Kebenaran ajaran Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’anul-Karim sesunggguhnya bukanlah barang baru. Sebabnya, para nabi yang dibangkitkan oleh Allah sebelum Nabi Muhammad saw. pun mengemban perkara yang sama dengan itu. Semua Kitab Suci pada hakikatnya diturunkan untuk mengabarkan perkara kebenaran ini, agar semua manusia mengikuti jalan kebenaran itu (shiraathl–mustaqiim).
Akan tetapi, Al-Qur’anul-Karim boleh dikata jauh lebih unggul daripada Kitab Suci sebelumnya disebabkan oleh karena dua hal. Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. dibangkitkan bukan untuk semua bangsa di dunia, melainkan hanya untuk memimpin satu bangsa tertentu, pada waktu bangsa itu ditimpa kerusakan budaya, akidah dan akhlak.
Oleh karena itu, Kitab Suci yang diajarkan oleh para nabi itu ibarat undang-undang yang hanya berlaku bagi bangsa tertentu dan hanya memuat petunjuk-petunjuk yang sesuai dengan keadaan serta kebutuhan bangsa tertentu pula.
Kedua, para nabi terdahulu menerima syari’at yang hanya berlaku untuk zamannya saja. Allah tidak menghendaki Kitab Suci yang dibawa para nabi terdahulu itu sebagai petunjuk yang berlaku hingga kiamat kelak. Oleh karenanya, semua Kitab Suci itu seperti undang-undang yang berlaku untuk zaman tertentu, dan hanya membawa petunjuk-petunjuk yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan zaman itu.
Akan halnya Qur’an, ia terbebas dari dua macam kekurangan di atas. Sebab, Allah Yang Maha Agung menghendaki Qur’an Suci dapat memperbaiki, menyempurnakan dan membimbing seluruh manusia sepanjang zaman, dalam berbagai macam keadaan. Selain itu, dengan turunnya Al-Qur’an, Dia hendak menunjukkan Islam ke hadapan manusia dalam bentuknya yang sempurna dan agung.
Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’anul-Majid untuk seluruh bangsa dan segala zaman, sebagai suatu undang-undang yang lengkap dan sempurna. Qur’an Suci berlaku hingga hari kiamat, bermanfaat bagi manusia dalam segala tingkat kemajuannya, dan menjadi pembuka pintu rahmat untuk segenap umat.
Allah Ta’ala berfirman, “Lalu kami wariskan Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Maka di antara mereka ada yang lalim terhadap dirinya, dan di antara mereka ada yang mengambil jalan tengah, dan di antara mereka ada pula yang paling depan dalam menjalankan kebaikan. Dengan izin Allah, itu adalah karunia yang besar.” (QS 35:32)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menyebutkan tiga golongan yang menjadi para pewaris Kitab Suci. Golongan pertama, orang- orang yang berbuat lalim terhadap jiwanya sendiri (dzaalimu li nafsih), adalah mereka yang selalu berusaha keras menindas nafsu amarahnya untuk dapat berjalan di jalan Allah Ta’ala, dan mereka senantiasa berjuang menaklukkan hawa nafsunya, sekalipun harus menanggung berbagai kesulitan.
Golongan kedua, orang-orang dalam keadaan tengah-tengah (musqtashid). Adakalanya mereka harus menekan dan memaksa hawa nafsu mereka untuk mengabdi kepada Allah, dan adakalanya mereka bisa secara spontan, dengan senang hati dan semangat tinggi, mengabdi dan mengikuti kehendak Ilahi.
Pendek kata, golongan ini sekali tempo harus melalui berjuang keras mengendalikan hawa nafsunya, agar dapat memujudkan kehidupan yang selaras dengan hukum-hukum dan kebijaksanaan Allah. Tetapi pada tempo yang lain mereka dapat menunjukan pengabdian dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mudah, tanpa merasa keberatan sedikit pun, lantaran adanya dorongan alamiah dan hasrat hati yang kuat sekali.
Kelompok ini belum bisa mencapai keadaan dimana kehendak dirinya dengan kehendak Allah dapat sejajar secara sempurna. Mereka belum mampu mencapai kondisi kemenangan abadi atas hawa nafsunya.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang paling depan dalam menjalankan kebaikan (as-saabiqun bil-khairaat), yang paling tinggi derajatnya. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai kemenangan gemilang dan abadi terhadap nafsu ammarah. Mereka bersuka ria dengan hukum-hukum Allah, dengan semua syari’at-Nya, dengan semua qadla dan qadar-Nya. Mereka juga bersuka ria dengan hal-hal yang diridhloi dan dikehendaki-Nya.
Bagi golongan ketiga ini, tak ada lagi rasa susah dan khawatir di dalam pengabdian dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala. Kepatuhan mereka kepada Allah seakan sudah menjadi tabiat yang menjadi penyejuk hati mereka, sehingga seakan-seakan tanpa kepatuhan kepada-Nya mereka tak dapat hidup. Jiwa mereka penuh dengan hasrat dan gairah untuk mengabdi kepada Allah secara suka rela.
Untuk memujudkan ketaatan kepada Allah, mereka tak perlu lagi bersusah payah menekan dan menaklukkan hawa nafsu, sebab kondisi batin mereka sudah mencapai tingkat “nafsul-muthma’innah”. Dengan demikian, apa yang menjadi kehendak Allah adalah juga menjadi kehendak mereka. Apa yang diridhloi Allah adalah juga apa yang mereka ridha atasnya.
Mereka begitu senang dengan kebijaksanaan dan kehendak Allah Ta’ala, sebagaimana Allah juga sangat senang dengan perkara itu. Pada waktu datang ujian dari Allah, mereka tidak akan mundur selangkah pun, bahkan mereka semakin maju beberapa langkah lagi.
Ketiga golongan manusia tersebut dalam ayat di atas dinyatakan akan mendapat anugerah yang besar. Artinya, golongan dzolimu li nafsih mendapat anugerah yang sama dengan kedua golongan lainnya, al-muqtashid dan as-sabiquun bil-khairaat, karena mereka semua termasuk hamba Allah yang terpilih dan dikasihi-Nya. Padahal di dalam Qur’an Suci tidak sedikit ayat yang menyatakan bahwa Allah Yang Maha Agung tidak suka terhadap orang lalim, dan orang yang sedemikian tidak akan memperoleh limpahan rahmat dari Allah Ta’ala.
Dengan demikian, harus dipahami bahwa yang dimaksud golongan “orang-orang yang lalim terhadap dirinya sendiri” di dalam ayat ini bukanlah mereka yang durhaka kepada Allah Ta’ala, bukan pula golongan musyrik atau kafir, yang meninggalkan keadilan dan kebenaran. Sebab, orang-orang semacam itu jelas oleh Qur’an Suci disebut sebagai orang-orang yang tertolak dan mendapat murka Allah.
Yang dimaksud adalah orang-orang yang senantiasa sibuk berjuang memerangi hawa nafsunya dan berusaha sekuat tenaga mengendalikan gejolak hawa nafsunya, semata karena Allah. Karena itu, lafadh “dzaalim” di dalam ayat ini bukanlah diterapkan untuk orang yang terkutuk, tetapi diterapkan untuk orang yang terpuji.
Sehubungan dengan makna “dzaalim” dalam ayat tersebut, ada satu alasan lagi, yakni fungsi Qur’an Suci sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (muttaqin). Karena itu, yang bisa memperoleh manfaat, hidayah dan berkah dari Qur’an Suci hanyalah khusus orang-orang yang bertakwa. Sebagai difirmankan oleh Allah:
“Aku Allah Yang Maha Tahu. Kitab ini tidak ada keragu-raguan di dalamnya, adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa.” (QS 2:1-2)
Singkat kata, dengan memperhatikan fungsi turunnya Al-Qur’an ini, secara menyakinkan dapat dimengerti bahwa lafadz “dzalim” dalam QS 35:32 di atas bukanlah bermakna orang-orang yang secara sengaja durhaka kepada Allah, bukan pula orang-orang yang meninggalkan keadilan dan orang-orang yang berbuat syirik serta kafir. Sebab orang-orang itu bukan termasuk dalam kalangan orang-orang yang bertakwa.
Yang dimaksud lafadz “dzalim” dalam ayat itu sebenarnya bukan hanya kelompok orang-orang yang bertakwa dan beriman, melainkan juga pemimpin orang-orang yang bertakwa, mereka termasuk orang-orang yang bertakwa, orang-orang pilihan Allah Ta’ala.[]
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam Kitab Aina Kamalati Islam. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yatimin AS bertajuk “Cermin Kesempurnaan Islam,” hal. 126-140.
Comment here