Ternyata tidak saja orang orang jaman kita yang alergi dengan Ahmadiyah. Jaman sebelum kemerdekaan, issue mengenai Ahmadiyah sudah meramaikan suasana keagamaan saat itu.
Ketika itu, seorang Soekarno dituduh sebagai anggota Jamaah Ahmadiyah. Dari pembuangannya di Ende, Flores pada tanggal 25 November 1936, ia menuliskan surat bantahannya.
“Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang Nabi dan belum percaya pula ia seorang mujaddid. Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyah yang saya banyak mendapat faedah. Seperti “ Mohammad the Prophet “ dari Mohammad Ali, “ Inleiding tot de studie van den heiligen Qoer’an “ juga dari Mohammad Ali, “ Het evangelie van den daad “ dari Chawadja Kamaloedin dan “ Islamic Review “ yang banyak memuat artikel bagus. Dan tafsir Qur’an buatan Mohammad Ali, walaupun banyak pasal yang saya tidak setuju, adalah banyak juga menolong penerangan bagi saya. Memang saya mempelajari agama Islam tidak dari satu sumber saja.”
Tentu saja, saya bukan Bung Karno yang banyak membaca buku Ahmadiyah. Saya sendiri belum pernah. Saya hanya menemukan sebuah perdebatan mengenai sebuah keyakinan di luar sana.
Ketika negara ini sampai sekarang masih kebingungan dengan status Ahmadiyah. Negara juga mempercayai rekomendasi Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Badan bentukan orde baru untuk mengawasi kaum komunis yang ‘ masuk ‘ ke dalam agama agama resmi.
Sementara jaman penjajahan, PID (polisi rahasia pemerintah kolonial ) menggunakan issue Ahmadiyah untuk memecah belah dengan mengatakan Soekarno sebagai penganut Ahmadiyah. Lebih jauh Soekarno menulis.
“Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiyah yang tidak saya setujui , malah saya tolak. Misalnya mereka punya pengkeramatan kepada Mirza Gulam Ahmad, dan mereka punya kecintaan terhadap imperialisme Inggris. Toch saya wajib berterima kasih atas faedah faedah dan penerangan penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan tulisan yang rasional, modern, broadminded dan logis itu.”
Soekarno muda mengakui bahwa ia mendapat banyak pelajaran yang bermanfaat dari Ahmadiyah, selain pelajaran hukum fiqih dari Persatuan Islam Bandung.
Dari surat tersebut Soekarno tidak menyinggung perlu tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya sebagai aliran sesat. Ia mempersilahkan masyarakat mempelajari agama Islam dengan berpedoman pada saringan Qur’an dan Sunnah Nabi.
Bung Karno tidak mengganggap Islamnya yang dipelajari dari Persatuan Islam dan Cokroaminoto sebagai yang paling benar. Kelak dalam pembuangannya di Bengkulu, Bung Karno masuk menjadi anggota Muhammadiyah.
Selain itu, karena perjalanan Islam di Indonesia sangat kental dengan tasawuf, banyak wali atau kyai yang dianggap memiliki ilmu tinggi dan dipercaya sebagai orang suci.
Dahulu Wali Sanga mempergunakan wayang untuk menyebar agama. Pandawa Lima diasosiasikan dengan lima rukun Islam. Ada lakon Wayang ‘Werkudoro Ngaji “. Juga tak ada yang mempermasalahkannya.
Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asyari konon – walau tidak resmi – dianggap bisa melakukan sholat juma’t secara gaib di Mekkah.
Menurut Iskandar Zulkarnaen – direktur program Pasca Sarjana Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta – kenabian Mirza Ghulam Ahmad semestinya dipandang dari sudut pandang Tasawuf, sebagai seorang memiliki ilmu spiritual tinggi. Bukan nabi secara sya’ri sebagaimana difatwakan Majelis Ulama Indonesia.
Sejarah mencatat, dua orang mubalig Ahmadiyah, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad tiba di Indonesia tahun 1924 dan diijinkan berpidato pada Muktamar ke 13 Muhammadiyah di Jogyakarta.
Dalam perkembangannya Ahmadiyah terpecah menjadi dua : Qadian dan Lahore. Kelompok pertama mengakui kenabian Mirza dan kelompok Lahore menolaknya. Di Indonesia kelompok Qadian bergabung dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan kelompok Lahore bergabung dalam Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
Kedudukan Ahmadiyah baru dipersoalkan pada tahun 1980 ketika Majelis Ulama Indonesia secara resmi mencap kelompok Qadian sebagai aliran sesat.
“Inilah tuan tuan redaktur yang terhormat, saya punya keterangan singkat berhubung dengan khabar kurang benar dari tuan punya reporter, bahwa saya sudah mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandis Ahmadiyah. Saya bukan seorang Ahmadiyah.”
Demikianlah Soekarno menutup suratnya.
Oleh: Iman Brotoseno | Sumber Artikel : http: blog.imanbrotoseno.com
Comment here