Saya ini makin hari makin mencintai Gerakan Ahmadiyah. Dan sudah barang tentu, makin hari saya juga makin mencintai saudara-saudaraku Ahmadi seluruhnya.
Tentunya ada orang bertanya, “Anda dengan mudah hanya di bibir berkata: saya mencintai GAI, saya mencintai seluruh Ahmadi, tapi apa buktinya? Apa yang telah anda perbuat untuk GAI?”
Pertanyaan ini sukar dijawab. Kalau saya menjawabnya, saya sangat merasa malu. Sebab saya memang belum merasa berbuat jasa sedikit pun untuk Gerakan ini.
Dengan rendah hati saya sampaikan di sini bahwa segala perintah atau tugas yang diberikan oleh Gerakan Ahmadiyah atau Yayasan PIRI, saya terima dengan hati yang ikhlas, karena semua itu saya anggap sebagai perintah Tuhan.
Selalu saya menyatakan bahwa pengetahuan saya baik mengenai agama Islam maupun ajaran Mujaddid abad 14 Hijriyah itu tidak banyak. Kalau kemudian nanti ada anggota yang lebih tepat memangku jabatan-jabatan yang saya pegang, dengan tulus ikhlas jabatan-jabatan itu saya serahkan kepadanya.
Saya baru masuk menjadi anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia ini pada bulan Juni 1963. Pada waktu itu, saya dengan istri tiba-tiba dipanggil oleh almarhum Bapak Bachroen untuk maju ke depan, kemudian dibai’at oleh almarhum Bapak Hoesni dari Surabaya.
Pada tahun 1965, saya diangkat sebagai Sekretaris Pedoman Besar, dan hingga sekarang saya masih duduk sebagai anggota PB mendampingi Bapak Ketua Umum, Prof. Dr. H. Ahmad Muhammad Djojosoegito.
Selain itu, saya diserahi memimpin Warta Keluarga, Pengawas Darul Kutubil Islamiyah (DKI) Jakarta, anggota Pemangku Azas PIRI, kemudian dimasukkan pula dalam Pengurus Pusat Yayasan PIRI. Segala tugas itu saya laksanakan dengan tulus ikhlas, dengan segala kekurangan saya, dengan selalu memohon ridhanya Allah SWT.
Setiap bulan saya membayar kewajiban nafakah saya kepada Gerakan ini. Cara membayar nafakah bulanan yang sudah saya lakukan bertahun-tahun itu kelihatannya disetujui oleh almarhum Bapak Bachroen. Beliau pula-lah yang selalu membimbing saya dalam agama Islam dengan pembaharuan-pembaharuan yang telah diadakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid abad 14 Hijriyah.
Cara saya membayar nafakah bulanan kepada Gerakan ini adalah sederhana sekali. Dari pensiunan saya sejumlah kurang lebih Rp 100.000,- saya berdua dengan istri saya membayar nafakah sekaligus setahun penuh sebesar Rp 1.000 x 12 x 2 = Rp 24.000,-
Demikian pula selaku anggota PB GAI, saya juga bayar sekaligus setahun Rp 2.500 x 12 = Rp 30.000,-
Dengan demikian kami berdua sudah memenuhi kewajiban kami, sehingga apabila kami berdua sewaktu-waktu dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa, sudah tidak mempunyai hutang lagi pada Gerakan ini.
Apabila ada rejeki uang datang, suatu rahmat Tuhan yang tiba-tiba, paling sedikit 2,5% dari rezeki tersebut saya serahkan kepada ibu bendahara PB.
Ada lagi sekedar uang yang ada di suatu bank dan sedikit barang perhiasan dari istri saya, yang tentunya pada tiap-tiap tahun harus dibersihkan dari dosa, sejumlah 2,5% dari jumlah dua bagian ini, sebagian saya serahkan pada Gerakan ini, dan sebagian yang lain saya sumbangkan pada masjid-masjid, badan-badan sosial, yayasan piatu muslimin, dll.
Allah Ta’ala berfirman, “Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah itu bagaikan perumpamaan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh butir, yang tiap-tiap butirnya terdapat seratus biji. Dan Allah melipatgandakan itu kepada orang yang Ia kehendaki. Dan Allah itu Yang Maha luas pemberian-Nya, Yang Maha Tahu.” (QS Al-Baqarah, 2:261).
Selaras itu, Nabi Suci bersabda, “maa naqshot shodaqotin min maal.” Artinya, “Harta tak menjadi kurang karena disedekahkan.”[]
- Dinukil dari Artikel Ceramah R. H. Soewindo bertajuk “Serba Serbi dalam GAI,” disampaikan dalam Jalsah GAI ke XXV pada 23-26 Desember 1983 di Magelang.
Comment here