Pendekatan kontekstual dalam usaha memahami kembali ajaran Islam bukanlah semata-mata masalah teoritis. Ia merupakan keperluan kaum muslimin untuk menjawab berbagai tantangan dan tuntutan kehidupan masa kini. Bobot keberadaan kaum muslimin sangat ditentukan oleh kemampuan memberikan jawaban yang relevan terhadap tantangan dan tuntutan itu.
Masalahnya, apa yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual itu? Tulisan ini mencoba ikut membicarakannya.
Mestikah seorang Quraisy?
Begitu Nabi wafat, timbul masalah tentang siapa yang seharusnya menggantikan beliau seabgai pemimpin umat. Menurut versi Sunni, Nabi sama sekali tidak meninggalkan wasiat tentang itu.
Kaum Anshar, pendukung Nabi yang dari Madinah, menuntut agar pengganti itu dipilih dari kalangan mereka. Mereka mencalonkan Sa’ad ibnu Ubadah, tokoh utama Bani Khazraj. Alasan mereka: pengorbanan yang diberikan kaum Anshar untuk berhasilnya misi Nabi, tegaknya agama Islam, sangatlah besar.
Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah, sahabat-sahabat Nabi dari kalangan Muhajirin, sebaliknya menolak tuntutan itu.
Kaum Anshar kemudian mengajukan pilihan lain: masing-masing dari dua golongan besar pendukung utama Nabi itu memilik dan mengangkat pimpinan mereka sendiri. Saran itu pun ditolak dengan keras oleh ketiga tokoh asal Mekah itu.
Mereka menuntut dengan tegas agar kepemimpinan umat sepeninggal Nabi dipegang oleh salah seorang sahabat dari kalangan Muhajirin, Mekah, yang berasal dari suku Quraisy. Sambil mengingatkan sabda Nabi yang mengatakan, “Pimpinan mestilah berasal dari kalangan Quraisy” (al-aimmah min Quraisy). Abu Bakar berkata, “Kamilah pemimpin, dan kalian pendamping.” (nahnul umaraa wa antumul wuzaraa).
Akhirnya Abu Bakar berhasil mengatasi situasi, bahkan ia sendiri didaulat untuk memangku jabatan kepemimpinan.
Riwayat di atas adalah sebuah kasus di masa permulaan Islam. Namun ucapan Nabi tadi, yang menegaskan bahwa hak kepemimpinan berada di tangan Quraisy, dipegang oleh kebanyakan ulama Islam di masa lalu. Mereka menjadikan “darah quraisyah” sebagai salah satu syarat untuk dipilih sebagai khalifah.
Ini tentu saja kedengaran lucu di telinga kita, yang hidup empat belas abad sesudah Nabi. Sampai-sampai ada orang yang meragukan, bahkan tidak percaya, bahwa Nabi pernah mengucapkan sabda semacam itu.
Dalam kasus seperti ini, pendekatan kontekstual akan sangat membantu kita untuk memahami dan kemudian mencoba menggali esensinya.
Pendekatan kontekstual
Ketentuan bahwa kepemimpinan umat mesti berada di tangan Quraisy akan bisa dimengerti bila kita melihatnya dalam konteks persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslimin di masa-masa permulaan.
Mayoritas umat Islam saat itu adalah bangsa Arab yang terdiri dari berbagai suku. Penerimaan mereka terhadap Islam telah menghilangkan kehidupan yang penuh persiangan dan permusuhan di antara mereka, terutama karena kharisma kepemimpinan Nabi. Dan keadaan seperti di masa permulaan Islam itu bisa timbul kembali bila kepemimpinan sesudah Nabi berada di tangan orang yang lemah.
Di antara suku-suku Arab yang mendukung Nabi, Quraisy adalah suku yang diakui paling berpengaruh, patriotik, berani, kuat dan bisa diterima suku-suku lain. karena itu di bawah kepemimpinan salah seorang tokoh yang berasal dari dan didukung oleh suku Quraisy, keutuhan kaum muslimin lebih terjamin.
Tidak begitu halnya kalau kepemimpinan dipegang salah seorang tokoh Anshar. Sebab kaum Anshar terdiri dari dua kelompok: Bani Khazraj dan bani Aus, yang sebelum Islam merupakan dua suku yang bermusuhan secara bebuyutan. Bila kekhalifahan sesudah Nabi berada di tangan salah satu dari antara mereka, tidak mustahil kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya akan kambuh.
Dengan memahami kasus di atas secara kontekstual, kita bisa menarik kesimpulan yang tidak terpaku pada pengertian tekstual dan harfiah, melainkan pengertian yang lebih esesialkan fungsional. Artinya, yang penting bukan “darah quraisyah” seseorang, melainkan bobot kepemimpinannya yang kuat dan berwibawa, yang bisa diterima semua pihak.
Akar dan Esensi Pendekatan Kontekstual
Dari contoh kasus di atas, mungkin kita bisa membuat konseptualisasi tentang apa yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual itu.
Pendekatan kontekstual adalah metode pemahaman yang bersifat sosio-historik, yakni melihat dan mendekati suatu gagasan atau fenomena tidak lepas dari konteks waktu, tempat, budaya, kelompok dan lingkungan, yang sedikit banyak ada kaitannya.
Apakah pendekatan kontekstual sama sekali hal baru dalam tradisi keilmuan Islam? Sama sekali tidak!
Kita sama-sama tahu, untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, kita harus mengetahui “asbabun-nuzul”, yakni sebab-sebab diwahyukannya ayat-ayat itu. Seperti halnya juga dalam memahami hadits, kita harus mengetahui “asbabul-wurud”, sebab-sebab lahirnya hadits.
Kehidupan Nabi sendiri dibagi dalam dua periode: Mekah dan Madinah. Ini juga tercermin dalam pembagian ayat-ayat Qur’an, antara yang turun sebelum dan sesudah Hijrah. Kedua periode itu pun masih dibagi lagi, masing-masing periode awal, pertengahan dan akhir.
Pendekatan kontekstual itu pada dasarnya merupakan pengembangan pranata-pranata yang sudah ada. Dalam rangka pengembangan itu, kita tidak berhenti dan terpaku pada pertanyaan atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Qur’an atau diucapkannya Hadits Nabi. Kita juga tidak berhenti sekedar pada pemilihan, ayat-ayat mana yang Makkiah dan mana yang Madaniah beserta ketiga tahapnya masing-masing.
Semua itu mestinya bisa dikembangkan ke dalam studi dan kajian yang lebih luas tentang kehidupan sosio-kultural dan sosio-historikal dunia Arab khususnya, dan dunia Semit umumnya, di sekitar masa permulaan Islam.
Sisi lain pendekatan kontekstual
Pendekatan kontekstual tentu saja tidak hanya terbatas pada segi-segi interpretasi sumber-sumber ajaran. Ia mestinya juga mencakup segi implementasi. Dengan demikian pemahaman kita terhadap konteks tidak hanya terbatas pada “spatio-temporal traces”, yakni bekas dan pengaruh faktor ruang dan waktu, terhadap lahir dan tumbuhnya ajaran-ajaran agama, melainkan juga pada “spatio-temporal matrix”, yakni matrik ruang dan waktu yang membatasi perwujudan nilai-nilai dan norma-norma agama.
Dunia Islam masa kini memang sangat majemuk. Kaum Muslimin hidup di berbagai negara yang mempunyai latar belakang sejarah dan budayanya sendiri-sendiri. Perwujudan nilai-nilai dan norma-norma Islam mesti memperhatikan konteks nasional dari kaum muslimin yang hidup di berbagai negara. Sebabnya, setiap bangsa mempunyai idiom, logika dan problematikanya sendiri, sesuai dengan latar belakang sejarah dan budayanya.
Karena itu kaum muslimin dalam menerapkan ajaran agamanya, terutama yang bersifat sosio-juridical atau muamalah, mestinya selalu berada dalam konteks ideologi nasional dan konstitusi negaranya, dan selalu berpijak pada realitas sosio-kultural bangsanya.
Kemungkinan modifikasi pelaksanaan
Setiap kurun waktu melahirkan tantangan dan tuntutannya sendiri. Karena itu, modifikasi dalam pelaksanaan berbagai segi ajaran Islam yang menyangkut kemasyarakatan tidak mungkin terhindari.
Para ulama dahulu sudah menyadari hal ini. Bahkan mereka tidak ragu-ragu mengadakan modifikasi hukum Islam dalam rangka menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman mereka. Ini bisa dilihat dalam sejarah perkembangan Islam. Bahkan sudah dimulai semenjak masa para sahabat Nabi.
Berbagai tindakan dan ketetapan Umar bin Khaththab, misalnya, memperlihatkan betapa modifikasi itu sudah diperlukan dalam jarak waktu yang belum begitu lama sepeninggal Rasulullah saw.
Para ulama dahulu sudah meninggalkan warisan pemikiran tentang kaidah-kaidah penalaran untuk mengadakan modifikasi hukum Islam, dalam rangka menjawab kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda-beda.
Pertama-tama, kita bisa mengkaji konsep tentang adat kebiasaan masyarakat (‘urf), kepentingan umum (mashlahah mursalah) dan kepatutan nalariah (istihsan) dalam ushul fiqih. Kita juga perlu memperdalam kembali kaidah-kaidah fiqhiyah yang menyangkut perubahan hukum, baik karena ada-tidaknya ‘illat (faktor penyebab) maupun karena perubahan tempat, waktu dan budaya.
Selain itu ada baiknya juga apabia kita memahami kembali konsep fiqih tentang “negeri yang rukun” (darush shulh), “negeri perjanjian” (darul ‘ahd), bahkan “negeri Islam” (darul islam) sekalian.
Hal-hal di atas dapat dan seharusnya dikembalikan lebih lanjut untuk memberikan kerangka dan landasan konseptual tentang pendekatan kontekstual, dalam usaha mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma etik Islam dalam kehidupan masyarakat yang makin majemuk dan kompleks.
Kedua aspek pendekatan kontekstual di atas, baik yang interpretatif maupun yang implementatif, bukanlah dua hal yang terpisah tanpa kaitan satu sama lain. kedua-duanya justru merupakan dua sisi dari satu mata uang.
Interpretasi kembali ajaran-ajaran Islam diperlukan justru untuk dan dalam rangka implementasinya dalam kehidupan kita sekarang. Tetapi masalah ini merupakan suatu tantangan besar.
Masalahnya bukan bagaimana kita mengatakannya, melainkan bagaimana kita melakukannya. Dan ini tentu bukan pekerjaan orang awam, dan mungkin juga bukan sekedar kewajiban perorangan.[]
- Penulis: Djohan Effendie
- Sumber Artikel: Majalah “Media Komunikasi Warga GAI” No. 06/11991 hlm. 21-24
Comment here