia itu sendiri.

Ini menjadi isyarat bahwa bagi mereka yang sudah bertakwa, senantiasa berkiblat kepada Allah dan selalu menuruti perintahNya, dan dengan sendirinya tidak berkiblat kepada hawa nafsu, melemparkan setan itu tidaklah berat, sebab bobotnya setan itu tidak lebih dari seberat batu kerikil.

Allah Ta’ala membuat peraturan yang efektif guna menghadapi setan, antara lain Ia berfirman, “Sesungguhnya setan itu musuh kamu, maka perlakukanlah dia sebagai musuh. Ia hanyalah mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menghancurkan.” (QS Al-Fathir, 35:6).

Demikianlah khotbah Idul Adha ini kami sampaikan. Semoga dapat kita ambil manfaatnya.

____________

Khutbah Idul Adha 1442 H Oleh H. Munasrip Tulungrejo

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »