Bab 1. Muqadimah
Ada suatu pepatah Arab yang sangat masyhur sebagai berikut Undzur maqal wala andzur manqal, artinya lihatlah apa yang diucapkan dan janganlah melihat siapa yang mengucapkan. Menurut pepatah ini, ucapan seseorang itu lebih penting daripada (perbuatan) orang yang mengucapkannya. Hal ini dapat diterima oleh para ahli filsafat, pujangga dan kaum cerdik pandai; tetapi sebagian besar dari umat manusia justru memandang sebaliknya.
Menurut Islam, agama Allah yang diwahyukan kepada para nabi utusan-Nya, keduanya sama pentingnya dan berhubungan erat, tak terpisahkan. Buktinya, salah satu dari asas agama Islam (rukun Iman) ialah beriman kepada kitab suci dan para nabi utusan Allah. Hubungan antara kitab suci yang diwahyukan dengan orang yang menerimanya sangat erat. Tak terpisahkan satu sama lain. Kitab suci berisi ajaran-ajaran Kebenaran nan indah yang memengaruhi akal pikiran, sedangkan penerima kitab suci yakni para nabi utusan Allah memberikan penjelasan dan suri teladan yang menawan hati dan jiwa (rohani) umat manusia. Maka tidak mengherankan bahwa para nabi jauh lebih mengesankan kepada umat manusia daripada para ahli filsafat dan cerdik pandai; dan mereka itu berhasil, sedang para ahli filsafat gagal. Para ahli filsafat berusaha menjernihkan akal pikiran manusia dan tidak menarik manusia dengan menjadikan dirinya sebagai contoh yang baik; tetapi para nabi mengusahakan kedua-duanya. Mereka itu menarik rasa kagum pada akal pikiran manusia dengan kitab sucinya yang berisi ajaran-ajaran yang adi luhung dan menarik hati manusia dengan contoh pribadinya yang tanpa cacat.
Asas ini membimbing kita bahwa untuk memahami dan menghayati Islam tidak cukup hanya dengan mempelajari kitab suci Al-Quran saja, melainkan pula harus mengetahui suri teladan Rasulullah saw, yang menerima dan menyampaikan risalah Islamiyah. Kita jangan sampai terperosok ke jalan orang-orang sesat, karena mengabaikan prinsip tersebut. Hidup meraba-raba dalam kegelapan harus segera diakhiri. Demikian pula saudara-saudara kita umat Yahudi dan Kristen. Mereka tidak ragu-ragu lagi menuduh nabi-nabinya sendiri telah berbuat serong 1). Mereka lupa, bahwa ajaran yang gagal memperbaiki nama baik pembawanya tidak banyak lagi gunanya untuk orang-orang lain. Dan mereka lupa bahwa betapa pun baiknya dan idealisnya suatu ajaran akan hilang harganya jika tidak disertai dengan praktik orang yang menyebarkannya.
Bagaimana pentingnya hubungan suatu ajaran dengan pembawanya, sudah disadari oleh Islam sejak zaman permulaan, Selain ditetapkan sebagai prinsip, berulangkali Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa umat Islam wajib beriman kepada semua kitab suci yang telah diwahyukan dan kepada para nabi utusan-Nya. Misalnya:
a. Dalam surat 2: 1-5. Allah berfirman sebagai berikut:
“Aku, Allah, Yang Maha-Tahu, Kitab ini, tak ada keragu-raguan di dalamnya, adalah petunjuk bagi orang-orang yang memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. Yang beriman kepada Yang Gaib dan menegakkan shalat dan membelanjakan sebagian dan apa yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka beriman kepada yang diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau, dan tentang Akhirat mereka yakin. Mereka itulah yang berada di jalan yang benar dari Tuhan mereka, dan mereka itulah yang beruntung. ”
b. Lagi Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 183 sebagai berikut:
“Maka dari itu jika mereka mendustakan engkau, maka sungguh telah didustakan para utusan-Nya sebelum engkau, yang datang dengan bukti yang terang dan dengan kitab suci dan dengan kitab yang menerangi. “
Selanjutnya, Allah mengecam keras orang-orang yang beriman, yang hanya pandai bicara tentang ajaran kitab suci tetapi tak pandai berbuat seperti perbuatan Nabi pembawa kitab suci yang bersangkutan. Hal ini sama saja dengan orang yang pandai bicara tetapi tak pandai berbuat. Allah mengecam:
”Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tak kamu lakukan? Amat membencikan dalam penglihatan Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tak kamu lakukan.” (QS. 62: 2-3).
Mereka itu dilukiskan sebagai keledai yang membawa kitab, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat, lalu mereka tak memperhatikan itu, adalah ibarat keledai yang mengangkut kitab. Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat Allah. Dan Allah tak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim.” (QS. 62: 5).
Mereka di Akhirat mendapat siksa yang amat berat. Suatu hadis Nabi meriwayatkan sebagai berikut:
“Dari Abi Zaid (Usamah) bin Zaid bin Haritsah r.a, berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang dihadapkan di hari kiamat. Kemudian dilemparkan ke dalam Neraka, maka keluar usus perutnya, lalu berputar-putar di dalam Neraka bagaikan keledai yang berputar di sekitar penggilingan, maka berkerumun ahli Neraka padanya sambil bertanya: Hai Fulan, mengapakah engkau, tidakkah engkau dahulu mencegah kemungkaran? Jawabnya: Benar, aku dahulu menganjurkan kebaikan, tetapi saya tidak mengerjakan; dan saya melarang kemungkaran, tetapi saya mengerjakan.” (HR. Bukhari, Muslim) 2)
Oleh karena itu, tepat sekali pendapat Siti Aisyah r.a.. istri Rasulullah saw, bahwa suatu ajaran tak dapat dipisahkan dari guru yang membawanya. Ketika beliau ditanya tentang akhlak dan kepribadian Rasulullah, dijawabnya segera bahwa kana akhlaquhu minAl-Quran, akhlak dan kepribadian beliau adalah Al-Quran (Abi Daud). Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw, ialah perwujudan dari ajaran Al-Quran. Alangkah agungnya, pernyataan Siti Aisyah itu: seorang guru yang bijaksana tidak mungkin mengajarkan suatu hal, tetapi berbuat sesuatu yang berlainan dengan ajarannya. Muhammad Saw, adalah guru yang bijaksana itu. Singkatnya, untuk mengetahui ajaran Al-Quran (Islam) harus mengenal beliau dan untuk mengenal beliau harus pula memahami Al-Quran.
Kehidupan Rasulullah saw, keadaannya bagaikan kitab yang terbuka di bawah cahaya yang terang benderang, sehingga mudah dibaca dan dilihat dengan mudah sampai kepada masalah yang sekecil-kecilnya atau sepele. Siapa pun yang matanya waras dan akalnya sehat dapat membacanya dengan mudah. Tidak ada orang-orang besar atau nabi lain yang kehidupannya direkam dan dicatat begitu lengkap seperti kehidupan Rasulullah saw. Memang, banyaknya fakta-fakta yang dicatat itu telah membuka kesempatan untuk melemparkan celaan-celaan jahat dan caci-maki, tetapi menjadi kenyataan pula bahwa sesudah celaan-celaan jahat dan caci-maki itu diselidiki dengan seksama, akhirnya terbuktilah kekeliruan dan kepalsuannya dan terungkaplah hakikat kebenarannya, keindahannya dan keagungannya. Celaan dan caci-maki yang sering dilancarkan terhadap Muhammad Rasulullah saw ialah bahwa beliau adalah tukang pelesir, budak hawa nafsu, hidupnya jorok dan sebagainya, hanya karena beliau menjalankan poligami, beristri lebih dari seorang istri. Oleh karena sejarah kehidupan beliau lengkap sempurna dan terbuka lebar di bawah cahaya yang terang benderang, maka marilah kita mencoba membaca itu dengan tenang, kritis dan tanpa prasangka serta doa: Rabbi zidni ’ilma, warzuqni fahma. Amin ya Robbal ‘alamin.
BAB 2. FAKTA-FAKTA YANG DIABAIKAN
“Sesungguhnya kamu mempunyai dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang mendambakan (bertemu) dengan Allah dan Hari Akhir, dan yang ingat sebanyak banyaknya kepada Allah.” (QS. 33: 21).
Poligami yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, mengganggu pikiran banyak orang, baik Islam ataupun non Islam. Kadang-kadang hal itu menjadi penghalang untuk menerima kebenaran risalah Islamiyah yang beliau bawa dan sampaikan. Bahkan sering kali caci-maki dan tuduhan palsu dilancarkan terhadap beliau, bahwa beliau adalah tukang pelesir dan budak hawa nafsu, hanya karena beliau mempunyai banyak istri 3). Ini adalah tuduhan jahat dan fitnah semata-mata yang bertentangan dengan fakta sejarah dan ajaran Al-Quran.
Fakta-fakta sejarah dan ayat-ayat Al-Quran yang sering diputar-balik untuk memfitnah itu, ialah:
1. Usia lanjut Rasulullah saw. Rasulullah saw, melakukan poligami mulai usia 55 hingga 60 tahun. Hal ini nampaknya saru. Selanjutnya itu mengapa melakukan poligami. Biasanya poligami akan dilakukan orang sebelum menginjak usia lanjut itu. Pendapat ini sepintas lalu dapat diterima oleh akal. Seolah-olah benar. Akan tetapi, jika sejarah kehidupan Rasulullah diperhatikan dengan sungguh-sungguh secara keseluruhan, tidak hanya dilihat dari satu segi saja, maka Poligami yang Rasulullah lakukan bukanlah suatu cacat dan cela, melainkan merupakan suatu keagungan. Dalam sejarah kemanusiaan belum pernah ada contoh perubahan ke arah kejahatan yang dialami oleh seseorang yang hidupnya suci dan bersih tanpa cacat sampai usia 54 tahun. Mulai usia 55 tahun biasanya dipergunakan orang untuk menenangkan hawa nafsunya atau bertobat bagi mereka yang tak bisa mengekang hawa nafsunya pada waktu mudanya. Baik kawan maupun lawan, tahu pasti bahwa Muhammad sampai usia 25 tahun dikenal sebagai orang yang kuat menjaga kesuciannya. Sir William Muir, seorang orientalis Kristen menyatakan bahwa “semua pengarang sepakat dalam melukiskan Muhammad sebagai pemuda yang sopan tingkahnya dan suci kelakuannya yang jarang terdapat di kalangan orang-orang Mekah. Padahal, pada waktu itu kecabulan merupakan barang biasa di tanah Arab, tetapi Muhammad Saw, menempuh kehidupan yang suci di tengah-tengah bangsa yang membanggakan diri akan perbuatan mereka yang tak senonoh dalam hubungan seks. Oleh karena itu beliau dalam Al-Quran disebut sebagai:
— Saksi (syahid), Yakni orang yang menyaksikan hilangnya perikemanusiaan dan menyaksikan orang yang kehilangan kesadaran tentang adanya Allah.
— Basyir, Yakni pembawa kabar baik kepada manusia bahwa Allah tetap ingat kepada umat manusia, dan bahwa Ia telah mengutus utusan-Nya untuk memperbaiki kebejatan umat manusia dan mengangkat derajat umat manusia ke puncak keluhuran akhlak dan rohani.
— Nadzir, Yakni sebagai juru ingat. Beliau mengingatkan umat manusia, jika mereka tetap keras kepala dalam kelakuan jahat mereka, mereka akan menderita kesudahan yang buruk.
— Da’i, artinya orang yang mengajak, yakni mengajak kepada Allah dan kepada kebenaran dan keadilan.
— Sirojan muniro (matahari ketulusan), yakni orang yang dapat memberi penerangan kepada orang lain dan menunjukkan jalan kesucian dan kesempurnaan.
Hal ini dinyatakan Ilahi dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, dan pengemban kabar baik, dan sebagai juru ingat. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya dan sebagai matahari yang menerangi” (QS. 33: 45-46).
Sedangkan orang-orang Mekah yang memusuhi beliau menyebutnya Al Amin, artinya orang yang dapat dipercaya.
Selanjutnya dalam sejarah kita baca, bahwa ketika orang-orang kafir dan para musuh beliau ditantang, tak bisa menunjukkan satu pun bukti noktah dan cacat terhadap perangai beliau yang suci itu. Ini diabadikan dalam Al-Quran sebagai berikut:
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, orang-orang yang tak mengharap bertemu dengan Kami berkata: Berilah Quran yang lain daripada ini, atau gantilah ini. Katakanlah tak layak bagiku untuk mengganti ini menurut kemauanku. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya jika aku durhaka kepada Tuhanku, aku takut akan siksaan pada hari yang mengerikan. Katakanlah: Jika Allah menghendaki, aku tak membacakan itu kepada kamu. Sesungguhnya aku hidup di tengah-tengah kamu bertahun-tahun sebelumnya. Apakah kamu tak mengerti?” (QS. 10: 15-16) 4)
Kemudian dari usia 25 -54 tahun. Beliau hidup dengan seorang istri dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan yang sempurna. Perkawinan pertama dilangsungkan pada waktu berusia 25 tahun dengan seorang janda bangsawan yang kaya raya, bernama Siti Khadijah yang telah berusia 40 tahun. Jadi 15 tahun lebih tua dari beliau. Hanya dengan Siti Khadijah inilah beliau menghabiskan masa muda dan kedewasaannya, sampai Siti Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrah, tatkala beliau berusia 50 tahun. Kenyataan ini sebenarnya telah cukup untuk menyanggah tuduhan palsu dan caci-maki bahwa beliau tukang pelesir dan suka melampiaskan hawa nafsu. Na’udzu biIlahi min dzalik. Sekiranya beliau budak hawa nafsu seperti yang mereka tuduhkan, niscaya telah melakukan poligami. Hal ini sangat mudah bagi beliau, karena:
1. Perkawinan dengan Siti Khadijah r.a, membuat beliau kaya raya. Lagi pula beliau seorang bangsawan, bebas untuk melakukan poligami.
2. Poligami pada waktu itu menjadi adat kebiasaan di tanah Arab. Tidak hanya terbatas pada kaum bangsawan saja, melainkan pula orang-orang miskin pun beristri lebih dari satu.
3. Belum ada undang-undang yang mengatur poligami, sehingga orang-orang besar lainnya yang taat kepada agama juga melakukan poligami. Misalnya: Nabi Ibrahim yang dihormati oleh sebagian besar penduduk dunia sampai sekarang mempunyai istri lebih dari satu. Demikian pula Nabi Musa, Daud, Sulaiman, dan sebagainya. Meskipun mereka melakukan poligami, tidaklah tercela, karena mereka tidak dituntun oleh hawa nafsunya. Seandainya Rasulullah saw, melakukannya pun tidak tercela.
Akan tetapi. Rasulullah saw, hidup dengan seorang istri, yaitu Siti Khadijah r.a. Setelah Khadijah wafat. Rasulullah kawin dengan Siti Saudah r.a, seorang janda yang lebih tua 5). Siti Saudah adalah istri seorang sahabat yang setia, yang harus mengungsi ke Habsyi untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan kaum kafir Quraisy. Suaminya meninggal dalam perjalanan pulang dari Habsyi. Saudah menjadi janda. Keadaannya sangat menyedihkan. Tak mempunyai suatu apapun untuk menyambung hidupnya. Karena lingkungan persaudaraan Islam masih sangat kecil pada waktu itu, ia meminang Rasulullah dan diterima dengan baik pinangan itu. Jadi, bagian hidup Rasulullah yang terpenting, dari usia 25 hingga 54 tahun. Rasulullah hidup monogami. Ini suatu contoh kepada para pengikut beliau bahwa monogami adalah aturan pokok atau prinsip perkawinan dalam Islam.
Selanjutnya dari usia 55 hingga 60 tahun. Rasulullah membuat banyak perjanjian perkawinan, karena keadaan yang luar biasa atau darurat. Bagaimana keadaan pada waktu itu, kami uraikan kemudian. Sebenarnya fakta usia lanjut itu sudah cukup untuk tak membenarkan tuduhan orang yang mencari-cari kesalahan, bahwa beliau tukang pelesir dan pelampias hawa nafsu. Tuduhan semacam itu hanya bisa termakan oleh orang-orang yang masih dalam kegelapan terhadap Islam, yaitu:
— Tukang pelesir dan pengumbar hawa nafsu yang usianya di bawah 54 tahun.
— Orang yang belum pernah berumah tangga, karena menempuh hidup wadat atau impoten, sehingga ia tak mampu menghayati dan menghargai nilai-nilai berumah tangga dalam pembangunan manusia seutuhnya.
— Orang yang tak tahu atau tak mau tahu keadaan Rasulullah dan umat Islam pada waktu Rasulullah berusia 55 hingga 60 tahun atau tahun ke 2 hingga ke 8 hijrah.
— Orang yang tak tahu atau tak mau tahu ajaran Al-Quran tentang izin poligami yang dinyatakan dalam surat (4) An Nisa’ ayat 3. yang berbunyi sebagai berikut: “Dan apabila kamu khawatir bahwa kamu tak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita itu yang baik bagi kamu, dua, tiga atau empat; tetapi apabila kamu khawatir bahwa kamu tak dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu saja..,.”
— Orang yang tak tahu asbabun-nuzul atau sebab-sebab diturunkannya surat (4) An Nisa ayat 3 yang menjadi landasan poligami dalam Islam.
— Orang yang tak tahu fungsi seorang nabi utusan Allah yang sebenarnya dalam kehidupan umat manusia.
2. Dalam keadaan perang. Rasulullah saw, melakukan poligami bersamaan dengan peperangan yang dahsyat melawan kaum kafir Quraisy dengan sekutu-sekutunya. Setiap detik maut mengancam umat Islam, terutama Rasulullah, baik dari dalam maupun dari luar. Musuh dari dalam yang selalu mengintai ialah kaum munafik di bawah pimpinan Abdullah bin Ubai bin Salul dan kaum Yahudi: Bani Qainuqa. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Sedangkan musuh dari luar ialah kaum kafir Quraisy dan seluruh kabilah Arab yang telah bersekutu dengan mereka. Ketika kaum Quraisy mengirim pasukan ke Madinah untuk menghancurkan Islam. Rasulullah saw, menerima wahyu tentang diizinkannya menghunus pedang untuk membela diri. Wahyu itu bunyinya:
(Perang) diizinkan kepada orang-orang yang diperangi, karena mereka dianiaya. Dan sesungguhnya Allah itu Kuasa untuk menolong mereka, (yaitu) orang-orang yang diusir dari rumah mereka tanpa alasan yang benar, kecuali hanya karena mereka berkata: “Tuhan kami ialah Allah.” (QS. 22: 39 dan 40).
Di tempat lain Allah menyatakan sebagai berikut:
’’Dan berperanglah di jalan Allah melawan mereka yang memerangi kamu, tetapi janganlah melebihi batas. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang yang melanggar batas. (QS. 2: 190) 6)
Rasulullah saw, adalah teladan yang paling baik dan contoh yang paling luhur (bagi kaum mukmin) dalam setiap keadaan. Sekiranya beliau tidak memimpin pasukan, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh bagi seorang jendral yang memimpin pasukan dalam peperangan; sekiranya beliau tak menjalankan perang sendiri, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh bagi prajurit yang menyabung nyawanya untuk membela keadilan dan kebenaran serta kemerdekaan, sekiranya beliau tak membuat undang-undang sebagai petunjuk bagi umatnya, niscaya beliau tak dapat dianggap sebagai contoh utama sebagai anggota legislatif, sekiranya beliau tak kawin, niscaya beliau membiarkan orang-orang tanpa petunjuk dalam mengerjakan separuh tugas manusia sehari-hari, dan tak dapat memperlihatkan bagaimana seorang suami harus bersikap manis dan kasih sayang kepada istri, dan bagaimana seorang ayah harus mencintai anak-anaknya, sekiranya beliau tak membalas kaum dzalim akan kekejaman mereka terhadap orang-orang yang tak bersalah, dan sekiranya beliau tak dapat mengalahkan musuh yang aniaya dan sekiranya beliau tak mengampuni mereka, dan sekiranya beliau tak melupakan kesalahan mereka yang dekat dengan beliau, niscaya beliau tak dapat dianggap sebagai teladan yang baik dan mulia, sebagaimana dinyatakan dalam ayat:
“Sesungguhnya kamu mempunyai dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang mendambakan (bertemu) Allah dan Hari akhir, dan yang ingat sebanyak-banyaknya kepada Allah.” (QS. 33: 21) 7)
Oleh karena itu Rasulullah saw itu teladan, maka sesungguhnya segala sesuatu yang beliau lakukan mengandung hikmah tersebut. Hal ini telah cukup sebagai jawaban terhadap semua tuduhan yang dilancarkan terhadap beliau, karena:
— Manusia itu sangat membutuhkan pimpinan dan teladan tentang berbagai hal dalam keadaan.
— Sifat-sifat akhlak yang terpendam dalam batin manusia akan tetap tersembunyi, jika sifat-sifat itu tak diaktifkan. Oleh karena itu, tak ada orang yang mengaku mempunyai akhlak yang tinggi, luhur dan mulia, kecuali jika ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan sifat-sifat akhlak itu dengan melakukannya pada waktunya yang tepat.
Sekali lagi, dalam usia 55 hingga 60 tahun, Rasulullah melakukan poligami bertepatan dengan periode peperangan. Sebagian besar dari peperangan itu langsung di bawah pimpinan beliau sendiri. Misalnya: perang Badar, Uhud, Ahzab, Hunain, dan seterusnya. Dalam keadaan demikian, mungkinkah orang hidup enak dan bermewah-mewah? Seorang pengumbar hawa nafsu pun akan merubah cara hidupnya. Lebih-lebih Muhammad Saw., yang selama 54 tahun dikenal sebagai seorang yang tidak ada godaan dapat mengguncangkan imannya, mungkinkah berbalik menjadi seorang pengumbar hawa nafsu?
2. Memilih Janda. Istri-istri Rasulullah saw., sebagian besar adalah janda-janda yang kurang menarik dalam hal kekayaan dan kecantikan. Sejarah mencatat, bahwa waktu Rasulullah melakukan perjanjian perkawinan dalam usia 55 hingga 60 tahun bersamaan dengan periode peperangan yang terus menerus. Keadaan ini menyebabkan banyak sahabat yang gugur sebagai syuhada’ di medan perang. Di samping itu gugur sebagai korban pengkhianatan. Akibatnya, terjadilah perbedaan yang luar biasa antara jumlah kaum pria dan kaum wanita. Padahal merekalah yang menjadi pokok pencari nafkah untuk seluruh keluarga. Pada waktu itu banyak perempuan yang Shalihah menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Hidup mereka terlantar. Sudah barang tentu pemeliharaan mereka menjadi beban Rasulullah dan para sahabat yang masih hidup. Pemeliharaan yang penuh kasih sayang itu hanya dapat menjadi sempurna jika diwujudkan dalam ikatan perkawinan. Sebagai teladan yang paling baik, Rasulullah tidak hanya menganjurkan para sahabatnya agar mengawini janda-janda sahabat yang gugur di medan perang, tetapi beliau sendiri juga memberi contoh. Dalam perang Badar telah gugur 14 sahabat yang mulia. Termasuk Khunais bin Hudhafah. Istrinya. Siti Hafsah putri sayidina Umar bin Khothob menjadi janda. Sayidina Umar merasa sedih. Dia menawarkan putrinya kepada sayidina Abu Bakar, tetapi secara bijaksana Abu Bakar menolak. Sayidina Umar kecewa, kemudian menawarkan kepada sayidina Utsman bin Affan yang istrinya baru saja meninggal dunia. Utsman pun tidak menerima. Sayidina Umar mengadu kepada Rasulullah saw. Dengan senyum manis, Rasulullah berkata kepada sayidina Umar: Biarlah Siti Hafsah ditolak oleh Utsman tetapi ia akan diterima oleh orang yang lebih mulia dari Utsman dan Utsman akan mengawini orang yang lebih mulia dari Hafsah.” Siti Hafsah dikawini oleh Rasulullah saw., pada tahun ketiga hijrah.
Dalam tahun ketiga hijrah terjadi perang Uhud yang dahsyat. Dalam peperangan ini sebanyak 70 sahabat gugur sebagai syuhada. Antara lain Abdullah bin Jahsy. Istrinya, Siti Zainab menjadi janda. Dalam tahun ini pula ia dinikahi oleh Rasulullah saw. Pada tahun berikutnya Abu Salamah meninggal, jandanya Ummi Salamah, hidup menderita, ia dinikahi oleh Rasulullah. Selanjutnya pada tahun kelima hijrah, Rasulullah saw, mengawini Siti Zainab Uzaimah, yang peristiwanya diuraikan kemudian. Ummi habibah adalah pengikut beliau yang setia, yang ikut hijrah ke Habsyi bersama suaminya, Ubaidullah. Setelah Ubaidullah meninggal, Ummi Habibah dinikahi oleh Rasulullah pada tahun ketujuh hijrah. Jadi, hampir semua istri Rasulullah saw, adalah janda. Sekiranya Rasulullah saw itu seorang pengumbar hawa nafsu, tentu memilih gadis-gadis yang cantik dan muda belia, tidak memilih janda. Sebab hawa nafsu itu hanya menginginkan keperawanan. Pada waktu itu tak kekurangan gadis-gadis yang cantik jelita, sekiranya Rasulullah saw menghendaki.
3. Tidak cantik. Pada waktu Rasulullah saw membuat perjanjian perkawinan itu, telah mempunyai seorang istri yang muda belia dan cantik molek, yaitu Siti Aisyah r.a, puteri sayidina Abu Bakar As Shidiq. Tak ada seorang pun dan istri-istri yang beliau kawini kemudian yang menandingi Siti Aisyah, baik tentang mudanya dan cantiknya maupun kepandaiannya. Sekiranya Rasulullah saw seorang budak hawa nafsu, pilihannya tentu adalah selain janda yang menderita. Seorang yang menjadi raja di raja dapat saja mendapatkan gadis-gadis cantik. Dan tidak ada seorang pun yang akan menolak kehormatan sebagai mertua Rasulullah saw. Jadi terang sekali bahwa, Rasulullah saw menjalankan poligami bukan untuk melampiaskan hawa nafsu, melainkan karena perbuatan luhur dan mulia yang timbul dari kasih sayang yang murni dan berhubungan erat dengan agama yang beliau bawa. Tak ada jeleknya kita dengar kata-kata seorang penulis Kristen, Bosworth Smith tentang masalah itu sebagai berikut:
“Akan tetapi harus diingat bahwa sebagian besar dari perkawinan Muhammad harus diterangkan sekurang-kurangnya tidak lain karena rasa kasihan akan keadaan yang menyedihkan dari orang-orang yang berkepentingan, daripada alasan-alasan yang lainnya. Mereka itu hampir semuanya janda yang tidak menarik, baik mengenai kecantikan maupun kekayaan.
4. Penggunaan waktu malam. Bagaimana Rasulullah saw menggunakan waktu malamnya, juga diperhatikan. Al-Quran dan hadis menjadi saksi bahwa Nabi Muhammad Saw, tak pernah menghabiskan waktu malamnya untuk bersenang-senang dengan para istrinya. Separuh malamnya beliau gunakan untuk shalat, dzikir dan membaca Al-Quran. Dalam Al-Quran Allah berfirman sebagai berikut:
“Wahai orang yang berselimut Bangunlah untuk bershalat malam, kecuali sebagian kecil, separonya atau kurangi sedikit, atau tambahlah itu dan bacalah Al-Quran secara santai. Sesungguhnya Tuhan dikau mengetahui bahwa engkau berdiri shalat hampir dua pertiga malam, dan (kadang-kadang) sepertiganya, demikian pula segolongan orang yang menyertai engkau.” (QS. 73: 1 hingga 4).
Karena lamanya berdiri di waktu shalat, kaki beliau sampai bengkak-bengkak. Demikian penjelasan Siti Aisyah r.a.. dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Mengapa beliau melakukan itu, sebagai jawabannya, marilah kita ikuti uraian ini:
Hadis tersebut menjelaskan penggunaan waktu malam Rasulullah saw, setelah hijrah ke Madinah (Ingat, Siti Aisyah hidup sebagai suami istri dengan Rasulullah sesudah hijrah ke Madinah). Sesudah perang Uhud berakhir, keadaan Islam sangat gawat. Menurut perhitungan manusia, Islam akan segera lenyap dari muka bumi. Perang Uhud dianggap sebagai pukulan maut terhadap Islam. Seluruh kabilah Arab berlomba-lomba akan menghancurkan Islam. Masing-masing merasa wajib terpanggil sebagai “pahlawan” yang berjasa menumpas Islam. Setiap hari terjadi serangan terhadap kaum Muslimin. Kaum Muslimin benar-benar terancam keselamatannya. Namun demikian, Rasulullah tidak patah semangat. Beliau tenang-tenang saja, tetapi sangat waspada. Di samping mempersiapkan dan menggembleng pasukan perang, dipersiapkan pula muballigh-muballigh Islam yang setiap saat siap dikirim ke daerah-daerah 8). Karena kaum kafir selalu kalah dalam medan perang, mereka menggunakan cara-cara yang hina dan biadab, yaitu berkhianat. Kabilah-kabilah Arab tertentu mengirimkan utusan kepada Rasulullah saw, minta agar dikirim muballigh karena kaumnya telah sadar. Mereka sangat haus akan kebenaran. Tanpa curiga, Rasulullah yang memang menginginkan perdamaian, mengirimkan 70 muballigh yang hafal Al-Quran kepada Bani Amir dan Bani Sulaim dengan pengantar Abu Bara’ kepala Bani Amir yang mereka utus. Setelah sampai di Bir Ma’unah, 70 orang muballigh itu dikepung oleh tentara yang besar jumlahnya. Peperangan yang tak seimbang terjadi. Seluruh muballigh gugur sebagai syuhada’, kecuali hanya seorang saja yang selamat, yaitu Amar Umayah. Ia dapat lolos, melarikan diri. Akhirnya lapor kepada Rasulullah saw di Madinah. Rasulullah saw sangat terkejut menerima laporan tersebut. Dalam waktu yang hampir bersamaan terjadi pula tragedi yang sama di Raji’. Kepada kabilah Adi dan Bara yang pura-pura masuk Islam. Rasulullah saw, mengirimkan 10 orang muballigh. Sampai di Raji’, mereka dikepung dan disergap oleh 200 orang kafir. Delapan orang tewas dan sisanya, dua orang ditawan, yaitu Khubaib dan Zaid yang akhirnya juga dibunuh dengan cara yang amat kejam.
Rasulullah saw adalah seorang yang sabar. Beliau teladan dalam kesabaran. Beliau dapat menahan segala penderitaan yang menimpa dirinya, tetapi beliau tak tahan melihat penganiayaan dan pembunuhan secara kejam terhadap para sahabat yang telah membela beliau pada saat-saat yang berbahaya dan yang dengan senang hati mengurbankan segala-galanya di jalan Allah. Pembunuhan kejam terhadap muballigh-muballigh Islam di Bir Ma’unah dan Raji’ itu merupakan suatu peristiwa yang berat bagi Rasulullah saw. Maka beliau berdoa kepada Allah, supaya menghancurkan pengkhianat-pengkhianat yang berdosa itu. Mereka seharusnya mendapat hukuman yang setimpal, oleh karena itu Rasulullah saw dalam keadaan sedih itu memuaskan hatinya dengan berdoa kepada Allah Swt supaya memutuskan perkara itu. Akan tetapi, oleh karena Allah mengutus beliau “sebagai rahmat untuk seluruh alam” tanpa membeda-bedakan antara lawan dan kawan, maka Rasulullah saw tidak dibenarkan bertindak keras dengan memohon laknat Ilahi. Turunlah ayat sebagai peringatan sebagai berikut:
“Engkau tak mempunyai urusan apapun dalam perkara ini, apakah Ia akan menerima tobat mereka, ataukah Ia akan menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu orang dzalim.” (QS. 3: 127).
Selanjutnya, doa yang senantiasa beliau panjatkan kehadirat Ilahi ialah ampunan untuk para pengikutnya dan umat manusia seluruhnya, sebagai berikut:
“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu hanya hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau itu Yang Maha perkasa, Yang Maha Bijaksana.” (QS. 5: 118).
Bisakah orang yang semacam itu dikatakan mengambil banyak istri karena untuk melampiaskan hawa nafsu?
2. Hidup sederhana. Hidup Rasulullah saw sangat sederhana, seperti orang biasa saja. Sejak dari yatim piatu hingga meningkat menjadi raja duniawi dan ukhrawi, cara hidupnya sama dan jenis makanannya pun tetap sama. Hadis-hadis Nabi banyak meriwayatkan hal ini. Misalnya:
A. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abi Sa’id r.a, ia berkata sebagai berikut:
“Adalah Rasulullah saw apabila telah makan siang hari, beliau tidak makan pada petang hari, dan apabila beliau telah makan pada petang hari, beliau tidak makan pada siang hari.” 9)
B. Diriwayatkan oleh Baihaqi dari Siti Aisyah r.a, bahwa ia berkata sebagai berikut:
“Tidak pernah Rasulullah saw kenyang sampai tiga hari berturut-turut, sehingga beliau berpisah dari dunia (wafat), dan jika kami mau, tentu kami kenyang, tetapi beliau mengalahkan atas dirinya sendiri.” 10)
c. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Siti Aisyah r.a bahwa ia berkata sebagai berikut
“Tidak pernah keluarga Muhammad Saw sejak datang ke Madinah merasakan kenyang dari makanan gandum tiga hari berturut-turut hingga beliau mangkat.” 11)
Dari hadis-hadis tersebut di atas terang sekali bahwa seringkali untuk beberapa hari, rumah tangga beliau tidak menyalakan kompor. Beliau dan seluruh keluarganya hanya makan gandum. Perkakas rumah tangga beliau berupa tikar anyaman dari daun kurma untuk tempat tidur dan kendi untuk tempat minum. Padahal kekuasaan dan perbendaharaan umum ada di bawah tangan beliau. Oleh karena itu wajar, jika keinginan untuk memperoleh bagian dari kesejahteraan duniawi, menyusup di hati sanubari para istri beliau seperti keluarga muslim lainnya. Pada suatu hari mereka bersama-sama menghadap Rasulullah saw, mohon dengan sangat, agar supaya memperkenankan mereka memperoleh bagian kemewahan duniawi yang syah. Kemudian turunlah wahyu Ilahi, yang berbunyi sebagai berikut:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kamu mendambakan kehidupan dunia dan perhiasannya, mari, aku akan memperlengkapi kamu dan akan mempersilahkan kamu pergi dengan kepergian yang baik. Dan jika kamu mendambakan Allah dan utusan-Nya dan tempat tinggal di Akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan ganjaran yang besar bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu.” (QS. 33: 28 dan 29).
Istri-istri Rasulullah saw diberi pilihan, dan mereka harus memilih salah satu: pilihan duniawi atau tinggal di dalam keluarga Rasulullah saw, jika pilih yang pertama, mereka akan menerima sebanyak-banyaknya apa yang mereka inginkan, akan tetapi, seketika itu juga mereka harus mengurbankan kehormatannya sebagai istri Rasulullah dan ummahatul mukminin, ibu orang-orang beriman. Mungkinkah ini jawaban orang yang mengumbar hawa nafsu? Seorang pengumbar hawa nafsu, akan berbuat segala sesuatu, untuk memuaskan keinginan istri-istri yang disayangi dan dicintainya, meskipun harus korupsi atau makan suap, pungli dan semacamnya. Padahal tidak diragukan sedikit pun, bahwa Rasulullah saw menaruh cinta yang tak terhingga kepada istri-istri beliau. Buktinya, ketika beliau diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih siapa yang dicintai di antara istri-istri beliau, beliau tak menggunakan sama sekali kebebasan memilih untuk merugikan salah seorang di antara mereka, tetapi, beliau meneruskan berumah tangga dengan semua istri beliau, karena mereka memilih tinggal bersama beliau. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Engkau boleh menangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antara mereka (para istri), dan engkau boleh pula menggauli siapa yang engkau kehendaki. Dan siapa saja yang engkau kehendaki di antara mereka, yang untuk sementara telah engkau ceraikan, tak ada cacat bagi engkau. Ini adalah lebih baik, agar penglihatan mereka menjadi sejuk dan mereka tak akan merasa sedih lagi, agar mereka puas semuanya, tentang apa yang engkau berikan kepada mereka. Dan Allah tahu apa yang ada di dalam hati kamu. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu, Yang Maha penyantun. Sesudah itu, engkau tak diperbolehkan lagi mengambil istri dan tak (diperbolehkan pula) menukar mereka, dengan istri yang lain, walaupun kemolekannya amat mengagumkan engkau, kecuali apa yang dimiliki oleh tangan kanan engkau. Dan Allah senantiasa Yang berjaga-jaga terhadap segala sesuatu.” (QS. 33: 51 dan 52).
Dengan demikian, teranglah bahwa rumah tangga Rasulullah saw adalah perwujudan yang sempurna dari firman Allah yang menerangkan tentang hak-hak pria dan hak-hak wanita:
“Dan wanita mempunyai hak yang sama seperti yang dibebankan terhadap mereka (kaum lelaki) dengan cara yang baik.” (QS. 2: 228).
Atau tentang hubungan timbal-balik, antara pria dan wanita, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
“Mereka (istri) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pakaian bagi mereka.” (QS. 2: 187).
Oleh karena itu, wajarlah jika beliau menyatakan:
“Sebaik-baik orang daripada kamu, ialah yang sebaik-baiknya terhadap keluarganya. Dan akulah yang sebaik-baik daripada kamu terhadap keluargaku.” (Al Hadis) 12)
3. Pemeliharaan Janda dan anak yatim. Dalam Al-Quran, hanya ada satu ayat yang menerangkan tentang poligami. Ayat itu hanyalah memberi izin dengan syarat-syarat tertentu. Jadi bukan perintah, dan bukan pula izin tanpa syarat. Syarat diizinkannya poligami ialah, banyaknya anak yatim yang harus dipelihara. Allah berfirman sebagai berikut:
“Dan apabila kamu khawatir bahwa kamu tak dapat berbuat adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita-wanita itu, yang baik bagi kamu, dua atau tiga atau empat, tetapi jika kamu khawatir tak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu saja.” (QS. 4: 3)
Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, menerangkan tentang pemeliharaan anak yatim. Selanjutnya, maksud ayat itu sendiri, diterangkan dengan jelas dalam ayat 127 sebagai berikut:
“Dan mereka minta keputusan kepada engkau tentang wanita. Katakanlah: Allah memberi keputusan kepada kamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan dalam kitab (yakni surat 4: 3, tafsir penulis.) adalah tentang wanita janda (yang ditinggal mati suaminya), yang tak kamu berikan kepada mereka yang telah ditetapkan bagi mereka, sedangkan kamu tak suka mengawini mereka; demikian pula kepada yang lemah di antara mereka anak kecil, dan hendaklah kamu berlaku adil terhadap anak yatim. Dan kebaikan apa saja yang kamu lakukan, Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan itu.”
Dengan demikian teranglah bahwa:
a. Wanita-wanita yang baik yang boleh dimadu sampai jumlah empat, ialah wanita-wanita ibu dari anak yatim. Jadi bukan sembarang wanita.
b. Pada dasarnya orang tak suka menikahi mereka, karena beratnya beban yang ditanggung, yaitu memelihara anak-anak yatim. Apalagi dalam keadaan perang seperti pada zaman Nabi
c. Yang dimaksud “yang tak kamu berikan kepada mereka apa yang telah ditetapkan bagi mereka. Demikian pula kepada yang lemah di antara anak kecil”, ialah adat istiadat Arab Jahiliah, wanita dan anak-anak kecil tidak mendapatkan warisan. Yang mendapat harta warisan hanyalah orang laki-laki yang telah dapat naik kuda, dan dapat bertempur melawan musuh di medan pertempuran.
Maka dari itu, apabila seorang wanita ditinggal mati suaminya dan ditinggali anak-anak yang masih keci, ia dan anak-anaknya tak mendapat warisan, dan tak ada orang yang mau menikahinya karena mempunyai banyak anak. Alangkah sengsaranya kaum wanita dan anak-anak kecil yatim. Al-Quran datang membawa perubahan besar, yakni mewajibkan pembagian bagian harta waris kepada janda dan anak-anaknya yang sudah yatim, dan menganjurkan supaya wanita semacam itu diambil sebagai istri sampai jumlah empat, dengan syarat mampu berbuat adil. Jadi, terang sekali bahwa, izin poligami itu demi kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan orang-seorang.
Masalah ini akan menjadi lebih jelas lagi jika mau melihat asbabun-nuzul atau sebab musabab turunnya surat An Nisa’. Surat An Nisa’ diturunkan pada waktu kaum Muslimin tak henti-hentinya terpaksa mengangkat senjata untuk menghadapi serangan musuh yang akan menghancurkan mereka. Semua kepala rumah tangga, harus maju ke medan perang, guna menghadapi serangan lawan. Dan banyak di antara mereka yang gugur, karena jumlah lawan jauh lebih besar daripada jumlah kaum Muslimin. Dengan demikian, banyak istri yang kehilangan suami yang dicintai, dan banyak anak yang kehilangan ayah yang disayangi. Akibatnya, banyak janda dan yatim piatu yang harus dipelihara. Jika mereka diserahkan begitu saja kepada nasib, mereka pasti akan binasa. Masyarakat akan menjadi lemah. Daya juang berkurang, akhirnya hilang. Dalam keadaan demikianlah surat An Nisa diwahyukan, yakni surat yang mengizinkan poligami, dengan maksud agar janda dan yatim piatu mendapat perlindungan. “Apabila kamu khawatir”, demikianlah bunyi ayatnya “bahwa kamu tak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita (ibu anak yatim) itu yang baik bagi kamu, dua atau tiga atau empat”. dengan syarat bahwa kamu harus berbuat adil terhadap mereka. Ayat ini harus diterima oleh Muhammad utusan Allah, kemudian harus disampaikan dan dijelaskan kepada umatnya, baik penjelasan dengan lisan maupun dengan perbuatan. (Istri Rasulullah saw lebih dari empat orang, akan kami terangkan kemudian).
Mungkin ada yang membantah, bahwa, dapat saja ditempuh tindakan lain dalam memelihara janda dan anak yatim piatu. Betul!, Tetapi kehidupan keluarga tak dapat dicapai dengan cara lain, padahal, kehidupan keluarga adalah sumber yang mengalir cinta kasih, yang ini merupakan pokok utama bagi peradaban dan kehidupan sosial. Islam melandaskan peradabannya pada kehidupan keluarga. Dalam keadaan luar biasa, monogami tak mampu menampung kehidupan keluarga dan anak yatim, pada waktu itulah poligami diizinkan, sekadar untuk penampungan mereka. Sekalipun dalam poligami itu Janda dan anak yatim hanya menikmati sebagian saja dari kehidupan keluarga, namun ini lebih baik daripada tak ada kehidupan keluarga sama sekali. Selain itu, masyarakat yang rakyatnya harus bertempur, senantiasa mengalami penyusutan dalam jumlah kaum prianya, oleh karena itu perlu diusahakan dengan jalan yang baik dan benar, guna menambah jumlah rakyat. Maka dari itu, perlu sekali menampung para janda dalam kehidupan keluarga, agar mereka ikut menambah jumlah rakyat. Aspek moral dalam masalah ini bukanlah barang sepele. Perang menyebabkan terbunuhnya kaum pria. Dengan demikian, jumlah kaum wanita melebihi jumlah kaum pria. Keadaan yang melampaui batas ini jika tak ditanggulangi dengan kehidupan keluarga, pasti akan mengakibatkan kerusakan moral yang sangat membahayakan bagi peradaban, yang peradaban itu harus berlandaskan moral, seperti halnya agama Islam.13)
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa poligami yang dilakukan oleh Rasulullah saw, bukanlah karena hawa nafsu. Sekiranya karena hawa nafsu, niscaya beliau tidak memilih janda yang mempunyai tanggungan anak-anak yang masih kecil. Lebih-lebih dalam keadaan perang. Adat istiadat Arab jahiliyah itulah sebenarnya yang merupakan perwujudan dari poligami karena hawa nafsu.
BAB 3. MOTIF POLIGAMI Rasulullah saw.
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai Saksi,, dan pengemban kabar baik,, dan sebagai juru ingat., dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai matahari yang menerangi (Q.s 33: 45, dan 46).
Untuk mengetahui apakah motif poligami Rasulullah saw, terlebih dahulu harus mengetahui apakah fungsi seorang nabi dibangkitkan. Rasulullah saw sendiri, menyatakan hal ini sebagai berikut, Innama bu’its-tu li-utammima makarimal ahlak” artinya “Sesungguhnya aku diutus, hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. Jika demikian, terang sekali bahwa segala sesuatu yang beliau kerjakan, tujuannya tiada lain ialah untuk memperbaiki budi pekerti umat manusia, termasuk poligami yang beliau lakukan. Dari ayat-ayat Al-Quran, dan bukti sejarah, dapat kita ketahui motif poligami Rasulullah saw, ialah:
1. Untuk menjelaskan agama,
2. Berkaitan dengan penyempurnaan syariat Islam.
3. Penjagaan Ilahi terhadap Islam.
4. Membentuk, dan membangun manusia seutuhnya.
5. Mengangkat derajat kaum wanita.
6. Motif politik, dan dakwah Islam.
Uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Motif poligami Rasulullah yang pertama, yakni, untuk menjelaskan agama.
Tugas Rasulullah saw, tidak hanya menerima, dan menyampaikan Al-Quran saja, tetapi juga mengumpulkan, membacakan,, dan menjelaskannya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Sesungguhnya menjadi tanggungan Kami menghimpun itu,, dan membacakan itu. Maka jika Kami membaca itu, ikutilah bacaannya. Lalu menjadi tanggungan Kami (pula) menjelaskannya.” (Q.s 2: 17-19).
Tugas mengumpulkan Al-Quran, dari ayat-ayat menjadi surat,, dan dari pengumpulan surat menjadi kitab yang lengkap, seperti yang kita saksikan sekarang ini, dikerjakan oleh Rasulullah saw sendiri di bawah petunjuk Ilahi, dengan dibantu oleh para sahabatnya yang mulia. Mereka mencatat dengan teliti, kemudian memberikan tanda nomor ayat,, dan surat, serta tempat dalam Al-Quran, menurut petunjuk Rasulullah saw. Para penulis itu merupakan sahabat nabi yang bisa dipercaya, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Tidak, sesungguhnya itu adalah peringatan. Maka barang siapa suka, hendaklah ia memperhatikan itu. Dalam kitab yang dimuliakan, yang diluhurkan, yang disucikan, di tangan para penulis yang mulia berbudi luhur.” (Q.s 80: 11-16).
Tugas selanjutnya ialah, membacakan Al-Quran. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa bahasa Arab itu, terdiri dari beberapa logat (dialek). Tiap-tiap kabilah mempunyai logat tersendiri, yang terdapat sedikit perbedaan dalam mengucapkan kata-kata tertentu. Tetapi yang dijadikan modal bagi bahasa sastra ialah logat Quraisy. Dalam logat Quraisy inilah, Al-Quran diwahyukan. Setelah dicatat oleh para sahabat, Rasulullah saw, memberi contoh bacaannya. Berkali-kali Al-Quran dibaca, sehingga mereka hafal di luar kepala. Banyak para sahabat yang hafal Al-Quran. Mereka itulah yang disebut Huffazh, artinya penghafal Al-Quran, atau Qurro artinya pembaca Al-Quran. Siti Hafsah adalah istri Rasulullah saw yang dapat membaca Al-Quran dengan fasih, yang sama persis dengan bacaan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Akhirnya tugas menjelaskan Al-Quran. Tugas ini dilakukan dengan menjelaskan isi, dan maksudnya secara lisan, dan juga dengan perbuatan. Dalam hal ini Rasulullah saw, sangat memerlukan bantuan banyak orang, terutama kaum wanita. Allah subahanahu wa ta’ala, menjelaskan masalah ini sebagai berikut:
’’Wahai para istri Nabi, kamu bukanlah seperti salah seorang wanita lain. Jika kamu bertakwa, janganlah kamu lemah lembut dalam pembicaraan kamu, agar orang-orang yang hatinya terdapat penyakit, tidak menjadi rindu,, dan bicaralah dengan kata-kata yang baik. (Q.s 33: 32)
Dari ayat tersebut terang sekali bahwa para istri Rasulullah itu besar sekali peranannya dalam penyampaian Islam. Istri-istri Rasulullah saw, banyak dikunjungi oleh para sahabat, baik lelaki maupun perempuan, yang menghadap mereka untuk memperoleh perbendaharaan ilmu, dan hikmah yang mereka terima dari Rasulullah saw. Maka mereka diperingatkan agar berbicara dengan kata-kata yang baik, jangan memberi hati kepada kaum lelaki, dengan percakapan yang lemah lembut yang merangsang. Mereka bukanlah seperti kaum wanita biasa, karena mereka harus mengadakan kontak dengan orang banyak. Selanjutnya Allah menjelaskan lagi sebagai berikut:
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kamu dari ayat-ayat Allah, dan kebijaksanaan. Sesungguhnya Allah senantiasa Yang Maha-tahu yang halus-halus, Yang Maha waspada. ” (Q.s Al Ahzab ayat 34).
Peranan para istri Rasulullah saw, yang dinyatakan dalam ayat tersebut lebih jelas lagi, yaitu mengajar kaum mukmin tentang ajaran Islam yang dibacakan oleh Rasulullah di rumah, dan ayat-ayat Allah, dan Hikmah. Oleh sebab itu, mereka sekali lagi, diberitahu bahwa mereka bukan saja harus ingat akan ayat-ayat Allah, melainkan pula ingat tentang Hikmah yang diajarkan oleh Rasulullah saw, baik dengan lisan, maupun dengan perbuatan, yang dalam Islam disebut Sunah atau Hadis.
Tugas para istri Rasulullah saw itu, terutama sekali ialah menjelaskan masalah hukum yang kaum lelaki tak sampai hati atau tak mampu menanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Untuk keperluan ini, sangat diperlukan peranan kaum wanita untuk dapat menerima pelajaran langsung dari Rasulullah saw secara jelas, dan terang. Tujuan ini hanya dapat dicapai melalui istri-istri Rasulullah saw, karena merekalah yang bebas bertanya, dan langsung melihat, mendengar, atau bersama-sama melakukannya. Di samping itu, bagaimanapun juga, yang lebih mengerti tentang wanita adalah kaum wanita itu sendiri. Sebagai contoh misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Atha’ ibnu Yasar, bahwa seorang lelaki dari sahabat mengirimkan istrinya untuk bertanya kepada Rasulullah tentang hukum mencium istri di kala sedang puasa, Maka Umi Salamah memberitahukan kepada wanita yang bertanya itu, bahwa Nabi pernah menciumnya di kala beliau berpuasa. Wanita tersebut menerangkan hal itu kepada suaminya. Lelaki itu berkata bahwa “Aku bukan seperti Rasulullah, Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya apa yang dikehendaki.” Perkataan ini sampai kepada Nabi. Karena itu Nabi marah mendengarnya, seraya berkata:
“Bahwasanya aku lebih takwa kepada Allah daripada kamu, dan lebih mengetahui hukumnya. ” (Hadis ini diriwayatkan oleh As Syafi’i dalam Ar Risalah).14)
Lagi suatu contoh, pernah Nabi tak dapat berkata terus terang dalam memberikan suatu jawaban dari suatu kasus. Rasulullah meminta kepada salah seorang istrinya agar menerangkan soal itu dengan sejelas-jelasnya. Seorang wanita datang kepada Nabi, bertanya bagaimana harus dilakukan mandi haid. Nabi menjawab:
“Ambillah sepotong kain perca yang sudah dikasturikan, lalu berwudhulah dengan itu.”
Mendengar jawaban Nabi demikian, wanita itu mengulangi pertanyaannya: “Bagaimana saya berwudhu dengan itu?” Nabi mengulangi jawaban itu sekali lagi. Wanita tersebut belum juga memahami jawaban Nabi, maka Nabi meminta kepada Siti Aisyah supaya menerangkan lalu Aisyah berkata:
“Ambillah sepotong kapas yang bersih, lalu letakkan di tempat darah. Jika kapas itu tetap putih, tandanya haid sudah berhenti.” (HR. Bukhari, Muslim, dan An Nasa-i dari Aisyah). 15)
motif poligami Rasulullah yang kedua, yakni, berkaitan dengan penyempurnaan syari’at Islam.
Yang paling unik, dan sering menjadi sumber fitnah, tetapi banyak mengandung hikmah ialah perkawinan Rasulullah saw, dengan Siti Zainab putri Umaimah, janda Zaid bin Haritsah R.a, yang terjadi pada tahun kelima hijrah. Ceritanya sebagai berikut: Zaid adalah putra Haritsah dari kabilah Kalb, ia ditawan pada waktu masih kanak-kanak, dan dijual sebagai budak belian di Mekkah. Dibeli oleh saudara Siti Khadijah, bernama Hakim bin Hisyam. Selanjutnya diberikan kepada Siti Khadijah yang nantinya menjadi istri nabi Muhammad saw, sebelum diangkat menjadi Rasulullah. Setelah Siti Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad saw. Zaid diserahkan kepada suaminya. Seperti biasanya, Nabi Muhammad saw, memerdekakan Zaid dan Zaid diberi kebebasan memilih: tetap tinggal bersama beliau atau mengikuti ayahnya, dan pulang ke kampung. Zaid sangat terpikat kepada Muhammad, maka ia memilih yang pertama, tetap tinggal bersama Muhammad saw. Karena eratnya hubungan, Zaid disebut putra Muhammad. Zaid termasuk salah seorang yang memeluk Islam yang pertama. Karena itulah Al-Quran (surat 33: 37) menyebut Zaid sebagai orang yang, baik Allah maupun Rasulullah telah memberi kenikmatan kepadanya.
Selanjutnya tentang Siti Zainab. Dia adalah putri Siti Umaimah, putri Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw. Dia juga termasuk pemeluk Islam zaman permulaan. Setelah dia dewasa. Rasulullah saw, mengusulkan kepada kakak laki-lakinya, supaya mengawinkan adiknya dengan Zaid. Baik kakak maupun adik (Zainab) sebenarnya enggan kepada perjodohan itu, karena Zaid adalah budak yang dimerdekakan, tetapi akhirnya menerima pula perkawinan itu demi menghormati keinginan Rasulullah saw. Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut:
Dan tak pantas bagi orang mukmin pria, dan wanita, jika Allah, dan utusan-Nya memutuskan pilihan dalam perkara mereka., dan barang siapa durhaka kepada Allah, dan utusan-Nya maka sesungguhnya ia tersesat dalam kesesatan yang nyata. ” (Q.s 33: 36) 16)
Dalam hadis diriwayatkan bahwa, baik kakaknya maupun Zainab menginginkan agar Rasulullah saw sendiri yang menikahi Siti Zainab. Menurut Imam Rozi (Wafat tahun 1209 Masehi), sebenarnya, pada waktu Siti Zainab mula-mula sekali dipinang memberi persetujuan kepada dia, mempunyai kesan bahwa Rasulullah saw lah yang ingin menikahinya. Tabiat Siti Zainab adalah keras, dan dia tak suka kepada Zaid karena imej budak melekat pada namanya. Maka, bagaimana pun juga, perkawinan itu tak mendatangkan kebahagiaan, melainkan penderitaan batin. Pertentangan selalu timbul. Zaid menyatakan keinginannya kepada Rasulullah saw, untuk menceraikan Siti Zainab. Pernyataan Zaid itu sangat menyedihkan hati Rasulullah saw, karena beliaulah yang menjodohkan Zaid dengan Siti Zainab. Oleh karena itu Rasulullah memberikan nasehat kepada Zaid, supaya jangan menceraikan istrinya. Beliau khawatir, bahwa orang-orang akan keberatan karena, perkawinan yang diatur oleh Rasulullah tak berhasil. Rasulullah sangat malu jika perselisihan Zaid dengan istrinya diketahui oleh umum. Tetapi semua usaha supaya Zaid tidak menceraikan Siti Zainab sia-sia belaka. Zaid menceraikan Siti Zainab. Setelah dicerai, Siti Zainab ternyata lebih menderita lagi, karena dia kini disebut janda seorang budak yang rendah martabatnya di mata masyarakat. Rasulullah saw ingin, dan wajib menyelamatkannya. Caranya ialah dengan menikahinya. Pernikahan inilah sebenarnya yang menjadi keinginan Siti Zainab, dan sanak kerabatnya sebelum ia dinikahkan dengan Zaid. Di samping itu, oleh karena pernikahan yang diatur oleh Rasulullah mengalami kegagalan, maka secara moral, Rasulullah harus memenuhi keinginan Siti Zainab, dan sanak kerabatnya.
Perkawinan Rasulullah saw, dengan Siti Zainab ini mendapat restu dari Ilahi. Bahkan diperintahkan oleh-Nya. Perintah itu mengandung maksud yaitu, menjelaskan kedudukan, bahwa, anak angkat sebenarnya berbeda dengan anak kandung. Jadi, pernikahan Rasulullah itu mengandung hikmah ganda, yaitu ayat (1), untuk menyelamatkan Siti Zainab, dan, (2), menghapus adat istiadat Arab jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung, dan istri anak angkat sebagai istri anak kandung. Hal ini terang dinyatakan dalam firman Ilahi sebagai berikut:
Dan tatkala engkau berkata kepada orang yang Allah memberi kenikmatan kepadanya, dan engkau pun memberi kenikmatan kepadanya: Tahanlah istrimu pada engkau dan bertaqwalah kepada Allah; dan engkau merahasiakan dalam batinmu apa yang Allah hendak membukanya, dan engkau takut kepada manusia, dan Allah mempunyai hak yang lebih besar, bahwa engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid memutus ikatan perkawinan dengan dia, Kami mengawinkan dia dengan engkau, agar tak ada kesukaran bagi kaum mukmin tentang istri anak angkat mereka tatkala mereka memutus ikatan perkawinan. Dan perintah Allah senantiasa dijalankan. Tak ada cacat bagi Nabi dalam apa yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya. Itulah cara-cara Allah terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya. Dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang sudah pasti. Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah dan yang takut kepada-Nya, dan mereka tak takut kepada siapa pun selain Allah. Dan Allah sudah cukup sebagai Hasib (Juru hitung) (Q.s 33: 37 hingga 39).
Perkawinan Rasulullah saw, dengan Siti Zainab itu menimbulkan dua macam fitnah keji, yang menyerang kesucian Rasulullah saw, yaitu:
Fitnah keji yang pertama:
Konon diberitakan bahwa Rasulullah saw, pada suatu hari berkunjung ke rumah Zaid, dan melihat kemolekan Siti Zainab. Beliau sangat tertarik kepada kemolekannya. Setelah Zaid mengetahui hal itu, langsung ia menceraikan Siti Zainab, lalu menyerahkan Siti Zainab kepada Rasulullah saw. Fitnah ini dipercaya oleh penulis-penulis Kristen kenamaan, seperti Sir William Muir, dan ARNOLD Toymbe. Ini suatu sikap tidak adil mereka terhadap penyelidikan agama. Mereka termakan fitnah murahan dalam masalah ini. Sejarah mencatat bahwa:
— Siti Zainab adalah putri saudara Rasulullah saw. Jadi hubungan famili sangat dekat.
— Siti Zainab adalah sahabat nabi sejak zaman permulaan Islam, dan ikut hijrah ke Madinah. Jadi hubungannya dengan Rasulullah sangat erat, baik secara lahir maupun batin.
— Yang mengatur perkawinan Siti Zainab dengan Zaid adalah Rasulullah saw itu sendiri.
