Hampir tidak ada orang yang tahu: bulan Agustus kemarin sedianya akan berkunjung ke Indonesia Hazrat Hafiz Nazir Ahmad, Khalifah ke III dari Jemaat Ahmadiyah Qadian yang berpusat di Rabwah, Pakistan.
Bisa difahami bila tokoh itu akhirnya tidak muncul. Di Pakistan sendiri, beberapa pergolakan terjadi dalam hubungannya dengan aliran tersebut.
Bermula dari salah satu rekomendasi Konperensi Organisas-Organisasi Islam Se-Dunia di Mekah bulan April yang lalu – yang menyatakan Ahmadiyah Qadiani sebagai jemaat yang berada di luar agama Islam – kelompok mayoritas di Pakistan menuntut kepada Presiden & PM Ali Bhutto agar untuk jabatan pemerintahan dan militer, porsi kaum Qadiani disesuaikan dengan status mereka sebagai minoritas menurut undang-undang.
Demonstrasi-demonstrasi terjadi ketika Bhutto dianggap ragu-ragu. Bentrokan-bentrokan pecah. Bermula di Rabwah, dibangkitkan oleh sekelompok mahasiswa dari luar kota yang turun di stasiun kereta api, seperti disiarkan Illustrated Weekly of India Juli yang lalu. Bhutto menuduh India dan Afghanistan sebagai yang telah membangkitkan kerusuhan.
Dan hari Sabtu-Minggu lalu, radio Pakistan yang berhasil dimonitor menyiarkan beritanya dalam bahasa Urdu: Sikap Parlemen Pakistan terhadap Ahmadiyah Qadian yang tidak berbeda dengan keputusan para ulama di Mekah.
Itulah yang terjadi di sana. Dan syukurlah tidak terjadi di sini. Sebab di Indonesia, sejak sebelum perang, telah berkembang pula Ahmadiyah, baik aliran Qadian maupun Lahore.
Laporan Tempo Kali ini bukan terutama ditekankan pada ajaran masing-masing dalam perbandingannya dengan faham kaum muslimin umumnya. Kami anggap lebih penting dari itu ialah usaha mencatat perkembangan alam pemikiran keagamaan di Indonesia – sebagai satu bagian dari sejarah kita – di mana ajaran Ahmadiyah ternyata mempunyai bekas yang bisa diraba, meskipun nyaris tak pernah disinggung.
Ini adalah sekedar sumbangan bagi pencatatan seperti yang telah dilakukan oleh satu-dua sejarawan: barangkali sebuah album.
Dan pekerjaan itu dilakukan oleh Syu’bah Asa, sudah tentu. Meneliti berbagai sumber, Syu’bah merasa harus berterima kasih kepada tokoh-tokoh Ahmadiyah Qadian maupun Lahore, yang telah memberi banyak bahan yang kalau tak salah belum pernah ditemui.
Sebagaimana juga tokoh-tokoh lain di luar jemaat-jemaat tersebut, nama-nama sumber hanya sedikit kami cantumkan – sebagian berdasar penolakan mereka sendiri.
Syu’bah dibantu oleh reporter DS Karma dalam setiap wawancara – dan juga reporter Mansur Amin – dan Karma sendiri untuk keperluan itu juga pergi ke museum.
Maaf karena dalam dua nomor ini karena laporan utama panjang, maka rubrik-rubrik surat-surat ditangguhkan. Mudah-mudahan dalam bulan puasa laporan kali ini cukup cocok.
Selamat membaca sambil berpuasa.[]
Comment here