ArtikelDiskursus

Perkara Ahmadiyah: Quo Vadis Kebebasan Berkeyakinan? (Bagian 1)

Kejadian kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini membuat saya banyak merenung mencari hikmah dan hidayah, lnsya Allah. Ada kezaliman sedemikian gamblangnya di depan mata: anak bangsa yang satu menghakimi serta menganiaya sesama anak bangsa lainnya.

Mau tak mau, perlu memikir ulang segalanya dan berfikir keras, dan merenungi mungkinkah ada yang salah ataupun perlu diluruskan atas pandangan yang selama ini diyakini benar?

Sungguh bukanlah perkara main-main: sekelompok orang berpendapat “menghalalkan darah sesama Muslim” karena berbeda pendapat dalam menafsirkan suatu perkara. Bermula adanya kecenderungan proses wacana kriminalisasi dan demonisasi terhadap segolongan kecil Muslim firqah (kelompok) Ahmadiyah, yang dikafirkan, dinyatakan sesat menyesatkan oleh MUI.

Fatwa MUI jelas berpotensi membuat seseorang manjadi outcast, pariah, di bumi pertiwi dimana warga negeri ini sepakat menjunjung nilai-nilai Lima Sila yang Luhur, yang dapat mencari titik temu dari beragam cara pandang dan latar belakang.

Mungkin lebih bijak kalau pada saat yang sangat ‘genting’ ini kita bertiarap dan memohon perlindungan kepada Gusti Allah, Penguasa Langit dan Bumi. lnginnya diam saja, tetapi ketika ancaman itu sedemikian nyata, perlulah turut angkat bicara dan angkat pena untuk menyeimbangkan inforrmasi dan wacana yang berkembang.

Cuma, terseret-seret dengan kontroversi ini bukan karena pilihan, tetapi oleh karena hubungan darah: Minhadjurahman Djoyosugito (MD) adalah kakek saya. Dengan cara pandang yang terkadang saya pun tidak sepenuhnya sepakat ataupun memahaminya. Akan tetapi lumrahnya, madzhab pemikiran anak mengikuti orang tuanya, dan relatif saya cukup mengikuti perspektif pandangan ajarannya.

Di Indonesia ini, tercatat ada dua organisasi Ahmadiyah yangg berbeda. Yang pertama adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang sering juga disebut Ahmadiyah Qadian, yang beranggapan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA), pendiri Ahmadiyah, sebagai nabi. Sedangkan yang satunya lagi adalah Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), atau dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang mendudukan HMGA sebagai Mujaddid atau Pembaharu semata. Perpecahan di antara keduanya terjadi pada 1914, berkaitan dengan perbedaan pandangan anggota organisasi terhadap status dari HMGA.

Semasa SMP dulu, saya pernah melihat buku-buku catatan harian Minhadjurrahman Djoyosugito, karena rasa penasaran ingin tahu siapa dan apa pandangannya. Cuma saya tidak begitu bisa mengikuti. Tulisannya terdiri dari aksara Arab gundul, adapula aksara Jawa, dan yang Latin barulah terdapat dalam bahasa Melayu, Belanda dan lnggris.

Saat itu saya bisanya hanya mengikuti apa yang beliau tulis dalam bahasa Melayu, dan guntingan-guntingan koran yang beliau koleksi. Belakangan, saya lebih banyak rnengerti tentang Minhadjurrahman Djoyosugito justru dari tulisan skripsi seorang sarjana IAIN Yogya (UIN Sunan Kalijaga).

Untuk Moly dan Diko (yang sempat sekolah Muhammadiyah) mungkin familier dengan foto di bawah ini:

Pengurus Muhammadiyah [1918-1921]

Tampak duduk di tengah K.H. Ahmad Dahlan, di sebelah kanannya Minhadjoerahman Djojosoegito, yang semasa awal pendirian Muhammadiyah diberi amanat organisasi sebagai Sekjen, Ketua Majlis Pimpinan Pengajaran, dan ditugasi mendirikan dan memimpin Madrasah Mualimin.

Pada masanya, Minhadjurrahman Djoyosugito menyambut kedatangan mubaligh Ahmadiyah, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig, yang menjadi tamu Muhammadiyah, dan berpendapat bahwa “Ahmadiyya as sister association of Muhammadiyah.”

