ADAM bukanlah manusia pertama, melainkan seorang nabi yang pertama, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits: “Yang paling awal dari para Nabi adalah Adam a.s., sedangkan yang paling akhir adalah Muhammad Saw” (Kanzul ‘Ummal, II, hal 307).
Kepercayaan tentang Adam sebagai manusia pertama di muka bumi tidak berdasarkan pada Qur’an, Hadits, maupun fakta sejarah. Kepercayaan semacam ini tumbuh subur di kalangan umat Islam disebabkan karena dua faktor.
Pertama, pengaruh pemahaman Israiliyat dan Nasraniyat yang telah ada di kalangan Bangsa Arab sebelum Al-Qur’an diwahyukan. Kaum Kristen meyakini bahwa Adam adalah manusia pertama di muka bumi, karena bersumber pada kepercayaan Gereja yang didasarkan atas ajaran Bibel, sebagaimana tertulis: “Manusia pertama, Adam, menjadi makhluk yang hidup” (1 Kor 15:45), yang dibentuk dari debu tanah dan diberi nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej 2:7), yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27).
Kedua, penafsiran atas kisah Adam yang terdapat di dalam Al-Qur’an, yang dipahami sebagai kisah historis semata. Padahal kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu bukanlah kisah historis, yang menerangkan suatu peristiwa tertentu, yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu, karena sebab tertentu saja.
Kisah-kisah para nabi diriwayatkan kembali dalam Al-Qur’an semata sebagai nubuat (profetik), yakni kabar gaib tentang perkara-perkara yang akan datang kemudian. Karena itu, Al-Qur’an tak disusun secara kronologis, sebab ia diwahyukan karena ada latar belakang khusus, yang disebut asbabun-nuzul (sebab musabab diturunkannya suatu wahyu).
Kisah Adam dalam Al-Qur’an: Gambaran Manusia pada Umumnya
Kisah Adam di dalam Al-Qur’an sesungguhnya lebih berdimensi ruhani atau spiritual, bukan historis. Adam yang disebutkan dalam Al-Qur’an merujuk pada manusia pada umumnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Untuk memahami pernyataan ini, ada baiknya kita baca rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an yang berkisah tentang Adam sebagai berikut.
Adam diciptakan dari tanah (QS 3:59, 15:28), dijadikan khalifah di muka bumi (QS 2:30), dengan dikaruniai pengetahuan tentang benda-benda (QS 2:31) dan ilham (QS 2:37), yang akan membantu pertumbuhan jasmani dan ruhaninya secara sempurna. Dengan pengetahuan dan ilham itu, Adam memperoleh derajat melebihi malaikat, sehingga para malaikat diperintahkan sujud kepadanya (QS 2:34).
Adam dan pasangannya dikaruniai pula kemampuan menimbang dan berfikir, maka mereka diperingatkan supaya waspada terhadap barang-barang yang membahayakan dan mengganggu kesenangan dan kebahagiaan mereka (QS 2:35, 7:19). Akan tetapi, dalam keadaan senang dan bahagia itu mereka lupa akan peringatan Tuhan (QS 20:115) dan tergoda bisikan setan (QS 2:36). Bisikan setan yang jahat inilah yang menyebabkan mereka mengambil pertimbangan dan keputusan yang salah, yang mengakibatkan mereka menemui kesukaran dan kehilangan kebahagiaan Sorgawi (QS 2:36, 7:22-23).
Mereka pun bertobat dan Allah menerima tobatnya (QS 2:28; 20:123), lalu Allah menurunkan hidayah (wahyu) kepada mereka agar mereka menggunakan daya-daya kekuatan ruhaninya di jalan yang benar (QS 2:38). Selanjutnya, Allah menjanjikan bahwa hidayah itu diturunkan kepada keturunannya, barangsiapa yang mengikuti hidayah itu akan memperoleh kebahagiaan dan barangsiapa berpaling akan tersesat.
