Perjalanan kita sampai ke bulan Ramadhan lagi. Tetapi Ramadhan tahun ini tentu bukan Ramadhan yang pernah kita lewati pada tahun-tahun yang lalu.
Kalau kita menganggap Ramadhan tahun ini sama dengan Ramadhan tahun lalu, berarti kita hanya berjalan memutar. Orang yang berjalan berputar-putar tidak akan pernah bisa sampai ke tujuan.
Lantas, ke manakah arah tujuan hidup kita seharusnya?
Menurut Al-Quran, tujuan perjalanan hidup kita adalah Tuhan. Karenanya, kita harus berjalan menuju Tuhan.
Di ayat terakhir Surat Al-Insyirah dinyatakan, wa ilaa rabbika farghab, “dan jadikanlah Tuhan dikau sebagai satu-satunya tujuan.”
Di kalimat penutup ayat 14 Surat Ali Imran juga dinyatakan, wallaahu ‘indahuu husnul ma‘aab, “dan Allah, di sisi-Nya adalah tujuan (hidup) yang baik.”
Bukankah sebagai seorang muslim yang rajin sholat, kita tak pernah bosan melantunkan doa, ihdinash-shiraathal mustaqiim, memohon kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus, agar lebih cepat sampai ke tujuan perjalanan kita?
Boleh dikata, jalan yang lurus pasti jarak tempuhnya lebih dekat ketimbang jalan yang berbelok-belok, apalagi berputar-putar.
Kita ingin segera sampai di tujuan akhir perjalanan kita. Tentu selagi kita masih hidup di dunia ini, tidak harus menunggu ajal menjemput.
Nabi Suci saw. sudah mencapai tujuan itu ketika masih hidup. Peristiwa Mi’raj beliau menggambarkan dengan jelas tentang hal itu.
“Dan ia berada di daerah cakrawala yang paling tinggi, lalu ia mendekat dan bertambah dekat lagi, maka ia berjarak dua busur atau lebih dekat lagi.” (QS 53:7-9)
Bukti bahwa Nabi Suci saw. telah sampai ke tujuan perjalanan hidup beliau di sisi Allah, Allah menyambut kedatangan beliau dengan ucapan:
Assalaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh, “Salam (damai) bagimu wahai Nabi, dan rahmat Allah serta berkat-Nya, akan selalu menyertaimu.”
Orang-orang lain yang tergolong ‘ibaadillahish-shaalihiin, yaitu para shiddiqin, syuhada dan shalihin pasti juga sudah mencapai itu.
Mereka adalah orang-orang yang memperoleh nikmat Allah (QS 4:69), berupa petunjuk untuk menemukan jalan lurus dalam perjalanan hidup mereka menuju ke hadirat-Nya (QS 1:6).
Kita semua juga dijanjikan oleh Allah untuk bersama-sama mereka, kalau kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 4:69).
Atau dengan bahasa lain, kita bisa menjadi seperti mereka, kalau kita sudah melakukan segala kebaktian, baik dengan ucapan maupun perbuatan, demikian pula pengorbanan harta benda hanyalah untuk Allah semata: attahiyyatulillah, wash-shalawatu wath-thayyibah.
Dalam QS 9:112 dan 66:5, orang yang berpuasa disebut sa’ih, artinya “orang yang tengah melakukan perjalanan”.
Orang yang berpuasa sedang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya, seperti makan dan minum.
Dalam keadaan lapar dan haus, yang secara sengaja dilakukan untuk memenuhi perintah Allah, akan tumbuh kesadaran batin, kesadaran akan kebergantungan kita kepada Allah, kerinduan yang menggebu-gebu untuk bertemu dengan Dia, satu-satunya tujuan perjalanan hidup kita.
Karena itu, puasa yang sungguh-sungguh, akan memunculkan kerinduan untuk cepat-cepat bertemu dengan Allah. Sebab, dari situlah sumber muaranya segala doa kita mendapat jaminan bakal dikabulkan oleh-Nya.
QS 2:186 dengan jelas menggambarkan hal itu.
“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, sungguh Aku ini dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang memohonkan permohonannya itu kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku, dan beriman kepada-Ku, agar mereka dapat menemukan jalan yang benar.”
Oleh: Mulyono
Comment here