AkademikaArtikelEdisi Kemerdekaan

Da’watoel Amal: Saksi Bisu Relasi Tjokroaminoto dan Ahmadiyah Lahore

Diperhadapkan kembali dengan buku “Da’watoel ‘Amal” karya Maulana Muhammad Ali, yang diterjemahkan oleh Tjokroaminoto ke dalam bahasa Melayu ini, membuat saya bernostalgia, dan sekaligus jadi melankolis.

Dulu, sewaktu di Jogja, saya sudah membaca buku ini sekali atau dua kali. Tapi, seketika pindah ke Kediri sejak Februari tahun 2020, dan menemukan kembali buku ini tergeletak di meja kantor GAI cabang Kediri di Adan-adan, Gurah, hati saya tersirap oleh hasrat untuk membaca dan mengetiknya ulang.

Ketikan ulang naskah buku itu bab per bab saya muat di situs www.ahmadiyah.org yang saya ikut mengelolanya, lalu link-nya saya share di grup whatsapp Keluarga Besar GAI. Lantas, terpikir juga untuk mencetak ulang buku itu secara terbatas. Maksudnya, sesuai batas kemampuan finansial saya sendiri, untuk dibagikan dengan sesiapa saja yang dimungkinkan suka dengan ide itu.

Di awal, saya bilang bernostalgia, sebab setiap kali mendengar atau membaca nama Tjokroaminoto, saya selalu terngiang cerita Pak Djalaluddin Irshad (allahu yarham), semasa tinggal di Jalan Kesehatan, Jakarta dulu. Pak Djalal bilang kalau Tjokroaminoto itu sesungguhnya sudah berbai’at menjadi anggota Ahmadiyah-Lahore, di bawah tangan Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) yang pertama.

Konon, katanya, Tjokroaminoto berbai’at melalui korespondensi, atau surat-menyurat langsung dengan Maulana Muhammad Ali. Dan, itu terjadi di masa sebelum Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI) didirikan pada tahun 1928.

Informasi itu, menurut beliau lagi, ia dapatkan melalui ayahnya, Muhammad Irshad, salah seorang tokoh angkatan pertama GAI, yang di era 60-an menjadi pengasuh kajian Islamic Sunday Morning Class (ISMC), yang digandrungi banyak aktivis muda dan mahasiswa pada masanya. Muhammad Irshad sendiri adalah salah satu dari banyak yang lain, yang bersama-sama Tjokro, berguru kepada Wali Ahmad Baig, sejak tahun 1924 hingga setidaknya tahun 30-an.

Benar tidaknya informasi itu, wallahu a’lam. Sebab, hingga hari ini, tidak atau belum diketemukan dokumen atau bukti fisik yang bisa menguatkan riwayat itu, yang menjadi syarat mutlak suatu kabar berita disebut otentik di era ilmiah saat ini.

Karena itu, cerita macam ini mungkin akan disangsikan banyak orang. Dan yang pasti, bakal lebih banyak lagi yang mengingkari, dan menuding kabar itu sebagai buat-buatan belaka. Atau hoax, dalam istilah keren kaum milenial kini.

Seperti juga halnya pengingkaran yang terjadi dalam kasus Irfan Dahlan, putra pendiri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan. Meski tak kurang dari enam tahun ia mengenyam pendidikan Islam di Isha’ati Islam College di markas pusat AAIIL di Lahore, India. Sesudah mengakhiri studinya, Irfan Dahlan, yang bernama asli Jumhan itu, sempat pulang ke Indonesia barang sebentar di tahun 1930.

Sesudah mengikuti Kongres GAI yang Pertama di Purwokerto pada Juni 1930, ia lantas hijrah ke Thailand, untuk membantu Dr. A.W. Khan, mubaligh Ahmadiyah-Lahore, yang terlebih dulu ada di sana dan mendirikan Patani Islamic Mission. Kita bisa baca berita soal ini dalam majalah Panji Islam yang terbit pada Oktober tahun itu, juga dalam Worldwide Religious Revolution, booklet AAIIL yang terbit tahun 1932.