Pemuda-pemuda Muhammadiyah karenanya di awal-awal masa itu sempat dikirimkan tugas belajar ke Lahore, British India, untuk menimba ajaran tajdid Ahmadiyah. Termasuk di antaranya adalah Jumhan, yang kemudian lebih dikenal sebagai Erfan Dahlan, putra kandung dari KH Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.

Dalam perkembangan selanjutnya pada 1928, sepeninggal KH Ahmad Dahlan, faham dari tajdid HMGA ini di kalangan petinggi Muhammadiyah dianggap menyimpang. Karenanya kemudian terdapat pelarangan untuk mengajarkan di kalangan sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Dan rapat khusus pun diadakan untuk mendengar tanggapan Minhadjurrahman Djoyosugito, yang pada saat itu tengah menjabat sebagai Ketua Cabang Purwokerto, dan juga Mohammad Husni, yang tengah menjabat Sekjen PP Muhammadiyah kala itu. Keduanya diketahui sangat dekat atau dianggap dipengaruhi faham Ahmadiyah.

Saya pikir orang-orang pada saat itu lebih elegan, tidak ada paksa memaksa apalagi sampai berujung pada kekerasan fisik.

Opsi diberikan: (i) menghentikan/meninggalkan pengajaran faham Ahmadiyah di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah, atau (ii) sekiranya masih meyakini tajdid HMGA, dipersilahkan meninggalkan organisasi Muhammadiyah. Keduanya peacefully memilih opsi yang terakhir. Dan tak lama kemudian, De Ahmadiyah Beweging (Lahore), atau Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), sebagai wadah pun dibentuk untuk menampung aspirasi tajdid HMGA.

Guru-guru Muhammadiyah yang bergabung ke dalam Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) antara lain Soedewo Parto Kusumo, yang kemudian juga di kenal sebagai tokoh Jong lslamieten Bond (JIB). Beliau ini yang menerjemahkan Qur’an ke dalam bahasa Belanda untuk pertama kalinya, yang berasal dari kawula negeri Koloni Belanda.

Dalam kumpulan tulisan Dr. Soekiman Wirosandjoyo [1930], yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri semasa Demokrasi Liberal, disebutkan bahwa Erfan Dahlan (yang dikirim Muhammadiyah ke Lahore) menjadi pemuka Ahmadiyah (Lahore) Indonesia, dan menjadi mubaligh Islam di Bangkok, hingga akhir hayatnya.

Bagaimanakah pandangan, kesaksian dan sikap para tokoh pergerakan Islam pada saat itu?

Kita bisa baca antara lain pandangan Haji Oemar Said Tjokroaminoto dalam penutup buku Da’watoel ‘Amal, karya Maulana Muhammad Ali yang ia alih bahasakan ke dalam bahasa Melayu, dan dicetak oleh Percetakan “Persatoean Moehammadijah” di Yogyakarta (tanpa tahun), sebagai berikut:

“Akhir kemudiannya, haruslah kami ulangi lagi, bahwa aqidah-aqidah kita ada bersamaan dengan aqidah-aqidah Sunnah Jamaah. Kita percaya kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab-Nya jang Suci itu. Dengan ikhlas kita menghormat segala Nabi, segala Sahabat, segala orang suci dan segala Mujaddid.

Bukanlah jalan kita akan mengira atau berkata busuk tentang seseorang orang yang baik-baik. Kita menganggap segala firkah­firkah Muslim itu ada di dalam batasnya Islam. Barang siapa berpegang kepada Kalimah “Tidak ada jang wajib disembah melainkan Allah dan Muhammad itu Rasul-Nya,” maka ialah kita anggap seorang Muslim. Menyebutkan seorang Muslim sebagai Kafir, itulah kita anggap dosa yang terbesar. Kita percaya, bahwa Nabi yang Suci itu Nabi yang penghabisan.

Dan tulisan ini kami tutup dengan permintaan yang terus terang kepada seorang dan semuanya akan suka berjabatan tangan dengan kita dalam pekerjaannya Islam, menurut baris-baris dan azas-azas jang telah diuraikan di atas itu.” (Da’watoel ‘Amal, Hlm. 62)

“Dengan senang hati kita telah mengabulkan permintaannya saudara Mirza Wali Ahmad Baig, utusan Pergerakan Ahmadiyah di Yogyakarta, akan menyalin karangan tersebut di atas ini dalam bahasa Melayu.

Kesukaan kita dengan ikhlas mengabulkan permintaan ini terutama sekali ialah kita pandang sebagai satu tanda silaturrahmi antara saudara-saudara kaum Ahmadi dengan saudara-saudara kaum Muslimin di negeri tumpah darah kita, yang tentang Islam dan kelslaman ada bertunggal azas, bertunggal faham, bertunggal fikiran dan bertunggal haluan dengan yang bertanda di bawah ini: O.S. Tjokroaminoto.” (Da’watoel ‘Amal, hlm. 63)

Menurut penuturan Muhammad lrshad, salah seorang di antara pemuda Muhammadiyah yang dikirim ke Lahore sebagaimana halnya Erfan Dahlan, dan selanjutnya juga lebih memilih menjadi mubaligh Ahmadiyah, Tjokroaminoto telah mengisi form bai’at mengikuti tajdid HMGA dan mengirimkannya ke Lahore, sebelum GAI dibentuk tahun 1928. Sehingga, beliau tercatat sebagai Muslim pertama yang bergabung sebagai Ahmadiyah di Hindia Belanda. 

Lebih lanjut, H.O.S. Tjokroaminoto pun menerjemahkan tafsir al-Qur’an karya tokoh Ahmadiyah Lahore, Maulana Muhammad Ali, terjemahan mana baru diselesaikan bagian Juz ‘Ama-nya saja. Menghadapi tentangan dari Ulama-ulama ortodoks atas usahanya menerjemahkan tafsir modern itu, sahabatnya dalam Syarikat Islam, H. Agus Salim, memberikan pembelaan:

“Sebagai lagi, biar berapapun “modern”-nya keterangan-keterangan dalam karangan Maulwi Muhammad Ali itu, berapapun takluknya kepada ilmu pengetahuan (wetenschapelijk), akan tetapi sepanjang pendapatan penyelidikan saya, selamat ia daripada paham kebendaan (materialisme) dan daripada paham “ke-aqlian” (rationalisme), paham keghaiban (mistik), yang menyimpang daripada iman dan tauhid Islam yang benar. Tegasnya, ia terpelihara daripada kesesatan Dahriyah, Mu’tazilah dan Batiniyah.”

Gambar H. Agus Salim, pada saat itu tengah memimpin Delegasi Pemerintah Indonesia menghadiri upacara penobatan Ratu lnggris Elizabeth II. Kebetulan berdekatan waktunya dengan Hari Raya Idul Fitri. Beliau pun didaulat menjadi Imam dan Khatib shalat ldul Fitri, pada Minggu 14 Juni 1953. Tampak bermakmum di belakang kanan beliau adalah Mubaligh Ahmadiyah Lahore, S.M. Abdullah, M.Sc., Ph.D., Imam Besar Masjid Shah Jehan, Woking, London, lnggris, pada periode itu. (Foto Repro Islamic Review, vol. XLI, No. 8, Agustus 1953/1372 H).

Dalam khutbah ld itu, beliau menyerukan para hadirin jamaah ld, yang terdiri dari pemimpin-pemimpin berbagai bangsa umumnya yang tergabung dalam Commonwealth, lnggris agar bangsa-bangsa Islam sedunia menjadi “Ummatan Wasathan,” a people that avoid all extremes and help themselves and humanity to get out of this chaos” (Islamic Review, Vol XLI No. 8, 1953 hlm. 40)

Tampaknya seruan Tokoh Pahlawan Nasional ini relevan untuk diingatkan kembali kepada Kaum Muslimin di Indonesia saat ini, yang cenderung main hakim sendiri, merasa benar sendiri, menghakimi kelompok yang dirasa di luar mainstream, bahkan dengan menghalalkan cara-cara biadab seperti membakar dan menghanguskan Masjid dan Madrasah (beserta Kitab-kitab Qur’an di dalamnya), seperti kejadian di Sukabumi baru-baru ini.[]

  • Penulis: Ahmad Setiawan Djojosoegito | Ketua Badan Urusan Hukum dan Hubungan Internasional PB GAI Masa Bakti 2019-2024
  • Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here