ArtikelRamadhan

Fungsi Wahyu Qur’an Bagi Umat Manusia

photo of person kneeling in front of a book

Umat manusia, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, kagum dan terpana melihat perkembangan sains dan teknologi di nega­ra-negara maju, yang telah berhasil mengambil manfaat material sebe­sar-besarnya dari bumi yang terbentang luas ini.

Sepotong besi yang oleh rakyat primitif hanya dapat dijadikan kampak, di masyarakat yang sudah maju sains dan teknologinya, mampu diubah menjadi komponen kapal terbang, kom­puter, dan lain sebagainya, sehingga memberi manfaat berjuta kali lebih besar, bahkan dapat lebih besar lagi ganda-berganda secara berantai.

Tetapi manfaat besar yang bisa dirasakan dari sains dan teknologi itu lebih bersifat material (jasmaniah). Sehingga secara material pulalah manusia termanjakan olehnya.

Sementara itu, kebutuhan pemuasan spiritualitas (rohaniah) manusia lambat laun terlupakan. Pada akhirnya, perkara-perkara material dijunjung lebih tinggi daripada nilai-nilai spiritual.

Materialisme, didukung oleh sains dan tekonologi yang maju, menjadi raja diraja di bumi, dan pengaruhnya me­landa sampai ke seluruh penjuru dunia.

Beberapa akibat daripada perkembangan sains dan teknologi membuat orang tersentak kaget, dan sadar bahwa sains dan teknologi yang dikira akan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia itu, malah sebaliknya men­jadi sarana yang ampuh untuk membinasakan peradaban manusia da­lam skala kecil maupun besar. Ia telah berhasil menimbulkan duka cita dan perasaan takut dan khawatir di mana-mana.

Menurut orang Barat yang materialistis, manusia disamakan dengan binatang yang berakal. Tetapi menurut Islam, manusia adalah makhluk yang beragama, yang mempunyai ruh, yang dapat menerima petunjuk (wahyu). “Lalu Ia buat itu sempurna, dan Ia tiupkan di dalamnya ruh-Nya.” (As-Sajdah 32:9)

Jadi, kita kenal adanya manusia jasmani yang dapat dilihat dengan mata jas­mani, yang membutuhkan makan dan minum, berkembang biak seperti makhluk biologi yang lain. Tapi di samping itu, kita juga kenal adanya manusia ruhani (spi­ritual).

Kesatuan manusia jasmani dan manusia ruhani inilah yang dimaksudkan dengan manusia seutuhnya, manusia fitrah. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama fitrah buatan Allah, yang Ia menciptakan manusia atas (fitrah) itu.” (Ar-Rum 30:30)

Manusia fitrah ini mempunyai potensi-potiensi naluri (akal), inderawi dan hati yang harus berkembang secara serasi dengan pertolongan petunjuk (wahyu) untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, bebas dari duka cita dan bebas dari perasaan khawatir dan takut.

Perkembangan sains dan teknologi, yang  tidak lain  hanya merupakan per­kembangan potensi nalar, jika mengabaikan perkembangan potensi-potensi yang lain, lagi pula rnengabaikan petunjuk dari Allah, akan manghantarkan kepada kehancuran umat manusia.

Sebagai contoh yang relevan dengan uraian di atas, kita ambil dari bidang ilmu kedokteran (medical science).

Dalam pengaruh materialisme, ilmu kedokteran cende­rung disalahgunakan. Kedokteran antara lain menghasilkan produk racun saraf yang dapat mematikan, mengubah dan atau merusak kepribadian seseorang. Produk obat bius akhirnya dipakai untuk merampok, memperkosa, dsb.

Seorang dokter (belanda: arts) adalah seorang yang di­anggap menguasai ilmu kedokteran dan mempunyai seni (art) untuk menerap­kan ilmu tersebut bagi kesehatan dan kemaslahatan manusia.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kata “sehat sebagai “keadaan sempurna (sejahtera) fisik, mental dan sosial manusia”.

Dari sudut agama, definisi itu disempurnakan menjadi “perkem­bangan sempurna (kesejahteraan) jasmani dan ruhani manusia”. Inilah yang akan menghan­tarkan kepada kesejahteraan manusia seutuhnya secara maksimal.

Di manakah kedudukan ilmu kedokteran (medical science) serta cabang-cabang sains yang lain dalam fitrah manusia?

Dengan perkembangan bahasa, maka sains atau ilmu pengetahuan mempunyai arti tertentu sehingga ada orang yang menamakannya pengetahuan keilmuan atau pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan memang tidak hanya dapat diperoleh secara nalari atau ilmiah saja, tetapi juga se­cara naluri, indrawi (pengetahuan modalitas), qolbi (hati) dan dengan memper­oleh petunjuk (wahyu) yang bersifat ruhani.

Seorang dokter di dalam usahanya menyehatkan orang harus menghadapinya sebagai manusia seutuhnya, sehingga dokter tersebut dengan ilmu kedokteran sebagai bekal, diminta untuk mampu menerapkan dengan disertai seni menyehatkan sehingga penyakitnya terberantas dan orangnya sehat.

Jika yang digunakan hanya penerapan ilmu kedokteran (yang ilmiah saja) adakalanya penyakitnya hilang tetapi orangnya belum sehat. Adakalanya pula seorang mengeluh menderita sakit dan memang kelihatan sangat menderita, tapi ilmu kedokteran tak dapat membuktikan secara ilmiah bahwa dia mengidap suatu penyakit.

Berdasar hal-hal semacam inilah orang cenderung untuk menarik kesimpulan bahwa kesatuan jasmani dan ruhani yang sedang ti­dak sehat itu tidak dapat disehatkan hanya berdasarkan pengetahuan ilmu ke­dokteran yang bersumber pada nalar saja, tetapi harus menyertakan pengetahuan yang bersumber pada naluri, rasa, hati dan petunjuk atau wahyu yang sifatnya ruhani.

Tak cukup kata-kata ataupun kurang benar kata-kata yang dipakai di sini untuk menyatakan apa yang dimaksud. Usaha untuk menjelaskan hal tersebut adalah contoh sebagai berikut:

Jika diagnosa suatu penyakit tidak dapat dite­gakkan karena gejala maupun hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak dapat memberi kejelasan diapose, maka seluruh potensi manusia tersebut di atas secara serasi dan terpadu menyerukan suatu permohonan atau doa, sehingga jika Allah ridla maka diteteskan oleh-Nya petunjuk ke arah mana pemeriksaan harus dilakukan dan selanjutnya mungkin sebagian besar adalah menjadi tugas nalar untuk meneliti lebih lanjut secara ilmiah sesuai dengan petunjuk tersebut.

Sikap memohon semacam itulah yang harus dimiliki oleh dokter atau setiap orang pada setiap langkah yang diambil dalam kehidupan ini. Sikap ini menjadi maha-penting jika masalahnya adalah untuk memilih mana yang benar (haq) dan mana yang salah (bathil).

Sejarah Islam permulaan membuktikan bahwa Qur’an atau wahyu tertinggi ini mampu membawa manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan jasmani dan ruhani.

Bangsa Arab, yang pada waktu itu terkenal sebagai bangsa yang bia­dab, bodoh dan bercerai-berai, kemudian karena pengaruh Qur’an berubah menjadi bangsa beradab, pembawa obor pengetahuan ke seluruh penjuru dunia, dan bersatu padu, disegani oleh bangsa-bangsa di sekitarnya.

Di atas telah diuraikan bahwa jika perkembangan sains dan teknologi, yang sifatnya nalari, mengabaikan perkembangan komponen-komponen fitrah yang lain, maka hal ini akan membawa umat manusia kepada kehancuran.

Tetapi mengapa Qur’an, sebagai petunjuk (wahyu) yang dirurunkan pada bangsa Arab tersebut di atas seolah-olah hanya “sendirian” saja mampu mengembangkan ma­nusia dan umat manusia menuju kepada kesejaheraannya, baik jasmani maupun ruhani?

Jika dikaji, ternyata Qur’aan mengandung petunjuk-petunjuk yang mengem­bangkan seluruh fitrah manusia secara proporsional, tepat, serasi dan sempur­na. Sudah sejak permulaan wahyu Qur’an, yang diturunkan pertama kali adalah soal iman dan pengetahuan.

“Bacalah dengan nama Tuhan dikau yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan dikau adalah Yang Paling Murah hati. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang ia tak tahu.” (Al-Alaq 96:1-5)

Kalau iman menyebabkan berkembangnya manusia di bidang moral dan spiritual, maka pengetahuan berhubungan erat dengan perkembangan intelektual.

Terca­kup dalam perkembangan intelektual ini adalah perkembangan pengetahuan ilmiah atau perkembangan nalar. Tak terhitung banyaknya pelajaran Quran untuk mengembangkan nalar manusia dengan berbagai cara, antara lain membudayakan membaca dan menulis, meneliti alam semesta (lihat QS 10:10, 88:17-20, 16:11), mempelajari sejarah dan mengamat sisa-sisa peradaban masa lalu (lih. QS 6:11), serta kontemplasi dan meditasi.

Dalam hal yang terakhir, yakni kontemplasi dan meditasi, kita bisa temupkan setidaknya empat istilah di dalam Al-Quran, yakni tafaqquh, tadabbur, tafakkur, dan ta’aqqul. Tafaqquh artinya berusaha memahami sebab akibat suatu peristiwa. Tadabbur berarti mencari tujuan terciptanya barang-barang.

Tafakkur mengandung arti selalu berfikir-fikir untuk mencari inti suatu kejadian, meng­amati alam untuk mengerti cara-cara Tuhan menciptakan ba­rang-barang dan sifat-sifatnya. Dan Taaqqul artinya mencari dan memahami sifat-sifat barang-barang dan hubungannya satu dengan yang lain untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Ayat-ayat yang merangsang manusia untuk belajar keras masih banyak terdapat dalam Al-Qur’an, ditambah lagi dengan hadits nabi yang bunyinya senada de­ngan ayat-ayat tersebut.

Selain memberi landasan sikap ilmiah, Qur’an juga memberi petunjuk dan arah hukum-hukum alam yang mana yang harus diteliti dan bidang-bidang ilmu apa yang harus dieksplorasi.

Ayat-ayat tersebut di atas, misalnya, memacu berkembangnya ilmu-ilmu alam, perbintangan, bumi (geografi), sejarah, biologi termasuk embriologi, pertanian, pembudidayaan ta­naman, dan lain sebagainya.

Hal inilah yang terjadi pada masa kejayaan peradab­an Islam. Sesudah masa ini surut dan sejak renaisans bangsa-bangsa Eropa sampai sekarang, obor ilmu pengetahuan dibawa oleh bangsa-bangsa Barat.

Se­lama itulah boleh dikata kandungan Al-Qur’an dilupakan oleh orang Islam sendiri.

Alhamdulillah, mulai pada abad 14 Hijriyah, orang Islam mulai kembali melirik Qur’an dan Sunnah Nabi. lagi pula, mereka sudah lebih dimudahkan dengan adanya terjemah-tafsir Qur’an dalam berbagai bahasa.

Orang-orang Islam yang mempelajari ilmu pengetahuan Barat, yang kemudian mulai mengenali Qur’an kembali, semula heran kemudian bangga bahwa apa yang ditemukan, diteorikan oleh ilmu pengetahuan Barat dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an, antara lain teori terjadinya dan hancurnya alam semesta, pentingnya air dalam kehidupan, hukum-hukum lingkungan hidup, hukum-hukum ilmu kesehatan, dan lain-lain.

Kalau kita terus tekun dan sabar sungguh-sungguh kembali ke­pada Qur’an, maka ini akan menunjang proses kembalinya Qur’an sebagai lan­dasan berkembangnya fitrah manusia menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, bebas dari perasaan takut dan khawatir, dan bebas dari duka cita.

Akan tiba saatnya pula Qur’aan memberi arah dan pimpinan lagi dalam berkembangnya ilmu pengetahuan, tanpa lepas dari fitrahnya, dan tanpa lepas dari iman.[]

Ditulis ulang dari Artikel bertajuk “Fungsi Wahyu dan Quran Bagi Kebahagiaan Umat Manusia” Oleh Prof. dr. H. Mujtahid Ahmad Djojosoegito | 3 Oktober 1985

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here