Diskursus

Esensi Paham Ahmadiyah Menurut Sir Muhammad Iqbal       

Pembahasan tentang sumber-sumber dan cara berfungsinya gagasan-gagasan Majusi pra-Islam, melalui saluran-saluran Tasawwuf, yang telah mempengaruhi pemikiran pendiri paham [Ahmadiyyah] tersebut sangat menarik bila dilihat dari sudut [ilmu] perbandingan agama. Namun tidak mungkin bagi saya untuk membahasnya di sini.

Barangkali cukup bila dikatakan bahwa sifat hakiki dari paham Ahmadiyyah terletak di balik Tasawwuf dan Ilmu Kalam abad pertengahan itu. Oleh karena itu organisasi Indian Ulama menganggapnya sebagai gerakan teologik murni dan tampil dengan mempergunakan senjata-senjata teologik untuk menghadapinya.

Tetapi saya yakin bahwa ini bukan metode yang tepat untuk menghadapi gerakan tersebut; dan karena itu keberhasilan organisasi Ulama itu hanya bersifat parsial. Analisis yang cermat dari sisi psikologik terhadap wahyu-wahyu yang diterima oleh pendiri paham tersebut barangkali merupakan suatu cara yang efektif untuk menyingkap kehidupan batin pribadinya.

Dalam hubungan ini saya dapat menyebutkan kumpulan wahyu pendiri paham tersebut yang disusun oleh Maulvi Manzur Elahi, yang berisi banyak bahan dan yang beraneka-ragam untuk penelitian psikologik itu.

Menurut pendapat saya buku [kumpulan wahyu] itu merupakan kunci untuk memahami sifat dan kepribadian pendiri paham tersebut; dan saya juga berharap bahwa pada suatu saat sejumlah pengkaji psikologi modern akan melakukan kajian secara cermat terhadapnya.

Bila dia mempergunakan Al-Qur’an sebagai ukuran, karena memang dengan berbagai alasan yang tidak dapat dijelaskan di sini dia harus mempergunakannya, dan mengembangkan kajiannya sampai kepada penelaahan secara komparatif terhadap pengalaman-pengalaman pendiri gerakan Ahmadiyyah itu dengan pengalaman-pengalaman tokoh mistik kontemporer yang bukan Muslim, seperti Rama Dishna dari Benggali, dia pasti akan menemukan lebih dari satu hal yang mengejutkan mengenai sifat pengalaman yang menjadi alasan kenabian sebagaimana diakui oleh pendiri paham Ahmadiyyah itu.

Metode lain yang juga efektif dan lebih bermanfaat, dari sudut pandang orang yang berhati lurus, adalah memahami kandungan yang sebenarnya dari paham Ahmadiyyah dari sudut pandang sejarah pemikiran teologik Islam di India, setidak-tidaknya sejak tahun 1799.

Tahun 1799 ini benar-benar sangat penting dalam sejarah dunia Islam. Pada tahun ini Sultan Tippu jatuh, dan kejatuhannya berarti padamnya harapan-harapan ummat Muslim untuk mendapatkan prestise politik di India. Pada tahun yang sama terjadi pertempuran di Navarneo yang menyaksikan kehancuran pasukan Turki.

Nubuwwah adalah kata-kata penulis kronogram kejatuhan Tippu yang ditemukan oleh para pengunjung Serangapatam terpahat di dinding makam Tippu: “Telah hilang kejayaan Indus dan juga kejayaan Roum.”

Jadi pada tahun 1799 itulah kehancuran politik Islam di Asia mencapai puncaknya. Tetapi sebagaimana munculnya bangsa Jerman modern setelah hancurnya Jerman di hari Jena, secara tepat dapat dikatakan bahwa setelah hancurnya Islam di tahun 1799 itu muncullah Islam modern berikut persoalan-persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan saya jelaskan kemudian.

Untuk sekarang saya ingin meminta perhatian para pembaca mengenai beberapa masalah yang telah timbul di India yang Islam sejak jatuhnya Tippu dan perkembangan imperialisme Eropa di Asia.

Apakah gagasan Khilafah dalam Islam merupakan lembaga keagamaan? Bagaimana ummat Muslim India, dan demikian juga bagaimana semua ummat Muslim di luar Turki harus dikaitkan, dengan Khilafah Turki ‘Usmani? Apakah India itu Darul-Harb ataukah Darul-Islam?[1]

Apakah makna yang sebenarnya dari doktrin jihad dalam Islam? Apakah makna “dari antara kamu” dalam ayat Al-Qur’an: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan para penguasa di antara kamu?[2] Bagaimanakah kedudukan hadis Nabi yang meramalkan akan datangnya Imam Mahdi?

Masalah-masalah ini dan beberapa masalah lain yang timbul sesudahnya, dengan berbagai alasan yang ada, merupakan masalah-masalah bagi ummat Muslim India saja. Tetapi imperialisme Eropa, yang pada saat itu dengan cepat menyusup ke dunia Islam, juga menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah tersebut.

Berbagai kontroversi yang timbul dari masalah-masalah ini merupakan salah satu bab terpenting dalam sejarah Islam di India. Ceritanya panjang dan masih menunggu pena yang tajam untuk menuliskannya.

Para politisi Muslim yang perhatiannya tertuju terutama pada realitas-realitas dalam situasi itu berhasil mempengaruhi sebagian anggota Indian Ulama untuk menerima suatu garis argumen teologik yang mereka anggap cocok untuk memahami situasi tersebut; tetapi hanya dengan logika, tidak mudah untuk mematahkan kepercayaan-kepercayaan yang selama berabad-abad telah menguasai pemikiran ummat Muslim di India itu.

Dalam situasi semacam ini logika hanya dapat bekerja berdasarkan kelayakan politik atau sejalan dengan orientasi baru terhadap naskah-naskah ajaran dan tradisi-tradisi yang ada. Namun dalam hal mana pun di antara keduanya, argumen itu tidak akan berhasil menjangkau ummat Muslim.

Bagi sebagian besar ummat Muslim yang memiliki kesadaran keagamaan mendalam hanya ada satu hal yang menjangkau mereka secara final, dan hal itu adalah Otoritas Allah.

Untuk membantah berbagai kepercayaan ortodoks secara efektif perlu dicari landasan wahyu yang mendukung orientasi politik yang tepat terhadap ajaran-ajaran teologik yang terkait dalam persoalan-persoalan tersebut di atas.

Landasan wahyu inilah yang secara baik sekali ditampilkan oleh Ahmadiyyah. Dan para anggota kelompok Ahmadi sendiri menganggap landasan ini sebagai pengabdian paling besar yang mereka lakukan untuk imperialisme Inggris.

Pengakuan sebagai nabi yang menerima wahyu sebagai landasan bagi pandangan-pandangan teologik tentang arti pentingnya politik meningkat sampai dengan pernyataan bahwa orang-orang yang tidak mau menerima pandangan-pandangan orang yang menerima wahyu itu adalah orang-orang kafir secara mutlak dan akan dilemparkan ke dalam api Neraka.

Arti penting dari gerakan itu sebagaimana saya pahami, bahwa keyakinan kelompok Ahmadi terhadap Jesus Kristus [Nabi Isa] yang mengalami kematian biasa dan kedatangannya yang kedua hanya berarti kedatangan seseorang yang secara spiritual “seperti dia,” memberikan kepada gerakan itu sejenis penampilan rasional; tetapi keyakinan-keyakinan itu sebenarnya tidak esensial bagi gerakan itu.

Menurut pendapat saya, keyakinan-keyakinan itu hanya merupakan langkah-langkah awal menuju kepada gagasan kenabian yang sempurna; dengannya sajalah tujuan-tujuan gerakan yang akhirnya diujudkan oleh kekuatan-kekuatan politik baru itu dapat terpenuhi.

Di negara-negara yang masih belum maju sebenarnya bukan logika, melainkan otoritas, yang menghimbau rakyatnya. Karena sangat bodoh, sikap terlalu cepat percaya yang cukup aneh kadang-kadang ada bersama-sama dengan kecerdasan yang baik, dan orang yang cukup berani menyatakan dirinya sebagai penerima Wahyu yang penolakan terhadapnya akan menimbulkan kutukan untuk selama-lamanya, di dalam negara Islam mudah untuk ditemukan suatu teologi politik dan untuk dibentuk masyarakat yang ajarannya adalah sikap atau perilaku politik.

Dan di Punjab, bahkan pernyataan-pernyataan teologik yang tidak jelas pun dengan mudah dapat menangkap dengan mudah petani yang tidak bersalah, yang selama berabad-abad telah mengalami segala macam penindasan.

Pandit Jawahar Lal Nehru menasihati kelompok ortodoks pada semua agama untuk bersatu dan dengan itu tertangguhkan kedatangan apa yang dipahami sebagai Nasionalisme India. Nasihat yang ironik ini berisi dugaan bahwa Ahmadiyyah adalah gerakan pembaharuan; dia tidak mengetahui bahwa sejauh terlibat dengan masalah Islam di India, Ahmadiyyah mencakup masalah-masalah yang terpenting baik dalam bidang keagamaan maupun politik.

Seperti sudah saya jelaskan di atas, fungsi Ahmadiyyah dalam sejarah pemikiran keagamaan dalam Islam adalah memberikan landasan wahyu bagi penundukan secara politik di India sekarang. Dengan mengesampingkan masalah-masalah yang murni bersifat keagamaan, berdasarkan masalah-masalah politik saja ia tidak akan membuka mulut orang seperti Pandit Jawahar Lal Nehru untuk menuduh ummat Muslim India sebagai konservatisme reaksioner.

Saya tidak meragukan bahwa bila dia sudah menangkap sifat hakiki Ahmadiyyah dia pasti memahami sekali sikap ummat Muslim India terhadap gerakan agama yang menyatakan memiliki otoritas Ilahi untuk mengatasi penderitaan India itu.

Jadi para pembaca akan melihat bahwa kecemasan Ahmadiyyah yang kita temukan pada wajah Islam India sekarang bukanlah gejala yang tiba-tiba muncul dalam sejarah pemikiran keagamaan dalam Islam di India itu. Gagasan-gagasan yang akhirnya menjelma dalam bentuk gerakan ini dulu sudah terkenal dalam pembahasan-pembahasan teologik [Ilmu Kalam] jauh sebelum pendiri Ahmadiyyah itu lahir.

Namun saya tidak bermaksud menyatakan secara tidak langsung bahwa pendiri Ahmadiyyah dan teman-temannya itu secara sengaja merencanakan program mereka. Saya berani mengatakan bahwa pendiri gerakan Ahmadiyyah itu benar-benar mendengar suara; tetapi apakah suara itu datang dari Allah yang Maha Hidup dan Maha Kuasa ataukah timbul dari kemiskinan spiritual rakyat tentunya tergantung pada sifat gerakan yang telah ditimbulkannya dan jenis pemikiran serta emosi yang telah diberikannya kepada orang-orang yang telah mendengarkannya.

Para pembaca hendaknya jangan beranggapan bahwa saya mempergunakan bahasa metaforik. Sejarah kehidupan bangsa-bangsa menunjukkan bahwa apabila arus kehidupan dalam suatu bangsa mulai bergerak mundur, kemunduran itu sendiri menjadi salah satu sumber inspirasi, yang mengilhami para penyair, filosuf, wali, dan negarawannya, dan yang mengubah mereka menjadi kelompok rasul yang tugas satu-satunya adalah memuji-muji, dengan kekuatan seni atau logika yang merangsang, semua hal yang tidak terpuji dan jelek dalam kehidupan rakyat mereka.

Para rasul ini secara tidak sadar menutupi kecemasan mereka dengan baju-baju gemerlapan yang berisi harapan-harapan, meremehkan nilai-nilai tingkah-laku yang tradisional dan dengannya menghancurkan kekuatan spiritual orang-orang yang akan dijadikan korban mereka.

Orang hanya dapat membayangkan kondisi kehendak rakyat yang telah mengalami kemunduran, yang berdasarkan otoritas Ketuhanan, disuruh menerima lingkungan politik mereka sebagai sesuatu yang final.

Jadi semua pelaku yang ikut ambil bagian dalam drama Ahmadiyyah tersebut, saya kira, hanyalah orang-orang tidak bersalah yang terbelenggu oleh kebodohannya.

Drama serupa sudah pernah terjadi di Persia; tetapi ia tidak, dan bahkan tidak dapat memunculkan isu-isu keagamaan dan politik sebagaimana dimunculkan Ahmadiyyah terhadap Islam di India.

Rusia menunjukkan sikap tolerannya kepada paham Babiyyah[3] (yang muncul di Persia tersebut) dan mengizinkan para pengikutnya untuk mendirikan pusat kegiatan dakwahnya di Isyqabad. Inggris juga menunjukkan sikap toleran yang sama kepada paham Ahmadiyyah dengan mengizinkan para pengikutnya untuk membuka pusat kegiatan dakwahnya di Woking (Inggris).

Apakah sikap toleran Rusia dan Inggris ini didasarkan atas kepentingan penjajahan atau karena pandangan luasnya yang murni sulit untuk kita katakan secara pasti. Yang jelas bahwa toleransi ini telah menimbulkan berbagai persoalan rumit bagi Islam di Asia.

Dengan memperhatikan struktur ajaran Islam, sebagaimana saya pahami, saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa Islam akan muncul secara lebih murni (setelah terhindar) dari berbagai kesulitan tersebut.

Waktu berjalan terus. Berbagai hal di India sudah berbalik arah. Semangat baru dalam demokrasi yang masuk ke India benar-benar mengikis keyakinan kelompok Ahmadi yang keliru dan meyakinkan mereka akan kegagalan total penemuan-penemuan teologik mereka.

Islam tidak akan bersikap toleran lagi terhadap kebangkitan kembali Tasawwuf Abad Pertengahan yang telah merampas naluri-naluri sehat para pengikutnya dan hanya memberikan pemikiran yang tidak jelas sebagai imbalannya.

Dalam beberapa abad yang lalu ia telah menjerumuskan para pemikir Muslim terbaik, sembari mengabaikan masalah-masalah kenegaraan, dan menjadikan mereka sekedar pemikir-pemikir yang tidak cakap.

Islam modern tidak dapat memberikan peluang untuk terulangnya pengalaman tersebut. Dan ia juga tidak dapat bersikap toleran terhadap terulangnya pengalaman di Punjab di mana ummat Muslim terkurung selama setengah abad dalam persoalan-persoalan teologik yang sama sekali tidak berguna bagi kehidupan.

Islam sudah memasuki masa cerah dalam pemikiran dan pengalamannya; dan tidak ada seorang wali atau nabi pun dapat membawanya kembali ke dalam kabut Tasawwuf abad pertengahan.

 

Catatan kaki:

[1] Darul-Harb [secara harfiah berarti negara yang harus diperangi] dan Darul-Islam [Negara Islam] adalah istilah-istilah yang dicetuskan oleh para fuqaha di masa lampau. Pembedaan negara ke dalam dua istilah atau sebutan itu didasarkan: (1) apakah ia diperintah oleh ummat Muslim atau bukan, dan (2) apakah hukum Islam di negara tersebut ataukah tidak. Bila diperintah oleh ummat Muslim atau hukum Islam berlaku di suatu negara, ia disebut Darul-Islam; dan bila sebaliknya ia disebut Darul-Harb. (MH)

[2] Q.S. 4:59

[3] Babiyyah (bab = pintu) adalah nama aliran dalam Syi’ah Ismailliyah yang didirikan dan dipimpin oleh ‘Ali Muhammad Syirazi, yang menyatakan diri sebagai bab atau pintu gerbang menuju kebenaranIlahi dan rahasia-rahasia agama. Syirazi dihukum mati pada tahun 1850 atas tuduhan menentang Syah Iran. Aliran ini terpecah menjadi dua: Babiyyah atau Azaliyyah dan Bahaiyyah. Lihat juga catatan kaki 5. (MH)

 

  • Dikutip dari Buku : Islam dan Ahmadiyah: Jawaban Terhadap Pertanyaan-Pertanyaan Pandit Jawaharlal Nehru.
  • Penulis : Sir Muhammad Iqbal
  • Judul asli: Islam and Ahmadism: Replay to Questions Raised by Pandit Jawaharlal Nehru
  • Diterjemahkan oleh Machnun Husein (IAIN Walisongo Semarang)
  • Edisi bahasa Indonesia ini diterbitkan oleh PT BUMI AKSARA Jakarta, Cetakan pertama, Oktober 1991
  • Sumber Online: https://luk.staff.ugm.ac.id

Baca Juga: Relasi Muhammad Iqbal dan Gerakan Ahmadiyah

 

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here