Indonesia lahir dari keragaman budaya, agama, suku, ras, dan golongan. Penegasian terhadap hal tersebut adalah ironi tersendiri dan bahkan tidak berkesesuaian dengan dasar negara. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia sudah senyatanya bertolak belakang dengan hukum negara.
Oleh: Basyarat Asgor Ali | Sekretaris AMAI Yogyakarta
Munculnya cukup banyak aliran keagamaan baru di Indonesia belakangan ini menjadi fenomena tersendiri yang cukup menarik banyak kalangan. Menurut data yang dilansir oleh Detik.com, sejak 2001 sampai dengan 2007, sedikitnya ada 250 aliran yang berkembang di Indonesia, 50 di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat. Kesemuanya adalah aliran baru yang muncul dalam tubuh Islam.
Dalam artikel yang dimuat di www.kabarindonesia.com bertajuk Menyikapi Aliran Sesat, Bahron Anshory menyebutkan data hasil penelitian LITBANG Departemen Agama Republik Indonesia yang diproduksi dalam bentuk VCD berjudul Menangkal Aliran Dan Paham Sesat Di Indonesia. Lebih dari 300 aliran kepercayaan yang “mengaku” mempunyai hubungan dengan Islam ada di Indonesia ini. Dan jumlah ini diyakini bakal terus berkembang dari hari ke hari.
Beragam respon lahir dalam menyikapi fenomena kemunculan aliran-aliran keagamaan tersebut. Tidak sedikit yang sekedar mengapresiasi dan menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras bahkan sampai melakukan tindakan anarkhis.
Dalam rentang sejarah, munculnya aliran-aliran keagamaan mulai dari yang biasa sampai dengan yang ekstrim bukanlah barang baru. Di Indonesia sendiri, fenomena munculnya aliran yang ‘menyempal’ dari mainstream tersebut tidak terbilang anyar. Dalam sejarah Kristen di Indonesia sejak dekade 70-an, muncul aliran-aliran antara lain Children of God, Sidang Jemaat Kristus, Aliran Kepribadian, Aliran Kepercayaan Manunggal, Siswa Alkitab Saksi Yehova, Gereja Setan, sekte Hari Kiamat, dsb. Dalam agama Budha, muncul aliran Nichiren Sosu Indonesia dan Budha Mahayana. Dalam agama Hindu, hadir Hare Krishna dan Aliran Sadar Mapan. Kesemua aliran keagamaan tersebut sempat mendapatkan larangan dan bahkan ada yang dibekukan oleh pemerintah.
Pasca Reformasi hingga saat sekarang ini, ditemukan puluhan bahkan ratusan aliran keagamaan, yang lebih banyak lahir dalam tubuh Islam. Sebut saja sebagai misal Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang cukup fenomenal, kemudian aliran Kitab Suci, Ajaran Mahdi, Amanat Keagungan Ilahi, Hidup Di Balik Hidup, Al-Haq, Pengajian Nurul Yaqin, Islam Baru, Islam Sejati, dan sebagainya. Kebanyakan dari aliran tersebut pada akhirnya dicap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Belakangan, terkait dengan munculnya aliran-aliran baru dalam Islam itu, dalam penutupan rakernas di hotel Sari Pan Pacifik, Jakarta, MUI menetapkan 10 kriteria aliran sesat, yang menjadi pedoman mereka dalam menentukan apakah suatu aliran sesat atau tidak. Akibat maraknya aliran-aliran keagamaan tersebut, menurut berita yang dimuat okezone.com, MUI mengaku kekurangan anggaran untuk melakukan pengkajian dan penyuluhan untuk mewaspadai aliran sesat yang marak akhir-akhir ini di Indonesia.
Mengutip statemen Sekretaris Umum MUI, Ikhwan Syam, pada tahun 2007 lalu anggaran yang diajukan melalui Departemen Agama untuk penyuluhan agama besarannya sekitar Rp. 18 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp. 16 triliun.
Fenomena penyesatan terhadap aliran-aliran keagamaan ini tidak kalah fenomenal dengan kemunculan alirannya itu sendiri. Sampai-sampai, Negara ikut turun tangan dan melibatkan diri secara aktif dalam urusan ini. Dalam berbagai kasus di tahun 2007, berbekal fatwa MUI, negara melalui institusi kepolisian ikut andil menyelidiki, menertibkan dan bahkan memberangus aliran yang dianggap sesat oleh MUI. Sebelumnya, Yusman Roy dan Lia Eden dimejahijaukan dan keduanya berakhir di penjara atas pasal penodaan dan penistaan agama.
Terakhir, di awal tahun 2008 ini, Bakorpakem Pusat menentukan nasib Ahmadiyah, yang sudah sejak lama direkomendasikan MUI dan beberapa ormas Islam lainnya kepada pemerintah untuk dibubarkan. Bakorpakem Pusat memutuskan Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai aliran yang tidak dilarang, tetapi berada dalam pengawasan selama tiga bulan, terkait 12 butir pokok keyakinan Ahmadiyah yang dihasilkan dari serangkaian dialog dengan Departemen Agama beberapa waktu sebelumnya.
Namun, persis tiga bulan setelah itu, Bakorpakem menuduh Ahmadiyah tidak menepati ke-12 butir ”manifesto” tersebut. Karenanya, Bakorpakem lantas merekomendasikan Pemerintah untuk membekukan kegiatan Ahmadiyah melalui SKB tiga menteri. Namun sampai detik ini SKB tiga menteri tersebut tidak jelas nasibnya. Demikian pula nasib Ahmadiyah.
