ArtikelPerguruan Islam Republik Indonesia

Kasus Korupsi Jilid Dua: Percobaan Ilahi Yang Kedua di PIRI

Pada awal tahun 1956, mulailah di kalangan GAI aliran Lahore timbul desas-desus yang mengatakan bahwa PIRI itu bukan tugas GAI. Mula asalnya desas-desus itu masih ada sangkut pautnya dengan peristiwa tahun 1954 yang lampau.

Memang benar, mendirikan sekolah itu bukan tugas GAI aliran Lahore. Sebab sekolah-sekolah yang didirikan oleh GAI aliran Lahore itu hanya merupakan alat sebagai tempat menunaikan tugas. Adapun tugas pokok dari GAI aliran Lahore ialah: Isya’atul-Islam wa khifaadatul-Islam, Penyiaran Islam dan Pertahanan Islam.

Desas-desus itu dibisikkan oleh orang yang benci kepada PIRI, sengaja untuk lebih mengeruhkan suasana di dalam PIRI, yang sesungguhnya tidak perlu. Dikatakan bahwa PIRI tidak menggambarkan corak Ahmadiyah, karena guru-gurunya, tata usahanya, semuanya bukan orang-orang yang telah bai’at kepada Ahmadiyah, maka dari itu sukur untuk dipertanggungjawabkan.

Yang dikehendaki oleh GAI mendirikan sekolah itu hendaknya mulai dari kepala sekolah, gurunya, sampai kepada tukang sapunya, semua anggota Ahmadiyah, yang telah menyatakan bai’at-nya kepada Allah Ta’ala hendak menjunjung agama melebihi dunia. Artinya, hendak mentaati perintah agama dan menjauhi larangannya, mendahulukan perkara agama dari pada lainnya.

Memang itu suatu cita-cita ideal yang baik sekali. Tetapi sukar dilaksanakannya. Karena pada waktu itu, jumlah anggota GAI yang tidak banyak itu tersebar ke seluruh pelosok tanah air, dan kebanyakan mereka Pegawai Negeri, yang tidak semua orang mempunyai waktu untuk mengajar. Apalagi, memang sekolah PIRI itu serba Perjuangan, dan sukar untuk mencari orang yang mau berjuang dengan suka rela, tidak mengharapkan upah dan pujian.

Orang mudah mencela karena melihat dari luar banyak kekurangan, tetapi terjun di dalamnya untuk memperbaikinya, menambah kekurangan-kekurangan itu, jarang yang berani. Sebab itu, sesungguhnya bagi kita dipuji tidak menyebabkan busung dada, dicela pun tidak menyebabkan kecil hati mundur teratur. Kita berjalan terus.

Rupa-rupanya, pihak pro dan kontra desas-desusnya makin terdengar. Waktu itu, PIRI masih menjadi bagian pendidikan dan pengajaran dari GAI aliran Lahore. Pengurus PIRI terdiri dari Ibu Kustirin Djojosugito sebagai Ketua, Sdr. Supratolo sebagai Wakil Ketua, Sdr. R Sunarto sebagai Sekretaris, dan Sdr. Jusman Hadisunarjo sebagai Bendahara.

Oleh karena kami sebagai ketua merasa kurang mampu untuk melaksanakan tugas yang digariskan oleh GAI aliran Lahore dalam waktu singkat, seperti dikehendaki oleh GAI, maka pada konferensi tahunan di Jakarta pada tahun 1956, PIRI kami serahkan kembali kepada GAI dalam konferensi itu.

Yang semula PIRI bergerak dengan modal nol, kami serahkan berwujud gedung-gedung sekolah kepunyaan PIRI sendiri di Baciro, Yogyakarta dan Purwokerto. Sekolah-sekolah PIRI yang masih menyewa adalah SGB Putri PIRI di Kemetiran Lor No 3, SMP PIRI Bersubsidi di Mangkukusuman, SGB PIRI Bersubsidi di Pujokusuman dan Brontokusuman, SGTK PIRI di Mangundipuran, serta SMP PIRI di Madiun.

Berakhirlah tugas kami sebagai Ketua Pengurus PIRI, dan dalam konferensi itu juga ditunjuk Sdr R. Kaelan sebagai Ketua Pengurus PIRI yang baru, dan diwajibkan membentuk stafnya yang baru itu. Sebelum Pengurus PIRI yang baru terbentuk dan disahkan oleh Pedoman Besar GAI aliran Lahore, Pengurus PIRI yang sudah demisioner masih diwajibkan menjalankan tugasnya.

Pembentukan Pengurus PIRI yang baru rupa-rupanya tidak semudah seperti yang digambarkan. Mengenai personalia yang mau bekerja penuh dengan suka rela karena Allah, dapat dikatakan tidak ada Anggota GAI yang dipandang mampu bekerja. Semuanya Pegawai Negeri yang tidak mempunyai waktu untuk bekerja di Kantor PIRI.

Akhirnya setelah memakan waktu kurang lebih satu satuhn, terbentuklah Pengurus PIRI yang baru, dengan personalia sebagai berikut: Sdr R. Kaelan (Ketua), Sdr. Langgeng (Wakil Ketua merangkap Sekretaris), Sdr Daud Tjahja (Pembantu).

Sdr. Sunarto dan Sdr Supratolo tidak bersedia lagi duduk dalam pengurus baru. Sdr. R Jusman Hadisunarjo, karena merasa tidak tega terhadap PIRI, akhirnya mau juga duduk dalam pengurus baru sebagai Bendahara. Hanya, sementara waktu beliau tidak dapat duduk di kantor seperti dahulu.

Maka pada awal bulan September 1957, dengan resmi PIRI kami serahkan kepada pengurus baru, Sdr R. Kaelan dengan stafnya, dan kami mengundurkan diri. Persiapan daftar untuk timbang terima dan inventaris, telah lama selesai dibuat. Maka mulailah kami mencocokan inventaris yang kami serahkan itu.

Karena pejabat Ketua tidak dapat duduk aktif bekerja di kantor PIRI, maka Wakil Ketua dan Pembantunya menjalankan tugas sehari-hari. Perlu kami kemukakan bahwa wakil ketua dan pembantunya, kedua beliau tersebut bai’atnya menjadi anggota GAI aliran Lahore belum lama, masih baru.

Oleh Wakil Ketua, dibentuklah panitia, yang akan bersama-sama pengurus lama mencocokkan inventaris, diketuai oleh Sdr. Langgeng, dibantu oleh dua orang pegawai. Pekerjaan mencocokkan inventaris itu terkadang dikerjakan sendiri oleh Sdr. Langgeng dengan stafnya, terkadang hanya stafnya saja dengan pengurus lama.

Pekerjaan mencocokkan inventaris ini pun memakan waktu beberapa bulan, karena kami mengiginkan jangan sampai ada barang-barang yang kecicir, mengingat susah payahnya mencari barang-barang itu dahulu.

Setelah selesai, pada akhir tahun 1957 inventaris dari seluruh Sekolah-Sekolah PIRI kami serahkan kepada pengurus baru, untuk mendapatkan tanda tangan. Tetapi hal ini pun tidak semudah seperti yang kita kira-kirakan, sehingga terpaksa terkatung-katung.

Perubahan yang radikal telah dilaksanakan oleh pengurus baru. Sentralisasi dianggap menyebabkan kurang lancarnya pekerjaan, lalu dirubah dengan sistem desentralisasi. Bantuan dari guru dan pegawai untuk pembangunan PIRI yang telah berjalan bertahun-tahun, pada saat itu pun dihapus.

Dalam kepengurusan baru itu, Ketuanya tak dapat secara langsung mengadakan pengawasan. Setelah hampir setahun berjalan, mulailah kedengaran isu-isu bahwa Pengurus PIRI mempunyai CV, mempunyai Truk, Mobil dan lain-lain.

Rupa-rupanya, Ketua PIRI sadar akan bahaya yang mengancam dirinya. Lalu bersama-sama dengan bendahara, mengambil alih dan mencabut wewenang yang telah diberikan pada Wakilnya itu. Kemudian Ketua bersama-sama dengan Bendahara aktif duduk di kantor pusat PIRI.

Bendahara memeriksa pengurus PIRI, maka terbongkarlah penyelewengan yang selama setahun dijalankan oleh Wakilnya itu. Uang subsidi Rp 110.000 untuk melanjutkan pembangunan gedung PIRI, ternyata yang Rp 100.000 diambil, dipergunakan untuk mendirikan CV dan angkutan berwujud truk dan mobil sedan.

Maka timbullah perselisihan antara Ketua dan Wakilnya, yang berakhir dengan ancaman oleh Wakilnya akan mengadu kepada Penguasa setempat. Pengaduan itu berwujud tuduhan bahwa Pengurus PIRI lama dan baru  menyalahgunakan uang subsidi, dengan tembusan kepada Kementrian P.P. & K Pusat Jakarta Bagian Subsidi dan Inspeksi Daerah Semarang.

Maka mulailah Ketua dipanggil sebagai saksi yang berwajib,  sedang Wakilnya sebagai tertuduh, sementara itu ditahan oleh yang berwajib,  karena terbukti dirinyalah yang menggunakan uang subsidi.

Selain dari pihak  kepolisian yang berulang-ulang memeriksa terdakwa dengan saksinya, juga dari bagian subsidi, R.M. Sumodjono dari Jakarta, datang di Jogja dengan pembantunya, memeriksa keuangan PIRI. Selain uang gedung, juga terbukti bahwa subsidi gaji guru/pegawai bulan September 1958 dari SMP dan SMA PIRI Yogyakarta, serta SMA PIRI Purwokerto, belum dibayarkan kepada  yang berhak menerimanya.

Juga telah dikerjakan oleh Wakilnya, menggadaikan tanah milik PIRI yang tercatat atas nama GAI aliran Lahore. Menurut penelitian, sedianya akan dijual olehnya tetapi tak dapat dilaksanakan, karena harus ada surat izin dari GAI aliran Lahore. Maka dari itu, tanah itu hanya digadaikan saja olehnya seharga Rp 40.000.

Berhubung ada kecurangan tersebut, maka dari Kementerian P.P. dan K Bagian Subsidi telah ada pernyataan lisan, bahwa semua subsidi akan dicabut jika pengurus PIRI tidak dapat mengembalikan uang subsidi yang telah diselewengkan tersebut.

Pengurus PIRI pada waktu itu tidak berdaya apa-apa. Demi nasib dari guru-guru dan pegawai-pegawai sekolah PIRI, serta menjaga nama baik GAI aliran Lahore, maka kami bersama-sama dengan sementara anggota Pedoman Besar GAI aliran Lahore  berusaha mencari pinjaman kepada sebuah Yayasan dan kepada orang yang tidak mau disebut namanya.

Terkumpullah sejumlah uang Rp 100.000 untuk dikembalikan sebagai penutup subsidi gedung yang telah diselewengkan itu. Sehingga tertolonglah sekolah-sekolah PIRI karena tidak jadi dicabut subsidinya.

Akhirnya yang menyelewengkan uang subsidi itu diputus hukuman penjara 1 tahun, dalam masa percobaan dua tahun, dan harus mengembalikan uang yang diselewengkannya itu.

Karena kejadian itulah maka bagian Subsidi  menyarankan  agar Pengurus lama kembali menunaikan tugas. Atas dawuh itulah, maka kami kembali menunaikan tugas sebagai pengurus PIRI , mulai 1 November 1958, dan setelah itu barulah daftar inventaris yang kami serahkan untuk melengkapi timbang terima dahulu itu ditanda-tangani oleh Ketua.[]

 

Sumber Artikel : Buku Seperempat Abad PIRI, 1947-1972
Penyunting : Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »