Salah satu permasalahan dalam menekuni apa-apa yang dijelaskan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Mujaddid Abad 14 Hijriyah, adalah memahami pokok-pokok persoalan yang telah dikemukakan oleh dirinya, mengenai statusnya dalam kehidupan keberagamaan, antara lain yang bersangkutan dengan klaim kenabian yang dituduhkan kepadanya.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad selalu menyangkal tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada dirinya bahwa ia mengaku sebagai nabi. Dan berikut ini kami kemukakan 20 dalil sangkalan dan klarifikasi Ghulam Ahmad atas fitnah dan tuduhan yang ditujukan kepadanya dalam perkara tersebut.
DALIL PERTAMA
Apabila Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mandakwakan diri sebagai nabi (nubuwwat), tentu dirinya tidak akan membuat penyangkalan di dalam berbagai kitabnya, antara lain seperti yang kami kutipkan berikut ini:
“Tidak ada pendakwaanku atas kenabian. Sebaliknya, pengakuanku semata atas muhaddatsiyyat yang diturunkan atas perintah Tuhan” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 421)
“Tidak ada pendakwaan kenabian atas diriku. Pengakuan diriku hanyalah sebagai wali dan mujaddid.” (Majm?’ah Ishtih?r?t, Vol. II, hlm. 298)
“Atas dasar kebohongan, mereka menfitnahku bahwa aku mengaku sebagai nabi … Akan tetapi, perlulah diingat bahwa semua itu merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Keyakinanku adalah bahwa junjungan dan pemimpin kami Nabi Muhammad Musthaf? saw. adalah Penutup Para Nabi.” (Kit?b al-B?rriyy? (1898), hlm. 182, catatan kaki)
“Di hadapan para ulama, aku telah berulang kali bersumpah atas nama Allah, bahwa diriku ini bukanlah seorang yang mengaku nabi. Akan tetapi orang-orang tetap tiada henti-hentinya menyebutku sebagai kafir.” (Surat kepada Maulvi Ahmadullah dari Amritsar, 27 Januari 1904)
DALIL KEDUA
Apabila Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mandakwakan diri sebagai nabi, tidaklah mungkin beliau memberikan penafsiran atas QS Al-Ahzab [33]:40 tentang kh?tamun-nabiyy?n (segel atau penutup para Nabi) yang dinisbatkan atas Nabi Muhammad saw., antara lain seperti dalam kutipan berikut ini:
“QS Al-Ahzab ayat 40 menyatakan bahwa Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang di antara kamu, melainkan sebagai Utusan Allah dan segel atau penutup para nabi. Ayat ini menegaskan bahwa setelah Nabi Muhammad saw. tidak akan ada lagi nabi di dunia ini.” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 614)
“Qur’?n Suci menegaskan dalam ayat ”walaakin rasuulallaahi wa khaataman-nabiyyiin” bahwa sesungguhnya kenabian telah berakhir pada diri Nabi Muhammad saw.” (Kit?b al-B?rriyy? (1898), hlm. 184-185, catatan kaki)
“Allah adalah Rabb al-‘?lam?n, Yang Rahm?n dan Yang Rah?m. Ia menciptakan bumi dan langit dalam waktu enam hari, menciptakan Adama.s., mengirimkan rasul-rasul, menurunkan Kitab Suci, dan yang terakhir dari kesemuanya itu: menciptakan Nabi Muhammad Musthaf? saw.sebagai penutup para nabi dan rasul yang termulia.” (Haqiq?t-ul-Wahy? (1907), hlm. 141)
DALIL KETIGA
Di banyak kitabnya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seringkali mengutip hadits yang menyatakan mengenai tidak akan adanya nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. (l? nabiyya ba’di). Jika Hazrat Mirza mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin beliau mengeluarkan pernyataan-pernyataan antara lain seperti dalam kutipan berikut ini:
“Nabi Muhammad saw. telah berulang kali bersabda bahwa tidak ada nabi lagi setelah dirinya (laa nabiyya ba’di), dan sabdanya itusangatlah terkenal, sehingga keshah?hannya tidaklah diragukan lagi.” (Kit?b al-B?rriyy? (1898), hlm. 184, catatan kaki)
“Serupa dengan sabdanya l? nabiyya ba’di, Nabi Muhammad saw. menutup sama sekali pintu bagi kemungkinan adanya nabi baru ataupun nabi lama.” (Ayy?m-us-Sulh (1898), hlm. 152)
DALIL KEEMPAT
Apabila Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin juga ditulisnya bahwa wahyu kenabian (wahyu nubuwwat dan wahyu risalat) telah berakhir pada diri Nabi Muhammad saw. Berikut kutipan dari beberapa pernyataan beliau mengenai perkara ini:
“Aku meyakini bahwa wahyu risalat dimulai dari Adam a.s. dan berakhir pada Nabi Muhammad Musthaf? saw.” (Majm?’ah Ishtih?r?t, Vol. II, hlm. 230)
“Aku percaya mengenai berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. Adapun wahyu yang diterima oleh para wali (awliy?’) bukanlah wahyu nubuwwat, melainkan wahyu walayat, yang diterima melalui bayangan kenabian dari Nabi Muhammad saw., karena ketaatan yang sempurna mereka kepadanya. Inilah keyakinanku. Barangsiapa menuduhku jauh menyimpang dari perkara ini, merekalah yang sesungguhnya menyimpang dari kebenaran.” (Majm?’ah Ishtih?r?t, Vol. II, hlm. 151, 297)
DALIL KELIMA
Apabila Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai seorang nabi, tidaklah mungkin beliau menyatakan bahwa malaikat Jibril tidak lagi dapat menyampaikan wahyu nubuwwat setelah Nabi Muhammad saw., antara lain seperti dalam kutipan berikut ini:
“Setiap orang yang berakal sehat dapat memahami, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya yang disampaikan dalam ayat kh?taman-nabiyy?n (maksudnya QS 33:40 –pen.). Dan telah disebutkan pula dengan tegas dalam Hadits bahwa setelah Nabiyyullah Muhammad saw. wafat, Malaikat Jibril dilarang menyampaikan wahyu nubuwwat selamanya. Bilamana semua perkara ini benar dan nyata, maka tidak seorang pun dapat menjadi nabi setelah Nabi Muhammad saw.” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 577)”
DALIL KEENAM
Apabila Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tentu tidaklah mungkin beliau menyatakan bahwa dirinya hanya menerima wahyu walayat atau wahyu muhaddatsiyyat, yang hanya diberikan kepada para wali, bukan nabi. Berikut beberapa kutipan dari tulisan beliau mengenai perkara ini:
“Di dunia ini tidak mungkin terjadi bahwa Tuhan membantu seorang pendusta, sehingga ia dapat berdusta atas nama Tuhan selama kurun waktu sebelas tahun lamanya, dengan mengatakan bahwa wahyu walayat dan wahyu muhaddatsiyyat diturunkan kepada dirinya, dan Tuhan tidak menarik urat lehernya.” (?’?na-e-Kam?l?t-e-Isl?m (1893), hlm. 323)
“Aku perhatikan, pada saat wahyu diturunkan kepadaku dalam bentuk wahyu walayat, aku merasakan diriku berada dalam kekuatan luar yang sangat besar” (Barak?t-ud-Du’? (1893), hlm. 21)
DALIL KETUJUH
Wahyu kepada para nabi (wahyu nubuwwat) bersifat mutlak, sudah jelas dan pasti, sehingga tidak memerlukan verifikasi lagi. Sedangkan wahyu walayat memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dan harus diuji kembali kebenarannya berdasarkan Qur’?n Suci.
Sementara itu, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mendaku tidak pernah menerima satu wahyu pun, terkecuali wahyu itu telah beliau uji sebelumnya dengan Al- Qur’?n. Artinya, beliau hanya menerima wahyu walayat, bukan wahyu nubuwwat.
Apabila Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tentu tidaklah mungkin wahyu yang diterimanya perlu ia uji atau buktikan kebenarannya berdasarkan Qur’?n Suci. Dalam perkara ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad antara lain menyatakan:
“Aku tidak membenarkan wahyu-wahyu yang diturunkan kepadaku, kecuali setelah diuji kebenarannya berdasarkan Al-Qur’?n. Bagiku, mengetahui atau mendengar sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’?n adalah dusta dan menyimpang.” (Ham?mat-ul-Bushr? (1894), hlm. 79; Edisi baru, hlm. 282-283)
“Sebelum wahyu-wahyu yang kuterima kuungkapkan kepada khalayak, wahyu-wahyu itu aku uji terlebih dahulu dengan Qur’?n Suci dan Hadits yang shahih, disertai bermohon dengan kerendahan hati di hadapan gerbang Allah Rabbil-‘?lam?n, bahwa aku telah menyingkapkan perkara ini melalui lidahku.” (Ibid. Hlm. 13; Edisi baru, hlm. 55)
“Aku telah membuat tolok ukur penting bahwa aku tidak akan bersandar kepada kasyaf ataupun wahyu-wahyu yang aku terima, terkecuali didukung dan dibenarkan oleh Al-Qur’?n, Sunnah Nabi Muhammad saw., dan teks-teks Hadits yang shahih.” (Malf?zh?t, Bab IV, hlm. 203)
“Wahyu yang diturunkan kepada para wali maupun orang-orang yang beriman, pada umumnya tidak menjadi dalil atau hujjah, terkecuali jika sesuai serta sejalan dengan Qur’?n Suci.” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 629)
DALIL KEDELAPAN
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tentu tidaklah mungkin ia menganggap dirinya sebagai pengikut dan bawahan daripada Nabi Muhammad saw., seperti ditulisnya antara lain sebagai berikut:
“Allah yang Maha-Kuasa berfirman, ”wamaa arsalna min rasuulin illaa liyuthaa’a bi idznillaah.” Artinya, setiap rasul diutus untuk menjadi pemimpin dan junjungan, bukanlah menjadi pengikut dan hamba bawahan orang lain” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 569)