Fatwa MUI dan Kekerasan
Dalam Munas VII tahun 2005, sebanyak 11 fatwa baru dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Salah satunya, MUI kembali mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah dan menganggap Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Sejak didirikan 1975, MUI mengeluarkan lebih dari 50 fatwa. Tentang Ahmadiyah, MUI telah mengeluarkan dua fatwa. Pertama, pada Juni 1980. Kedua, pada Juli 2005. Dalam dua fatwa itu, MUI menegaskan bahwa “Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan.”
Pada fatwa pertama, MUI tidak secara jelas menyebutkan konsekuensi pemberian status sesat itu. Dalam fatwa terbarunya, konsekuensi itu jelas disebutkan, yakni mengajak kaum muslim untuk menyikapi persoalan tersebut secara tegas. Atas dasar fatwa tersebut, dan berpayung pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang pasal penodaan dan penistaan agama, MUI kemudian mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin membubarkan Ahmadiyah.
Sejak dikeluarkannya Fatwa tersebut, terjadi cukup banyak kasus kekerasan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di berbagai wilayah. Sejak 2005 hingga awal 2008, markas dan masjid Ahmadiyah di berbagai tempat dirusak dan atau dibakar. Sebut saja sebagai misal di Manislor Kuningan, Cianjur, Parakan Sukabumi, Lombok, dan sebagainya.
Januari Tahun 2007 silam, Komnas HAM mempublikasikan laporan resminya terkait dengan berbagai kasus Ahmadiyah di Indonesia. Laporan itu secara gamblang menyebutkan bahwa berbagai peristiwa kekerasan yang menimpa Ahmadiyah dalam beberapa tahun terakhir sangat terkait erat dengan pola pemahaman kaum muslim yang dibentuk dan disebarluaskan oleh para tokoh agama.
Dalam kasus Ahmadiyah, lembaga MUI berperan langsung dalam membentuk sikap-sikap intoleran dan kebencian. Komnas HAM menyimpulkan, berbagai kasus penyerangan dan perusakan gedung-gedung Ahmadiyah berpangkal pada fatwa MUI.
Sebetulnya, temuan Komnas HAM itu tidak terlalu mengejutkan. Bahwa ada korelasi antara sikap keberagamaan tertentu dengan kekerasan telah lama menjadi kesimpulan banyak studi. Yang mengejutkan adalah bahwa hal itu dinyatakan dalam sebuah dokumen resmi dan diumumkan ke publik. Selama ini, hampir tidak ada orang yang berani mengatakan bahwa fatwa MUI secara langsung bertanggung jawab terhadap kekerasan atas Ahmadiyah.
Beberapa fatwa yang berpotensi memicu kekerasan dan tindak intoleransi berasal dari kelompok ultrakonservatif dalam tubuh MUI itu. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah sikap tidak bertanggung jawab MUI terhadap fatwa yang dikeluarkannya. Ketika ada penyerangan terhadap Ahmadiyah, tokoh-tokoh MUI buru-buru mengeluarkan pernyataan bahwa tindak kekerasan itu tidak terkait dengan fatwa MUI.
Bhinneka Tunggal Ika
”Bhineka Tunggal Ika” tentulah bukan sekadar slogan meskipun kebanyakan kita beranggapan begitu. Semboyan seperti itu masih merupakan keinginan dari pada suatu kebutuhan. Keberagaman budaya dan agama di Indonesia sudah dikenal oleh dunia.
Akan tetapi, kita sendiri sering tidak menyadari keberagaman tersebut. Keberagaman hanya dilihat dari keseniannya yang terbawa dari masa lampaunya ke masa kini. Keberagaman Indonesia terpendam dalam sikap dan ungkapan kolektif ketika mereka menghadapi persoalan-persoalan masa kini. Sikap budaya itu berupa mentalitas kolektif yang sering tidak disadari oleh para pelaku dan orang lain.
Terkait dengan kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, tentu saja hal itu bertentangan sama sekali dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kekerasan itu merupakan pelanggaran atas Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Sipil dan Politik, serta Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Negara Indonesia bukanlah negara agama, meskipun juga bukan negara sekuler. Tetapi negara Indonesia, menurut Drs. Kaelan, Ms., adalah negara yang berlandaskan pada Ketuhanan yang Maha Esa. Karenanya, nilai-nilai ketuhanan sudah seharusnya menjelma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila Pertama dari Pancasila berikut butir-butir sila pertama menegaskan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini didukung oleh Undang-undang Pasal 29 ayat 1 dan 2 tentang kebebasan memeluk agama dan keyakinan dan kewajiban negara untuk melindungi segenap elemen bangsa untuk menjalankan kehidupan keagaam sesuai yang diyakininya. Indonesia juga sudah meratifikasi Deklarasi HAM yang secara tegas dalam pasal pertama deklarasi itu menyebutkan signifikansi kebebasan beragama, berserikat, berpendapat, dan sebagainya.
Indonesia lahir dari keragaman budaya, agama, suku, ras, dan golongan. Penegasian terhadap hal tersebut adalah ironi tersendiri dan bahkan tidak berkesesuaian dengan dasar negara. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia sudah senyatanya bertolak belakang dengan hukum negara. Maka harus ada tindakan tegas dari aparatur negara dalam rangka menyelamatkan kehidupan bangsa yang beraneka ragam tersebut.[]
Comment here