Artikel

Teologi Inklusivisme Yang Semu

glass cup with saucer

Dalam  wacana keagamaan, yang dimaksud inklusivisme adalah pengakuan seseorang bahwa dalam agama-agama lain, dalam arti selain agama yang dianutnya, terdapat juga suatu kebenaran. Tetapi puncak kebenaran agama tetap ada dalam agama yang dianutnya. (lihat buku Fiqh Lintas Agama, hal 64-65).

Jika definisi itu diamini, maka dengan demikian para inklusivis Hindu akan menganggap puncak kebenaran itu ada dalam agama Hindu, inklusivis Buddha menganggapnya ada dalam agama Buddha, inklusivis Kristen menganggapnya ada dalam agama Kristen, inklusivis Muslim menganggapnya ada dalam agama Islam, dst.

Huston Smith mengilustrasikan penjelasan Frithjof Schoun dalam bukunya The Trancedent Unity of Religions (mencari titik temu agama-agama) sebagai berikut : 

Dari ilustrasi tersebut jelas bahwa secara esoteris semua agama adalah sama, dalam arti sama asal dan tujuannya, dan sama-sama tanpa nama. Hanya saja, secara eksoteris ada perbedaan antara agama yang satu dengan yang lain.

Dalam ilustrasi Huston Smith di atas, pada tataran esoteris perbedaan antara satu agama dengan agama yang lainnya akan semakin mengecil, sampai kemudian hilang sama sekali karena bertemu pada satu titik persamaan di tingkat tertinggi piramida. Sebaliknya, semakin ke bawah perbedaan antar agama itu semakin mencolok dan membesar.

Ilustrasi Schuon di atas mengandung banyak kelemahan, antara lain karena beberapa alasan berikut ini:

Pertama, dalam ilustrasi piramida transendental Schuon itu, terdapat kesan kuat yang menyiratkan anggapan bahwa“kabeh agomo podho wae” (semua agama sama saja):sama-sama derajatnya, sehingga tak ada satu agama lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya. Efek negatif dari persepsi ini adalah pendangkalan iman atau akidah dan mengaburkan identitas agama itu sendiri.

Kedua, dengan gambaran bahwa semakin ke bawah perbedaan agama itu semakin membesar, menyiratkan bahwa berbagai agama itu berpecah belah menjadi banyak sekte dan madzhab, sehingga terkesan masing-masing dapat mendakwahkan diri sebagai agama yang mandiri.

Ilustrasi Schuon itu tidak berkesesuaian manakalah digali preferensinya dengan tek-teks Kitab Suci agama-agama selain Islam yang bersifat eksklusif. Sebaliknya, ilustrasi itu dekat sekali dengan ajaran Al-Qur;an yang bersifat inklusif, karena mengakui adanya kebenaran pada agama-agama non Islam.

Pada dasarnya semua umat beragama dapat bersikap inklusivistik seperti umat Islam. Tetapi ada perbedaan jauh antara umat Islam dengan non Islam dalam soal ini. Perbedaannya adalah demikian: inklusivitas umat Islam mendapat dukungan kuat dari teks-teks kitab sucinya, yakni Alquran. Sebaliknya, inklusivitas agama non-Islam cenderung tanpa bersumber dari dalil kitab suci agama mereka.

Ambil contoh agama Kristen, yang bersumberkan Bibel. Secara eksplisit tak ada satu ayat pun dalam Bibel yang mengakui bahwa agama-agama non-Kristiani bersumberkan wahyu atau firman Allah, yang disampaikan oleh roh Kudus kepada para utusan-Nya dari berbagai bangsa di dunia.

Yang ada justru sebaliknya: Allah hanya menyampaikan firman-Nya kepada bangsa Israil atau Yahudi saja. Misalnya bisa kita baca dalam ayat-ayat berikut ini:

  1. Pasal 147 dari Kitab Mazmur, perikopnya berjudul “ Kekuasaan dan kemurahan Tuhan.” Di ayat 19-20 dari pasal ini berbunyi: “Ia (Tuhan) memberikan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya, dan hukum-hukum-Nya kepada Israil. Ia tidak berbuat demikian kepada segala bangsa, dan hukum-hukumNya tidak mereka kenal. Haleluya!”
  2. Pasal 3 dari Kitab Roma, periskopnya berjudul “Kelebihan orang Yahudi dan Kesetiaan Allah.” Ayat 1-2 dari pasal ini berbunyi: “Jika demikian, apa kelebihan orang Yahudi dan apa gunanya sunat? Banyak sekali, dan dalam segala hal., pertama-tama, sebab kepada merekalah dipercayakan firman Allah.”
  3. Pasal 1 dari Kitab Ibrani, perikopnya berjudul “Allah Berfirman Dengan Perantaraan Anak-Nya.” Ayat 1-2 dari pasal ini berbunyi: “Setelah pada zaman dahulu Allah, dan dalam berbagai cara, berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi., maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada.”

Ayat-ayat ini tampaknya menjadi dalil utama manakala Konsili Florence di tahun 1442 M merumuskan suatu diktum “extra ecclesian nulla salus”(tak ada keselamatan di luar gereja) dan “extra ecclesian nulla propheta”(tidak ada nabi di luar gereja­­). Menurut Konsili ini, Gereja Suci Roma “tegas-tegas menyakini, bersaksi dan menyatakan bahwa tak ada seorang pun di luar Gereja Katolik, baik orang kafir atau Yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang terpisah dari gereja ikut bersama-sama dalam kehidupan yang kekal, tetapi akan binasa di dalam api kekal yang disediakan untuk setan dan sekutu-sekutunya, jika orang tersebut tidak bergabung dengannya (Gereja Katolik) sebelum mati” (lihat buku Fiqih Lintas Agama, hal. 212).

Lima  abad sesudah Konsili Florence itu, diselengarakan pula Konsili Vantikan II (1963-1965) yang melahirkan dua diktum, yaitu “Dignitatis Humanae” (Martabat Pribadi Manusia) dan “Nastra Aetate” (Pada Zaman Kita). Diktum pertama berisi “Pernyataan tentang Kebebasan Beragama,” sementara diktum kedua berisi “Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan agama-agama Bukan Kristiani.”

Dalam diktum Dignitatis Humanae yang membahas kebebasan beragama saja pun masih ada penegasan doktrin Gereja, bahwa “barangsiapa beriman dan dibaptis akan selamat, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). Dan yang dimaksud “orang beriman” dalam pernyataan itu adalah “”orang yang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan.” (1 Kor 12:3).

Oleh karena itu, tidak selamatlah para pemeluk agama-agama non Kristen, meski mereka mengimani Tuhan Yang Esa dan mengajarkan agar umat mengabdi kepada-Nya, karena ajarannya tak bersumber dari Tuhan yang di sampaikan oleh Roh Kudus.

Dalam dokumen Konsili itu, ada juga penjelasan seperti berikut ini:

“Tetapi kaum beriman Kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan dengan seksama ajaran Gereja yang suci dan pasti. Sebab atas kehendak Kristus, Gereja Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik Kebenaran, yakni Kristus, pun juga menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaanya azas-azas tata kesusilaan yang bersumber pada kodrat manusia sendiri. Selain itu hendaknya umat Kristiani, yang dengan kebijaksanaanya menghadapi mereka yang berada di luar, “dalam Roh Kudus, dalam cinta kasih yang tidak munafik, dalam sabda kebenaran” (2 Kor 6:6-7), berusaha memancarkan cahaya kehidupan dengan penuh kepercayaan dan kekuatan Rasuli, hingga penumpahan darah.” (Dokumen-dokumen Konsili Vantikan II, hal. 20).

Konsili Vantikan II yang dimasyhurkan sebagai Konsili Toleransi Beragama, ternyata tak menjunjung tinggi asas Kebebasan Beragama, karena dalam Kristenisasi masih mengizinkan cara penumpahan darah, hanya karena agama-agama non kristiani tak berasal dari Roh Kudus dan di luar sabda kebenaran.

Dalam pernyataan tentang hubungan gereja dengan agama-agama non-Kristiani, konsili ini merumuskan:

“Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini, di antara berbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya kekuatan yang ghaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peeristiwa hidup manusia, bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap kuasa Ilahi yang tertinggi ataupun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menangapi masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan.” (Dokumen-dokumen Konsili Vantikan II, hal. 26).

Agama-agama non Kristiani, selain Yahudi, yang disebut oleh konsili ini adalah: Hinduisme, Buddhisme dan Islam. Agama-agama tersebut meski dianggap mengandung kebenaran dan kesucian, tetapi dianggap pula sumbernya bukan wahyu Ilahi, melainkan hanya “suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang ghaib” yang berasal dari diri manusia sendiri. Maka dari itu para pembawa agama non Kristiani, termasuk Islam, mereka anggap sebagai Nabi Palsu. Padahal menurut Bibel, Nabi Palsu harus dihukum mati dengan cara dirajam, seperti yang diperintahkan dalam Kitab Ulangan 13:1-18.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa agama Kristen sifatnya eksklusif, seperti halnya juga agama Yahudi. Demikian pula agama-agama nasional lainya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

“Kaum yahudi berkata : “Kaum Kristen tak menganut sesuatu (yang baik);dan kaum Kristen berkata: “Kaum Yahudi tak menganut sesuatu (yang baik); pada hal mereka membaca kitab (yang sama, yaitu perjanjian lama). Demikian pula orang-orang yang tak mempunyai  pengetahuan, berkata seperti apa yang mereka katakan. Maka pada hari kiamat Allah akan mengadili mereka tentang apa yang mereka berselisih didalamnya” (QS 2:113).

Di tempat lain Allah menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Kristen menganggap dirinya sebagai putra Allah dan kekasih-Nya dengan mengecualikan umat lain. ayat itu selengkapnya sebagai berikut :

 “Kaum Yahudi dan Kristen Berkata: “Kami adalah putra Allah dan kekasih-Nya. Katakanlah: “mengapa Ia menyiksa kamu karena dosa kamu? Tidak! Kamu hanyalah manusia biasa diantara mereka yang Ia ciptakan Ia memberi ampun kepada siapa yang Ia kehendaki dan memberi siksaan kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantaranya adalah kepunyaan Allah; dan kepada-Nya tempat pengembalian terakhir”. (QS 5:18)[1]

Kedua ayat Suci diatas memberitahu kita bahwa orang-orang yang mempunyai  pengetahuan tentang agama lain menyebabkan seseorang bersikap eksklusivistik seperti kaum Yahudi dan Kristen. Hal ini bagi semua umat beragama, termasuk umat muslim, jika mereka memahami Alquran hanya secara tekstual tanpa memperhatikan konteksnya, baik konteks/ sejarahnya maupun konteks ayat dan suratnya.

Namun demikian perlu diingat dan diketahui bahwa sikap inklusivistik tumbuh pula di kalangan non muslim, misalnya dari pihak Kristen dimotori oleh Karl Rahner, Raimundo Panikkar, George Khodr, Hans Kung, Leo D. Leverbure dan sebagainya.

Fenomena ini sungguh menarik, karena menginggatkan kita kepada profetik Rasulullah Saw, bahwa pada Zaman akhir “salib akan dipatahkan“ dan akan disusul “terbitnya matahari dari barat,” sebagai pertanda kedatangan Masih dan Mahdi.

Arus deras pluralisme-inklusivisme yang beliau tanam dan taburkan ini bukan hanya dinyatakan dalam Qur’an Suci dan Hadits Nabi melainkan pula disaksikan oleh alam dan zaman, dan ini merupakan tanda-tanda alam dan zaman yang terbesar dalam evolusi manusia menuju ke tujuan akhir hidup sejatinya setelah umat manusia ditimpa fitnah yang terbesar, yakni fitnah Dajjal, Yakjuj dan Makjuj.[]

  • Penulis : K.H. Simon Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Masa Bakti 1995-1999

[1] Ayat 5:18 ini mengungkapkan sikap rasialistik, diskriminatik dan superioritas kaum (Yahudi dan) Kristen sebagaimana dahulu diperagakan oleh pemerintah apartheid Afrika Selatan dan kaum imperialis Barat. Rujukan sikap ketinggalan zaman ini Misalnya :Ul 7:6; 14:1-2; Ef 1: 6; Rm 9:4;dll

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here