“Tidak seorang rasul pun diturunkan ke dunia ini sebagai pengikut dan bawahan. Tetapi, mereka adalah pemimpin yang hanya mengikuti wahyu yang diturunkan kepadanya melalui Malaikat Jibril.” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 576)
“Aku sama sekali tidak membuat pengakuan apapun atas kenabian (nubuwwat). Ini adalah kesalahfahamanmu, atau semata-mata prasangkamu terhadapku. Apakah seseorang yang mengaku menerima wahyu otomatis disebut sebagai nabi? Aku hanyalah seorang Muslim, yang berusaha taat kepada Allah dan para utusan-Nya dengan sungguh-sungguh.” (Jang-e-Muqaddas (1893), hlm. 67)
DALIL KESEMBILAN
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin ia menyatakan bahwa jika Nabi Isa a.s. tidaklah mungkin turun kembali ke dunia ini setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Sebab, jika Nabi Isa a.s. hadir kembali di dunia ini, maka batal-lah jabatan Nabi Muhammad saw. sebagai khatamun-nabiyyin. Berikut beberapa pernyataan beliau dalam perkara ini:
“Kemungkinan kedatangan Nabi Isa a.s. untuk yang kedua kalinya terhalang oleh dalil ayat ”wa laakin rasuulallaahi wa khaataman-nabiyyiin” dan juga sabda Nabi Muhammad saw. ”laa nabiyya ba’di.” Bagaimana mungkinsuatu hari kelak akan turun nabi-nabi, dan wahyu nubuwwat dimulai kembali, padahal telah dimafhumi bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi.” (Ayy?m-us-Sulh (1898), hlm. 47)
“Dalam ayat ”al-yauma akmaltu lakum diinakum” dan ayat ”walaakin rasuulallaahi wa khaataman-nabiyyiin,” Allah secara jelas telah mengakhiri kenabian pada diri Nabi Muhammad saw., dan berfirman tanpa ragu bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir … Tetapi, orang-orang mengharapkan datangnya kembali Nabi Isa a.s. ke dunia ini lengkap dengan pangkat kenabiannya, dan dalam kurun waktu 25 tahun Malaikat Jibril akan mendatanginya dengan membawa wahyu para nabi. Lantas, jika berdasarkan pada keyakinan semacam ini, bagaimanakah mungkin keyakinan mengenai keberakhiran kenabian dan wahyu nubuwwat itu difahami? Jika demikian, mereka tengah meyakini bahwa Nabi Isa-lah yang sesungguhnya menjadi penutup para nabi.” (Tohfah-e-Golarwiyyah (1902), hlm. 83)
“Para penentang kamilah yang secara tidak adil beranggapan bahwa pintu akhir kenabian tidak sepenuhnya tertutup. Sesungguhnya mereka yakin bahwa satu jendela masih tetap terbuka, dan memungkinkan seorang nabi dari bangsa Israel (Isa Almasih) akan kembali melaluinya. Oleh karena itu, apabila seorang nabi turun ke dunia setelah Kitab Suci al-Qur’?n dan proses wahyu nubuwwat diakhiri, apakah yang akan terjadi terhadap ajaran tentang khatamun-nubuwwat? Akankah wahyu dari seorang nabi dikenal sebagai sesuatu yang lain dari wahyu nubuwwat? (Sir?j-e-Mun?r (1897), hlm. 2-3)
DALIL KESEPULUH
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin ditulisnya bahwa setelah Nabi Muhammad saw. tidak diperlukan lagi seorang nabi, karena Al-Qur’?n telah menyempurnakan hukum-hukum agama sebelumnya. Berikut antara lain tulisan beliau mengenai perkara ini:
“Allah berwawan sabda dan berkomunikasi dengan para awliy?’ dari kalangan umat Islam, dan mereka diwarnai dengan sifat-sifat para nabi. Namun demikian, mereka bukanlah nabi dalam arti yang sebenarnya, karena Al-Qur’?n telah menyempurna-kan perintah-perintah syariat keagamaan. Tetapi kepada mereka hanya diberikan-Nya pemahaman tentang Al-Qur’?n. Mereka tidaklah dapat mengurangi ataupun menambah isi Al-Qur’?n.” (Maw?hib-ur-Rahm?n (1903), hlm. 66-67)
DALIL KESEBELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin beliau memahami perkataan nabi, rasul atau mursal dalam setiap wahyu yang diterimanya, dimaksudkan sepenuhnya dalam arti metafor dan lughawiyah, sebagai lawan dalam arti secara teknis/konvensi (haqiqi). Dia menulis:
“Janganlah menimpakan tuduhan-tuduhan yang tidak benar kepadaku bahwa aku telah mendaku diri sebagai nabi dalam arti yang sebenarnya … Benar bahwa dalam wahyu yang Allah turunkan berulangkali kepada diri hamba ini, terdapat ungkapan kata nabi, rasul dan mursal. Tetapi, kata-kata tersebut tidak mengandung arti yang sebenarnya. Setiap kata tergantung pada penggunaannya. Karenanya, ini adalah terminologi Allah, sebagaimana Dia menggunakan kata-kata tersebut.
Kami yakin dan mengakui, berdasarkan atas arti sebenarnya nubuwwat (kenabian), bahwa setelah Nabi Muhammad saw. tidak akan ada lagi nabi baru ataupun nabi lama. Al-Qur’?n melarang munculnya nabi baru maupun nabi lama. Tetapi dalam arti metafora, Allah dapat menyebut para penerima wahyu sebagai nabi atau mursal.
Sudahkah engkau membaca sabda Nabi Muhammad yang menyebutkan rasuulu rasuulillah (utusan dari Utusan Allah)? Bangsa Arab hingga kini menyebut utusan sebagai rasul, lalu mengapa Tuhan melarang untuk menggunakan pula kata mursal dalam arti metafora?
Perhatikan pula ayat Al-Qur’?n yang artinya, ‘Maka berkatalah mereka (beberapa orang yang bukan nabi), apakah kami utusan (rasul) bagi kalian?” Pertimbangkanlah dengan baik-baik, apakah ini merupakan dasar takfir kepada kami? Bagaimana jika Allah bertanya, apakah alasan yang akan engkau berikan dengan menyebutku seorang kafir?
Berulang kali kukatakan bahwa kata rasul, mursal dan nabi yang diungkapkan dalam wahyu yang yang diturunkan oleh Allah kepadaku, tidaklah dalam arti yang hakiki atau sebenarnya.” (Sir?j-e-Mun?r (1897), hlm. 3)
“Menjadi orang pilihan Tuhan, aku tidak dapat mengungkapkan wahyu-wahyu yang diturunkan-Nya kepadaku, yaitu wahyu-wahyu yang mengandung kata nubuwwat dan risalat yang diungkapkan berulang kali. Namun kukatakan bahwa kata mursal, rasul dan nabi yang diungkapkan kepadaku dalam wahyu-wahyu tersebut tidak digunakan menurut arti sebenarnya (kata-kata tersebut tidak hanya diungkapkan pada saat ini, tetapi telah ada dalam wahyu-wahyu semacam ini dalam Bar?h?n-e-Ahmadiyya).
Kenyataan sesungguhnya, aku bersaksi dengan setinggi-tingginya sumpah, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah penutup para nabi. Setelah beliau tidak akan ada lagi nabi, baik nabi baru maupun nabi lama. Akan tetapi, perlu diingat bahwa seperti yang kami jelaskan di sini, kadang kala wahyu Tuhan mengandung kata-kata tentang para walinya dalam arti metafora dan figuratif, yaitu, kata-kata tersebut tidak mengandung arti yang sebenarnya” (Anj?m-e-?tham (1897), hlm. 27-28 catatan kaki)
DALIL KEDUABELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin ada dalam buku-buku yang dituliskannya, dan khutbah-khutbahnya, berupa penyangkalan atas pendakwaan kenabian dalam arti sebenarnya. Beliau mengartikan kata nabi dan rasul menurut arti metafora. Pengertian secara metafora tidaklah mungkin diartikan sebenarnya. Berikut kutipan dari tulisan-tulisan beliau:
“Aku tidak pernah membuat pendakwaan atas nubuwwat ataupun risalat dalam arti yang sebenarnya (hakiki). Aku menggunakan kata tersebut menurut arti yang bukan sebenarnya, dan memakainya dalam khutbah dalam arti luasnya, dan dari kata dasarnya, sehingga hal itu tidaklah mengakibatkan kufur.” (Anj?m-e-?tham (1897), hlm. 27 catatan kaki)
“Jika Tuhan bersabda kepada seseorang berulang kali dan menyingkapkan pengetahuan-Nya tentang hal-hal yang ghaib, ini disebut nubuwwat. Tetapi hal itu bukanlah dalam arti kenabian yang sesungguhnya.” (Malf?zh?t Ahmadiyya, Vol. X, hlm. 421)
“Tuhan menyebutku nabi dalam arti metafora, bukan dalam arti yang sebenarnya.” (Al-Istifta, addendum Haqiq?t-ul-Wahy? (1907), hlm. 64)
DALIL KETIGABELAS
Sebuah hadits Nabi Muhammad saw. yang populer, diriwayatkan oleh Nawas bin Sam’an, dan termaktub dalam Hadits Shahih Muslim, menyebut bahwa kedatangan Al-Mas?h Mau’?d (Isa Al-Masih yang dijanjikan) di akhir zaman sebagai janji Allah Ta’ala. Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, maka kata nabi yang disematkan kepada dirinya sebagai Masih Mau’ud, tidaklah dianggap dalam arti metafora, sebagaimana dituliskannya berikut ini:
“Julukan ‘Nabiyullah’ bagi Al-Mas?h Mau’?d, yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lain-lainnya, yang berasal dari mulut Nabi Suci yang diberkati, mempunyai arti metafora. Istilah yang sama dipakai dalam literatur sufi sebagai istilah yang diakui umum dan mempunyai maksud sebagai ”penerima firman Tuhan.” Jika tidak demikian, bagaimana mungkin ada seorang nabi setelah penutup para nabi?” (Anj?m-e-?tham (1897), hlm. 28 catatan kaki)
“Perlu diingat dalam Sahih Muslim ditemukan kata nabi yang muncul sehubungan dengan Mas?h Mau’?d, yakni dikatakan, menurut arti metafora.” (Ayy?m-us-Sulh (1898), hlm. 75)
“Kata-kata tersebut mengandung arti metafora, seperti diungkapkan dalam Hadits bahwa kata nabi digunakan untuk menyebut Al-Mas?h Mau’?d … Dan bagi mereka yang menyampaikan kabar tentang hal-hal ghaib yang diterimanya dari Tuhan, dalam bahasa Arab disebut sebagai nabi. Dalam arti terminologi Islam, arti kata-kata tersebut berbeda. Dalam hal ini hanya dimaksudkan dalam arti lughowiyyah” (Arba’?n No. 2, hlm. 18, catatan kaki)
“Demikian pula Al-Mas?h Mau’?d, dalam hadits disebut sebagai nabi, tapi tidaklah dalam arti yang sebenarnya. Ini merupakan pengetahuan yang disingkapkan Tuhan kepadaku. Biarkanlah dia mengetahui. Dan telah diungkapkan kepadaku bahwa pintu-pintu kenabian hakiki sepenuhnya telah tertutup setelah Penutup dari Para Nabi, Nabi Suci Muhammad saw. Karena menurut arti yang sebenarnya, tidak akan ada lagi nabi baru ataupun nabi lama dapat datang saat sekarang ini.” (Sir?j-e-Mun?r (1897), hlm. 3)
DALIL KEEMPATBELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin dia menganggap dirinya sebagai seorang muhaddats (wali yang menerima wahyu Tuhan). Muhaddats bukanlah nabi, dan tidaklah mungkin membatasi arti kata nabi bagi dirinya, hanya sepanjang berkaitan dengan kewalian. Dalam hal ini beliau menulis:
“Sungguh aku berkeyakinan bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah Penutup dari para nabi (kh?tam al-anbiy?’) dan sesudahnya tidak akan ada nabi lagi umat ini, baik nabi baru maupun nabi lama. Dan pula, tidak satu pun ayat dalam al-Qur’?n dapat dihapus sedikit pun. Akan tetapi, tentu saja muhaddats?n akan terus datang kepada mereka, bertutur kalam dengan Tuhan, dan memiliki beberapa sifat kenabian yang diperolehnya dengan jalan pencerminan (dzill) dan diwarnai dengan sifat-sifat kenabian. Aku merupakan salah satu di antaranya.” (Nish?n ?sm?n? (1892), hlm. 28)
“Tak diragukan lagi bahwa diri hamba ini diturunkan oleh Tuhan sebagai muhaddats bagi umat Muslim” (Taud?h-e-Mar?m (1891), hlm. 18)
“Muhaddats?n adalah orang-orang yang mempunyai keistimewaan, yaitu mendapatkan previelege bertutur kata dengan Tuhan. Ruh mereka menyerupai ruh para nabi. Mereka adalah orang-orang yang mengingatkan mukjizat-mukjizat kenabian, sehingga hal-hal tentang wahyu Tuhan tidak hanya menjadi riwayat tanpa bukti.” (Barak?t-ud-Du’? (1893), hlm. 18)
“Sebagai Pemimpin dan Rasul, Nabi Muhammad saw. adalah penutup dari para nabi (kh?tam al-anbiy?’), dan tidak akan ada lagi nabi sesudahnya. Berdasarkan atas alasan itulah, dalam syariat ini para muhaddats menggantikan para nabi.” (Shah?dat-ul-Qur’?n (1893), hlm. 24)
DALIL KELIMABELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin beliau menyebut dirinya sebagai seorang ummat? wa nabi, dalam artiseorang pengikut di satu sisi dan seorang nabi di sisi lainnya. Kedua aspek ini hanya bisa disatukan dalam diri seorang muhaddats (wali), sebab seorang nabi hanya memiliki satu aspek, yakni kenabian saja. Beliau menulis mengenai hal ini sebagai berikut:
“Jadi, kenyataan bahwa dia [Mas?h Mau’?d] disebut sebagai pengikut [Nabi Muhammad], begitu juga sebagai nabi menunjukkan bahwa ciri-ciri pengikut dan kenabian dapat ditemukan dalam dirinya, sebagaimanana kedua sifat esensial tersebut merupakan sifat yang dimiliki oleh seorang muhaddats. Sebaliknya, pemilik kenabian yang sempurna hanya memiliki ciri-ciri kenabian saja. Kesimpulannya, muhaddatsiyah diwarnai oleh kedua sifat tersebut. Berdasarkan atas alasan inilah [wahyu-wahyu Tuhan] diterbitkan dalam Bar?h?n-e-Ahmadiyya Tuhan menyebut diri hamba ini sebagai seorang ummat? wa nabi (pengikut dan nabi).” (Iz?la-e-Auh?m (1891), hlm. 533)