Atau yang lebih kontemporer pada kasus Djohan Effendi, yang sedari muda aktif mengikuti ISMC-nya Muhammad Irshad, dan tercatat menjadi ketua pertama dari Angkatan Muda Ahmadiyah Lahore (AMAL), organ sayap GAI untuk segmen anak muda, yang terbentuk dari hasil transformasi ISMC.

Di era 90-an, saya sering mendapati Om Djohan, panggilan akrab saya dan saudara-saudara saya ke beliau kala itu, ikut pengajian GAI cabang Jakarta, di Jalan Kesehatan. Kebetulan, saya dan tiga saudara lain yang waktu itu tinggal bersama nenek tercinta nun jauh di sebuah kampung di Cianjur, diajak ayah turut ke kota, setiap kali libur sekolah.

Terkadang, Om Djohan tampil mengisi pengajian yang diselenggarakan setiap Minggu Ketiga itu. Tidak jarang, beliau juga datang ke Kesehatan di sembarang waktu, untuk berdiskusi atau sekedar ngobrol santai dengan ayah saya, Suyud Ahmad Surayuda, yang menjadi “pambaurekso” Markas GAI di Jalan Kesehatan kala itu.

Belakangan, di era ketika nama Ahmadiyah begitu sensi di Indonesia, dan di era ketika banyak orang tidak lagi ambil peduli mana yang Lahore mana yang Qadian, muncul tulisan-tulisan popular maupun akademis, yang mengklarifikasi atawa meluruskan standing position kedua tokoh ini dalam relasinya dengan Ahmadiyah, yang Lahore tentunya.

Ahmadiyah-Lahore bagi Irfan Dahlan maupun Djohan Effendi, menurut tulisan-tulisan yang lebih baru dan sempat saya baca itu, kira-kira hanya sekedar sebagai “batu loncatan” saja bagi keduanya.

Lha, ini apalagi. Seorang tokoh besar berjuluk De Ongekroonde van Java, Raja Jawa Tanpa Mahkota, H.O.S. Tjokroaminoto! Bisa-bisanya Ahmadiyah-Lahore mengklaim tokoh yang sudah kadung didaku sebagai Guru Bangsa Indonesia itu sebagai warga keluarga besar Gerakan Ahmadiyah-Lahore. Dari mana ceritanya?

Baiklah, sependek pengetahuan saya, begini ceritanya.

Bermula paling tidak, ini bisa kita baca dalam karya disertasi Iskandar Zulkarnain dan Ahmad Nadjib Burhani, di tahun 1920. Kala itu, Tjokroaminoto, sebagai Ketua Syarikat Islam yang sudah berkedudukan di Surabaya, dikabarkan mengundang dan mengajak Khawaja Kamaluddin, mubaligh AAIIL yang tinggal menetap dan bertabligh di Inggris, berkeliling di beberapa kota di Hindia Belanda, belum Indonesia kala itu, sejak dari Surabaya hingga ke Batavia.

Tjokro kabarnya mengundang Khawaja Kamaluddin dalam posisinya sebagai pimpinan redaksi “The Islamic Review.” Tjokro, mungkin, mengetahui keberadaan majalah itu sebelum 1920, yang terbit di Singapura dalam edisi bahasa Melayu. Kemungkinan, edisi Melayu majalah ini beredar atas bantuan Zainal Abidin bin Ahmad, atau yang lebih populer dengan sebutan Pendita Za’ba, seorang sastrawan Muslim Melayu dari Malaysia, yang mengagumi Khawaja Kamaluddin dan berlangganan majalah ini sejak 1918.

Ketika, agaknya sesudah dari Indonesia, Khwaja Kamaluddin membuat lawatan ke Singapura pada 1921, menurut Adnan Haji Mohd Nawang dalam “Za’ba dan Ajaran Khwaja Kamaluddin,” Za’ba turut bertanggung jawab membawa beliau melawat beberapa tempat di Tanah Melayu, termasuklah ke Taiping dan Pulau Pinang. Maka konon, Za’ba-lah juga yang menjadi cikal bakal, atau setidaknya menjadi peran antara, berkembangnya Ahmadiyah-Lahore di Tanah Melayu, selain juga ada nama Abdul Majid bin Zainuddin.

