Dalam konsepsi Islam, eksistensi Tuhan sebagai Rabb-ul ‘alamin, yakni Yang Menciptakan dan menyempurnakan segala sesuatu yang ada, adalah kebenaran aksiomatis. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an, yang diyakini sebagai kodifikasi firman-firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw., yang merupakan sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran dan syariat Islam, Allah adalah sebagai Rabb, yang dalam Surat Al-A’la: 1-2 diterangkan sebagai Pencipta, dan Penyempurna (khalaqa fasawwa).
Dalam Surat Al-Fatihah: 1-3 dinyatakan bahwa Allah, dalam melaksanakan kehendak-Nya (mencipta dan menyempurnakan ciptaan), dilandasi oleh sifat-sifat utama-Nya, yang dalam ayat-ayat itu disebut sebagai Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan Maliki yaumiddin.
Dalam tafsirnya, Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa kata Rahman dan Rahim kedua-duanya berasal dari kata rahmat, yang artinya kelembutan hati yang mengharuskan berbuat kebajikan kepada yang dirahmati, yang ini meliputi pengertian cinta dan kasih. Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah kata benda partisi dari wazan yang berlainan, yang menyatakan arti yang intensif. Ar-Rahman, menurutnya, ialah Tuhan Yang Maha-pemurah, yang cinta dan kasih-Nya diwujudkan dalam terciptanya dunia ini, dan Ar-Rahim, ialah Tuhan Yang Maha-pengasih, yang cinta dan kasih-Nya diwujudkan pada hari kemudian, berupa buah dari perbuatan manusia.
Oleh karena manusia terdiri dari untuk jasmani dan ruhani, maka Rubbubiyah Ilahi bukan saja dalam segi jasmani, melainkan juga ruhani. Maksudnya, Allah menciptakan dan menyempurnaan manusia itu dari jasmani dan ruhani. Jika rahmaniyah Ilahi dari sisi jasmani terwujud dalam penciptanaan semesta alam dengan segala hukum-hukumnya, dan rahmaniyah Ilahi terwujud dalam pemberian buah dari setiap perbuatan manusia dalam mendayagunakan alam, maka dari sisi ruhani, rahmaniyah Ilahi terwujud dalam diturunkannya agama, sedangkan rahimiyah-Nya terwujud dalam pemberian pahala yang berlipat ganda atas perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia.
Sementara itu sifat Maliki yaumiddin, yang diartikan sebagai Yang memiliki hari pembalasan, terwujud dalam pemberian balasan atas perbuatan salah (dosa) yang hanya sebanding dengan tingkat kesalahan yang diperbuat, atau menangguhkan pembalasan, atau bahkan pengampunan atas perbuatan dosa manusia.
Dari uraian sederhana di atas, jelaslah bahwa agama merupakan wujud cinta kasih Allah kepada manusia, agar dengan itu manusia, secara ruhani, dapat mencapai kesempurnaan. Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa pentingnya agama bagi manusia adalah sama pentingnya dengan alam semesta. Ini berarti pula bahwa pentingnya menjalankan prinsip-prinsip agama, sama pentingnya dengan mendayagunakan alam semesta, atau secara lebih spesifik lagi, beribadah menurut tuntunan agama sama pentingnya dengan bekerja.
Beragama adalah fitrah manusia
Secara fitriah, manusia memerlukan agama, yang akan menuntun dan mengembangkan fitrahnya ke arah kesempurnaan. Pentingnya agama bagi manusia bukan hanya diakui oleh para agamawan, melainkan sejumlah ahli psikologi pun mengakui hal hal sama.
Albert Einstein, misalnya, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman, yang sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk di dalamnya adalah keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. “Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu.”, kata Einstein. Lebih lanjut Einstein berani menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta”. (Jalaluddin Rakhmat, 2005)
Seorang psikiater asal Swiss, C.G. Jung juga menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya semua pasiennya yang berusian di atas 35 tahun, tidak ada seorang pun yang masalahnya akhirnya tidak berkaitan dengan pencarian pandangan kehidupan yang religius. Ia bahkan menyatakan bahwa semua pasien tersebut jatuh sakit karena mereka telah kehilangan apa yang diberikan agama kepada penganutnya pada setiap abad, dan tidak seorang pun dapat betul-betul disembuhkan kalau tidak memperoleh kembali pandangan keagamaannya.(Jalaluddin Rakhmat, 2005)
Rasa keagamaan
Rasa keagamaan, menurut Susilaningsih (1996), yang merujuk pada pendapat W.H. Clark, adalah suatu dorongan dalam jiwa yang membentuk rasa percaya kepada Dzat Pencipta manusia, rasa tunduk, serta dorongan taat atas aturan-Nya. Dengan demikian, masih menurut Susilaningsih, rasa keagamaan mengandung dua dorongan, yaitu dorongan Ketuhanan dan dorongan moral. Jika demikian maka, rasa keagamaan adalah suatu keyakinan adanya Tuhan, yang membuat aturan-aturan dalam bentuk perintah dan larangan, yang perintah dan larangan itu dijalankan dengan penuh kesadaran.
Jika konsepsi ini dikaitkan dengan agama Islam, selaras dengan penyataan F. Ahmadi (2002) bahwa Islam adalah sistem nilai. Atau dengan kata lain, Islam terdiri dari nilai-nilai (set of values), yang ia sebut sebagai Sistem Nilai Islam. Pernyataan F. Ahmadi didasarkan atas arti kata islam itu sendiri, yang menurut Maulana Muhammad Ali (1990) berarti to enter into peace, sehingga menurutnya, seorang Muslim, yakni orang yang beragama Islam adalah one who makes his peace with Gad and man, damai dengan Tuhan dan damai dengan sesama.
Damai dengan Tuhan, menurutnya, bahwa peace with God implies complete submission to His will, and peace with man is not only to refrain from evil or injury to another but also to do good him, yakni bahwa damai dengan Tuhan berarti berserah diri sepenuhnya terhadap kehendak-Nya, sedangkan damai dengan sesama manusia bukan saja menghindari perbuatan jahat dan sewenang-wenang, melainkan juga berbuat baik kepada sesama manusia.
Ahmadi lebih lanjut mengemukakan beberapa contoh nilai-nilai Islam yang terpenting, di antaranya, pertama, beriman kepada Tuhan (Allah) Yang Maha Esa. Di antara keimanan dalam Islam yang terformulasi dalam Rukun Iman, beriman kepada Ke-Esaan Allah merupakan yang terpenting, yang pengertian iman itu sendiri bukan sekedar “percaya akan adanya” melainkan juga berarti “setia”.
Kedua, berbuat kebajikan atau beramal shalih, yang wujudnya sangat banyak, di antaranya: amar ma’ruf nahi munkar, berbuat adil, tidak makan harta anak yatim, jujur, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak bersaksi dusta, tidak membunuh, taat kepada orangtua, dan masih banyak lagi. Ketiga, memberi makan kepada fakir miskin, dan tidak kasar kepada anak yatim. Menurutnya, nilai ini sangat penting, karena jika tidak dilaksanakan maka nilai-nilai lain yang sudah dilaksanakan seolah-olah tidak ada artinya, dan bahkan dalam Surat Al-Ma’un disebut sebagai pendusta agama.
Penumbuhan rasa keagamaan
Kendati secara fitriah manusia beragama, akan tetapi, seperti dinyatakan dalam uraian di atas, bahwa agama pada intinya adalah nilai-nilai, atau serangkaian nilai, yang harus dilaksanakan oleh penganutnya. Dalam kenyataannya manusia tidak mampu mengenal nilai-nilai yang harus dijalankan itu tanpa adanya informasi dari orang lain.
Dalam sejarah keagamaan, di tiap-tiap bangsa dan dari waktu ke waktu, senantiasa ada orang-orang yang mengajarkan nilai-nilai agama itu, dan sekaligus memberi contoh dalam hal menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam terminologi Islam, orang-orang seperti dimaksud disebut sebagai nabi.
Nabi (berasal dari kata Arab naba’ yang artinya pemberitahuan), adalah orang yang menerima pemberitahuan dari Tuhan, yakni berupa firman-firman-Nya, berisi hukum-hukum, perintah dan larangan, untuk disampaikan kepada umat nabi itu, dan sekaligus memberi contoh terhadap pelaksanaan hukum, perintah dan cara-cara menjauhi larangan, yang kesemuanya itu sebagai sarana bagi Allah untuk mendidik, menuntun, dan menunjukkan manusia akan mencapai kesempurnaan sebagai ciptaan Allah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa para nabi Utusan Allah adalah pendidik-pendidik sejati bagi manusia.
Pendidikan agama
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam upaya menumbuhkan rasa keagamaan, pendidikan adalah suatu media yang mutlak diperlukan, baik pendidikan formal maupun non-formal dan informal. Itulah makanya, dalam sistem pendidikan Islam, dikenal dengan tiga pusat pendidikan yang penting, yakni di dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan pendidikan formal seperti sekolah, dan lain-lain. Sebenarnya bisa ditambahkan satu lagi, yakni masjid, yang bisa juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan yang penting.
Pendidikan agama, dalam konteks Islam, menurut Zuhairini, dkk. (1983), adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian pendidikan agama (Islam) lebih diarahkan pada pembentukan pribadi Muslim yang taat, berilmu dan beramal. Beberapa faktor, atau lebih tepatnya komponen, yang musti ada dalam pendidikan agama, masih menurut Zuhairini, dkk., adalah anak didik, pendidik, tujuan pendidikan, alat-alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Komponen-komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain, yang kualitas masing-masing menentukan keberhasilan pendidikan yang diharapkan.
Jika definisi tersebut di atas benar, maka tujuan pendidikan agama adalah membentuk pribadi Muslim yang taat, berilmu dan beramal. Jadi dalam konteks agama, pendidikan bukan sekedar transfer pengetahuan dari pendidik kepada anak didik dengan metode tertentu, melainkan peran pendidik sebagai sentral figure bagi anak didik, haruslah mencerminkan visi yang ingin dicapai melalui pendidikan tersebut. Dengan kata lain bahwa seorang pendidikan haruslah mencerminkan sebagai pribadi Muslim yang taat, berilmu dan beramal.
Tugas pendidik, menurut Khoiron Rosyadi (2004), adalah mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang masing-masing secara seimbang, hingga taraf yang paling optimal. Oleh karena itu, Suwarno (dalam Khoiron Rosyadi, 2004) mengusulkan enam syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pendidik, yakni:
- Kedewasaan, yakni seorang pendidik haruslah sudah cukup dewasa, yang ciri-cirinya, antara lain, kewibawaan yang bersumber pada kepercayaan dan kasih sayang antara pendidik dan anak didik.
- Identifikasi norma, yakni integrasi norma-norma yang disampaikan kepada anak didik. Bahwa pendidikan agama tidak bisa disampaikan oleh orang yang sekedar tahu tentang agama, melainkan si pendidik juga harus mencerminkan pribadi yang beragama.
- Identifikasi dengan anak, yakni pendidik dapat menempatkan diri dalam kehidupan anak didik, sehingga usaha pendidikan tidak bertentangan dengan kodrat anak didik.
- Knowledge, yakni mempunyai pengetahuan yang cukup berkenaan dengan pendidikan.
- Skill, yakni memiliki keterampilan mendidik, dan
- Attitude, yakni memiliki sikap dan jiwa yang positif terhadap anak didik.
Dengan kalimat yang sederhana, pendidik agama haruslah memiliki kompetensi yang memadai, baik ditinjau dari penguasaan materi, tingkat usia dan akademis, maupun kepribadian.
Perkembangan rasa keagamaan
Jika keberagamaan merupakan fitrah bagi setiap manusia, maka sesungguhnya, setiap bayi lahir telah memiliki potensi keberagamaan. Tetapi, sudah barangtentu, potensi ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak dikembangkan. Pengembangan potensi keberagamaan pada masa kanak-kanak merupakan usaha yang sangat penting, karena akan berpengaruh secara signifikan pada perkembangan rasa keberagamaan di usia-usia selanjutnya.
Itulah makanya, Clark berpendapat bahwa rasa keagamaan, atau disebut juga religiositas, berkembang semenjak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar. Jadi usaha pendidikan merupakan upaya pemberian pengaruh dari luar tersebut, dalam proses perkembangan religiositas. (Susilaningsih, 1994)
Beberapa karakteristik yang perlu dikenali dalam hal religiositas pada usia anak, masih menurut Clark (dalam Susilaningsih, 1994) adalah sebagai berikut:
- Ideas accepted on authority, yakni bahwa pengetahuan anak berasal dari luar dirinya, terutama (dan yang pertama – pen.) berasal dari orangtuanya. Dalam hal ini orangtua memiliki otoritas untuk membentuk religiositas anak, karena orangtualah yang pertama kali melakukan komunikasi dengan anak. Anak akan memposisikan orangtua sebagai penguasa, sehingga segala sesuatu yang diberikan oleh orangtua akan ditaati oleh anak. Oleh karena peran orangtua sebagai pendidik agama menjadi sangat penting.
- Unreflectif, yakni bahwa penerimaan anak terhadap konsep keagamaan diterima apa adanya, tanpa melalui proses perenungan. Oleh karena itu, pada usia ini, konsep-konsep keagamaan yang diberikan kepada anak akan melekat sebagai kebenaran yang aksiomatis.
- Egocentric, yakni ketika kesadaran diri sudah mulai muncul pada anak, sehingga segala sesuatu dipikirkan menurut dirinya. Oleh karena itu pendidikan agama harus diformulasikan sedemikian rupa, tidak bertentangan dengan karakteristik anak.
- Antrhopomorphic, yakni kemampuan anak untuk mengaitkan sesuatu yang abstrak dengan manusia. Dalam hal ini, anak menggambar Tuhan, misalnya, seperti manusia. Oleh karena itu perlu pengarahan yang tepat, misalnya bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia.
- Verbalized and ritualistic, yakni bahwa praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh anak masih bersifat formalistik dan verbalistik, dan belum dipahami secara hakiki. Oleh karena itu pendidikan agama diarahkan lebih pada pembiasaan-pembiasaan perilaku keagamaan.
- Imitattif, yakni bahwa perilaku keagamaan seorang anak lebih disebabkan karena meniru perilaku lingkungan. Di sinilah pentingnya menciptakan lingkungan yang agamis, sehingga perilaku keagamaan telah menjadi nilai, atau norma yang baku.
- Spontaneous in some respect, yakni bahwa kadang-kadang perilaku keagamaan bukan sekedar meniru, melainkan sudah mulai muncul pertanyaan-pertanyaan pada persoalan-persoalan yang abstark misalnya tentang Tuhan, malaikat, sorga, neraka, dan sebagainya. Karakteristik ini sangat penting, sehingga pendidikan agama lebih diarahkan pada pemberian pemahaman secara kognitif.
- Wondering, yakni sikap takjub terhadap sesuatu yang berlainan dengan keadaan sehari-hari, yang diperoleh dari kisah-kisah keagamaan.
Tahapan kualitas rasa keagamaan dalam Islam
Menurut F. Ahmadi (2002) keimanan dalam Islam ditentukan secara bertingkat, dan tingkat keimanan seseorang bergantung pada seberapa baik, atau seberapa buruk, orang tersebut melaksanakan nilai-nilai Islam.
Tingkat keimanan seseorang dikatakan baik jika keimanannya selalu meningkat. Pertama, disebut muslim, yakni orang yang telah mengakui Islam sebagai agamanya, yang secara verbal diwujudkan dengan ucapan Dua Kalimat Syahadat.
Kedua, disebut mukmin, yakni yang keimanannya bukan sekedar kepercayaan tetapi diikuti dengan keyakinan yang kuat dalam hati. Ketiga, disebut muhsin, yakni keimanannya menjadi pendorong (primum mobile) untuk berbuat kebaikan, yang kebaikan itu dilakukan tanpa pamrih.
Keempat, yang disebutnya sebagai tingkat tertinggi, disebut muttaqin, yakni keimanannya telah membawa pada kemampuan untuk menetapi segala kewajiban Allah dan menjaga diri dari semua hal yang dilarang oleh Allah.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun keberagamaan merupakan fitrah (kodrat alam) manusia, namun rasa keagamaan perlu ditumbuhkan di masa kanak-kanak, agar pada usia selanjutnya bisa berkembang. Penumbuhan rasa keagamaan tersebut akan efektif jika melalui proses pendidikan yang terprogram, baik pendidikan di lingkungan keluarga, di masyarakat dan di lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah.
Oleh: Mulyono
Comment here