Oleh: Fathurrahman Irshad | Nabiyullah Muhammad SAW memberi nasehat, “Barang siapa menebar amal, maka ia akan menuai pahala”. Seorang filosof berkata, “Barang siapa menebar pikiran, maka ia akan menuai tindakannya”. Bung Karno berkata, “Barang siapa meniup angin, ia akan menuai badai”.
Di dalam Surat Adz-Dzariyat (51:56) dijelaskan, “Dan tiada Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi kepada-Ku”. Dan Surat Al Ahqaf (46;20), yang artinya “Dan ingatlah pada hari ketika orang-orang khafir dihadapkan ke neraka. (Kepada mereka) dikatakan “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik (kenikmatan) dalam kehidupan duniamu dan kamu telah bersenang-senang dengannya, maka kini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan kamu telah berbuat kefasikan”.
Bila ayat-ayat di atas kita camkan, maka nasehat Rasulullah Nabiyullah SAW, maknanya adalah, bahwa amal itu bukan semat-mata karena adanya harapan memperoleh imbalan surgawi ataupun ketakutannya kepada neraka. Demikian juga statement filisof ataupun pernyataan Bapak Revolusi kita, dimana aktivitas kita itu tergerak bukan semata-mata untuk mendapatkan kenyamanan atau kesenangan atau kebahagiaan. Namun kita akan memaknai bahwa segala aktivitas kita itu pada dasarnya adalah merupakan “balas jasa”.
Apabila aktivitas atau perbuatan semata-mata hanya untuk mendapatkan imbalan berupa kenikmatan atau hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan, maka menurut filosof Ibn Sina, tak pelak sikap seperti itu sama halnya seperti “sikap pedagang” saja. Akan tetapi, ada juga yang memaknai aktivitas tersebut diibaratkan sebagai aktivitas yang dilakukan seorang budak karena rasa takut kepada sang majikan, sehingga dia melakukan aktivitasnya karena takut siksa majikannya.
Seharusnya, aktivitas kita itu harus tumbuh karena adanya keinsyafan dan kesadaran bathin terhadap betapa besarnya anugerah yang telah diberikan Tuhan dan betapa bijaksananya Tuhan dalam segala ketetapan dan perbuatan-Nya. Serta adanya keyakinan, terhadap aktivitas atau amal yang dilakukan itu hanya si pelaku jua yang akan merasakan atau menikmati hasil jerih payahnya, sedang Tuhan tidak sedikit pun memperolehnya, karena Tuhan dapat mencukupi Diri-Nya dari Diri-Nya sendiri.
Rasa cintanya kepada Allah harus termotivasi dalam setiap perilaku atau obsesi kehidupan dan sekaligus merupakan tujuan akhir, yaitu pengetahuannya kepada Sang Khalik, Allah Rabbul ‘Alamin sehingga kita mendapat Kasih Sayang-Nya, dengan diawali menggunakan cara pandang yang positif.
Oleh karenanya, manusia harus mendidik dirinya sendiri untuk mencintai alam beserta isinya, dimana selain dapat mengenal alam maka manusia akan mengetahui apakah, bagaimanakah dan untuk apakah alam itu, yang sebenarnya dan pada dasarnya adalah sarana manusia untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Sehingga kita harus dapat mengawali dengan cara pandang positif, yaitu cara pandang yang baik atau dengan kata lain kita harus husnudzon atau berbaik sangka, dan bukan berburuk sangka atau su’udzon. Sebagaimana cinta itu sendiri yang muskil akan tumbuh tanpa adanya pengenalan dan pengetahuan dengan cara yang baik dan indah.
Seperti kesadaran bathin yang dialami Rabi’ah Al Adawiyah. Sufi wanita kelahiran Bashrah tahun 95 H-185 H yang mengilustrasikan kesadaran bathin melalui gubahan kata yang indah, sebagai berikut:
“Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu karena takut neraka-Mu, campakkanlah aku kesana. Andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar surga-Mu jangan beri aku surga. Tapi, wahai Tuhan-ku, bila ternyata aku menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari pandanganku”.
Mungkin dikarenakan kodratnya sebagai wanita, syair-syair yang diciptakan Rabi’ah Al Adawiyah sangat lembut, penuh cinta dan keikhlasan. Kondisi cinta tanpa pamrih seperti itu akan tercapai melalui proses evolusi yang panjang dan diperlukan kestabilan, konsistenitas dan kesinambungan, sehingga hatinya akan benar-benar akan terisi oleh Cinta Kasih Tuhan.
Di dalam Surat Ali Imran (3:190), “Sesungguhnya dengan terciptanya langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, adalah pertanda orang yang mempunyai akal”
Makna mempunyai akal adalah tidak saja kita dapat menandai perubahan. Namun adanya kondisi siang dan malam itu sendiri, namun kita harus dapat memaknai perubahannya serta mengisi dua kondisi yang berbeda tersebut. Karena Tuhan tidak menciptakan ciptaan-Nya untuk sia-sia. Dengan menggunakan cara pandang posiitif, yaitu cara pandang yang didorong adanya keinsyafan atau kesadaran terhadap betapa besarnya anugerah yang diberikan Tuhan dan betapa bijaksananya Tuhan dalam segala ketetapan dan perbuatan-Nya. Karena apa yang dilakukan Tuhan semata-mata agar manusia dapat mengenal Tuhannya melalui kesempurnaan bathin dengan cara berfikir atau mempergunakan cara pandang yang positif.
Tuhan menguji manusia, bisa dengan kemudahan atau kesulitan. Bisa dengan kebahagiaan atau kenestapaan. Bisa juga dengan kematian atau kehidupan, yang mana semuanya dimaksudkan agar manusia dapat mendapatkan kebahagiaan akhir yang sempurna, yaitu kebahagiaan paripurna dan abadi atau Cinta Kasih Tuhan. Sebagaimana diungkap Rabi’ah al Adawiyah, bukan karena keinginan mendapatkan surga dan takut kepada neraka, melainkan semata-mata karena cintanya kepada Tuhan.
Insya Allah, dengan diawali cara pandang yang posiitif terhadap segala obsesi kehidupan kita, Allah berkenan menyibak tirai dan membuka hijab-Nya agar kita dapat mengenal dan mengetahui serta mendapatkan Cinta Kasih-Nya, sebagaimana nasehat Rasulullah Nabiyullah Muhammad SAW dan apa yang dikisahkan Rabi’ah Al Adawiyah diatas.
Walahualm bishawab
Comment here