Di masa-masa itu, menurut Ahmad Nadjib Burhani dalam “When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia,” majalah The Islamic Review banyak memuat diskusi, tanggapan, dan sanggahan untuk majalah yang diterbitkan seorang pastur berkebangsaan Amerika yang cukup populer kala itu, Samuel Marinus Zwemer. Majalah Zwemer yang bertajuk The Muslim World, antara lain berulang kali mengabarkan soal keberhasilan missionarisme Kristen di Asia Tenggara umumnya, dan di Hindia Belanda pada khususnya. Konon, menurut majalah ini, perubahan atau perpindahan agama daripada umat muslim kepada kristiani di Indonesia itu puluhan ribu dalam setiap tahun.

Selain itu, agaknya Tjokro tertarik dengan kabar kesuksesan Khawaja Kamaluddin dalam usaha tablighnya di Inggris. Di sana, Kamaluddin dipercaya menjadi Imam Masjid Shah Jehan, yang terletak di Kota Woking, Surrey, Inggris. Masjid itu dibangun atas jasa Dr. Leitner pada tahun 1889, yang sebagian besar biayanya ditanggung oleh Begum Shah Jehan, seorang muslimah yang berkuasa di negara bagian Bhopal, India.

Kamaluddin juga berhasil mengislamkan beberapa tokoh bangsawan dan intelektual Inggris, seperti misalnya Lord Baron Headley, Marmaducke Pickthall dan William Henry Quilliam. Dan bersama murid-muridnya itu, Kamaluddin mendirikan Woking Muslim Mission and Literary Trust, yang bergerak dalam misi tabligh Islam di Inggris Raya. Antara lain, dengan diterbitkannya majalah The Islamic Review itu.

Khawaja Kamaluddin bertinggal cukup lama di Indonesia, sejak Oktober 1920 hingga Januari 1921. Pada November 1920, Kamaluddin diberi kesempatan berpidato dalam acara Pengajian Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Tashwirul Afkar di Masjid Ampel Surabaya. Ia berpidato dalam bahasa Inggris di hadapan, katanya, ribuan orang yang hadir. Hasan Ali Soerati, kolega Tjokro di Sarikat Islam, yang bertugas menerjemahkannya. Terakhir, Kamaluddin juga diminta kembali ceramah di Gambir Park, Batavia, pada Januari 1921.

Tak lama, isi ceramah Kamaluddin di berbagai kota itu dibukukan. Buku ini terbit dalam edisi bahasa Urdu bertajuk Raaz-e Hayat yang ditandatangani di Surabaya pada 30 November 1920, dan dalam edisi bahasa Inggris bertajuk The Secret of Existence and The Gospel of Action, yang ditandatangani di Surabaya pada 28 Januari 1921. Buku ini tak lama kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Soedewo dengan judul Het Evangelie van den Daad pada sekira tahun 1925.

Kabarnya, buku ini banyak menginspirasi dan mempengaruhi pemikiran keislaman dan kebangsaan Tjokroaminoto, dan juga kemudian Soekarno. Lihat misalnya tulisan J.H. Lamardy, “Belajar Kembali menjadi Bangsa: Pengalaman Ahmadiyah,” yang menyatakan kalau semangat nasionalisme-religius dalam pemikiran Tjokroaminoto itu banyak dipengaruhi oleh buku ini.

Atau lihat juga tulisan Darwin Iskandar, “Rasionalisme Islam: Pintu Masuk Ke Alam Pikiran Soekarno,” yang menyebut buku Khawaja Kamaluddin itu, selain juga buku Da’watoel ‘Amal karya Maulana Muhammad Ali, turut serta mempengaruhi pemikiran Soekarno dalam isu nation state dan isu Kemerdekaan Indonesia.

“Ada kesamaan konstruksi berpikir Soekarno dengan Khawaja Kamaluddin,” tulis Darwin, “atau pemikiran yang sama yang diutarakan oleh mantan Presiden Gerakan Ahmadiyah Lahore dan Kongres Nasional India, yaitu Maulana Muhammad Ali, melalui karyanya Da’watole Amal yang diterjemahkan oleh HOS Cokroaminoto.”

Cokroaminoto, lanjut Darwin, mempunyai andil besar atas pemikiran Islam Soekarno melalui karya-karya dari berbagai pemikir Islam, termasuk Ahmadiyah. Selama Soekarno diinternir di Ende, Cokroaminoto mengirim buku-buku Islam dari Ahmadiyah, antara lain The Holy Quran, Mohammad the Prophet dan Inleiding tot de studie van den heiligen Qoer’an juga dari Muhammad Ali, serta Het Evangelie van den Daad, karya Khawaja Kamaludin.

Pertautan Tjokroaminoto dengan Ahmadiyah-Lahore berlanjut di tahun 1924, dengan datangnya dua utusan AAIIL ke Yogyakarta, yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Melalui Ahmad Baig khususnya, sebab Maulana Ahmad keburu pulang kampung karena kondisi kesehatannya, Tjokro banyak belajar dan menyerap ilmu-ilmu keislaman dalam perspektif Ahmadiyah Lahore.

Tjokro, bersama banyak aktivis SI dan Muhammadiyah, antara lain Fakhruddin, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Djojosoegito, Muhammad Husni, Soedewo, dan lain-lain, sering menyambangi Ahmad Baig yang tinggal di rumah Haji Hilal di Jalan Gerjen, Kauman, untuk berdiskusi perihal agama, sekaligus belajar Bahasa Inggris. Haji Fakhurrdin di masa itu konon rajin mendorong penerbitan artikel soal Ahmadiyah dalam jurnal “Bintang Islam.”

Sebagian besar dari mereka yang intens dalam lingkar diskusi dengan Ahmad Baig ini kemudian membentuk dua organisasi, yakni Jong Islamieten Bond dan Muslim Broederschap. Mereka ini pula yang kelak di kemudian hari membidani lahirnya Indonesische Ahmadiyah Beweging, atau Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore, di tahun 1928.

Di tahun-tahun pertama kehadiran Ahmad Baig, antara 1924-1926, tercipta relasi harmonis di antara Sarikat Islam, Muhammadiyah, dan Ahmadiyah-Lahore. Dan agaknya, di antara masa inilah, atas permintaan Ahmad Baig, Tjokro menerjemahkan buku Da’watul ‘Amal, yang kemudian dicetak oleh Percetakan Muhammadiyah itu. Bandung Mawardi dalam “Buku dan Harmoni,” menyebut karya terjemah Tjokro ini sebagai simbol harmoni, yang “mengisahkan sejarah persaudaraan dengan keinsafan.”

Di masa itu, Tjokro diam-diam juga mulai menerjemahkan The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Melayu. Bahkan, menurut Syu’bah Asa dalam “Ahmadiyah: Sebuah Titik yang Dilupayang dimuat di majalah Tempo yang terbit tahun 1974, Tjokro mengerjakannya di kapal pada saat dia bersama Haji Mas Mansur berangkat ke Mekah untuk menghadiri Muktamar ‘Alam Islami, di tahun 1926.

Keretakan, meminjam istilah Herman L. Beck dalam “The Rupture Between The Muhammadiyah and The Ahmadiyah,” di antara pengurus Muhammadiyah dan kelompok lingkar diskusi yang berdekat-dekat dengan Ahmad Baig, dan juga berimbas kepada Tjokroaminoto baik sebagai pribadi maupun sebagai Ketua SI, terjadi mulai tahun 1927. Tetapi, sesungguhnya, gejalanya bermula sejak tahun 1925.

Setidak-tidaknya, menurut Beck, ada tiga peristiwa yang rupa-rupanya menjadi bibit pemicu keretakan itu. Pertama, peristiwa dipanggilnya Pimpinan Muhammadiyah oleh Residen Yogyakarta, Louis Frederick Dingemans, untuk mengklarifikasi isu bergabungnya Muhammadiyah dengan Ahmadiyah-Lahore, seperti yang dimuat oleh Surat Kabar Javabode edisi 9 Januari 1925.

Dingemans merasa khawatir, jika isu itu benar terjadi, akan muncul gejala anti-Kristen di tubuh Muhammadiyah, yang bisa berarti mengancam relasi baik yang sudah kadung terjalin antara Muhammadiyah dan Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Untungnya Haji Muchtar, Ketua II Muhammadiyah yang datang memenuhi panggilan Dingemans, membantah isu itu, dan agaknya bisa menghapus syak wasangka Sang Residen.

Kedua, perdebatan Haji Rasul dengan Ahmad Baig, di akhir tahun 1925. Bapak dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) yang bernama asli Abdul Karim Amrullah itu, agaknya tersilap paham dengan aliran Ahmadiyah-Qadian. Aliran Qadian tahun itu memang mulai masuk di tanah minang, atas prakarsa beberapa pelajar Sumatera Thawalib yang belajar di Qadian, dengan datangnya Maulana Rahmat Ali di Tapak Tuan, Aceh. Sebabnya, apa yang diperkarakan oleh Haji Rasul kepada Ahmad Baig adalah seputar isu klaim kenabian Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, yang tentu saja dibantah oleh Ahmad Baig, karena tidak ada sangkut pautnya dengan Ahmadiyah Lahore.

Peristiwa ketiga terjadi di akhir tahun 1927, dengan datangnya seorang ulama dari Hindustan, Abdul Alim Siddiq Al-Qadiri, yang mempropagandakan isu penyimpangan Ahmadiyah dalam beberapa kali ceramahnya di kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama.

Ketiga pemicu ketegangan itu berakumulasi dan mencapai titik kulminasinya di tahun 1928, dengan terbitnya surat edaran Muhammadiyah tertanggal 5 Juli 1928, yang melarang semua cabangnya mengajarkan dan mempublikasikan paham Ahmadiyah di lingkungan organisasi itu. Surat edaran itu sekaligus meminta kader Muhammadiyah untuk memilih meninggalkan ajaran Ahmadiyah atau keluar dari Muhammadiyah.

Itulah mengapa pada akhirnya di tahun 1928 akhir, Djojosoegito, Muhammad Husni, dan sebagian besar orang dalam kelompok lingkar diskusi Ahmad Baig, memutuskan untuk membuat kapal baru dalam arus juang gerakan Islam di Indonesia, dengan mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia centrum Lahore.

Tetapi Tjokroaminoto, di tengah ketegangan itu, tampak tak bergeming. Ia tetap meneruskan proyek penerjemahan The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali, meski sempat diprotes oleh kalangan Muhammadiyah pada Kongres SI di Pakalongan tahun 1927. Kongres itu sendiri sebenarnya hanya membahas secara singkat proyek Tjokro, dan tak ada keputusan dibuat soal itu.

Agaknya, friksi antara Tjokro dan Pengurus Muhammadiyah, memanas ketika dalam kongres di Pekalongan itu, beberapa anggota SI dari kalangan Muhammadiyah dipecat. Setahun sesudahnya, Muhammadiyah membalas dengan memecat beberapa anggota SI yang tergabung di dalam Muhammadiyah.

Dalam Kongres Al-Islam pada Januari 1928, Tjokro mengumumkan secara terbuka proyek penerjemahannya itu, sambil memberikan argumen-argumen logis soal mengapa ia bersikukuh meneruskannya. Dalam forum itu, Tjokro menyatakan kalau proyeknya itu sudah ia kerjakan sejak 1925 atas sepengetahuan dan sepersetujuan elit Muhammadiyah, seperti Haji Fachruddin dan Kiai Mas Mansur. Haji Fakruddin sendiri, menurut Nur Ichwan dalam “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis,” ikut berkontribusi dalam proyek terjemahan itu.

Senyampang itu, Agus Salim, sahabat karib Tjokro di persyarikatan, ikut menyemangati Tjokro untuk merampungkan proyeknya. Ini bisa kita baca dalam “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesiakarangan A.K. Pringgodigdo. Agus Salim bahkan juga membuatkan kata pengantar untuk karya terjemah Tjokro. Kita bisa baca kata pengantarnya itu dalam “Kata Pengantar” Haji Muhammad Bachroen, untuk proyek yang sama dalam bahasa Indonesia, yang diterbitkan sejak 1971.

(Baca: Agoes Salim dan Proyek Penerbitan Quran Terjemah Cokroaminoto)

Menurut Beck, kaum muslim ortodoks maupun modernis di kalangan Muhammadiyah menyalahkan Tjokro atas proyek itu, dengan alasan ia kurang memiliki pengetahuan tentang Islam. Dan Tjokro, menurut opini mereka, sepenuhnya tergantung pada Ahmad Baig.

Kritik itu dibalas Tjokro beberapa hari sesudah Kongres, dalam tulisannya di media Islam berkala Fadjar Asia, yang juga menerbitkan sebagian terjemahan Tjokro. Di tulisannya itu, antara lain Tjokro menuding para pengkritiknya khawatir takut tersaingi dengan terjemahannya, karena mereka juga sedang mengerjakan terjemahan Al-Quran versi mereka sendiri.

Selang dua minggu sesudah kongres Al-Islam di bulan Januari itu, Muhammadiyah juga menyelenggarakan kongres ke-17 di awal bulan Februari 1928. Dalam kongres itu, Sekretaris Pertama Dewan Pusat Muhammadiyah yang baru, Yunus Anis, menyatakan bahwa Muhammadiyah menyesalkan keputusan SI mendisiplinkan anggota Muhammadiyah. Ia juga, mengatas namakan pengurus Muhammadiyah, menyatakan ketidaksetujuannya atas proyek terjemah Qur’an Tjokroaminoto. Alasannya, karena terjemah itu tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Rupa-rupanya, alasan itu sesuai benar dengan fatwa Rashid Ridla, seorang ulama Mesir murid Muhammad Abduh, yang banyak mempengaruhi pemikiran keagamaan orang-orang Muhammadiyah kala itu. Dalam “Negara, Kitab Suci dan Politik,” Nur Ichwan menceritakan bahwa fatwa Rashid Ridla terkait terjemah Tjokro yang dianggap “menyimpang dari ajaran Islam yang baku” itu, dimuat dalam majalah Al-Manar yang terbit tahun 1928 itu juga, untuk menjawab pertanyaan Syaikh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam dari Kesultanan Sambas di Borneo, soal keabsahan The Holy Qur’an.

Maka naik kudalah Tjokroaminoto ke Jogja, demi melakukan debat terbuka soal proyek terjemah tafsir itu di depan orang-orang Muhammadiyah, demikian tulis Syu’bah Asa, di majalah Tempo tahun 1974, mengutip buku A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.

“Tokoh-tokoh lanjut usia yang berada di sana waktu itu,” tulis Syu’bah, “boleh menceritakan jalannya peristiwa begini: Pertemuan diadakan di Pakualam, sebagian besar dihadiri orang-orang Muhammadiyah. Alangkah ributnya hadirin waktu itu. Sangat ribut, sampai-sampai pidato tokoh tua ini tidak terdengar. Maka naiklah Tjokro, kalau tidak salah ke atas meja, sembari berseru dengan suaranya yang dahsyat: Ini Tjokroaminoto, keturunan ksatria! Mau ribut, coba ribut! Maka hadirin pun heninglah.”

Akhirnya, dalam kongres Al-Islam yang kedua di Kediri pada 27-30 September 1928, SI membentuk Majelis Ulama sendiri, tanpa keterlibatan Muhammadiyah. Kongres itu memutuskan bahwa terjemahan Tjokro itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan Majelis Ulama.

Pada tahun itu juga tiga bagian pertama terjemahan Tjokro, terbit dengan judul “Qoer’an Soetji, Disertai Salinan dan Keterangan dalam Bahasa Melajoe.” Orang bisa melihatnya sekarang di Musium-musium tertentu, dalam rupa tiga jilid terjemah Qur’an berisi Juz Amma atau bagian ke 30 dari Al-Quran karya terjemah Maulana Muhammad Ali itu.

Baca: Qoer-an Soetji, Sumbangan Terjemah Tafsir Al-Quran dari HOS Tjokroaminoto

Di tahun 1931, Tjokroaminoto juga menerbitkan buku bertajuk “Tarich Agama Islam, Riwayat dan Pemandangan Atas Kehidupan dan Perjalanan Nabi Muhammad.” Konon, buku ini menyadur begitu saja buku karya Maulana Muhammad Ali yang berjudul “Muhammad The Prophet.” Lewat buku ini, tulis Yudo Mahendro dalam “Karya-karya HOS Tjokroaminoto,” Tjokroaminoto ingin membangkitkan optimisme bangsa Indonesia, bahwa dengan menegakkan Agama Allah umat terdahulu diberikan kejayaan yang luar biasa.

Lalu, coba perhatikan juga buku Tjokro yang berjudul “Islam dan Sosialisme, yang terbit jauh sebelumnya di tahun 1924. Buku setebal 104 halaman itu boleh jadi secara teknis-politis dilahirkan buat meng-counter pemikiran Sosialisme Marxian yang berkembang di tubuh anak-anak binaannya di SI Merah di bawah kepemimpinan Semaun, yang di kemudian hari bertransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi ide dan konsep yang terkandung di dalam buku ini sesunggguhnya jauh melampaui urusan teknis-politis itu.

Kalau kita baca secara seksama buku yang boleh dikata menjadi magnum opus-nya Tjokro ini, ada banyak kemiripan ide dan konsep tulisan-tulisannya di buku itu dengan ide dan konsep yang terkandung di dalam buku “The Secret of Existence-nya Khawaja Kamaluddin dan “Da’watul ‘Amal-nya Maulana Muhammad Ali.

Ketika, misalnya, Tjokro menyebut sosialisme yang berdasarkan Islam itu lebih baik, lebih elok, dan lebih mulia ketimbang sosialisme atau rupa-rupa isme yang berkembang di dunia kala itu, ini mirip sesuai atau senada seirama dengan ide-ide yang tertuang di dalam mukaddimah buku The Secret of Existence dan di bab pertama buku Da’watul ‘Amal.

Bagi Tjokroaminoto, tulis tirto.id dalam “HOS Tjokroaminoto Memadukan Islam dan Sosialisme,” Islam dan Sosialisme bukanlah dua kutub yang berseberangan dan menjadi pertentangan. Justru sebaliknya, keduanya bisa saling melengkapi dan menghasilkan perpaduan yang sangat apik. Ia lantas membagi ide sosialisme Islam itu menjadi tiga anasir yang bisa menyatukan umat Islam, yaitu kemerdekaan, persamaan, serta persaudaraan.

“Tetapi sosialisme hanyalah bisa menjadi sempurna,” tulis Tjokro di buku itu, “apabila tiap-tiap manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri saja sebagai binatang atau burung, tetapi hidup untuk keperluan masyarakat bersama, karena segala apa saja yang ada hanyalah berasal atau dijadikan oleh satu kekuatan atau satu kekuasaan, ialah Allah Yang Maha Kuasa.”

Bandingkan dengan tulisan Maulana Muhammad Ali, di bab pertama buku Da’watul ‘Amal. “Kewajibannya kaum muslimin dalam dunia ini bukan saja cuma memperbaiki dirinya sendiri,” tulis Muhammad Ali, “tetapi kewajiban kaum Muslimin yaitu: memperbaiki segenap peri-kemanusiaan, membawa umat daripada kegelapan sampai kepada penerangan, menyiarkan barang yang benar (hak), mengenyahkan segala perbedaan warna kulit dan perbedaan kebangsaan, menjadikan satu persaudaraan umum di segenap dunia, dan akhirnya menimbulkan satu perhubungan yang benar antara Tuhan dengan manusia.”

Pengaruh karya-karya literatur tokoh-tokoh Ahmadiyah-Lahore, dalam bacaan saya, juga terlihat dalam karya lain Tjokroaminoto bertajuk “Reglemen Umum Bagi Umat Islam,” yang terbit tahun 1934. Buku ini adalah karya terakhir Tjokro sebelum ia wafat pada 17 Desember 1934.

Nah, apakah dengan cerita di atas, kita bisa mengkonfirmasi Tjokroaminoto sebagai seorang Ahmadiyah-Lahore? Jawabnya mungkin tidak, tapi mungkin juga iya.

Mungkin tidak, karena sekali lagi, sampai saat ini tidak terbukti secara administratif jika Tjokroaminoto pernah berbai’at dan masuk Ahmadiyah-Lahore. Lagipula, sependek pengetahuan saya, ia juga tak tercatat ikut terlibat dalam aktivisme Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia, yang didirikan sejak tahun 1928.

Soal bukti administratif, boleh dikata hingga hari ini tampaknya memang hal itu tidak menjadi tradisi yang dianggap penting di lingkungan GAI, dan juga Ahmadiyah-Lahore umumnya. Meski harus diakui, dari satu sudut pandang, ini bisa dianggap sebagai kelemahan organisasi Gerakan Ahmadiyah.

Ini yang di awal tulisan saya singgungkan juga dengan kasus Irfan Dahlan dan Djohan Effendi. Sebab, sulit rasanya menelusuri jejak tertulis yang bisa memberi keabsahan soal apakah keduanya pengikut Ahmadiyah-Lahore atau bukan.

Dan sebenarnya, bukan hanya mereka bertiga yang disebut di atas itu. Bahkan, Khawaja Kamaluddin ketika bertabligh di Inggris, tidaklah mulanya membawa-bawa nama Ahmadiyah juga. Sebagaimana juga halnya seperti yang dikatakan Mirza Wali Ahmad kepada Djojosoegito di awal kedatangannya, yang dengan tegas menyatakan tidak bermaksud untuk mendirikan cabang Ahmadiyah-Lahore di Indonesia. Ahmad Baig beralasan, misinya hanya untuk melindungi umat Islam dari pengaruh buruk ideologi materialisme dan misi Kristen. Demikian tulis tirto.id, mengutip Herman L. Beck, dalam “Kisah Elite Muhammadiyah yang Menyeberang ke Ahmadiyah Lahore.

Begitu juga dengan hampir semua mubaligh Ahmadiyah-Lahore di mana pun, termasuk di Indonesia, hingga kini, yang agaknya tidak terlalu merasa penting buat menunjuk-nunjukkan di muka orang bahwa dia seorang Ahmadi. Itu dilakukan bukan oleh karena rasa takut atau khawatir dicap sesat. Tetapi, lebih oleh sebab mereka, seperti yang juga saya hayati hingga hari ini, merasa lebih penting menunjukkan identitas keislaman-nya ketimbang “keahmadiyahan-nya.”

Dalam kajian akademiknya yang dipresentasikan pada acara Jalsah Salanah GAI tahun 2013, Ahmad Nadjib Burhani mengonfirmasi hal ini semata terkait dengan karakter dakwah GAI atau Ahmadiyah-Lahore pada umumnya, yang lebih menekankan pada isu-isu keislaman ketimbang keahmadiyahan.

Lalu bagaimana jika dikatakan ya, mungkin saja Tjokroaminoto itu seorang pengikut Ahmadiyah-Lahore, setidaknya sebagaimana diyakini oleh sebagian besar orang GAI?

Ini, saya kira, semata berdasar pada riwayat lisan atau tutur tinular dari para pendahulu mereka, seperti yang saya riwayatkan juga di awal tulisan ini. Apalagi belakangan, keyakinan itu seperti dikuatkan oleh berbagai literasi akademis maupun non akademis, sebagaimana sebagiannya antara lain saya cuilkan sedikit-sedikit di atas.

Bahwa di penghujung buku Da’watoel Amal ini Tjokroaminoto mengaku “bertunggal azas, bertunggal faham, bertunggal fikiran dan bertunggal haluan” dalam soal Islam dan Keislaman dengan Ahmadiyah-Lahore, tetapi tetap saja pernyataan itu tidak bisa dijadikan patokan apakah berarti ia mengaku sebagai seorang Ahmadi, ataukah tidak. Sebab, itu semua tergantung pada kepentingan para penafsirnya.

Adapun jawaban saya di penghujung tulisan ini atas pertanyaan, “sebenarnya Tjokroaminoto itu seorang Ahmadiyah-Lahore atau bukan?”, sementara ini tidak beda dengan pernyataan saya di muka, yakni wallahu a’lam bish-shawab.[]

Oleh : Basyarat Asgor Ali | Warga Keluarga Besar Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI)

Ditulis untuk Pengantar Buku “Da’watoel ‘Amal” edisi cetak digital.
Lihat dan unduh bukunya di sini

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here