“Aku tidaklah mungkin hanya disebut ‘nabi’, sebab aku adalah nabi di dalam satu aspek, dan seorang pengikut dalam aspek lainnya.” (Haqiq?t-ul-Wahy? (1907), hlm. 150, catatan kaki)
“Kini tidak perlu mengikuti masing-masing nabi ataupun Kitab Suci yang diturunkan sebelum al-Qur’?n, karena nubuwwat Muhammad saw. meliputi dan mencakup keseluruhannya … Segala kebenaran yang membimbing manusia kepada Tuhan dapat ditemukan di dalamnya. Tidak ada kebenaran baru dapat muncul lagi sesudah Kitabnya, dan tidak ada kebenaran yang muncul sebelum Kitabnya. Oleh karena itu, berdasarkan atas Nubuwwat-nya [Muhammad saw.] mengakhiri semua kenabian …
Taat kepada nubuwwat-nya ini akan membimbing manusia menuju kepada Tuhan, dan mereka akan menerima kasih sayang Tuhan dan wahyu-Nya dalam jumlah yang lebih besar daripada yang diterimanya sebelum zaman Nabi Muhammad saw. Namun demikian, pengikut yang sempurna tersebut tidak dapat disebut nabi, karena hal itu akan merendahkan kesempurnaan nubuwwat dari Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, kata-kata ummat? wa nabi, keduanya dapat digunakan pada diri mereka, karena kata-kata tersebut tidaklah merendahkan kenabian Nabi Suci Muhammad saw.” (Al-Wasiyy?t (1905), hlm. 27-28)
“Islam merupakan satu-satunya agama di dunia ini yang memiliki kemurnian, jika ketaatan yang tulus dan sepenuhnya diberikan kepada Pemimpin dan Junjungan kami Nabi Muhammad saw., seseorang dapat memperoleh anugerah keistimewaan menerima wahyu Tuhan. Dalam Hadits disebutkan, ”ulama ummat? ka anbiyya Bani Israil,” artinya ‘ulama di antara pengikutku adalah seperti para nabi Bani Israil’. Dalam Hadits ini juga, para wali suci di satu pihak disebut pengikut, dan di pihak lainnya disebut sebagai seperti para nabi.” (Addendum Bar?h?n-e-Ahmadiyya, Jilid V, hlm. 182-84)
Empat kutipan di atas menjelaskan bahwa kalimat “seorang pengikut dari satu asapek dan seorang nabi dari aspek lainnya” memiliki arti tepat sama dengan muhaddats ataupun wali dari kalangan Muslim, dan tidak mengandung arti nabi.
DALIL KEENAM BELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin ditulisnya kata rasul sebagai istilah umum yang digunakan tidak hanya untuk menyebut seorang nabi, tetapi juga menyebut para wali (muhaddats) dan mujadd?d (pembaharu), dan tidaklah mungkin disebutkan bahwa kata nabi juga dapat untuk menyebut wali. Beliau menuliskan:
“Kata rasul merupakan istilah umum untuk menyebut seorang utusan, nabi dan muhaddats.” (?’?na-e-Kam?l?t-e-Isl?m (1893), hlm. 322)
“Rasul artinya seseorang yang dikirim oleh Tuhan, baik sebagai seorang nabi, rasul, muhaddats ataupun mujadd?d.” (Ayy?m-us-Sulh (1898), hlm. 171 catatan kaki)
“Rusul [jamak dari rasul] artinya orang-orang yang dikirim oleh Tuhan, baik sebagai seorang utusan, nabi maupun wali.” (Shah?dat-ul-Qur’?n (1893), hlm. 23)
“Istilah ”dikirim oleh Tuhan” (mursal) menurut artinya adalah para nabi dan rasul mempunyai tingkatan yang sama. Seperti halnya Tuhan menyebutkan nabi sebagai mursal [orang yang dikirim], Dia-pun menyebutkan para awliy?’ sebagai mursal.” (Shah?dat-ul-Qur’?n (1893), hlm. 27)
“Sejak semula merupakan tujuanku, dimana Tuhan Maha mengetahui, bahwa kata nabi tidak berarti kenabian hakiki, tetapi hanya dimaksudkan sebagai muhaddats.” (Majm?’ah Ishtih?r?t, Vol. I, hlm. 97)
DALIL KETUJUH BELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin dikatakan bahwa dirinya sebagai dzill? nabi (pantulan atau bayangan nabi). Bayangan atau pantulan itu tidaklah sama dengan benda yang dibayangkan atau yang dipantulkan itu. Dia menulis:
“Kenabianku merupakan dzill (bayangan) semata dari kenabian Nabi Muhammad saw., bukan kenabian yang sesungguhnya.” (Haqiq?t-ul-Wah? (1907), hlm. 150 catatan kaki)
“Gelar ini [‘nabi’] diberikan kepadaku melalui dzill, bukan dalam arti sesungguhnya” (Chashma-e-Ma’rifat ( 1908), hlm. 324 catatan kaki)
“Ingatlah baik-baik bahwa hasil pemenuhan ketaatan sempurna [kepada Nabi Suci] tidak pernah sia-sia. Hal ini merupakan perkara Tasawwuf. Apabila derajat dzill tidak ada, maka para wali di kalangan kaum Muslim akan menghadapi maut pula. Tepatnya, inilah ketaatan yang sempurna dan derajat bur?z dan dzill [dari Nabi Muhammad saw.], yang mana Bayazid (Waliyullah w. 874 M) disebut ‘Muhammad’. Berdasarkan atas pernyataannya tersebut, fatwa kekafiran diumumkan atas dirinya lebih dari tujuh puluh kali dan dirinya dikucilkan dari kota. Singkatnya, orang-orang yang menentang kami tidak menyadari atas kebenaran ini” (Badr, 27 Oktober 1905)
“Bayangan tidak berdiri sendiri atau memiliki sifat-sifat dari benda yang sebenarnya. Apapun yang ada di dalamnya hanyalah bayangan dari benda aslinya, yang terwujud melalui bayangan tersebut” (Bar?h?n-e-Ahmadiyya, Jilid I, hlm. 243)
“Kejadian ini seperti dzill, di saat engkau melihat dirimu di cermin. Dirimu tidak menjadi dua, tetapi tetap satu, meskipun tampaknya dua. Perbedaan yang ada hanyalah antara dirimu sendiri dan bayangannya.” (Kisht? N?h (1902), hlm. 15)
“Walayat (kewalian) adalah dzill? (cerminan) sempurna dari nubuwwat.” (Hujjat-Ull?h (1897), hlm. 24)
“Nabi merupakan aslinya, sedangkan wali ibarat dzill?nya” (Lujjat-un-N?r (1900), hlm. 38)
DALIL KEDELAPAN BELAS
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin menyebut dirinya sebagai bur?zi nabi (gambaran atau perwujudan nabi), karena menurut awliy?’, menjadi seorang bur?z berarti penyangkalan sempurna terhadap keberadaan dirinya sendiri. Beliau menulis:
“Semua nabi mempercayai bahwa bur?z merupakan gambaran penuh dari objek aslinya, bahkan hingga namanya pun menjadi satu dengan aslinya.” (Eik Ghalat? k? Iz?lah (1901)
“Kaum sufi percaya bahwa sifat, watak dan kualitas moral seseorang di masa lalu dapat hadir kembali dalam diri orang lain. Dalam terminologi kaum Sufi dikatakan bahwa orang semacam itu mengikuti jejak langkah (qaddam) Adam atau Nuh. Beberapa orang menyebutnya juga sebagai bur?z.” (Malf?zh?t, Jilid I, 239)
“Bagi para ulama Muslim, adalah hal biasa menyebutkan bur?z dengan istilah qaddam dan mengatakan, bahwa orang semacam itu seperti mengikuti jejak Musa, orang semacam itu seperti mengikuti jejak Ibrahim.” (Lujjat-un-N?r (1900), hlm. 1)
“Seluruh kaum Muslimin menyepakati bahwa seorang yang bukan nabi menggantikan nabi sebagai bur?z. Seperti dimaksudkan dalam Hadits ‘ummat? ka anbiyy?’ bani Israil’, artinya kedudukan ulama dari kalangan umatku menyerupai nabi. Lihatlah di sini Nabi Muhammad saw. mengibaratkan ulama menyerupai nabi.” (Ayy?m-us-Sulh (1898), hlm. 163)
“Menjadi bur?z menyiratkan penyangkalan atas keberadaan diri sendiri. Oleh karena itu, kenabian dan kerasulan yang dicapai melalui bur?z tidak melanggar segel penutup akhir kenabian.” (Eik Ghalat? k? Iz?lah (1901)
“Di saat wajah seseorang terlihat di cermin, meskipun wajah tersebut memiliki keberaadaannya sendiri, hal ini disebut bur?z.” (Tafsir Surah Al-F?tihah, hlm. 330)
DALIL KESEMBILAN BELAS
Setelah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat 1908, pada batu nisan yang dibuat para pengikutnya di Qadian tertulis:
”Janab Mirza Ghulam Ahmad sahib Qadiani, Rais (Pemimpin) dari Qadian, Mas?h Mau’?d, Mujadd?d abad keempatbelas, wafat tanggal 26 Mei 1908”
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, para pengikutnya tidak mungkin menuliskan Mujadd?d abad keempatbelas di batu nisannya. Tulisan ini bertahan hingga 25 tahun sesudah wafatnya, kemudian kata-kata ”mujadd?d abad keempatbelas dihapuskan. Meski demikian, kata ‘nabi’ tetap tidak ditambahkan.