Rangkaian ayat tersebut di atas jelas bukan kisah historis, karena tanpa keterangan tempat dan waktu serta jabatan Adam. Karena itu lebih tepat jika rangkaian kisah itu dipahami secara simbolis, yang dengan demikian sangat terkait erat dengan kodrat manusia pada umumnya, kapan pun dan di mana pun.
Dengan demikian, Adam yang disebutkan di dalam Al-Qur’an bukanlah seorang manusia yang secara historis dulu pernah hidup pada waktu tertentu di tempat tertentu. Melainkan, dia adalah setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk Nabi Adam a.s. dan diri kita masing-masing.
Jika demikian, mudahlah kita memahami ayat-ayat suci yang menerangkan bahwa “Adam diciptakan dari tanah” (QS 3:59; 15:28; 37:71), sebab bukan hanya Nabi Adam a.s. saja yang diciptakan dari tanah, melainkan kita sekalian, karena seluruh manusia diciptakan dari tanah (QS 22:5; 40:67).
Tanah adalah tahap pertama dalam penciptaan manusia, maka kita dapat mengatakan “manusia, pertama diciptakan dari tanah”. Tanah atau saripati tanah kemudian menjadi benih hidup manusia, yang disebut sperma. Karena itu, sperma adalah tahap kedua proses penciptaan manusia, maka kita dapat mengatakan: “manusia, kedua diciptakan dari sperma”.
Demikian pula dalam memahami ayat suci yang menerangkan “Adam dijadikan khalifah di muka bumi” (QS 2:30) dan “malaikat sujud kepadanya (QS 2:35). Ini tak berarti bahwa hanya Adam saja yang dijadikan khalifah dan hanya kepada Adam saja para malaikat bersujud, karena manusia seluruhnya juga dijadikan khalifah di muka bumi, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: ”Dia ialah Yang membuat kamu khalifah di muka bumi’, dan malaikat pun bersujud kepada manusia (QS 38:71-73).
Jadi artinya, Adam dan manusia seluruhnya dijadikan khalifah ialah bahwa manusia itu diberi kekuasaan untuk memerintah alam semesta (QS 45:12-130; malaikat sujud kepada Adam dan manusia seluruhnya ialah bahwa manusia menduduki tempat dan derajat yang paling mulia di antara sekalian ciptaan Allah (QS 7:140), lebih mulia daripada malaikat.
Teranglah bahwa kisah Adam dalam Al-Qur’an adalah gambaran kodrat manusia yang sebenarnya, yakni gambaran tentang hal mendapat sukses dan kemuliaan serta gambaran tentang hal yang menyebabkan kegagalan. Di samping itu menjelaskan pula kepada sekalian umat manusia, bahwa alam semesta dikuasakan kepada manusia, karena manusia dianugerahi pengetahuan tentang benda-benda di alam semesta, dan lagi manusia diberi kemampuan untuk menimbang dan berfikir, yang menyebabkan manusia lebih tinggi daripada sekalian makhluk.
Akan tetapi, jika pikiran dan pertimbangan itu salah, menyebabkan malapetaka bagi manusia. Maka dari itu Allah menurunkan hidayah (wahyu) untuk menentukan barang mana yang baik dan harus dipilih, karena hanya Allah sendirilah Yang Maha-tahu akan rahasia ciptaan-Nya dan Yang Maha-tahu pimpinan manakah yang tepat bagi manusia.
Riwayat Adam, Sang Nabi Pertama
Adam, yang disebutkan dalam Hadits pada permulaan tulisan ini, yang secara historis oleh Nabi Suci disebut sebagai Nabi yang pertama, tentulah bukan “Adam” yang dimaksud dalam Al-Qur’an, apalagi jika dipahami sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.
Adam dalam hadits ini diyakini sebagai seorang tokoh sejarah yang diangkat menjadi Nabi oleh Allah, yang benar-benar ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Akan tetapi di mana dan kapan ia hidup, baik Al-Qur’an maupun Hadits tak menerangkannya. Dengan demikian, sejarah bebas sepenuhnya memberitahukan jawaban yang sesuai dengan penyelidikannya. Jika benar, maka kenyataan itu pasti tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Jika merujuk pada silsilah yang termaktub di dalam Kitab Perjanjian Lama, Adam dipilih sebagai seorang Nabi yang diutus agar memimpin kaumnya sekitar tahun 4000 SM. Pada waktu itu, tentu saja di muka bumi ini telah banyak umat manusia, dan beberapa bangsa ini telah mengakhiri masa pra sejarahnya, seperti bangsa China, Sumeria dan Mesir.
Muhyiddin Ibnu Al-‘Arabi (560-638 H/1165-1240 M), yang dijuluki Muhyiddin (Sang Pembangkit Agama) dan Syaikhul Akbar (Sang Guru Tertinggi), dalam kitabnya Al-Futuhatul-Makkiyah meriwayatkan sebuah kasyaf yang beliau alami manakala beliau tengah melaksanakan thawaf di Baitullah. Dalam kasyafnya, Ibnu ‘Arabi melakukan thawaf bersama beberapa orang lain, sambil mereka mengucapkan syair: “Laqad thufua kama thuffum sinina bikadzal-baiti thurran ajma’ina” (Sesunggunya kami telah bertawaf di rumah ini bertahun-tahun lamanya. Sebagaimana kamu pun telah bertawaf di tempat ini juga adanya).
Beliau menjelaskan tentang kasyafnya. “Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku: Apakah engkau tidak kenal kami? Aku menjawab: Aku tak kenal. Katanya lagi: Aku adalah salah seorang nenek moyangmu. Lalu aku bertanya: Bilakah tuan sudah berada di dunia ini? Ia menjawab: Aku sudah berada di dunia lebih dari 40.000 tahun. Mendengar jawaban itu, aku katakan kepadanya: Mengapa Nabi Adam pun belum selama itu?. Lalu ia berkata lagi: Adam yang mana yang engkau maksud? Apakah Adam yang paling dekat masanya denganmu, atau Adam yang lain? Mendengar jawaban itu baru aku ingat sebuah hadits sabda Rasulullah Saw. Beliau pernah bersabda bahwa Allah Swt. telah menjadikan 100.000 Adam.”
Pernyataan Ibnu ‘Arabi mengenai banyaknya “Adam yang dijadikan Allah” di setiap masa itu selaras dengan penelitian sejarah terkait penemuan fosil-fosil manusia purba berusia ratusan ribu tahun, yang telah ditemukan oleh para ahli kepurbakalaan. Sebagai misal, fosil Pithecanthropus Erectus ditemukan oleh E. Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, Ngawi. Homo Mojokertensis ditemukan dalam tahun 1936; Homo Soloensis ditemukan di dekat desa Ngandong dalam penyelidikan tahun 1931-1934; Homo Wajakensis ditemukan dalam tahun 1889 di dekat desa Wajak, Tulungagung, dan sebagainya.
Fosil-fosil manusia purba itu tidak hanya di temukan di Jawa saja, tetapi juga di seluruh penjuru dunia, antara lain di Daratan China, beberapa tempat di Eropa, Afrika, kawasan Timur Tengah, dan sebagainya.
Seorang Nabi dibangkitkan di kalangan suatu umat
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang pengangkatan seorang Nabi, dalam hal ini tentunya termasuk Nabi Adam, mengandung isyarat bahwa mereka dibangkitkan oleh Allah di tengah-tengah suatu kaum atau kelompok manusia. Berikut ini adalah rangkaian ayat yang menerangkan bahwa setiap nabi dibangkitkan oleh Allah di kalangan sebuah kaum atau bangsa, dengan penjelasan singkatnya.
Pertama, dalam QS Ali Imran (3):33, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi sekalian bangsa”.
Frasa “memilih Adam” mengandung arti implisit bahwa ada manusia lain selain Adam yang tidak dipilih oleh Allah untuk menjadi nabi. Seperti halnya juga yang terjadi pada zaman Nuh, Ibrahim, atau dan Imran, saat mereka dipilih oleh Allah sebagai nabi, maka berarti ada orang lain selain Nuh, Ibrahim dan Imran, yang tak dipilih oleh Allah Swt.
Ini artinya, pada zaman Adam a.s., sudah banyak manusia lain seperti dirinya, sebagaimana juga hal itu terjadi pada zaman Nuh, Ibrahim dan Imran. Artinya, Nabi Adam a.s. bukanlah manusia pertama, karena sudah banyak manusia yang hidup sezaman dengannya.
Kedua, dalam Surat Al-Baqarah (2) : 30 Allah berfirman: “Dan tatkala Tuhan dikau berfirman kepada malaikat: Aku akan menempatkan seorang khalifah di bumi. Mereka berkata: Apakah Engkau akan menempatkan di sana seorang yang berbuat kerusakan di sana dan menumpahkan darah? Padahal kami memuji Engkau dan memahasucikan Engkau? Dia berfirman: Sesungguhnya Aku tahu apa yang kamu tak tahu.”
Kata “khalifah” dalam ayat di atas bisa berarti penguasa, bisa berarti pula pengganti atau wakil. Penguasa secara duniawai adalah raja, sedangkan secara rohani adalah nabi. Dalam arti ini, maka Adam adalah seorang nabi. Karena nabi, berarti ia telah punya umat. Kalau pun kata khalifah yang disematkan kepada Adam ini digunakan dalam arti kedua, yakni pengganti, maka tentu ada yang digantikan, yakni manusia sebelumnya. Berarti dengan demikian Adam tetap bukanlah manusia yang pertama.
Ketiga, dalam Surat An Nahl (16) : 36 Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah membangkitkan pada tiap-tiap umat seorang Utusan (yang menyeru): Mengabdilah kepada Allah dan jauhilah perbuatan jahat…”
Dari ayat ini dan juga ayat-ayat lainnya lagi, seperti QS 10:47, ditegaskan bahwa seorang utusan dibangkitkan di antara suatu umat. Artinya, ada umat terlebih dahulu sebelum datangnya seorang Utusan, bukan sebaliknya.
Keempat, dalam Surat Ibrahim (14) : 4 Allah berfirman: “Dan tiada Kami mengutus seorang Utusan, melainkan dengan bahasa kaumnya, sehingga ia dapat menerangkan dengan jelas kepada mereka”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang Nabi atau Utusan dibangkitkan di tengah-tengah umat yang telah maju atau modern. Tanda kemajuan itu adalah bahasa. Jadi Adam a.s. pun menerima wahyu dalam bahasa kaumnya. Ayat ini mengisyaratkan bahwa Nabi Adam a.s. dibangkitkan di tengah-tengah suatu kaum atau kumpulan manusia.
Kelima, dalam Surat An-Nisa (4) : 165 Allah berfirman: “Para Utusan, mereka mengemban berita baik dan memberi peringatan agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) Utusan”. Juga dalam Surat Al-Ma’idah (5) : 99 Allah berfirman: “Tugas seorang Utusan hanyalah menyampaikan (risalah). Dan Allah tahu apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Jika Adam adalah manusia yang pertama, dan tidak ada manusia sebelumnya atau pada masanya, maka kepada siapa Adam menyampaikan berita baik, peringatan Allah, atau risalah yang diembankan kepadanya, sebagaimana disitir dalam ayat-ayat di atas?
Keenam, dalam Surat Al-Hijr (15) : 10-11 Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para Utusan) sebelum engkau di kalangan umat yang dulu-dulu, dan tak pernah seorang Utusan datang kepada mereka, melainkan mereka memperolokkan dia”.
Juga dalam Surat Al-An’am (6) : 112 Allah berfirman: “Dan demikianlah bagi tiap-tiap Nabi Kami buatkan musuh, setan-setan, manusia, dan jin. Sebagian mereka menghasut sebagian yang lain dengan ucapan yang indah untuk menipu (mereka)”.
Jika Nabi Adam a.s. dianggap sebagai manusia yang pertama, maka tentu tidak ada manusia lain yang bisa memperolok-olok, mengejek, dan memusuhi beliau, sebagaimana diisyaratkan dalam dua ayat di atas.
Ketujuh, dalam Surat Al-Furqon (25) : 20 Allah berfirman: “Dan Kami tak mengutus seorang Utusan sebelum engkau, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar”. Tentu tidaklah mungkin Nabi Adam a.s., jika ia dianggap sebagai manusia pertama, berjalan-jalan di pasar tanpa bertransaksi dalam perniagaan dengan manusia lainnya.
Kedelapan, dalam Surat Al-Baqarah (2) : 36 Allah berfirman: “Akan tetapi setan membuat mereka tergelincir dari sana, dan menyebabkan mereka berdua keluar dari keadaan yang mereka ada di dalamnya. Dan Kami berfirman: “Pergilah! Sebagian kamu adalah musuh sebagian yang lain”.
Perintah Allah, ”Pergilah!” adalah terjemahan kata ihbithu. Kata ini bentuk jamak, untuk orang banyak, bukan bentuk mufrad atau tunggal (ihbith), dan bukan pula bentuk tatsmiyah atau dual (ihbitha). Jadi yang terusir dari Sorga dalam konteks ayat ini bukan hanya satu orang (Adam sendiri), dan bukan pula dua orang (katakanlah: Adam dan Hawa), tetapi banyak orang, yang kemudian di antara mereka terjadi “sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain.”
Dari uraian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa baik menurut ilmu pengetahuan manapun Al Qur’an, Nabi Adam a.s. bukanlah manusia pertama, karena ketika Adam diangkat sebagai Nabi kira-kira 4000 tahun sebelum tarikh Masehi, di muka bumi ini telah banyak umat manusia.
Lantas siapa manusia yang pertama?
Seringkali muncul pertanyaan sia-sia “Jika bukan Nabi Adam a.s., lantas siapakah manusia yang pertama di bumi ini?” Sesungguhnya pertanyaan ini tidak memiliki signifikansi apa pun bagi iman seorang muslim secara khusus, maupun bagi ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dari segi iman, Al-Qur’an tak memerintahkan umat Islam untuk beriman kepada manusia pertama. Al-Qur’an hanya memerintahkan kepada umat manusia agar beriman kepada para Nabi Utusan Allah tanpa diskriminasi (QS 2:179, 285). Salah seorang Nabi yang wajib diimani itu adalah Nabi Adam a.s. Soal apakah dia manusia yang pertama atau bukan, tidak dipersoalkan dalam rukun iman yang wajib didaku oleh seorang muslim.
Al-Qur’an tidak menyebutkan ataupun menerangkan mengenai siapa manusia yang pertama diciptakan, serta kapan, di mana dan bagaimana ia diciptakan. Hal yang sama berlaku pula dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Al-Qur’an tidak juga menyebutkan atau menerangkan di mana, kapan dan bagaimana, sebagai contoh, kuda atau kerbau yang pertama diciptakan Allah.
Ilmu pengetahuan pun tak akan menemukan jawabannya, karena segala ciptaan Ilahi itu tunduk kepada salah satu hukum penciptaan, yaitu hukum asal kejadian dan hukum tentang kelahiran atau pengembangbiakan, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Ia (Allah) yang mengawali dan mengulang ciptaan” (QS 85:13).
Hukum asal penciptaan atau ciptaan pertama sifatnya misterius, sebab Allah Swt tak memberitahukan kepada hambaNya. Yang dapat kita kenali hanyalah hukum penciptaan ulangan atau pengembangbiakan yang tetap, yang tak berubah-ubah.
Sehingga, pertanyaan soal “siapa manusia pertama di muka bumi ini” menjadi tidaklah relevan atau signifikan untuk dimunculkan.[]
- Penulis: K.H. Simon Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Periode 1995-1999
- Sumber : Naskah Buku Ensiklopedia Ahmadiyah
Comment here