— Keinginan Siti Zainab, dan keluarganya, sebelum dikawinkan dengan Zaid, ialah agar Zainab dinikahkan oleh Rasulullah saw.
Sekarang, apakah yang menjadi halangan Rasulullah untuk mengawini Siti Zainab pada waktu masih perawan? Bukankah Rasulullah telah melihat Siti Zainab sebelumnya? Bahkan semenjak masih kanak-kanak? Hubungan famili Rasulullah dengan dia sangat amat dekat, di samping itu, belum ada aturan memingit kaum wanita. Tak retaknya hubungan baik antara Rasulullah dengan Zaid sesudah perkawinan tersebut, juga menambahkan bukti lagi, bahwa dugaan yang bukan-bukan tentang pernikahan Rasulullah dengan Siti Zainab adalah batal, dan sangat tidak masuk akal.
Fitnah keji yang kedua:
Orang-orang kafir, dan munafik sejak dahulu sampai sekarang menuduh Rasulullah saw, telah menikahi menantunya sendiri. Tuduhan ini yang menyebabkan turunnya ayat yang menjadi landasan utama dari agama Islam, yaitu:
“Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia itu utusan Allah, dan segel (penutup) para nabi,, dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu dalam segala sesuatu. ‘ (Q.s Al Ahzab ayat 40).
Ayat tersebut menolak tuduhan mereka itu. Dengan tegas dinyatakan bahwa, Muhammad bukanlah ayah salah seorang lelaki dari orang-orang kamu, melainkan utusan Allah, dan penutup para nabi. Jadi, Muhammad saw, bukan ayah salah seorang lelaki siapa pun. Jelasnya, Muhammad tak ada hubungan nasab dengan siapa pun. Zaid yang dikenal sebagai anak Muhammad, bukanlah anak beliau, melainkan hanya anak angkat beliau. Jadi ayat ini menjelaskan, bahwa secara jasmaniah atau lahiriah tak mempunyai anak laki-laki, tetapi secara ruhaniah, beliau mempunyai anak-anak yang banyak 17), karena beliau adalah utusan Allah. Setiap Rasul adalah ayah rohani bagi umatnya, dan umatnya adalah anak-anak rohaninya. Muhammad saw, adalah ayah rohani orang-orang beriman untuk selama-lamanya, tidak hanya untuk sementara waktu saja seperti para nabi sebelum beliau, karena beliau adalah khatamun-nabiyyin, artinya, penutup para nabi, sesudah beliau tak akan datang nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru. Jadi khatamun-nabiyyin itu menjadi landasan utama dari kesatuan umat manusia. Dengan dibangkitkannya Muhammad sebagai khatamun-nabiyyin, dunia sudah tidak lagi membutuhkan adanya seorang nabi. Jika datang nabi lagi akan ada lagi agama baru, dan umat baru. Karena hal itu akan memecah kesatuan umat manusia yang dibina oleh Muhammad saw. 18)
Dengan demikian jelaslah bahwa pernikahan Rasulullah saw dengan Siti Zainab, dengan segala prolog dan epilognya, berhubungan erat dengan:
a) Prinsip Islam bahwa setiap nabi utusan Allah adalah manusia biasa, yang sifat-sifat manusiawinya tetap ada. Ijtihad Rasul belum tentu benar dan tepat, terutama yang menyangkut masalah duniawi. Jika ijtihad Rasul kurang benar, dan cenderung ke arah tidak baik, langsung mendapat teguran dari Allah subahanahu wa ta’ala. Misalnya tentang kekhawatiran beliau terhadap perceraian Zaid dengan Zainab, dan pernikahan beliau dengan Siti Zainab. Allah menegur beliau. “Engkau takut kepada manusia, dan Allah mempunyai hak yang lebih besar bahwa engkau takut kepada-Nya”(Q.s Al Ahzab ayat 37). 19)
b) Salah satu cara nabi menghapus sistem kasta atau derajat manusia berdasarkan asal keturunan, yang selanjutnya, berapa tahun kemudian ditegaskan Ilahi dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari pria, dan wanita, dan membuat kamu bersuku-suku, dan kabilah-kabilah, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Mengetahui, Yang Maha waspada.” (Q.s 49: 13).
Jadi usaha Rasulullah itu masih terlalu pagi, belum waktunya.
c) Contoh yang sempurna dari syari’at Islam, dalam masalah perceraian (talak) 20). Cerai diizinkan dalam keadaan luar biasa, dan setelah segala macam usaha untuk mempertahankan kerukunan, mengalami kegagalan. Hal ini terang sekali dari nasehat Rasulullah kepada Zaid yang diabadikan dalam firman-Nya sebagai berikut;
“Dan tatkala engkau berkata kepada orang yang Allah memberi nikmat kepadanya, dan engkau memberi nikmat kepadanya: Pertahankanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” (Q.s 33: 37).
Dalam ayat tersebut, perbuatan tak menceraikan istri disebut takwa. Di tempat lain Allah berfirman lagi sebagai berikut:
“Dan apabila kamu benci kepada mereka (yakni kepada istri kamu) maka boleh jadi kamu membenci sesuatu, sedangkan Allah membuat itu kebaikan yang banyak.” (Q.s 4: 19).
Selanjutnya, Allah memberi petunjuk bermacam-macam usaha untuk menghindari perceraian. Misalnya:
— Mencari juru damai, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya sebagai berikut:
“Apabila kamu khawatir akan terjadi perpecahan antara mereka (yakni antara suami istri), maka tunjuklah seorang juru pendamai dari keluarga pihak istri. Jika mereka berdua menghendaki kerukunan, niscaya Allah akan membuat persesuaian di antara mereka.” (Q.s 4: 35).
— Perceraian janganlah dilakukan pada waktu istri sedang haid (mentruasi). Perceraian itu syah, jika istri dalam keadaan suci, dan suami istri tak berhubungan badan selama dalam keadaan suci. Dalam keadaan menstruasi, dilarang mengadakan hubungan badan, karena berbahaya (Surat 2: 222). Dengan demikian, suami dan istri masih mempunyai kesempatan untuk menentukan pilihan, atau setidak-tidaknya menunda saat bercerai untuk beberapa hari lagi.
— Tiap-tiap perceraian diikuti dengan waktu menunggu yang disebut iddah. Waktu iddah itu kira-kira tiga bulan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
“Dan orang yang dicerai hendaklah menantikan tiga kali peredaran suci.” (Q.s 2 :228).
Kata suci sebagai terjemahan kata qura”, jamaknya kata qar, adalah saat masuknya keadaan suci dari menstruasi. Secara normal, saat qar berkisar antara empat minggu. Bagi wanita yang sudah berhenti menstruasi, iddahnya tiga bulan, tetapi bagi wanita yang sedang mengandung, iddahnya menunggu sampai melahirkan (Q.s 65: 4). Dalam waktu iddah, suami istri masih berkumpul dalam satu rumah, suami dilarang mengusir istri dari rumahnya, kecuali istri terbukti berzina, sebaliknya istri dianjurkan jangan meninggalkan rumah, sebagaimana dinyatakan dalam firman Ilahi sebagai berikut:
Janganlah kamu mengeluarkan mereka dari rumah mereka,, dan hendaklah mereka jangan keluar (atas kehendak sendiri), terkecuali apabila mereka menjalankan perbuatan mesum yang terang.” (Q.s 65: 1).
Jadi iddah itu merupakan perpisahan sementara. Oleh karena mereka masih berkumpul dalam satu rumah, maka setiap saat, dapat ditegakkan kembali hubungannya sebagai suami istri.
— Sesudah bercerai sungguh-sungguh, karena telah habis masa iddahnya, tetap dianjurkan supaya menikah lagi. Allah berfirman sebagai berikut:
“Dan apabila kamu menceraikan istri, dan mereka mencapai batas waktu yang ditetapkan, janganlah kamu menghalang-halangi mereka untuk menikah dengan suami mereka jika ada kesempatan di antara mereka dengan cara yang baik.” (Q.s 2: 232).
Jadi, pernikahan kembali itu sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Hal ini dapat dilakukan sampai dua kali. Tetapi setelah perceraian yang ketiga kalinya, tak diperkenankan menikah kembali. Allah berfirman sebagai berikut:
“Talak itu (boleh dijatuhkan) dua kali, lalu PERGAUILAH (mereka) dengan baik, atau lepaskanlah (mereka) dengan baik.”(Q.s 2: 229) 21)
Atas dasar itulah, Rasulullah saw, menyebut perceraian perkara barang halal yang paling dibenci oleh Allah (HR. Abi Daud). Jadi, Islam itu mendidik para pengikutnya, agar berani menghadapi kesulitan-kesulitan rumah tangga, dan sedapat mungkin, harus mampu menghadapi macam-macam gangguan yang dapat memecahkan hubungan keluarga. Alangkah suci dan agungnya perkawinan dalam Islam!. Betapa tidak! Dalam agama Hindu, sekali orang melangsungkan perkawinan, perkawinan itu tak boleh diputus. Undang-undang Yahudi hanya memberikan hak perceraian kepada suami saja, dan suami dapat melakukannya semau-maunya. Undang-undang Kristen hanya mengakui hak perceraian, apabila salah satu pihak tak setia lagi kepada pasangannya, tetapi pihak-pihak yang bercerai tak boleh mengadakan perkawinan lagi 22). Alhamdulillah, Islam datang Memperbaiki aturan perceraian. Di samping membatasi hak suami dalam perceraian, Islam mengakui pula adanya hak untuk mengadakan perceraian, dengan catatan bahwa “perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah.” (HR Abi Daud).
d) Kedudukan anak angkat yang sebenarnya ditetapkan oleh Islam. Adat istiadat jahiliyah memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung yang mempunyai hak-hak sama dengan anak kandung, seperti: nasab, waris, muhrim, dan sebagainya. Maka wajar, jika perkawinan Rasulullah saw dengan Siti Zainab menimbulkan fitnah. Hal ini menyebabkan turunnya ayat 40 surat ke 33 Al Ahzab. Lantaran ayat ini, hapuslah sebutan Ibnu Muhammad untuk Zaid, dan berlakulah sebutan baru Ibnu Haritsah. Ini sebagai perwujudan dalam firman Ilahi yang bunyinya sebagai berikut:
“Dan Ia (Allah) tak membuat anak pungut kamu sebagai putra kamu. Ini semua adalah ucapan mulut kamu, dan Allah berfirman benar, dan Ia menunjukkan jalan. Panggillah mereka dengan (nama) ayah mereka, itu adalah paling adil menurut Allah, tetapi jika kamu tak tahu ayah mereka, lalu mereka adalah saudara kamu seagama, dan kawan kamu, dan tak ada cacat bagi kamu dalam hal yang kamu berbuat kesalahan, tetapi kamu (tetap bertanggung jawab terhadap) apa yang disengaja oleh hati kamu, dan Allah senantiasa Yang Maha Pengampun, Yang Maha Pengasih.” (Q.s 33: 4 dan 5).
Ayat suci dan teladan yang diberikan oleh Rasulullah saw tersebut di atas, menghapus adat istiadat Arab jahiliyah, beserta akibat-akibat hukumnya. Tentang nasab menurut syari’at Islam ditegaskan oleh Rasulullah saw sebagai berikut: “Anak bernasab kepada suami perempuan yang melahirkan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) 24)
motif poligami Rasulullah yang ketiga, yakni, Penjagaan Ilahi terhadap Islam.
Perkawinan Rasulullah saw, selain untuk menjelaskan agama Islam dalam segala aspeknya, juga sebagai perwujudan dari salah satu cara penjagaan Ilahi terhadap kemurnian Islam. Sebagai contoh misalnya, perkawinan beliau dengan Siti Aisyah dan Siti Hafsah. Sehubungan dengan Siti Aisyah, beliau bersabda sebagai berikut:
“Ambillah setengah (separoh) agamamu dari Al Humaira (Siti Aisyah R.a).” (HR. Thobrani) 25)
Mengapa Rasulullah saw, bersabda demikian? Sejarah menjawab, Al Humaira (Siti Aisyah) adalah seorang yang sangat cerdas. Menikah dengan Rasulullah masih muda remaja, berusia 15 tahun. Selama 10 tahun hidup bersama Rasulullah saw, Maka wajar jika Al Humaira menjadi sumber hadis yang dapat dipercaya.
Pada zaman Rasulullah, hadis nabi tidak dibukukan, kecuali beberapa hadis saja, untuk menghindari pembauran dengan Al-Quran. Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
“Jangan anda tulis apa yang anda dengar daripadaku, selain dari Al-Quran. Barang siapa yang telah menulis sesuatu yang selain Al-Quran, hendaklah dihapuskan. (HR. Muslim, dan Abu Sa’id al Khudri). 26)
“Dan ceritakanlah dari padaku. Tak ada keberatan anda ceritakan apa yang anda dengar daripadaku. Barang siapa berdusta terhadap diriku, hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di dalam Neraka. ” 27).
Jadi pada waktu Rasulullah saw masih hidup, hadis nabi hanya disimpan dalam ingatan saja. Belum dicatat secara resmi. Namun demikian, kebenarannya tak perlu diragukan. Sebab ingatan bangsa Arab dapat diandalkan. Sejak sebelum Islam, orang Arab jarang menggunakan tulisan. Mereka hanya mengandalkan ingatan saja. Ingatan mereka sangat kuat, dan tajam. Mereka dapat menghafal beratus-ratus syair, bahkan ribuan syair. Banyak para sahabat yang hafal beribu-ribu bait syair, di antaranya ialah Siti Aisyah, istri Rasulullah yang paling dicintai. Imam Bukhari si Raja hadis, mampu menghafal 600.000 hadis. Tanpa ingatan yang kuat, Al-Quran tak akan bisa dilimpahkan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh, dan sempurna, meskipun telah tersimpan dalam bentuk tulisan. Bantuan ingatan sangat diperlukan untuk meyakinkan kemurnian teks Al-Quran.
Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat yang terdekat, terutama kelompok ASH-HABUS-SUFFAH yang menetap di mesjid Nabawi, dan istri-istri Rasulullah, terutama Al Humaira yang menjadi sumber utama dalam memberikan informasi hadis nabi. Mereka bukan hanya menjadi sumber informasi hadis saja, tetapi juga telah mewakafkan dirinya untuk keperluan tersebut. Mereka adalah pelaksana yang konsekuen, dari perintah Rasulullah saw yakni, “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan ini kepada orang yang tak hadir.” Pahlawan-pahlawan hadis yang termasyhur ialah:
— Abu Hurairah r.a (wafat 59 Hijrah) meriwayatkan 5374 hadis.
— Siti Aisyah r.a (wafat 58 Hijrah) meriwayatkan 2210 hadis.
— Abdullah Ibn Umar (wafat 73 Hijrah) meriwayatkan 2639 hadis.
— Anas bin Malik r.a (wafat 93 Hijrah) meriwayatkan 2276 hadis
— Abdullah bin Abbas r.a (wafat 68 Hijrah) meriwayatkan 1660 hadis.
— Jabir ibn Abdillah (wafat 78 Hijrah) meriwayatkan 1540 hadis.
— Abu Said al Khudri r.a (wafat 74 Hijrah) meriwayatkan 1170 hadis.
— Abdullah ibn Mas’ud (wafat 32 Hijrah) meriwayatkan 848 hadis.
dan sebagainya.
Berkat jasa Abu Hurairah, dan Siti Aisyah dengan kawan-kawan itulah, kini kita dapat mengenal hakikat Islam yang sebenarnya.
Adapun peranan Siti Hafsah dalam penjagaan Ilahi terhadap kemurnian Islam, ialah menyimpan teks Al-Quran, dalam bentuk tulisan tangan dari para sahabat yang mulia, sejak zaman khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Pada zaman khalifah Utsman, teks Al-Quran itu diminta untuk disalin menjadi satu mushaf yang sempurna, seperti sekarang. Panitia penyalinan itu dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Mushaf yang pertama kali terbit sebanyak 7 naskah, disebut Mushafulimam atau Mushaf Utsmani. Dari mushaf inilah kitab Al-Quran yang dimiliki oleh umat Islam sampai sekarang, dan sampai hari kiamat, melalui penyalinan demi penyalinan di bawah pengawasan Majlis pentashih Al-Quran. Penyalinan mula-mula dengan tulisan tangan, kemudian melalui percetakan. Siti Hafsah selain penyimpan mushaf Al-Quran, juga pembaca Al-Quran yang fasih seperti Rasulullah saw.
Larangan Ilahi agar orang-orang beriman tidak mengawini janda-janda Rasulullah saw juga mengandung unsur penjagaan Ilahi terhadap kemurnian Islam.
motif poligami Rasulullah yang keempat, yakni, Membentuk dan membangun manusia seutuhnya.
Waktu Rasulullah saw, membuat perjanjian perkawinan bersamaan dengan periode peperangan yang tak henti-hentinya 28). Lingkungan persaudaraan Islam pada waktu itu, masih sangat kecil. Keadaan perang yang terus menerus menyebabkan ketidakseimbangan jumlah pria, dan wanita dalam masyarakat. Banyak sekali suami yang gugur sebagai syuhada di medan perang. Di samping itu banyak sahabat yang gugur karena menjadi korban pengkhianatan, seperti di Bir Ma’unah, Raji’, dan sebagainya. Dengan demikian banyak sekali janda-janda yang terlantar, dan anak-anak yang menjadi yatim piatu. Mereka harus dipelihara dengan baik. Adalah suatu kenyataan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti, dan mentega saja. Keinginan seks yang tertanam dalam sifatnya, menjadi suatu kebutuhan biologis yang tak dapat diremehkan. Pembangunan negara yang meremehkan kebutuhan biologis akan menjerumuskan masyarakat kepada korupsi moral, yang kemudian berakhir kepada kehancuran bangsa. Seorang pembangun bangsa, yang baginya moral adalah yang terpenting dari segala-galanya, tidak akan merasa puas diri dengan hanya menyediakan kebutuhan berupa makanan, dan minuman untuk janda-janda, dan anak yatim piatu. Rasulullah saw, sangat memperhatikan mereka, terutama tentang kesucian mereka dari kebutuhan jasmani yang tidak hanya berupa roti, dan mentega saja. Maka dari itu, dipandang perlu untuk mengizinkan poligami. Inilah yang menyebabkan beliau sendiri harus memberi contohnya, dengan mengambil beberapa janda menjadi istrinya. Hampir semua istri Rasulullah adalah janda. Jika motif perkawinan beliau untuk memuaskan hawa nafsu, tentu pilihannya tak jatuh kepada janda-janda yang tidak menarik, baik dalam hal kecantikan maupun dalam hal kekayaan. Apalagi janda yang banyak memelihara anak, seperti Ummi Salamah R.a. Pada waktu itu, banyak sekali gadis-gadis cantik jelita, dan Rasulullah saw, sebenarnya dapat memilih siapa saja yang dikehendakinya. Akan menjadi anugerah yang sangat besar bagi setiap orang yang menjadi mertua sang maharaja duniawi, dan ukhrawi yakni Muhammad saw. Akan tetapi tujuan poligami beliau adalah sangat agung, dan mulia, yaitu untuk membentuk, dan membangun manusia seutuhnya. Manusia sebagai makhluk Tuhan, yang merupakan makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Salah satu cara Rasulullah amat sederhana, yaitu mengayomi keluarga sahabat yang gugur membela Islam atas ajakan beliau. Pengayoman secara sempurna ialah melalui kehidupan keluarga. Dengan cara ini, terpeliharalah dengan sebaik-baiknya, masyarakat Islam yang keadaannya sangat gawat. Motif inilah yang menjadi tujuan Rasulullah saw menikah dengan: Siti Saudah r.a, yang suaminya meninggal dalam perjalanan pulang dari Habsyi. Siti Zainab R.a, janda Abdullah bin Jahsy yang gugur dalam perang Uhud. Ummi Salamah r.a, janda Abu Salamah yang gugur dalam perang Uhud, Ummi Habibah r.a, janda Ubaidullah yang wafat di Habsyi.
Para sahabat yang mulia mengikuti jejak atau teladan Rasulullah tersebut. Dengan demikian, janda-janda mendapat perlindungan, baik secara lahir maupun batin. Juga anak-anak yatim, dan yang lebih penting lagi ialah akhlak masyarakat dapat diselamatkan. Masalah kependudukan teratasi sekaligus. Coba bandingkan dengan masyarakat moderen di Eropa, dan Amerika.
Mereka berpendapat, bahwa dengan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya, kesejahteraan masyarakat lahir dan batin dapat diwujudkan. Ini tidak benar! Karena, masalahnya bukan hanya mengisi perut dengan makan dan minum, melainkan menyangkut pula masalah cinta-kasih, dan akhlak atau moral. Aspek moral bukanlah perkara sepele. Peradaban manusia dapat berdiri, hanyalah berlandaskan moral yang luhur. Prostitusi dan free sex yang semakin meraja-lela di negara-negara moderen, ternyata tidak membawa kebahagiaan seperti yang diharapkan. Apa yang digambarkan sebagai “Sorga”, ternyata berkembang menjadi ‘‘Neraka” yang membawa bencana bertubi-tubi. Cinta kasih menjadi hambar. Penyakit kotor meraja-lela, terutama di kalangan remaja. Tercatat angka 347 penderita gonoru pada setiap 100.000 orang penduduk. Hal ini mempengaruhi kehidupan ekonomi berbangsa. Gairah kerja menurun, dan kegiatan produksi merosot. Demikian keadaan di Swedia yang memelopori “Revolusi sex” di Eropa (sumber dari artikel Zaman, minggu 11 Oktober 1979). Di Amerika Serikat, lain lagi keadaannya. Dalam suatu studi pada tahun 1977 menunjukkan bahwa, 600.000 remaja yang belum menikah melahirkan bayi setiap tahunnya. Akibat hubungan seks yang bebas itu, hampir satu juta kasus penyakit kotor di Amerika setiap tahunnya, seperempat penderitanya adalah gadis-gadis remaja (sumber dari artikel Masakini 28 Agustus 1980). Dalam tahun 1979 saja tercatat tiga juta anak mendapatkan penganiayaan dari orang tuanya, yang pada umumnya terdiri dari janda-janda, dan wanita-wanita tanpa suami. (sumber dari artikel Kompas, 17 Februari 1980). Selanjutnya, dalam The Indonesia Time, tanggal 2 Mei 1980, kita dapat membaca, dan melihat dua buah gambar orang-orang bugil dengan berita sebagai berikut:
“Pendeta Paul Breton dari Los Angeles tidak terkejut ketika sepasang orang telanjang, dan dua orang saksi telanjang, berdiri di mukanya untuk suatu upacara perkawinan yang khidmat di gerejanya. Pasangan itu adalah Miss Linda Murphy, dan Mr. Mike Mitcehel, mereka ingin menikah menurut cara “Adam, dan hawa”. Mereka pertama kali bertemu di sebuah rumah sakit setempat, tempat keduanya bekerja sebagai perawat. Mike kemudian membujuk Linda untuk hidup sebagai “pecinta alam” di dalam rumahnya. Upacara perkawinan berlangsung sebagaimana biasa. Ada acara tukar cincin, berciuman, dan bersama-sama makan roti. Pendeta berharap mereka mempunyai banyak anak. Saksi-saksinya juga orang-orang yang telanjang, ini adalah perkawinan telanjang yang pertama dalam sejarah. ”
Yang lebih hebat dan mengerikan ialah berita dari San Fransisco. Di sana telah diselenggarakan kongres nasional pertama kaum wanita tuna susila (WTS) Amerika Serikat, bertempat di Gereja Glide Memorial di pusat San Fransisco. Dihadiri tidak kurang dari 350 Orang WTS, dan undangan. Wanita-wanita yang biasanya beroperasi di tempat-tempat pelacuran itu, berkumpul memenuhi ruang gereja yang dianggap suci. Mereka mengenakan dandanan yang menggiurkan. Rok-rok super mini, dan celana-celana panas yang merangsang, kaus oblong, dan celana paku ketat ngepres. Tempat yang biasanya untuk berdoa, dan berbakti, dipergunakan untuk bernyanyi-nyanyi lagu coyote yang disambut dengan sorak sorai, gegap gempita hadirin. Di setiap sudut terpasang spanduk, poster-poster, dan semboyan-semboyan bertulisan coyote. Demikian pula pada kaus-kaus oblongnya, pada celana panasnya, dan pada BH-BHnya. coyote adalah singkatan dari Call off Your Old tair etik, artinya, tanggalkan segala macam moral usang. Na’udzu biIlahi min dzalik. Anehnya cita-cita kaum WTS itu didukung oleh seorang biarawati, ia hadir pada pertemuan itu dengan mengenakan topeng untuk menyembunyikan dirinya. Dengan bangga ia ikut menyanyikan lagu-lagu semboyan coyote, dan menempelkan sticker coyote pada kerudung kepalanya (sumber dari artikel Zaman, 6 Juli 1980) 29). Demikianlah keadaan negara yang tak mengizinkan poligami. Keadaan semacam ini, tak akan diketemukan di negara-negara atau masyarakat yang menganut sistem poligami terbatas, dan bersyarat seperti yang dikehendaki oleh Al-Quran.
Kembali kepada pokok persoalan, tentang poligami Rasuluwlloh saw. Poligami yang dijalankan oleh beliau itu, tujuannya ialah membentuk, dan membangun manusia seutuhnya, sesuai dengan kodrat alamnya. Sedangkan poliandri, tak ada gunanya sedikit pun bagi umat manusia. Apa sebabnya? Sebab menurut kodrat alamnya, tugas seorang pria itu berbeda sekali dengan wanita. Seorang pria dapat menghasilkan beberapa anak sekaligus dari istri lebih dari satu, sedang kaum wanita sudah cukup memperoleh seorang anak dari seorang suami saja. Selanjutnya, tugas seorang pria sebagai suami sangatlah berbeda dengan tugas seorang wanita sebagai istri. Masing-masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Kaum pria melebihi kaum wanita dalam hal fisik, dan kekuatan tubuh, yang sanggup memikul pekerjaan yang sukar-sukar, dan menghadapi marabahaya yang besar. Sebaliknya, kaum wanita melebihi kaum pria dalam sifat kasih sayang. Untuk membantu pertumbuhan makhluk yang disebut manusia, alam telah menganugerahkan kepada kaum wanita tabiat cinta kasih yang lebih besar daripada yang diberikan kepada kaum pria. Oleh sebab itu, secara alamiah telah tercipta pembagian kerja yang harmonis dengan kaum wanita, yang masing-masing harus melaksanakan tugas pokok, demi kemajuan umat manusia secara keseluruhan. Kedudukan suami dan istri dalam Al-Quran dilukiskan sebagai berikut:
Mereka (istri) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah, pakaian bagi mereka.” (Q.s 2: 187).
Jadi, seorang wanita yang tidak pernah menjadi istri, ibaratnya tak punya pakaian, untuk menghias diri, dan melindungi dirinya. Selanjutnya Rasulullah saw menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin, dan setiap orang di antara kamu akan diminta pertanggungan jawabnya mengenai yang dipimpinnya: Raja adalah pemimpin, suami adalah pemimpin yang memimpin keluarga, istri adalah pemimpin rumah tangga, dan setiap orang di antara kamu adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggungan jawabnya mengenai apa yang dipimpinnya.” (HR. Imam Bukhari).
Kedudukan kaum wanita dalam rumah tangga ialah pemimpin rumah tangga, yang fungsinya ialah:
— Mengurus, dan mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya, sehingga tercipta keadaan damai dan bahagia. Rumah tangga inilah yang akan melahirkan masyarakat yang harmonis dan damai. Maka tepat sekali jika ada ungkapan yang mengatakan bahwa “wanita adalah tiang negara, jika baik kaum wanita, baiklah negara, dan jika rusak kaum wanita, rusaklah negara.” Wanita yang baik ialah wanita yang “taat kepada Allah dan suami, yang memelihara hak suaminya sewaktu suaminya tidak ada” (Q.s 4: 34). Wanita yang demikian itu lebih berharga daripada dunia seisinya, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw: “Dunia, dan segala isinya adalah amat berharga, akan tetapi yang paling berharga ialah seorang wanita yang soleh, berhati murni.”(HR. imam Muslim).
— Mendidik anak-anak, sehingga menjadi anak yang baik tingkah lakunya, dan luhur budi pekertinya. Sehubungan dengan tugas ini, Rasulullah saw bersabda. ‘Sorga berada di bawah telapak kaki ibu.” Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh kebangkitan wanita Indonesia menerangkan betapa besarnya peranan ibu dalam pembentukan watak, dan karakter bangsa sebagai berikut. “Siapakah yang akan menyangkal, bahwa wanita itu memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral masyarakat? Dialah orang yang tepat pada tempatnya, ia dapat menyumbangkan banyak (atau boleh dikatakan yang terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu kepadanya, sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar, dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah, maka anak itu pertama-tama belajar merasa, berfikir, dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak. ” 30)
— Sebagai penasehat suami dalam memecahkan berbagai masalah pembangunan masyarakat, dan negara.
Tugas-tugas tersebut akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh wanita yang menempuh kehidupan berumah-tangga.
Motif poligami Rasulullah yang kelima, yakni, Mengangkat derajat kaum wanita.
Tujuan perkawinan menurut Al-Quran ialah:
1. Untuk memperoleh perlindungan dari penyakit-penyakit jasmani, moral, dan rohani atau spiritual (Q.s 4: 24)
2. Untuk memperoleh ketenangan pikiran, dan ketenteraman jiwa (Q.s 30: 21).
3. Untuk memperoleh keturunan yang syah (Q.s 2: 224).
4. Untuk meluaskan lingkungan pertalian keluarga (Q.s 4: 1).
5. Untuk mengangkat derajat kaum wanita.
Secara implisit, tujuan perkawinan itu telah diuraikan di muka. Tetapi, berkenaan dengan tujuan yang kelima, perlu diuraikan tersendiri, karena banyaknya kesalahfahaman seolah-olah Islam mengizinkan pergundikan yang sangat merendahkan derajat kaum wanita. Yang erat sekali hubungannya dengan masalah ini, ialah perkawinan Rasulullah saw dengan Siti Juwariyah, dan Siti Shafiyah. Juga Siti Mariyah dari Mesir. Jadi ketiganya termasuk ma-malakat yaminuka (apa yang dimiliki oleh tangan kanan dikau). Hanya bedanya, Siti Juwariyah, dan Siti Shafiyah itu tawanan perang perempuan. sedangkan Siti Mariyah seorang jariah dari Mesir. Persembahan dari raja Muqauqis Kedudukan wanita semacam itu dalam masyarakat Arab lebih rendah daripada wanita merdeka. Mereka mempunyai tugas melayani nafsu birahi majikannya. Inilah yang disebut pergundikan. Islam datang untuk menghapus perbudakan dan pergundikan yang telah tersebar di seluruh dunia. Cara Islam menghapus dua macam perbuatan buruk yang sangat merendahkan martabat manusia itu ialah:
1. Menganjurkan membebaskannya dan
2. Menganjurkan orang merdeka supaya menikahi mereka (yang beriman). sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah sebagai berikut:
“Dan barang siapa di antara kamu tak mampu membiayai pernikahan dengan wanita merdeka yang mukmin (hendaklah ia menikah) dengan budak perempuan kamu yang mukmin, yang dimiliki oleh tangan kanan kamu, dan Allah tahu benar akan iman kamu, sebagian kamu (berasal) dari sebagian yang lain. Maka dari itu nikahilah mereka dengan izin majikan mereka, dan berilah mereka mas kawin mereka dengan pantas, mereka adalah suci, tak melacur, dan tak pula mengambil kekasih. Ini adalah bagi siapa di antara kamu yang takut terjerumus dalam kejahatan.” (Q.s 4: 25).
Lagi firman-Nya:
Dan nikahilah orang yang masih sendirian di antara kamu, dan orang yang pantas di antara budak laki-laki kamu, dan budak perempuan kamu. (Q.s 24: 32).
Khusus kepada Rasulullah saw pun, Allah berfirman sebagai berikut:
Wahai Nabi!, sesungguhnya Kami menghalalkan kepada engkau istri-istri engkau yang telah engkau beri mas kawin, dan apa yang dimiliki oleh tangan kanan dikau di antara mereka yang Allah berikan kepada engkau sebagai tawanan.” (Q.s 33 ayat 50).
Dari ayat-ayat suci tersebut di atas terang sekali bahwa budak perempuan atau tawanan perempuan, sudah seharusnya dinaikkan derajatnya. Caranya ialah dengan mengambilnya sebagai istri. Syaratnya dimerdekakan terlebih dahulu. Selanjutnya, setiap wanita yang diambil sebagai istri harus diberi mahar atau mas kawin yang harus dibayar pada waktu akad nikah. Maskawin itu menjadi milik mempelai wanita. Dengan demikian, setiap wanita memulai hidup berumah tangga sebagai orang yang memiliki sedikit kekayaan. Jika demikian, perkawinan adalah jelas sebagai salah satu alat untuk mengangkat derajat kaum wanita, dan selanjutnya meningkatkan kedudukan istri pada tingkat yang sama dengan suami dalam rumah tangga. Rasulullah saw, adalah contoh yang sempurna dalam masalah ini. Beliau telah mengambil dua tawanan perang sebagai istri, yaitu Siti Juwariyah dari kabilah Bani Musthaliq, dan Siti Shafiyah dari kabilah Yahudi, dan seorang Jariah dari Mesir bernama Siti Mariyah. Selanjutnya, beliau menganjurkan agar para sahabat, dan pengikutnya mengikuti percontohan beliau, karena perbuatan beliau adalah pengejawantahan dari ayat-ayat Al-Quran. Rasulullah saw, sangat menaruh perhatian dalam masalah ini, agar majikan menaruh perhatian terhadap pendidikan budak perempuannya, kemudian memerdekakan dia, dan akhirnya menikahi dia. Barang siapa yang melaksanakan ini, akan mendapatkan pahala lipat dua, sebagaimana dinyatakan: “Orang akan memperoleh ganjaran dua kali lipat, jika ia mempunyai budak perempuan, yang ia ajarkan sopan santun yang baik, dan ia berikan kepadanya pendidikan yang baik, lalu ia berikan kemerdekaan, dan menikah dengan dia.” (HR Imam Bukhari). Alangkah agungnya ajaran Al-Quran, dan teladan yang diberikan oleh Rasulullah saw. Hal ini akan mudah kita hayati, jika kita mengetahui kedudukan, dan hak-hak wanita sebelum Islam datang.
Di masyarakat Yunani, wanita sama sekali tak diberi hak, kendati pun dalam hubungannya dengan ayah atau suami. Bagi bangsa Romawi, kepala keluarga mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Dia ada hak untuk menjual, membuang, menyiksa, dan membunuh wanita yang berada dalam kekuasaannya. Begitulah sampai datang Gustantianus dengan sedikit memberikan hak kepada kaum wanita, namun dalam hak milik, dan lain-lain masih tetap tidak diberi. Dalam salah satu muktamar adevangs yang diselenggarakan di Perancis pada tahun 566 Masehi, lima belas tahun sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw, dengan topik:
Perempuan itu manusia yang bernyawa, dan berhak hidup abadi ataukah dia itu hewan najis yang tidak bernyawa? Sesudah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya muktamar menetapkan, bahwa perempuan itu adalah manusia, bukan hewan, dengan catatan, bahwa dia itu adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum pria 31). Ketetapan itu hanyalah pengukuhan belaka dari ajaran kitab suci agama Kristen yang mengatakan:
“Dan laki-laki itu bukannya dijadikan karena perempuan, melainkan perempuan itu dijadikan karena laki-laki” (Kitab 1 Korintus pasal 119).
Selanjutnya kita baca dalam Perjanjian Baru, kedudukan wanita diterangkan sebagai berikut:
“Adapun perempuan itu hendaklah ia belajar dengan senyapnya, dan bersungguh-sungguh merendahkan dirinya. Tetapi tiada aku mengizinkan seorang perempuan mengajar atau memerintah atas laki-laki, melainkan hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam sudah dijadikan dahulu, kemudian barulah Hawa, maka bukannya Adam yang terperdaya, melainkan perempuan itu terperdaya, sehingga ia termakan dalam kesalahan.” (Kitab 1 Timotius pasal 2: 11 – 14) 32)
Kita akan merasa ngeri, dan jijik, jika memperhatikan teladan yang diberikan oleh Pendiri agama Kristen menurut Perjanjian Baru. Merasa ngeri, karena teladan yang diberikan oleh Yesus Kristus akan menimbulkan kebencian bagi wanita, sebab, ia tak sanggup memberi kebahagiaan kepada ibunya sendiri yang telah melahirkannya dengan susah payah (baca Injil Matius pasal 12: 16 hingga 18)., dan jika seluruh dunia mengikuti teladannya, dunia telah tamat riwayatnya sejak dahulu kala. Sebab ia tak kawin. Selanjutnya kita merasa jijik, jika memperhatikan ajaran, dan teladan yang dibenkan oleh Paulus tentang wanita 33). Paulus, yang ahli maksiat, dan pemimpin kelompok yang menumpas Gerakan Yesus, kemudian bertobat itu 34), menulis surat kepada jemaat di Korintus sebagai berikut:
“Maka aku suka, biarlah segala orang menjadi seperti aku ini (tidak kawin), tetapi masing-masing beroleh karunia yang berbeda-beda, daripada Allah, yaitu seorang begini, dan seorang begitu. Tetapi kepada orang bujang, dan kepada janda aku mengatakan, bahwa baiklah mereka itu hidup seperti aku ini. Tetapi jikalau mereka itu tiada dapat menahan dirinya, biarlah mereka itu kawin, karena lebih baik kawin daripada menyala birahinya. Tetapi kepada orang yang sudah kawin yaitu aku berpesan (yaitu bukannya aku ini melainkan Tuhan), Bahwa janganlah istri itu undur daripada suaminya.” (kitab 1 korintus pasal 7: 7 sampai 10)
Selanjutnya ia menulis lagi sebagai berikut:
’’Oleh yang demikian, maka orang yang mengawinkan anak perawannya itu baik perbuatannya, dan orang yang tiada mengawinkan dia itu, lebih baik perbuatannya. ‘ (Kitab 1 Korintus pasal 7: 38).
Karena ajaran, dan teladan yang demikian dianggap suci, maka wajarlah jika Bapa-bapa Gereja abad pertengahan mengutuk wanita. Tertualianus yang hidup pada tahun 155 hingga 220 Masehi, mewakili pendapat umum melukiskan kaum wanita sebagai “pintu gerbang iblis, pembuka jalan kepada pohon terlarang, orang yang murtad dari hukum Tuhan, orang yang merusak wajah Tuhan, yaitu laki-laki.”35) Zaman itu oleh para ahli disebut Zaman jahliyah artinya zaman kebodohan, atau dark ej, artinya zaman kegelapan. Allah melukiskan zaman itu sebagai berikut:
‘”Kebobrokan telah timbul di daratan, dan lautan, karena usaha tangan manusia, agar Ia membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, sehingga mereka mau kembali.” (Q.s 30: 41)
Nasib kaum wanita dinyatakan sebagai berikut:
“Dan tatkala salah seorang di antara mereka diberi kabar tentang kelahiran anak perempuan, wajahnya (berubah) menjadi hitam, dan ia sangat marah, ia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya barang yang diberitakan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, ataukah akan menanamnya (hidup-hidup) dalam tanah. Oh, buruk sekali apa yang mereka putuskan.” (Q.s 16: 58 dan 59).
Demikianlah keadaan kaum wanita sebelum Islam. Kita bersyukur kepada Allah yang bersifat Ar-Rohman, dan Ar-Rohim, artinya Tuhan Yang Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Dia telah membangkitkan Muhammad saw, yang membawa ajaran yang sempurna, dan teladan yang lengkap dalam segala hal, terutama yang menyangkut masalah wanita. Dalam kitab suci Al-Quran kita baca tentang hak-hak kaum wanita sebagai berikut:
’’Kaum pria memperoleh bagian dari apa yang ditinggalkan oleh orang tua, dan kaum kerabat, dan kaum wanita juga memperoleh bagian dari apa yang ditinggalkan orang tua, dan kaum kerabat, baik sedikit ataupun banyak, bagian yang sudah ditentukan.” (Q.s 4: 7).
Kaum wanita boleh mencari uang, dan boleh memiliki kekayaan seperti kaum pria, jika perlu wanita bisa saja bekerja, meskipun telah berumah tangga. Allah berfirman sebagai berikut:
“Kaum pria memperoleh keuntungan dari apa yang mereka usahakan, dan kaum wanita boleh memperoleh keuntungan dari apa yang mereka usahakan.” (Q.s 4: 32).
Selanjutnya, kaum wanita menguasai penuh atas harta miliknya, dan bebas membelanjakan itu sesukanya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
“Dan berikanlah kepada (mempelai) wanita maskawin mereka sebagai pemberian cuma-cuma. Tetapi jika mereka berkenan memberikan sebagian (maskawin) itu kepada kamu, maka makanlah itu dengan lezat, dan nikmat.” (Q.s 4: 4) 36)
Dalam segi rohani, kaum wanita juga mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria. Semua perbuatan baik pasti diganjar, dan perbuatan buruk dihukum. Allah berfirman:
“Aku tak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik pria maupun wanita, yang satu dari yang lain di antara kamu. ” (Q.s 3: 194).
Kaum pria, dan wanita, sama-sama menikmati hidup yang mulia. Allah berfirman sebagai berikut:
’Barang siapa berbuat baik, baik pria maupun wanita, dan dia itu mukmin, Kami akan menghidupi dia dengan kehidupan yang baik, dan Kami akan memberi kepada mereka ganjaran mereka atas sebaik-baik barang yang mereka lakukan.” (Q.s 16: 97).
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Quran, dan teladan yang diberikan oleh Muhammad saw, tentang hak-hak asasi wanita itu benar-benar merupakan suatu rahmat. Berkat ajaran Al-Quran, dan teladan yang diberikan oleh Muhammad, lah kaum wanita secara berangsur-angsur memperoleh hak-haknya.
Motif poligami Rasulullah yang keenam, yakni, Motif politik, dan dakwah Islam.
Ada lagi motif perkawinan Rasulullah saw, yang unik, yaitu motif politik, dan dakwah Islam. Lantaran perkawinan itu, kabilah-kabilah Arab yang saling bermusuhan dipersatukan, dan mempercepat Kesadaran mereka terhadap kebenaran Islam. Misalnya perkawinan beliau dengan Siti Juwariyah, Siti Shafiyah, dan Siti Maimunah.
Siti Juwariyah adalah putri Harits pemimpin Bani Musthaliq. Pada tahun kelima hijrah terjadi pertempuran antara kaum Muslimin dengan Bani Musthaliq di Muroisi’. Pertempuran ini disebut pula perang Muroisi’. yang terjadi hanya dalam tempo beberapa jam saja. Enam ratus orang Bani Musthaliq ditawan, di antaranya Siti Juwariyah yang suaminya telah meninggal dunia. Rasulullah saw, memerdekakan Siti Juwariyah, kemudian memperistrinya atas permintaan Siti Juwariyah sendiri. Berkat perkawinan Rasulullah saw itu, seluruh tawanan Bani Musthaliq dibebaskan oleh kaum Muslimin untuk menghormati istri Rasulullah saw. Akhirnya, seluruh Bani Musthaliq masuk Islam atas kesadarannya sendiri. Jadi keluhuran akhlak Rasulullah, dan para sahabatnya, dapat menarik hati 600 orang dari Bani Musthaliq ke dalam barisan Islam.
Siti Shafiyah adalah putri Haiy kepala kabilah Bani Qurazhah. Suaminya gugur dalam pertempuran Khaibar. Siti Shafiyah ditawan, kemudian dimerdekakan oleh Rasulullah. Akhirnya diangkat sebagai istri Rasulullah saw. Melalui perkawinan itu, kerusuhan yang dilancarkan oleh kaum Yahudi dapat di akhiri. Jadi, perdamaian antara kedua belah pihak dapat diwujudkan. Siti Maimunah adalah seorang janda miskin, yang usianya lebih dari 50 tahun. Dia saudara istri Abbas, paman Rasulullah. Dari perkawinan ini dapat ditarik dua pemimpin Quraisy ke dalam barisan Islam, yaitu Ibnu Abbas, dan Khalid bin Walid yang akhirnya menjadi pahlawan Islam dengan gelar Saifullah, artinya Pedang Allah.
BAB 4. ISTRI-ISTRI Rasulullah Saw.
“Nabi itu lebih dekat pada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah (sebagai) ibu mereka.” (QS. 33: 6).
Sebelum membicarakan istri-istri Rasulullah Saw, terlebih dahulu akan kami bicarakan, mengapa istri Rasulullah Saw, melebihi jumlah yang ditetapkan oleh Al-Quran? Apakah beliau mendapat hak istimewa? Jawabnya: Tidak! Rasulullah Saw, tidak mendapat hak istimewa. Pembatasan empat orang istri dalam surat (4) An Nisa’ ayat 3, sebenarnya tidak hanya berlaku pada para sahabat dan pengikutnya saja, tetapi berlaku pula bagi beliau. Tetapi mengapa Rasulullah tidak mengambil empat orang saja, dan menceraikan yang lain? Untuk memahami masalah ini, kita harus mengetahui sejarah. Dari sejarah dapat kita ketahui, bahwa:
– Semua pernikahan beliau, dilakukan sebelum turun ayat yang membatasi jumlah istri sampai empat orang (Q.s An Nisa’ ayat 3).
– Bersamaan dengan turunnya ayat tersebut, turun pula ayat lain yang jelas meniadakan hak istimewa bagi Rasulullah, yaitu surat Al Ahzab ayat 50. 37)
– Para sahabat beliau, bebas untuk menikah sampai empat, dengan menggunakan hak cerai, dan menikah lagi, tetapi
– Rasulullah Saw tidak menceraikan istri-istrinya 38), dan, tidak pula membuat perjanjian pernikahan yang baru 39), atau menukar salah seorang dari istri beliau dengan istri yang baru. Kenyataan ini membuktikan bahwa, beliau tak mempunyai hak istimewa, atau dikecualikan dari pembatasan jumlah istri dalam surat An Nisa’ ayat 3.
Sekarang marilah kita bicarakan secara ringkas istri-istri Rasulullah Saw, yang dikenal dengan sebutan ummahatul mukminin, artinya, ibu orang-orang beriman. Mereka itu ialah:
1) Siti Khadijah r.a.
Siti Khadijah putri Khuwailid, adalah seorang janda bangsawan dan hartawan Quraisy yang termasyhur. Karena ketulusan hatinya, ia mendapat gelar Thahira, artinya perempuan yang suci. Siti Khadijah dinikahi oleh Muhammad Saw sebelum beliau diangkat menjadi nabi utusan Allah. Pada waktu itu beliau berusia 25 tahun, sedang Siti Khadijah berusia 40 tahun. Jadi lebih tua 15 tahun. Rasulullah Saw amat sayang kepada istrinya, Siti Khadijah r.a. Ketika Siti Khadijah wafat pada tahun ketiga sebelum hijrah, Rasulullah sangat sedih. Dalam tarih, tahun itu disebut Amul Huzni, artinya tahun berduka cita. Rasulullah sangat sedih, karena Siti Khadijah bukan hanya sekedar sebagai istri biasa saja dalam kehidupan Rasulullah Saw, tetapi juga, tulang punggung yang tangguh dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini. Meskipun Khadijah telah wafat, seringkali Rasulullah mengucapkan kata-kata yang menunjukkan rasa sayangnya. Siti Aisyah yang mendengarnya, sepontan berkata: “Bukankah Allah telah memberikan ganti yang lebih baik?” Rasulullah menjawab tenang: “Demi Allah, sungguh Allah tidak memberikan kepadaku ganti yang lebih baik daripadanya, dia beriman kepadaku, di saat-saat orang-orang lain masih kafir dia membenarkan daku, di saat-saat orang lain mendustakan daku, dia menolong aku dengan hartanya di saat-saat orang-orang lain tidak mau memberikan kepadaku, dan Allah. memberikan anugerah anak kepadaku daripadanya, bukan dari wanita-wanita yang lain.”
Tatkala Muhammad Saw, menerima wahyu, sebagai manusia, beliau merasa berat memikul tugas yang sangat mulia itu. Siti Khadijah membesarkan hati suaminya: “Demi Allah, Dia tidak akan membiarkan Anda mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kewajiban Anda. Bagaimana Tuhan dapat berbuat demikian? sedang Anda rendah hati dan ramah tamah terhadap sanak keluarga. Anda membantu orang-orang yang dalam kesusahan, menghormati tamu, tetap berdiri di atas kesucian dan kebenaran, meskipun menghadapi bahaya.”
Dengan Siti Khadijah, Rasulullah Saw, memiliki anak sebagai berikut:
1. Qosim, wafat umur 2 tahun.
2. Siti Zainab, menikah dengan Abul As.
3. Siti Ruqayyah, nikah dengan sayidina Utsman, wafat ketika umat Islam memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang di perang Badar.
4. Ummi Kultsum, menikah dengan sayidina Utsman setelah saudara perempuannya wafat, dan
5. Siti Fatimah, menikah dengan sayidina Ali bin Abi Tholib rodiyawloohu anhu yang melahirkan sayidina Hasan dan Husein.
2) Siti Saudah r.a.
Nama lengkapnya ialah, Siti Saudah binti Zam’ah bin Qois bin Abdi Syams al Quraisy r.a. Dia seorang janda yang telah tua, dan dinikahi oleh Rasulullah Saw, setelah Siti Khadijah wafat, dalam tahun ke 10 Bitsah, 3 tahun sebelum hijrah. Suaminya bernama As Sakran ibnu Amir, seorang sahabat yang setia sejak zaman permulaan Islam. Karena penganiayaan kaum kafir Quraisy, ia bersama suaminya hijrah ke Habsyi, rombongan kedua. Sepulangnya dari Habsyi, suaminya meninggal dunia dalam perjalanan. Dengan demikian, Siti Saudah, menjadi janda yang nasibnya sangat menyedihkan. Hidupnya sangat miskin, dan keselamatannya terancam oleh kebengisan kaum kafir Quraisy. Pada waktu itu, lingkungan persaudaraan Islam masih sangat kecil, maka Siti Saudah tak menemukan tempat berlindung yang pantas. Untuk melindungi dan menghibur Siti Saudah, Rasulullah Saw menikahinya atas pinangan Siti Saudah. Dengan pernikahan itu, dua kabilah Quraisy dapat dipersatukan atau didamaikan, karena keduanya ada hubungan keluarga dengan Rasulullah Saw, Bani Hasyim.
3) Siti Aisyah r.a.
Siti Aisyah, as Shiddiqoh, r.a, adalah satu-satunya istri yang dinikahi oleh Rasulullah Saw yang masih gadis. Beliau seorang gadis yang mempunyai sifat-sifat luar biasa, baik Abu Bakar, maupun Rasulullah Saw, melihat Siti Aisyah, sebagai wanita yang agung di kemudian hari, yang tepat sekali menjalani tugas sebagai istri seorang Guru Besar, yang sabda dan perbuatannya, harus dibukukan sebagai petunjuk bagi umat manusia dikemudian hari. Inilah motif pernikahan Rasulullah dengan beliau yang terpenting. Tetapi ada dua kesukaran yang menghalangi pernikahan tersebut, yaitu:
Pertama: Siti Aisyah telah dipertunangkan dengan Jubair bin Mut’im yang masih kafir. Pernikahan dengan Rasulullah dapat dilaksanakan, jika urusannya dengan Jubair, telah dapat diselesaikan. Secara kebetulan, Jubair sendiri, ingin memutuskan pertunangannya, karena gelombang permusuhan terhadap kaum Muslimin makin menghebat, sehingga pernikahan tak diinginkannya lagi.
Kedua: Siti Aisyah belum dewasa, baru berusia 9-10 tahun. Hal ini dapat diselesaikan dengan menangguhkan pelaksanaan pernikahan, sampai usia Siti Aisyah dewasa. Jadi upacara pernikahan yang berlangsung pada tanggal 9 Syawal tahun 10 Bitsah itu, sebenarnya sama dengan pertunangan. Peresmian sebagai suami istri, baru terjadi dalam tahun kedua hijrah. Usia Siti Aisyah 14 atau 15 tahun, sedang usia Rasulullah 54 atau 55 tahun. Jadi tidak benarlah pendapat yang mengatakan bahwa, Siti Aisyah berumah tangga dengan Rasulullah saat berusia 9 tahun dan, pertunangannya dilaksanakan dalam usia 6 tahun, karena, menurut sejarah, jangka waktu antara pernikahan, dan peresmian sebagai suami istri, tidak 3 tahun, melainkan 5 tahun, yaitu antara tahun ke 10 Bitsah yakni 3 tahun sebelum hijrah sampai tahun kedua hijrah. Dalam kitab Ishabah diterangkan, bahwa Siti Fatimah, putri Rasulullah Saw, berusia 5 tahun lebih tua daripada Siti Aisyah. Padahal, Siti Fatimah dilahirkan, pada waktu Ka’bah diperbaiki, lima tahun sebelum Bitsah. Jadi Siti Aisyah dilahirkan pada tahun pertama Bitsah dan pada waktu dinikahkan dengan Rasulullah Saw, pada tahun ke 10 Bitsah, usianya telah mencapai 9 atau 10 tahun. Bukti lain lagi ialah, pada waktu surat (54) Al Qomar diturunkan pada tahun ke 5 Bitsah, Siti Aisyah seorang gadis yang masih kecil, suka bermain, dan beliau ingat beberapa ayat yang diwahyukan. Jika beliau dinikahkan pada tahun ke 10 Bitsah berusia 6 tahun, maka beliau baru lahir ketika surat Al Qomar diwahyukan, dan tak mungkin dapat ingat beberapa ayat yang diwahyukan.
Sepeninggal Rasulullah Saw. Siti Aisyah aktif sebagai guru besar. Selama setengah abad beliau menyampaikan ilmu dan hikmah yang diterimanya dari guru besarnya, Muhammad Saw. Beliau tokoh besar kaum wanita pada zamannya. Banyak sekali murid-murid Aisyah yang menjadi sarjana kenamaan, misalnya: Urwah saudara Abdullah bin Zubair, Qosim bin Muhammad bin Abu bakar. Abu Salamah putra Abdurrahman bin Auf dan sebagainya. Karena pengetahuannya yang dalam mengenai Al-Quran dan Hadits, atau Sunnah, serta hukum-hukum Islam, maka beliau sering dimintai nasehat oleh para sahabat yang muda-muda, seperti: Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan lain-lain. Bahkan Umar bin Khatab dan Muawiyah pun, sering minta nasehat dari Aisyah tentang masalah-masalah yang sulit mengenai hukum. Meskipun sangat pandai, Siti Aisyah tidak sombong, beliau mempraktikkan ilmu padi, yakni semakin berisi semakin tunduk.
4) Siti Hafsah r.a.
Siti Hafsah putri Umar bin Khatab, janda Khunais yang gugur dalam perang Badar. Sayidina Umar merasa sedih, atas kematian menantunya, maka Umar minta sayidina Abu Bakar untuk menikahi putrinya, tetapi Abu bakar tidak memberikan jawaban. Kemudian sayidina Umar, menawarkan kepada sayidina Utsman, yang baru saja istrinya meninggal dunia, tetapi, Utsman pun menolak secara halus. Peristiwa ini menunjukkan, bahwa pada saat itu, tahun ke 2 atau ke 3 hijrah, kaum Muslimin kekurangan kaum pria yang belum menikah. Hati sayidina Umar menjadi kesal. Maka Umar mencurahkan isi hatinya kepada Rasulullah Saw. Dengan muka manis, Rasulullah menjawab, “Biarlah nanti Hafsah, akan bersuamikan seorang yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman, akan beristrikan seorang yang lebih baik, dari Hafsah.” Jawaban Rasulullah ini sangat menggembirakan hati sayidina Umar bin Khatab.
Hafsah dinikahi oleh Rasulullah Saw, pada tahun ke 3 hijrah. Dengan pernikahan ini berarti:
Siti Hafsah mendapat perlindungan seorang yang mulia, Rasulullah Saw, maka ia termasuk dalam ummahatul mukminin. Persahabatan sayidina Umar, dengan Rasulullah Saw, semakin erat, baik secara jasmaniah, maupun rohaniah. Membuat derajat Umar, sama tingginya, dengan Sayidina Abu Bakar, yang putrinya dinikahi oleh Rasulullah Saw. Keduanya sebagai mertua Rasulullah Saw. Siti Hafsah adalah yang terpilih di antara ummahatul mukminin, untuk menyimpan teks Al-Quran yang dikudifikasikan pada zaman khalifah Abu Bakar, atas usul sayidina Umar. Kodifikasi Al-Quran itu, berada di rumah Hafsah, sampai akhirnya khalifah Utsman memintanya untuk disalin menjadi mushaf yang sempurna, seperti sekarang ini. Dengan demikian, kekal nama Hafsah di dalam sejarah, sebagai ummahatul mukminin yang memelihara teks Al-Quran yang pertama.
5) Siti Zainab ummul masakin r.a.
Siti Zainab putri Khuzaimah, janda Abdullah bin Jahsy yang gugur sebagai syuhada dalam perang Uhud. Zainab sangat sedih atas kematian suaminya itu, karena pada waktu itu, keadaan kaum Muslimin sangat gawat, bagaikan telur di ujung tanduk. Musuh-musuh Islam melancarkan serangan, dengan menggunakan berbagai macam cara. Untuk melindungi Siti Zainab, dan menghilangkan kesusahan hatinya, Rasulullah Saw menikahinya. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 3 Hijrah. Siti Zainab terkenal dengan sebutan, ummul masakin, artinya, ibu orang-orang miskin, karena kedermawanan, dan kebaikan hatinya kepada fakir miskin.
6) Ummi Salamah r.a.
Ummi Salamah, nama aslinya, ialah Hindun, putri Umayah al Makhzumiyah rodiyawloohu anhu, janda Abdullah bin Asad al Makhzumiyah. Abdullah bin Asad, adalah seorang sahabat yang setia, yang turut hijrah ke Habsyi, dan Madinah, akhirnya gugur sebagai syuhada, dalam perang Uhud. Ummi Salamah, seorang janda yang sudah agak lanjut usianya, dan mempunyai beberapa orang anak, Rasulullah Saw dapat memahami betapa beratnya beban yang ditanggung oleh Ummi Salamah r.a. Rasulullah ingin menolong dan meringankan bebannya dengan cara menikahinya. Ketika Rasulullah Saw menyatakan maksudnya, Ummi Salamah menjawab: “Tapi saya seorang yang sudah tua ya Rasulullah, juga mempunyai beberapa orang anak yatim, dan sayapun, seorang yang amat cemburuan.” Rasulullah Saw menjawab: “Saya lebih tua lagi dari engkau ya Ummi Salamah. Adapun perkara cemburuanmu, itulah Allah, yang akan menghilangkannya.”
Ummi Salamah adalah, salah seorang istri Rasulullah, yang tajam pikirannya, dan wataknya tenang, sehingga seringkali Rasulullah Saw, bermusyawarah dengannya dalam menghadapi persoalan-persoalan yang sulit. Dia adalah, wanita yang pertama kali hijrah ke Habsyi, dan juga hijrah ke Madinah.
7) Siti Zainab r.a.
Siti Zainab binti Jahsy, putri Umaimah binti Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah Saw. Setelah Zainab dewasa, Rasulullah mengusulkan, agar ia dinikahkan dengan Zaid, seorang budak belian yang telah dimerdekakan oleh Rasulullah sendiri. Sebenarnya Siti Zainab, dan saudaranya tak setuju usul Rasulullah Saw itu, karena Zaid hanyalah seorang budak yang dimerdekakan, dan menurut adat kehormatan bangsa Arab, usul semacam itu tak dapat dibenarkan. Mereka menghendaki, agar Rasulullah sendiri yang menikahi Siti Zainab, namun mereka akhirnya menyerah kepada Rasulullah Saw, yang amat menginginkan dihapusnya perbedaan derajat karena keturunan (pada waktu itu surat Al Hujurot ayat 13 belum diturunkan). Akan tetapi, pernikahan itu akhirnya gagal, tak dapat mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Perselisihan selalu timbul. Segala macam usaha perdamaian, selalu menemui jalan buntu. Penyelesaian terakhir hanyalah perceraian. Perceraian memang dapat menyelesaikan kasus Zainab dengan Zaid, tetapi, menimbulkan masalah lain, yang lebih fatal bagi Zainab, karena Zainab menjadi janda budak belian. Jadi perceraian itu, merendahkan derajat Siti Zainab dan kerabatnya. Untuk menyelamatkannya, Rasulullah Saw yang terikat oleh kewajiban moral, memenuhi keinginan mereka, akhirnya menikahi Siti Zainab r.a. Pernikahan ini mendapatkan restu Ilahi, bahkan diperintahkannya. FirmanNya: “Kami menikahkan dia (Siti Zainab) dengan engkau, agar tak ada kesukaran bagi kaum mukmin tentang istri anak angkat mereka, tatkala mereka memutus ikatan pernikahan. Dan perintah Allah senantiasa dijalankan.” (Q.s 33: 37).
Jadi, Siti Zainab adalah, satu-satunya istri yang dinikahi oleh Rasulullah Saw, atas dasar wahyu Ilahi, sedangkan istri-istri lainnya dinikahkan oleh walinya masing-masing.
8) Siti Juwariyah r.a.
Siti Juwariyah putri Harits, pemimpin Bani Musthaliq. Pada tahun ke 5 Hijrah, terjadi peperangan antara kaum Muslimin, dengan Bani Musthaliq di Muroisi’. Bani Musthaliq dapat dikalahkan dalam waktu yang singkat. Sejumlah besar tawanan pria dan wanita jatuh ke tangan kaum Muslimin. Di antara mereka terdapat Juwariyah putri Harits, pemimpin Bani Musthaliq, nama aslinya Barroh putri Harits bin Dliror. Harits menghadap Rasulullah Saw, untuk menebus putrinya, Barroh yang suaminya telah wafat. Rasulullah Saw, memerdekakan Barroh kemudian mengawininya, dan memberikan nama Siti Juwariyah. Berkat pernikahan ini, seluruh tawanan Bani Musthaliq, sejumah seratus keluarga, dibebaskan oleh para sahabat. Mereka berkata bahwa, suatu kabilah yang mendapat hubungan keluarga dengan Rasulullah, tidak selayaknya ditawan. Akibat dari pembebasan ini, 600 orang Bani Musthaliq masuk Islam, atas kesadaran mereka sendiri.
9) Ummi Habibah r.a.
Ummi Habibah, atau Romlah, putri Abu Sofyan, janda Ubaidullah yang ikut hijrah ke Habsyi. Di Habsyi, Ubaidullah masuk agama Kristen, tetapi, Ummi Habibah tetap dalam agamanya, Al Islam. Alangkah kuatnya iman Ummi Habibah. Suaminya wafat di Habsyi. Sebagai penghargaan terhadap keteguhan imannya, Rasulullah Saw menikahinya dengan mengirimkan mas kawinnya ke Habsyi, sebanyak 400 dinar. Jadi, pernikahan Rasulullah Saw dengan Ummi Habibah, terjadi di Habsyi dengan perantaraan wakilnya, raja Najasi. Setelah akad nikah dilaksanakan, Ummi Habibah kembali ke tanah Arab, ke Madinah. Masuk ke rumah tangga Rasulullah Saw. Kota Madinah menyambut kedatangannya dengan meriah. Utsman bin Affan mengadakan walimah besar-besaran.
10) Siti Shafiyah r.a.
Siti Shafiyah, putri Hayi pemimpin kabilah Yahudi Bani Nadlir, janda Kinanah ibnu Abil Huqoiq, yang gugur dalam perang Khaibar dalam tahun ke 7 Hijrah. Kaum Yahudi dapat ditaklukkan, dan benteng Khaibar dihancurkan. Ketika peperangan sedang berkecamuk, Siti Shafiyah ditawan oleh pasukan Islam. Setelah peperangan berakhir, Siti Shafiyah dimerdekakan, kemudian dinikahi oleh Rasulullah Saw, dengan maksud, agar kaum Yahudi mengakhiri kerusuhannya, dan tertarik hatinya kepada Islam.
11) Siti Maimunah r.a.
Siti Maimunah, putri Al Hilaliyah, adalah kerabat istri Abbas bin Abdul Muthalib. Ia seorang janda miskin, yang usianya lebih dari 50 tahun ketika dinikahi oleh Rasulullah Saw. Siti Aisyah menerangkan bahwa, Siti Maimunah adalah seorang wanita yang takwa, dan suka memperhatikan silaturahmi. Dari pernikahan ini, dapat ditarik ke dalam barisan Islam, dua tokoh kafir Quraisy, yaitu, Kholid bin Walid, dan Abdullah ibnu Abbas. Pernikahan Rasulullah Saw dengan Siti Maimunah, terjadi dalam tahun ke 7 Hijrah, sebelum kaum kafir Quraisy melanggar perjanjian damai Hudaibiyah.
12) Mariyah r.a. Pada tahun ke 7 Hijrah, Rasulullah Saw, mengirimkan surat-surat dakwah, kepada raja-raja di sekitar tanah Arab, seperti: Kaisar Romawi di Syria, Muqouqis, raja Romawi di Mesir, dan sebagainya, yang isinya, agar raja-raja itu memeluk Islam. Surat kepada Muqauqis disampaikan oleh Hatib Ibnu Abi Balta’a. Muqauqis menerima utusan Rasulullah Saw itu, dengan penuh hormat, dan menyimpan surat itu baik-baik 40), yang disimpan dalam peti nan indah, yang akhir-akhir ini telah diketemukan lagi. Meskipun Muqauqis tak mau memeluk agama Islam, tetapi ia mengirimkan hadiah untuk Rasulullah Saw. Hadiah itu antara lain berupa, seekor bagal, tim dokter, dan dua orang gadis bangsa Qobti (Mesir). Seorang bernama Mariah (lengkapnya Mariatul Qibtiyah) dan adiknya, bernama Sirin. Mariyah yang kedudukannya sebagai Jariah, sama dengan budak, diangkat derajatnya oleh Rasulullah Saw, dalam deretan ummahatul mukminin, ibu orang-orang beriman.
Pernikahan Rasulullah Saw dengan Mariyah, menghidupkan kembali hubungan lama antara Mesir dengan Jazirah Arab sejak Nabi Ibrahim alaihis salam, nenek moyang bangsa Arab. Dengan Mariyah, Rasulullah Saw, memperoleh seorang putera bernama Ibrahim. Tetapi sayang, Ibrahim telah wafat, dalam usia kurang dari dua tahun. Inna lillahi wa-inna ilaihi rojiun.
DAFTAR SUMBER KUTIPAN DAN KETERANGAN
1. Nabi Luth dituduh berbuat mesum diuraikan dalam kitab Kejadian sebagai berikut. “Maka Lut itupun keluarlah dari negeri Zoar, lalu pergi diam di gunung serta dengan kedua anaknya perempuan, karena takutlah ia duduk dalam Zoar; maka diamlah ia serta dengan kedua anaknya dalam sebuah gua. Maka kata anak yang sulung itu kepada yang bungsu: Bapa kita sudah tua, dan seorang laki-laki juapun tiada dalam negeri ini akan duduk dengan kita seperti adat segala dunia. Marilah kita beri minum air anggur kepada bapa kita, lalu kita berseketiduran dengan dia supaya dapat kita memelihara anak buah daripada bapa kita. Maka pada malam itu diberinyalah akan bapanya minum air anggur, lalu yang sulung itupun berseketiduranlah dengan bapanya, maka tiada bapanya sadar bilakah ia berbaring dan bilakah ia bangun.1 Maka pada keesokan harinya kata yang sulung kepada yang bungsu: Bahwa semalam aku telah berseketiduran dengan bapaku, marilah kita beri minum air anggur lagi akan dia pada malam inipun, dan pergilah engkau pun berseketiduran dengan dia, supaya kita memeliharakan anak daripada bapa kita.” (Kejadian 19:30-35).
Lagi suatu uraian keji terhadap nabi Allah, Daud, dapat kita baca dalam kitab Semuel yang kedua 11:2-5 sebagai berikut: “Maka sekali peristiwa pada waktu petang hari bangunlah Daud dari atas peraduannya, lalu berjalan pergi datang di atas sotoh istana baginda, tiba-tiba terlihatlah baginda dari atas sotoh itu akan seorang perempuan tengah mandi; adalah perempuan itu sangat elok parasnya.
Maka di suruhnya Daud bertanyakan hal perempuan itu, lalu sembah oranglah: Bahwasanya inilah Batsyeba, anak Eliam, bini Uria, orang Heti itu. Maka disuruhkan Daud akan orang pergi menjemput dia; setelah sudah ia masuk menghadap baginda, maka bersetubuhlah baginda dengan dia (adapun perempuan itu baharu ia menyucikan dirinya daripada kain cemarnya). Setelah itu maka pulanglah perempuan itu ke rumahnya. Maka mengandunglah perempuan itu, lalu disuruhnya memberitahu hal itu kepada Daud, sembahnya: Bahwa patik ini ada mengandung.”
Kisah yang mencemarkan kesucian para Nabi Allah itu disanggah oleh Allah dengan perantaraan Al Quran, firman-Nya yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw.
Tentang kesucian Luth diterangkan dalam surat Al Ankabut: 31-34 dan surat Al Hijr: 61-64, dan lain-lain. Dalam Al Hijr: 64 dikatakan jelas bahwa: “Kami datang kepada engkau dengan membawa Kebenaran, dan sesungguhnya kami adalah orang yang tulus.” Selanjutnya tentang kesucian Daud dinyatakan dalam surat Shad: 26 sebagai berikut: “Wahai Daud, sesungguhnya kami membuat engkau sebagai penguasa di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan benar, dan janganlah mengikuti keinginan rendah, agar itu tak menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah. mereka mendapat siksaan yang dahsyat karena mereka melupakan hari perhitungan.”
2. Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawi, Riyadlush-shalikin, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisi. P.T. Al Ma’arif, Bandung, cetakan ke I. jilid 1, hal 183.
3. Caci maki dan tuduhan itu dapat kita baca dalam buku-buku tentang Islam yang ditulis oleh pendeta-pendeta Kristen, misalnya dalam De Koran oleh Dr. S Keyzer, atau sering kita dengar ucapan dari mulut ke mulut dalam kehidupan sehari-hari. Penulis seringkali mendengarnya.
4. Ayat ini menyatakan bahwa: (a) Betapa setianya Rasulullah Saw, kepada wahyu yang diterimanya, dengan mengamalkan setiap petunjuk yang termuat di dalamnya. (b) Rasulullah Saw, adalah orang yang dihormati dan dimuliakan karena ketulusannya. Sebelum menerima wahyu kenabian, beliau digelari Al Amin artinya orang yang tulus atau orang yang dapat dipercaya. Ayat-ayat ini menggambarkan Rasulullah Saw, seakan-akan bersabda kepada kaumnya: Saya lama tinggal bersama kamu, sebagai orang di antara kamu. Kamu punya kesempatan untuk memperhatikan saya dari dekat sekali; kamu sudah menyaksikan ketulusan hati saya. Maka dari itu. mengapa kamu berani mengatakan, bahwa saya hari ini tiba-tiba mulai berdusta? Maka tidaklah masuk akal, orang yang tidak pernah berdusta sekalipun untuk kepentingan pribadi, tiba-tiba setelah berusia lanjut dan lemah nafsunya berkata dusta, lebih-lebih berdusta untuk Tuhan.
5. Dalam tahun ke 10 Bi’tsah, Rasulullah Saw, telah kawin pula dengan Siti Aisyah puteri Abu Bakar as Shidiq r.a. Tetapi perkawinan itu hanyalah merupakan pertunangan belaka, karena usia Siti Aisyah masih sangat muda, 9 tahun. Perkawinan sebenarnya sebagai suami istri, barulah dimulai lima tahun kemudian setelah hijrah ke Madinah dalam tahun ke 2 Hijrah.
6. Masalah perang di jalan Allah (jihad fi sabilillah) yang sering diperintahkan dalam Al Quran, merupakan sumber kesalah-fahaman yang tak kering-keringnya. Musuh-musuh Islam beranggapan bahwa Islam disiarkan dengan pedang dan peperangan Rasulullah Saw, untuk menyiarkan Islam Buku-buku fiqih pun menerangkan demikian pula, bahwa jihad itu perang untuk menyiarkan Islam. Anggapan itu tidak benar. Tak sesuai dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Menurut Quran dan Sunnah, Jihad fi sabilillah itu ada tiga macam, yaitu (a) jihad asghar, artinya jihad kecil, yaitu berperang dengan menggunakan senjata. Perang ini diizinkan, jika kaum Muslimin diserang terlebih dahulu atau dianiaya. Jadi perang ini hanyalah diizinkan untuk membela diri. Perang semacam inilah yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw, dan para sahabatnya sebagaimana dimaksud oleh ayat ini. Sejarah mencatat bahwa para musuh Islam tak mampu menindas kaum Muslimin dengan jalan penganiayaan. Mereka melihat Islam berkembang dengan pesat dalam keadaan aman di Madinah, maka mereka mengangkat senjata untuk menghancurkan Islam Oleh karena mereka tahu bahwa jumlah kaum Muslimin sedikit, mereka berfikir bahwa kaum Muslimin dapat dihancurkan dengan senjata. Penyerangan mereka untuk menghancurkan Islam diterangkan dalam ayat berikutnya: “Dan mereka tak akan berhenti bertempur melawan kamu sampai mereka membalikkan kamu dari agama kamu jika mereka dapat” (Q.S. Al Baqarah:217). Oleh karena itu, kaun Muslimin diperintahkan mengangkat senjata untuk membela diri dari serangan musuh. (b) Jihad kabir artinya Jihad besar, yaitu jihad menyebar luaskan Islam. J?hac semacam ini telah diperintahkan sejak zaman permulaan Islam di Mekkah. Allah berfirman sebagai berikut: “Maka janganlah engkau menuruti kaum kafir dan berjuanglah (berjihadlah) dengan (Al Quran) ini dengan perjuangan yang besar (jihad kabira).” (Q.S. Al Furqon: 52). Jihad semacam ini dikerjakan oleh Rasulullah dan sahabatnya sejak di Mekah sampai hijrah ke Madinah Jihad semacam ini wajjb dikerjakan oleh setiap umat Islam sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam setiap keadaan. (c) Jihad akbar, artinya jihad terbesar, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang bersarang dalam diri manusia. Jihad akbar itu hanya dapat dilaksanakan dengan senjata petunjuk Al Quran, dzikir kepada Allah dan berbakti kepada-Nya
7. Rasulullah Saw., tidak hanya teladan yang paling baik bagi orang-orang mukmin saja, melainkan pula bagi orang yang benar-benar menghayati akan keEsaan Tuhan dan sangat mendambakan bertemu dengan-Nya; dan juga bagi orang-orang yang benar-benar berbuat baik yang mendambakan pahala dihari akhir. Jika ada seseorang yang menyatakan diri sebagai penemu ajaran kebaikan dan kebenaran itu pendusta. Orang semacam itu belum pernah membaca Al Quran dan riwayat Muhammad Rasulullah Saw.
8. Allah berfirman dalam surat Al Bara-ah 122, sebagai berikut: “Dan janganlah kaum mukmin pergi semuanya (ke medan pertempuran). Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan di antara mereka, agar mereka dapat mengusahakan diri untuk memperoleh pengetahuan agama, dan agar mereka dapat memberi ingat kepada kaum mereka kembali kepada mereka, agar mereka berhati-hati.” Di tengah-tengah uraian tentang undang-undang perang, tiba-tiba Al Quran mengetengahkan masalah studi tentang agama atau pembentukan corp muballigh. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan muballigh adalah kepentingan Islam yang amat besar, karena dengan jalan tabligh sajalah Islam akan tersiar. Maka dari itu, sekalipun umat Islam sedang berjuang mati-matian menggempur kekuatan musuh yang jauh lebih kuat, namun tujuan akhir agama Islam tak boleh diabaikan. Corp muballigh itulah laskar samawi yang dipercayai untuk melaksanakan jihad kabir dan akbar.
9. Munawar Khalil, K.H., Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad Saw, jilid IV B. Penerbit Bulan Bintang. jakarta. cetakan ketiga 1969, halaman 21.
10. Ibid. halaman 22.
11. Ibid, halaman 22.
12. Baswedan, A.R., Rumah tangga Rasulullah Saw., Penerbit Bulan Bintang. Penerbit, Jakarta, 1962, halaman 5.
13. Sejarah mencatat keadaan dunia pada abad ke VI, sebagai Dark Ages. zaman kegelapan. Seorang orientalis Kristen melukiskan keadaan pada waktu itu sebagai berikut: “Dalam abad kelima dan keenam, dunia beradab berada dalam tepi kehancuran. Kebudayaan kuno yang menyentuh perasaan yang memungkinkan terjadinya peradaban, mengingat kebudayaan itu membangkitkan rasa persatuan dan rasa hormat kepada Pemerintah kini, kini telah runtuh, dan tak ada lagi yang sepadan untuk menggantikan itu. Rupa-rupanya peradaban tinggi yang pembangunannya memakan waktu empat ribu tahun kini berada di tepi jurang kehancuran, dan nampaknya umat manusia kembali kepada keadaan biadab. di mana masing-masing kabilah dan suku bangsa saling bertempur, dan dunia tak mengenal lagi undang-undang dan lata tertib. Peradaban yang ibaratnya bagaikan pohon raksasa yang daunnya menjangkau seluruh dunia.. kini terhuyung-huyung karena busuk sama sekali.” (J.H. Denison, Emotion as the Basis of Civilization, halaman. 265-268). Keadaan itu dinyatakan dalam Al Quran sebagai berikut: “Kebobrokan telah timbul di daratan dan di lautan karena usaha tangan manusia, agar la membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, sehingga mereka mau kembali.” (QS. Ar Rum: 41).
14. Hasbi As Shiddiqy, Prof. Dr. T.M., Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke IV, halaman 50.
15. Ibid, halaman 51.
16. Semua mufassir setuju bahwa ayat ini diturunkan pada waktu Rasulullah Saw., menyuruh/menganjurkan agar Siti Zainab kawin dengan Zaid anak angkat beliau. Baik Zainab maupun saudaranya sebenarnya enggan terhadap perkawinan itu. Hanya karena taat kepada ayat ini, keengganan mereka dikalahkan, dan Siri Zainab mau menerima Zaid sebagai suaminya. Ayat ini tak ada hubungannya dengan peristiwa berikutnya yang bertalian dengan perceraian Zaid dengan Zainab dan perkawinan Zainab dengan Rasulullah Saw. Perkawinan Zainab dengan Zaid yang gagal, tidaklah didasarkan atas wahyu Ilahi, melainkan hanya berdasarkan ijtihad Rasulullah Saw, sendiri.
17. Orang-orang kafir mengejek Rasulullah Saw, sebagai al abtar. Kata al abtar, berasal dari kata batr, artinya memutus atau memotong sama sekali suatu barang. Jika diterapkan bagi binatang, berarti binatang yang terputus ekornya, buntung (jawa). Jika diterapkan pada manusia, mengandung berbagai macam arti, misalnya orang yang kekurangan atau miskin, orang yang menderita rugi, orang yang tak mempunyai keturunan (lane lexicon). Karena Rasulullah Saw, tak mempunyai anak laki-laki (sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Ahzab: 40), maka beliau dianggap orang yang paling malang. Terapi dalam Al Quran justru musuh-musuh beliau (orang- orang kafir) yang dinyatakan sebagai al abtar (Q.S. Al Kautsar: 3). Dalam hal ini seolah-olah ada pertentangan. Bagaimana pemecahannya? Pemecahannya terdapat dalam bagian kedua dan ketiga surat Al Ahzab: 40. Bagian pertama ayat ini menyatakan bahwa Muhammad tak ada hubungan nasab dengan laki-laki manapun. Jadi, secara jasman/lahiriah Muhammad tak punya keturunan. Tetapi secara rohani beliau mempunyai keturunan yang banyak sekali, karena beliau utusan Allah. Setiap rasul adalah bapa rohani bagi umatnya. Silsilah kerohanian beliau berlangsung terus, tanpa kesudahan karena beliau adalah khatamun-nabiyyin, penutup para nabi. Ayat ini mengandung pula suatu ajaran bahwa hubungan rohani itu nilai lebih tinggi dan lebih mulia daripada hubungan jasmani yang sangat terikat oleh ruang dan waktu. Jika demikian terang sekali bahwa surat Al Kautsar itu mengandung suatu ramalan bahwa kaum kafir akan mengalami nasib yang sangat malang, baik di dunia maupun di akhirat.
18. Sebagian umat Islam memahami berakhirnya kenabian pada diri nabi Muhammad Saw. secara setengah-setengah. Ada yang berpendapat bahwa yang terakhir itu hanyalah pengangkatannya saja, dan mereka mengharap-harap kedatangan nabi lama, yaitu nabi Isa a.s. Yang dulu diutus kepada bani Israil. Nabi Isa kini dianggap masih hidup di langit, nanti pada akhir zaman akan turun ke dunia untuk mengislamkan orang-orang Kristen. Dan ada pula yang berpendapat bahwa, yang terakhir hanyalah mengenai syari’ atnya saja. Jadi sesudah beliau tetap akan datang nabi lagi yang diutus oleh Allah, tetapi tanpa syari’at. Dua pendapat itu bertentangan dengan ajaran Al Quran, bahwa Muhammad Saw, itu nabi yang terakh?r. Berakhirnya kenabian itu merupakan landasan utama dari kesatuan umat manusia. Jika ada nabi lagi sesudah Muhammad Saw, akan memecah persatuan tersebut.
19. Gagalnya perkawinan Zainab dengan Zaid adalah bukti bahwa Muhammad Saw, manusia biasa. Berulangkali beliau menyatakan bahwa “aku adalah manusia biasa seperti kamu sekalian.” Islam menekankan bahwa seorang nabi itu manusia biasa. Ia tak mengetahui barang gaib, tanpa petunjuk Ilahi. Dalam hal ini Allah berfirman sebagai berikut: “Katakanlah: Aku tak tahu apakah yang kamu dijanjikan itu sudah dekat, ataukah Tuhanku masih lama lagi akan menentukan itu, Yang Maha Mengetahui barang gaib, maka la tak melahirkan kegaiban-Nya kepada seorang pun, kecuali kepada utusan yang la pilih.” (Q.S. Al Jinn: 25–27).
20. Cerai dalam Islam merupakan sumber kesalahfahaman yang tak habis-habisnya. Aturan perceraian dalam Islam dasarnya adalah perikemanusiaan yang adil dan beradab, yang sifatnya jauh lebih baik dari aturan yang terdapat dalam kitab suci manapun juga. Kita lihat misalnya: dalam agama Yahudi. Syari’at Yahudi menetapkan bahwa seorang suami setiap saat dapat menceraikan istrinya tanpa suatu sebab dan istri tak diperkenankan minta cerai dengan alasan apapun juga. Dalam kitab Ulangan 24:1 kita baca keterangan sebagai berikut: “Bermula, maka apabila seorang laki-laki telah mengambil bini dan telah kawin dengan dia, bahwa sesungguhnya jikalau tiada ia berkenan akan dia, bahwa barang sesuatu kecelakaan padanya, maka hendaklah disuratkannya akan dia surat talak, diberikannya kepada tangannya, lalu disuruhnya dia keluar dari dalam rumahnya.” Agama kristen tidak mengizinkan adanya perceraian. Kita baca keterangan Yesus kristus dalam kitab Injil karangan Markus sebagai berikut: “Sebab itu, barang yang telah dijodohkan oleh Allah, janganlah diceraikan oleh manusia.” (Markus 10:9). Karena ketat dan sempitnya aturan ini, maka dalam praktek di kalangan umat Kristen sekarang, terutama di Barat, banyak pasangan yang hidup sebagai suami istri dan telah baranak banyak tetapi secara resmi belum nikah. Alhamdulillah, kita bersyukur ke hadirat Ilahi, berkat Islam dan Al Quran, kita bangsa Indonesia telah dapat membuat undang-undang perkawinan yang cukup mantap, yaitu UU No: 1. 1974. Bab VIII membicarakan putusnya perkawinan serta akibatnya. Perkawinan dapat putus karena: a) kematian, b) perceraian, dan c) atas keputusan pengadilan (pasal 38). Selanjutnya dalam pasal 39, ayat 1 dan 2 diterangkan bahwa perceraian diizinkan, asal cukup alasan. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun alau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
21. Menurut ulama fikih, bentuk perceraian itu ada tiga macam, yaitu: (1) Thalaq bid’i, yaitu menjatuhkan talak tiga sekaligus, lalu itu diartikan bahwa talak terus dijatuhkan tiga kali. (2) Thalaq hasan artinya perceraian yang baik, yaitu menjatuhkan talak kesatu pada waktu istri dalam keadaan suci pertama, lalu disusul menjatuhkan talak kedua pada waktu istri dalam keadaan suci yang kedua, kemudian disusul lagi menjatuhkan talak ketiga pada waktu istri dalam keadaan suci yang ketiga. (3) Thalaq ahsan, artinya perceraian yang paling baik, yaitu talak hanya dijatuhkan satu kali pada waktu istri dalam keadaan suci lalu diikuti dengan waktu iddah. Cara inilah yang diakui oleh Al Quran dan Sunah. Jika dilihat dari macamnya, thalaq ada dua macam, yaitu thalaq raj’i, yakni perceraian yang dapat dirujuk. Ini dapat dijatuhkan dua kali saja. Kedua ialah shalaq ba’in, yaitu perceraian yang tak dapat dirujuk, karena telah dua kali mengalami kegagalan untuk menghindarkan perceraian. Suami dapat mengambil istri lagi, jika istri telah dikawin oleh orang lain dan telah bercampur. kemudian dicerai.
22. Jika kawin lagi hukumnya zina, baik kawin dengan bekas istrinya/suaminya maupun kawin dengan wanita/pria lain. Hal ini dapat kita baca dalam Injil Matius sebagai berikut: “Aku berkata kepadamu: Barang siapa yang menceraikan bininya, kecuali sebab zina, lalu berbinikan orang lain, ialah berzinah. Dan barang siapa yang berbini perempuan yang sudah diceraikan demikian, ia pun berzinah juga.” (Matius 19:9). Ayat semacam ini terdapat pula dalam Markus 10:11-12 dan lukas 16:18.
23. Islam menolak adopsi, tetapi Islam membenarkan mengasuh anak orang lain tanpa adopsi. Islam sangat mengecam sebagai pendusta agama bagi orang yang membiarkan anak yatim. Barang Siapa yang memelihara anak yatim, berarti membangun rumah di sorga, demikian keterangan Rasulullah Rasulullah Saw
24. Ahmad Azhar Basyir, Kawin campur, adopsi, wasiar menurur Islam, ?.?. Al Ma’arif. Bandung. cetakan pertama, 1979, halaman 21.
25. Hasbi Ash Shiddiqy, Prof. Dr. T.M., Al Islam, Jilid II, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan keempat, 1977 halaman 316
26. Hasbi Ash Shiddiqy, Prof. Dr. T.M., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan keempai, 1974, halaman 55.
27. Ibid, hal. 55.
28. Sejak tahun kedua hijrah sampai akhir hayat Rasulullah Saw, telah terjadi 27 pertempuran yang langsung dipimpin nabi Muhammad Saw dan 47 pertempuran yang hanya dipimpin oleh sahabat. Dalam tahun kedua hijrah terjadi peperangan: Waddan, Buath, Badar pertama, Usyairah, Badrul Kubra, Bani Salim (Karkartul kadri) dan Qainuqa’. Dalam tahun ketiga hijrah terjadi beberapa kali peperangan, yang terpenting ialah perang Ghatfan dan perang Uhud. Selanjutnya dalam tahun keempat hijrah, yang terpenting ialah: perang Bani Nadlir, perang Dzatirriqa’ dan perang: Dumatil Jandal, bani Musthaliq atau perang Muraisi’, perang Khandaq atau perang Ahzab dan perang Ban? Lihyan, perang Al Ghabah dan Hudaibiyah. Dalam tahun ketujuh Hijrah terjadi perang: Kaibar, Wadil Qura’ dan Fadaka. Dalam tahun kedelapan terjadi perang: Muktah, perang Dzatus-sasil, Fathul Makkah, perang Hunain dan perang Thaif. Akhirnya dalam tahun kesembilan terjadi pula beberapa kali peperangan, tetapi yang terpenting hanyalah perang Tabuk saja. Tahun kesepuluh sudah tiada lagi peperangan. Poligami Rasulullah Saw, dilakukan dalam tahun kedua sampai kedelapan Hijrah, sampai dengan turunnya ayat yang menerangkan batas jumlah istri empat orang.
29. Kenyataan ini membuktikan kebenaran ramalan Rasulullah Saw, bahwa pada zaman akhir Dajjal akan meraja-lela dan fitnahnya memenuhi bumi, Dalam kitab Misykat, karya Syaikh Waliyuddin Muhammad bin Abdillah Jilid 11, hal. 473 kita baca ramalan Rasulullah Saw, sebagai berikut: “Sesungguhnya ia (Dajjal) akan datang dengan membawa semacam sorga dan neraka, dan apa yang ia katakan sorga sebenarnya neraka.” Dalam kitab Kanzul Ummal terdapat pula banyak ramalan, misalnya dalam Kanzul Ummal jilid VII, hal. 2079, Rasulullah Saw menjelaskan sebagai berikut: “Sungguh ia akan membawa sorga dan neraka. Adapun neraka Dajjal ialah sorga dan sorga Dajjal ialah neraka Maka barang siapa diuji dengan neraka Dajjal, hendaklah ia menutup akan dingin dan damai.” Uraikan lebih lanjut tentang masalah ini dapat kita baca dalam buku Dajjal, Ya’juj wa Ma’juj, karya Maulana Muhammad Ali M.A. LL.B.
30. S. Ali Yasir, S., Sorga di bawah telapak kaki ibu, Pusara, No: 4 bulan April 1980, hal. 145-147.
31. Muammal Hamidy. Perkawinan dan persoalannya, bagaimana pemecahannya dalam Islam, Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hal. 11-12.
32. Allah Swt, dalam Al Quran surat (2) Al Baqarah: 35-36 menerangkan sebagai berikut. “Dan Kami berfirman: Wahai Adam, tinggallah engkau dan istri kau di Taman, dan makanlah di sana (makanan) yang berlimpah- limpah mana saja yang kamu sukai, dan janganlah dekati pohon ini, agar kamu tak tergolong orang yang lalim. Akan tetapi setan membuat mereka tergelincir dari sana, dan menyebabkan mereka keluar dari keadaan yang mereka ada di dalamnya.” Menurut ayat-ayat ini yang tertipu adalah kedua- duanya, Adam dan Hawa, bukan hanya Hawa saja sebagaimana ditulis oleh Paulus. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedudukan pria dan wanita itu sama. karena keduanya diciptakan dari jenis yang sama (Q.S. An Nisa’: 1). Oleh karena itu hak-haknya juga sama (Q.S. Al Baqarah: 228).
33. Paulus nama aslinya Saul adalah orang Yahudi Tarsus (Kisah rasul-rasul 21:39), ibunya orang Romawi (Kis. 22:25). Lahir kira-kira 2 tahun sesudah Masehi. Jadi 8 tahun lebih muda dari nabi Isa a.s., karena nabi Isa a.s. dilahirkan tahun 6 sebelum Masehi. Dr. H. Th. Obbink menggambar tampang Paulus sebagai berikut: “Badannya kecil, kepalanya botak, kaki bengkok, hidungnya panjang menonjol dan alis gandeng.” la memiliki pikiran yang tajam, lancar bicara dan kadang-kadang suka cemoohkan yang pedas. Sejak muda ia sangat tertarik kepada kebudayaan Yunani (Hellenisme) terutama pelajaran filsafatnya yang pada waktu itu sedang berpengaruh di masyarakat. Dalam lingkungan keluarga ia termasuk golongan Yahudi, suku Benyamin yang suka berperang, bermadzhab Parisi yang sangat ketat melakukan hukum Taurat secara lahiriah. Sudah barang tentu dua pandangan hidup itu mempengaruhi dirinya, Paulus hingga matinya (dibunuh) tidak pernah kawin dan badannya kurang sehat, sering mengganggu tablighnya (ENSIE jilid I). Pendeta Henry H. Hally menerangkan tentang kesehatan Paulus dalam buku Penuntun ke dalam Perjanjian Baru (th. 1964) bagian 11. hal. 149 sebagai berikut: “Beberapa ahli Al kitab mengatakan bahwa itu penyakit ayan, yang lain berpendapat bahwa itu adalah pening hebat yang timbul sewaktu-waktu secara mendadak. Tetapi pandangan yang umum dianggap paling benar mengatakan bahwa itu adalah penyakit radang di mata yang menahun (chronic opthalmia) yang bukan saja terasa di mata, melainkan kadang-kadang juga dapat menyebabkan orang merasa ngeri apabila melihat si penderita itu,” Dilihat dari segi lingkungan masyarakat, keluarga, keadaan jasmani dan karakter pribadinya jelas sangat besar pengaruhnya dalam ajaran-ajarannya, yang tersebar dalam kisah rasul-rasul dan 14 surat kiriman dari Paulus
34. Bertobatlah Paulus dari seorang lawan secara tiba-tiba menjadi “rasul utama agama kristen diterangkan oleh Lukas sahabatnya sebagai berikut: “Maka Saul yang sedang menyemburkan ugut dan bunuhannya ke atas murid-murid Tuhan itu, sudah pergi kepada Imam Besar. meminta daripadanya beberapa pucuk surat kuasa hendak membawa ke rumah sembahyang di negeri Damsyik, supaya jikalau dijumpainya orang yang menurut jalan agama itu, baik laki-laki baik perempuan, dibawanya berikut ke Yerussalem Sedang ia berjalan dekat dengan Damsyik, tiba-tiba memancarlah suatu cahaya dari langit sekeliling dia; maka rebahlah ia ke tanah, lalu didengarnya suatu suara yang mengatakan kepadanya: “Saul. Saul, apakah sebabnya engkau aniayakan Aku?” Maka sahurnya. “Siapakah engkau. ya Tuhan?” Maka ia pun bersabda Akulah Yesus, yang engkau aniayakan. Bangkit dan masuklah ke dalam negeri, di sana akan dikatakan kepadamu barang yang wajib engkau perbuat.” (Kisah 9:1-6). Anehnya. Paulus setelah menerima wahyu itu tidak terus berda’wah seperti halnya para nabi utusan Allah. Tetapi ia istirahat dulu selama 10 tahun di Tarsus. Kemudian setelah melakukan da’wah tidak bersama-sama dengan murid-murid Isa yang dikenal sebagai kaum Hawariyyin yang dipimpin oleh Yakobus dan Petrus, tetapi justru melawannya dan menyampaikan Injil kepada orang-orang kafir di luar Israil dengan membawa ajaran yang bertentangan dengan ajaran nabi Isa dan murid-muridnya. Menurut ENSIE jilid 1, muka 326, perbedaan antara ajaran Paulus dengan nabi Isa as, ialah:
1) Nabi Isa selalu mementingkan dalam khothah-khotbahnya akan kedatangan kerajaan Allah yang akan datang. Sedangkan Paulus menitik beratkan pada kedatangan kembali nabi Isa itu sendiri.
2) Nabi Isa tidak pernah membicarakan tentang dosa warisan. Sedangkan Paulus ada mengajarkan hal dosa warisan ini (Rum 5:12).
3) Nabi Isa mengajarkan tentang pengampunan dari Tuhan atas dasar penyesalan dan tobat sungguh-sungguh pada perkataan dan perbuatan manusia serta dasar adanya ke Maha pengampunan dari Tuhan sendiri. Sedangkan Paulus menyandarkan pengampunan Tuhan pada penyaliban dari nabi Isa.
35. Syed Amer Ali, Api Islam jilid II, alih bahasa H.B. Yassin, P.T. Pembangunan, Jakarta, cetakan kedua, 1967, hal. 116.
36. Mahar atau maskawin diwajibkan dalam Islam tidaklah merendahkan derajat kaum wanita, tetapi justru sebaliknya mengangkat derajat kaum wanita, karena mahar menyebabkan setiap kaum wanita yang memasuki hidup berumah tangga memiliki sedikit kekayaan.
37. Ayat selengkapnya berarti sebagai berikut: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami menghalalkan kepada engkau istri-istri engkau yang telah engkau beri maskawin, dan apa yang dimiliki oleh tangan kanan dikau di antara mereka yang Allah berikan kepada engkau sebagai tawanan, dan pula anak perempuan paman engkau dari ayah, dan anak perempuan paman dikau dari ibu, dan anak perempuan bibi engkau dari ibu yang hijrah bersama-engkau; dan pula wanita mukmin jika ia menyerahkan dirinya kepada nabi, jika Nabi menghendaki kawin dengan dia, (ini) khusus bagi engkau, bukan bagi kaum mukmin. Kami tahu apa yang Kami tetapkan bagi mereka mengenai istri mereka dan apa yang dimiliki oleh tangan kanan mereka, agar tak ada cacat sama sekali bagi engkau, Dan Allah senantiasa Yang Maha pengampun, Yang Maha pengasih.” (Q.S. Al Ahzab 50).
38. Selengkapnya ayatnya berbunyi sebagai berikut (artinya): “Engkau boleh menangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antara mereka (para istri), dan engkau boleh pula menggauli siapa yang engkau kehendaki. Dan siapa saja yang engkau kehendaki di antara mereka yang untuk sementara telah engkau ceraikan, tak ada cacat bagi engkau. Ini adalah lebih baik, agar penglihatan mereka menjadi sejuk dan mereka tak akan merasa sedih lagi, dan agar mereka merasa puas semuanya tentang apa yang engkau berikan kepada mereka. Dan Allah tahu apa yang ada dalam hati kamu. Dan Allah senantiasa Yang Maha tahu. Yang Maha Penyantun.” (Q.S. Al Ahzab: 51).
39. Selengkapnya ayatnya berbunyi sebagai berikut (artinya): Sesudah itu, engkau tak diperbolehkan lagi mengambil istri, dan tak (diperbolehkan pula) menukar mereka dengan istri yang lain, walaupun kemolekan mereka amat mengagumkan engkau, kecuali apa yang dimiliki oleh tangan kanan dikau. Dan Allah senantiasa Yang berjaga-jaga terhadap segala sesuatu.” (Q.S. Al Ahzab: 52).
40. Surat Rasulullah Saw, kepada Muqauqis itu isinya sebagai berikut:
Artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha pengasih Maha penyayang Deri Muhammad bin Abdillah, kepada Muqauqis, raja Mesir, Selamatlah orang yang mengikuti petunjuk. Sesudah itu: Saya mengajak anda dengan seruan Islam. Masuk Islamlah agar anda selamat, dan Allah memberikan pahala dua kali. Tetapi jika anda berpaling, maka tanggungan bapaklah dosa dari semua bangsa Qibshy. Wahai ahli kitab, marilah menuju ajaran yang sama di antara kami dan kamu, yaitu agar kita jangan menyembah selain kepada Allah, dan jangan kita jadikan sebagian di antara kita menjadi Tuhan dari sebagian yang lain, jika kamu berpaling, maka katakanlah: Saksikanlah, bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam.”
Comment here