DALIL KEDUA PULUH
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidak akan pernah meminta kepada pengikutnya untuk membatasi/mengekang penggunaan kata nabi bagi dirinya, ataupun meminta umat di khalayak luas sehubungan dengan kata ini untuk menghapus kata tersebut ketika menyebut dirinya.
Dalam kenyataannya, berikut inilah yang sesungguhnya ia lakukan:
“Aku bermaksud menjelaskan kepada seluruh ikhwan kaum Muslimin, jika kata-kata tersebut tidak disukai dan menyakiti hati, kata-kata tersebut dapat diubah … Di setiap tempat jika ada kata nabi agar diganti dengan muhaddats, sehingga dapat dipahami, dan kata nabi dianggap telah dihapuskan” (Majm?’ah Ishtih?r?t, Vol. I, hlm. 313)
“Hamba tidak pernah sekalipun membuat pendakwaan atas nubuwwat ataupun risalat dalam arti sesungguhnya. Penggunaan kata-kata tersebut, menurut arti yang bukan sebenarnya dan memakainya dalam khutbah berdasarkan konteks arti secara umum, atau secara literar/lughowiyah, sehingga tidaklah mengakibatkan kekufuran. Akan tetapi, aku tidaklah menyukai hal ini, bahwa mungkin ada di antara kaum Muslimin pada umumnya yang salah memahaminya.” (Anj?m-e-?tham (1897), hlm. 27 catatan kaki)
“Karena kata-kata [nabi, rasul] hanya dalam arti metafora, sehingga menyebabkan masalah dalam Islam dan menimbulkan akibat-akibat buruk, dengan demikian istilah-istilah tersebut jangan digunakan dalam pembicaraan umum di kalangan masyarakat dan bahasa sehari-hari. Perlu diyakini dengan tulus bahwa kenabian telah berakhir pada Nabi Muhammad saw., seperti difirmankan Tuhan: ‘Dia adalah Utusan Allah dan Penutup para Nabi’. Menyangkal ayat ini ataupun meremehkan berarti memisahkan diri dari Islam … harus diingat bahwa aku tidak membuat pendakwaan yang bertentangan dengan pengakuan bahwa aku adalah hamba Islam. Orang-orang yang menganggapku sebaliknya adalah orang-orang yang berdusta melawanku.” (surat tertanggal 17 Agustus 1899, diterbitkan di Al-Hakam, Vol. 3 No. 29, Agustus 1899)
KESIMPULAN
Jika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi, tidaklah mungkin dirinya:
- Menyatakan bahwa Nabi Muhammadsaw adalah Penutup dari para Nabi.
- Menjelaskan maksud dari Hadits Nabi Muhammadsaw l? nabiyya ba’di, yang ditafsirkannya tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammadsaw, baik nabi baru maupun lama.
- Menyangkal dirinya sebagai nabi hakiki (menurut arti sebenarnya).
- Menulis bahwa wahyu yang diterimanya merupakan wahyu yang diturunkan Allah untuk para wali (wahyu wilayat), bukanlah wahyu yang diturunkan untuk para nabi (wahyu nubuwwat).
- Menggunakan kata nabi dan rasul menurut arti metafora ketika digunakan untuk merujuk dirinya.
- Melarang pengikutnya menggunakan kata-kata tersebut dipakai secara umum.
- Menyangkal dengan sungguh-sungguh bahwa dirinya telah membuat pengakuan atas kenabian (nubuwwat)
- Dan bagaimana mungkin batu nisan yang dibuat oleh para pengikutnya sesaat setelah wafatnya bertuliskan ‘Mujadd?d abad keempatbelas’, bukan “Sang Nabi” misalnya.
Penulis: Ahmad S. Djoyosugito
Penyunting: Asgor Ali
Kenapa saat saya bertanya pada jamaah ahmadiyah, mereka bilang MGA adalah Nabi?
Apakah ada perbedaan pendapat di internal ahmadiyah?
Ada perbedaan antara Gerakan Ahmadiyah (Ahmadiyah Lahore) dan Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qodian) dalam hal perhormatan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Bagi Ahmadiyah Qodian, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, sedangkan bagi Ahmadiyah Lahore, setelah Nabi Muhammad Saw. tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru