Puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala, karena kita sekalian dipanjangkan usia dan disampaikan dalam penghujung tahun menurut perhitungan Kalender Hijriyah. Hari-hari ini, kita memasuki bulan Dzulhijjah, bulan ke-12 atau urutan bulan yang terakhir dalam Kalender Hijriyah.
Bulan Dzulhijjah ini, dengan demikian, seakan menjadi momentum akumulasi daripada pencapaian kita dalam satu tahun perjalanan pengabdian kita kepada Allah, baik dalam aspek jasmani atau duniawi, terlebih lagi dalam aspek ruhani dan ukhrawi.
Perayaan kesyukuran atas sukses pencapaian itu secara simbolis kita wujudkan dalam pelaksanaan ibadah haji maupun ibadah kurban, yang berpuncak di Hari Raya Idul Adha sebagaimana kita selenggarakan kemarin atau kemarin lusa, dan hari-hari ini masih kita rasakan semangat dan nuansanya.
Karena itu, di penghujung tahun ini, sudah selayaknya kita senantiasa menghiasi hari-hari kita dengan memuji kebesaran dan keagungan Allah, melalui tasbih, tahmid, dan takbir: Allaahu akbar, allaahu akbar, allaahu akbar, kabiiraa walhamdulillaahi katsiiraa, wasubhaanallaahi bukrataw wa ashillaa. Allaahu akbar, allaahu akbar, allaahu akbar, walillaahil hamd.
Kita agungkan kebesaran Allah Yang Maha Agung, sebagai rasa syukur atas berbagai karunia nikmat rohani-jasmani, duniawi sekaligus ukhrawi, yang kalau kita hitung-hitung tak mungkinlah kita bisa menghitungnya. Wa in ta’udduu ni’matallaahi laa tuhsuuha.
Selain mengucap rasa syukur yang tiada terkira, marilah juga kita tingkatkan ketaqwaan kita ke hadirat Allah Ta’ala. Karena hanya dengan takwa sajalah, kita menjadi bernilai di mata Allah SWT.
Lagipula, ukuran kesuksesan kita di mata Allah, menurut ajaran Qur’an Suci dan Rasulullah saw., tiada lain dan tiada bukan adalah ketaqwaan kita. Inna akromakum indallaahi atqookum. Sungguh, tiada manusia yang mulia di dalam pandangan Allah kecuali mereka yang bertaqwa kepada-Nya.
Dan bukankah, seluruh rangkaian ibadah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala, sepenuhnya adalah semata sarana bagi kita untuk meningkatkan ketaqwaan kita.
Shalat, puasa, zakat atau sedekah, termasuk ibadah haji dan qurban, yang hari-hari ini diselenggarakan oleh sebagian saudara kita yang dikaruniai kemampuan untuk menetapinya, adalah sarana bagi peningkatan ketakwaan manusia kepada Sang Pencipta.
Menapaktilasi Kesalehan Keluarga Ibrahim
Dalam kaitannya dengan Qurban, secara khusus kita bisa baca firman Allah dalam QS Al-Hajj ayat 37: Lan yanaalallaahu luhuumuhaa walaa dimaaa-uhaa, walaakin yanaaluhut-taqwaa minkum. Sungguh, dagingnya dan darahnya tak sekali-kali mencapai Allah. Tetapi yang mencapai Dia ialah ketakwaan kamu.
Idul Adha atau Idul Qurban kita rayakan sejatinya dalam rangka mengenang pengorbanan terbesar Nabi Ibrahim a.s., sekaligus juga mengingatkan kita pada keberserahan diri putranya, Ismail a.s., pada perintah Allah, serta keridlaan Ibunda Hajar untuk tunduk patuh pada kehendak Allah Ta’ala.
Ibrahim dan Siti Hajar tunduk patuh kepada perintah Allah, dan secara suka rela mengorbankan satu-satunya anak laki-laki yang amat mereka cintai. Demikian pula Ismail, ia berserah diri sepenuhnya, dan secara tulus ikhlas menyediakan diri untuk dikorbankan, semata-mata untuk mematuhi perintah Allah Ta’ala, sekaligus sebagai wujud bakti kepada kedua orangtuanya.
Ismail memang pada akhirnya tidak jadi dikurbankan, tetapi diganti dengan ternak sembelihan. Tetapi, ketulusan, keihklasan, kepatuhan dan ketundukkan mereka bertiga dalam pengabdian kepada Allah, tetap diberi ganjaran yang istimewa dari sisi Allah Ta’ala.
Keikhlasan dan kepatuhan mereka bertiga pada perintah Allah itulah, yang membuat mereka menjadi teladan yang layak untuk diikuti semua orang beriman, sebagaimana diisyaratkan Allah Ta’ala dalam firmannya, yang termaktub dalam QS Al-Mumtahanah ayat 4: Qod kaanat lakum uswatun hasanatun fii ibraahiima walladziina ma’ahuu. Sungguh, bagimu ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.”
Apakah “Ismail” Kita?
Di hari menjelang dan sesudah Hari Raya Idul Adha, dalam berbagai grup whatsapp beredar postingan yang berisi ungkapan entah dari siapa, yang berbunyi demikian:
“Setiap kita adalah ‘IBRAHIM’ dan setiap Ibrahim punya ‘ISMAIL.’Ismailmu mungkin adalah ‘HARTAMU.’ Ismailmu mungkin adalah ‘JABATANMU.’ Ismailmu mungkin adalah ‘GELARMU.’ Ismailmu mungkin adalah ‘EGOMU.’Ismailmu adalah sesuatu yang engkau ‘SAYANGI’ engkau CINTAI teramat sangat dari apa-apa yang ada dunia ini, sehingga engkau ‘PERTAHANKAN’ sedemikian rupa dengan segala cara!
Sungguh, Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa ‘KEPEMILIKAN’ terhadap Ismail, karena hakekatnya semua adalah milik Allah.”
Ungkapan di atas, jika kita terima dengan akal fikiran dan hati yang jernih, akan begitu menyentuh perasaan dan menusuk relung kalbu kita. Ungkapan itu seakan mengingatkan kita betapa kita ini masih sering tertipu oleh “rasa memiliki” atas segala sesuatu di dunia ini, yang sesungguhnya dan sejatinya bukan milik kita.
Anak-Istri, harta benda, jabatan, gelar, dan segala status sosial kita sejatinya bukanlah hak milik kita. Tetapi semata-mata hak milik Allah. Bahkan diri kita sendiri pun bukanlah milik kita, melainkan milik Allah Ta’ala. Kita hanya dipinjami, kita hanya diamanati, untuk kemudian pada akhirnya harus kita kembalikan kepada yang punya, yakni Allah Sang Pemilik segala sesuatu.
Karena itu, kita diperintah untuk menyembelih “rasa kepemilikian” kita atas segala sesuatu yang kita cintai, sebagaimana Ibrahim dan Siti Hajar diperintah untuk menyembelih Ismail yang amat mereka cintai melebihi apapun juga.
Hewan ternak yang kita jadikan kurban sembelihan adalah perlambang sosok makhluk yang berpasrah diri dan tunduk patuh pada kehendak sang khalik, meski bahkan harus dikorbankan dan kehilangan nyawa demi kepentingan sang tuan gembalanya.
Begitu pula kita sebagai manusia, hakikatnya kita ini ibarat hewan ternaknya Allah, hamba sahayanya Allah, yang digembalakan di dunia ini, dicukupi segala kebutuhan kita, sandang pangan papan dan lain sebagainya, bahkan termasuk kebutuhan-kebutuhan ruhaniah kita.
Sehingga sesungguhnya, jikalau Allah berkehendak, Ia bisa meminta kepada kita untuk menyerahkan bukan hanya apa yang kita cintai, melainkan juga bahkan nyawa kita.
Tetapi, atas karunia pemberian Allah yang tak habis-habisnya kepada kita itu, Allah hanya meminta kita untuk mengabdi kepadanya, antara lain dalam rupa shalat dan kurban. Innaa a’thaynaakal-kautsar. Fa shallii li rabbika wanhar. “Sungguh telah kuberikan kepadamu karunia kebaikan yg berlimpah ruah, maka berdiri shalatlah engkau kepada Tuhanmu, dan berkurbanlah.”
Sekali lagi, marilah kita teladani jejak langkah Ibrahim dan Ismail dalam ketulusan pengabdian kita kepada Allah, Sang Pemilik Hajat Hidup kita. Dan marilah kita bermohon, supaya Allah SWT berkenan menganugerahkan kepada kita semua, KESHALIHAN seperti layaknya kesalehan Ibrahim, dan KEIKHLASAN selayaknya keikhlasan Ismail, dalam jalan panjang pengabdian kita kepadaNya.
Dan marilah untuk kesekian kalinya kita mengucap syukur atas nikmat karunia Allah yang telah kita dapatkan sepanjang usia kita, sejak kita dilahirkan hingga saat sekarang ini, dan insya allah sampai kita kembali pulang, kembali ke pangkuan sang pemilik sejati hidup kita, yakni Allah SWT.
Sehingga, saat kita dipanggil kembali ke pangkuanNya, saat kita kembali ke rumah sejati tempat kita semua berasal, yakni baitullah, atau rumah Allah, kita bersuka cita dan bergembira, seraya berseru kepadaNya:
Labbaik allaahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaiik. innal hamda wan ni’mata laka walmulk.
Aku datang ya Allah, aku datang memenuhi panggilanMu, aku datang memenuhi kerinduanku kepadamu. Aku datang kepada engkau yang maha memiliki segala pujian dan kemuliaan. Aku datang kepada engkau yang maha kuasa memiliki raga dan jiwaku.
Semoga kita semua husnul khatimah. Kembali pulang kepada Allah sebagai sebaik-baiknya hamba yang dicintaiNya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Tulisan di atas adalah intisari Khutbah Jum’at oleh Asgor Ali di Masjid Margi Utami Pare pada Jum’at, 30 Juni 2023 (Sehari pasca Idul Adha 1444 H)
Comment here