Artikel

Menghindari Syirik dan Menegakkan Tauhid

Janji pertama dari antara sepuluh janji kaum Ahmadi (warga Ahmadiyah) adalah, “Selama hidup tidak akan berbuat dosa syirik.” Syirik (penyekutuan Allah) adalah lawan kata dari tauhid (pengesaan Allah). Perbuatan syirik paling dilarang, sebaliknya penegakan tauhid paling ditekankan dan diperintahkan oleh Allah SWT.

Syirik, yang biasa juga disebut “menyembah atau mengabdi kepada selain Allah,” sangat dilarang karena akan menjauhkan atau bahkan membutakan manusia dari Allah. Bila hal ini terjadi, maka sangat  besar kerugian yang dialami manusia dalam hidupnya. Sebaliknya, kedekatan dengan Allah merupakan prestasi tertinggi dan keberuntungan besar bagi manusia.

Syirik juga bertentangan dengan tujuan utama hidup manusia menurut kehendak Allah, yaitu mengenal Allah, mengabdi pada-Nya, dan mencapai kedekatan dengan-Nya.

Allah berfirman, “Maka barangsiapa berharap bertemu dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal saleh, dan tidak melakukan syirik dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi, 18:110).

Ada sedikit perbedaan dalam pembagian macam-macam syirik. Hal ini mungkin karena adanya perbedaan sudut pandang dalam pengklasifikasian (pengelompokan) syirik.

Ada yang, misalnya, menyebutkan bahwa jenis syirik ada dua macam, yaitu syirik besar, seperti menyembah berhala, berdoa/bermunajat kepada pohon keramat, kuburan, dsb., dan syirik kecil atau syirik tersembunyi, seperti riya’ atau pamer.

Lain halnya dengan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Mujaddid abad ke-14 hijriah ini membagi macam syirik menjadi tiga. Pertama, syirik besar dan tampak jelas, yaitu menjadikan manusia, benda hidup atau mati, dewa dan dewata khayali sebagai Tuhan. Orang-orang yang cerdas, bijaksana dan tercerahkan di zaman ini tidak lagi tertarik pada syirik jenis ini dan sudah meninggalkannya.

Kedua, syirik tersembunyi, yaitu kepercayaan dan ketergantungan sepenuhnya kepada sarana-sarana lahiriah (duniawi), yang menggantikan kepercayaan dan ketergantungan manusia sepenuhnya kepada Allah.

Misalnya, seseorang lebih antusias mengabdi pada uang/harta, jabatan/kekuasaan dan popularitas, yang sebenarnya hanya sebagai sarana hidup, ketimbang menghambakan diri kepada Allah. Sebagian besar waktu, tenaga dan potensi dirinya dihabiskan untuk mengabdi pada uang, kekuasaan dan popularitas, serta untuk mencapai dan mencintai mereka. Karena dia yakin bahwa uanglah yang bisa menjamin kehidupan, kesehatan, keselamatan, keamanan dan kesuksesannya. Dia yakin kekuasaan dan popularitaslah yang bisa menjadikannya bahagia dan punya pengaruh besar dalam masyarakat. Sebaliknya dia lupa dan abai pada Allah, tidak peduli pada agama Allah baik dalam pengamalannya maupun penyiarannya.

Allah tidak menghendaki manusia kelewat batas menyandarkan dirinya pada sarana dan fasilitas duniawi, sehingga menyebabkannya jauh dari Allah. Syirik ini berbahaya, seperti bahayanya racun di dalam tubuh manusia. Syirik inilah yang sekarang sedang berkembang pesat.

Di dalam Al-Quran banyak ajaran yang menyatakan dan menyadarkan kita bahwa Allah adalah:

  1. Tempat bergantungnya segala sesuatu (Al-Ikhlash, 112:2).
  2. Pelindung orang saleh (Al-A’raf, 7:196)
  3. Penjamin solusi dari kesulitan dan rezeki (Ath-Thalaq, 65:2-3).
  4. Pemberi makan dan keamanan (Al-Quraisy, 106 4).

Bila manusia percaya dan bergantung sepenuhnya pada sarana duniawi dan tidak memedulikan Allah, berarti dia mengingkari sifat-sifat Allah tersebut.

Ketiga, syirik dengan mempertuhan diri sendiri, yakni seseorang meyakini sepenuhnya bahwa dengan kekuatan, kemampuan dan kehebatannya sendiri,  bisa mencapai semua kebutuhannya dan kesuksesan hidupnya dan menafikan peran dan kuasa Allah dalam kehidupannya.

Tauhid adalah kunci ibadah, sebagaimana wudlu sebagai kunci salat. Sebagus apa pun salat kita, ia tidak bisa disebut sah jika tanpa wudu sebelumnya. Begitu pula, sebagus apa pun ibadah kita, ia tidak bisa disebut ibadah yang diterima jika tanpa tauhid.

Hal senada diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, Mujaddid abad ke-7 hijriah. Beliau juga membagi macam tauhid menjadi tiga. Pertama, tauhid rububiyah, yaitu keimanan (keyakinan) bahwa Allah satu-satunya Pencipta serta Pemelihara alam semesta.

Kedua, tauhid uluhiyah, yaitu keimanan bahwa Allah satu-satunya yang wajib dan berhak secara mutlak disembah atau diabdi, paling dicintai, dan dimintai atau dituju saat orang berdoa.

Ketiga, tauhid asma’ was-shifat, yaitu keimanan kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang tidak ada yang menyamai sepenuhnya, yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya.

Mengenai penegakan tauhid, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menyatakan yang intinya, ada satu hukum atau peraturan yang tak berubah pengamalannya dalam situasi dan kondisi apa pun, yaitu kalimah tauhid, “Laa ilaaha illallaah.” (Tidak ada ilah/Tuhan selain Allah). Kata “ilaah” yang biasa diartikan Tuhan, sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas, yaitu: ma’bud (yang diabdi), mahbub (yang dicintai), mathlub (yang dicari atau dibutuhkan) dan maqsud (yang menjadi tujuan),

Orang dianggap menegakkan tauhid, benar-benar mengesakan Allah, dan tulus dalam mengikrarkan kalimah tauhid itu, bila dia membuktikan dan merealisasikannya dalam amal nyata bahwa tidak ada yang secara mutlak dia abdi, dia cintai, dia butuhkan, dan menjadi tujuan dalam hidupnya, kecuali Allah SWT.

Untuk menyempurnakan penegakan tauhid itu, orang hendaklah  melaksanakan ibadah, seperti ibadah salat, membayar zakat, ibadah puasa, ibadah haji, dsb.

Semoga dengan rahmat dan ridha Allah SWT, kita mampu menghindari syirik dan menegakkan tauhid dalam kehidupan ini. Semoga kita termasuk hamba yang taat dan dekat dengan Allah. Aamiin.

 

Oleh: Yatimin AS | Disampaikan dalam Pengajian Minggu Ketiga GAI Cabang Yogyakarta | 19 Desember 2021

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »