Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana Muhammad Ali Jauhar (Politikus), bahkan akan muncul nama Muhammad Ali seorang legenda petinju Amerika. Namun dalam tulisan ini, yang dimaksud adalah Maulana Muhammad Ali seorang pemimpin, juga pendiri Ahmadiyah Lahore, pecahan dari kelompok Ahmadiyah.
Di sini penulis hendak mengilustrasikan kedekatan Muhammad Ali dengan para Tokoh Indonesia, baik berhaluan nasionalis ataupun agamis pada momentum sebelum kemerdekaan.
Pada awal abad 19-an sebelum kemerdekaan Indonesia, tiga arus ideologi Islam modernitas yaitu Mesir, Arab, dan India datang secara bersamaan ke Indonesia. Peristiwa ini memunculkan polemik di antara kalangan tokoh Islam, karena mereka sedang merumuskan dan mendiskusikan dasar negara Republik Indonesia. Dengan adanya tiga arus ideologi ini memberikan rivalitas di antara mereka yang “bermazhab” dari ketiga kelompok tersebut.
Tiga arus ideologi yang penulis maksud adalah Arab yang membawa Wahabisme, Mesir yang membawa modernitas didakwahkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dan Ahmadiyah Lahore yang dikenalkan oleh Mirza Wali Beig serta Ahmadiyah Qadiyan disebar oleh seorang misionaris Rahmat Ali. Namun, lagi-lagi penulis tegaskan pada artikel ini hanya mewacanakan tokoh dari Ahmadiyah Lahore.
Awal Mula Para Tokoh Indonesia Mengenal Sosok Maulana Muhammad Ali
Pada artikel Moch Nur Ichwan berjudul “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis. The Holy Qur’ân in Egypt and Indonesia” menjelaskan historisitas pengaruh Maulana Muhammad Ali terhadap para tokoh Indonesia melalui literatur-literatur Ahmadiyah Lahore. Referensi yang paling memiliki peran besar adalah kitab tafsirnya berjudul “The Holy Qur’an: Containing The Arabic Text With English Translation and Commentary” karya dari Maulana Muhammad Ali.
Pada tahun 1925, buku ini akan dilakukan penerjemahan ke dalam Bahasa Melayu oleh Hadji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto dan telah direstui Haji Fakhruddin (1890-1929) dan K.H. Mansur dari tokoh Muhammadiyah. Tetapi, setelah diadakan debat publik di tahun 1925 antara Mirza Wali Beig dengan pemimpin reformis radikal Sumatera dan Haji Rasul (Abdul Karim Amrullah, 1879-1949) yang memiliki relasi kuat dengan Rasyid Ridha, berdampak pada proyek Tjokroaminoto yang diveto oleh Muhammadiyah pada kongres tahunan Sarekat Islam tahun 1927.
Selain H.O.S. Tjokroaminoto, ada tokoh lain yang terinspirasi dari bukunya Maulana Muhammad Ali yaitu Ruslan Abdul Ghani, Soekarno, serta sang diplomatik berkarismatik Hj. Agus Salim. Mereka semua saat itu, mendapatkan polemik dan dikonfrontasi paham-paham materialisme, sosialisme, ateisme, komunisme, sampai ajaran Kekristenan. Ahmadiyah Lahore melalui pemikirannya berupaya menghadang pandangan-pandangan materialisme, ateisme dan Kristen, terutama melalui pengaruh buku-buku Maulana Muhammad Ali.
Alkisah pengakuan dari Ruslan Abdul Ghani, ketika pemerintah Jepang menyita semua yang ada di rumahnya, dia berpesan satu hal: “Tolong beri saya sebuah buku, Anda boleh menyita semuanya, tetapi Alquran Maulana Muhammad Ali berjudul The Holy Qur’an ini masih saya simpan”.
Djohan Effendi menuturkan bahwa buku-buku tentang Ahmadiyah memberikan diskursus-diskursus khazanah keislaman yang komprehensif dan holistik. Referensi buku Ahmadiyah memiliki kekhasan, yaitu dengan berani mengambil rujukan dari literatur Barat yang pada saat itu masih dianggap tidak lazim. Nuansa rasionalitas dari buku Maulana Muhammad Ali menjadi sebuah modernisasi dan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam dalam konteks kehidupan saat ini.
Sosok sang Proklamator Soekarno ditemukan bahan bacaan yang menginspirasi dirinya dari literatur Maulana Muhammad Ali seperti Muhammad The Prophet and Ineidintot de studies van den Heiligen Qoer’an, dan Khwaja Kamaluddin Het Evongelisvan den daad and De Bronnen van het Christendom. Implikasi dari bacaan tersebut cair dalam berbagai pidatonya dimana-mana tentang nalar Islam yang harus diadaptasi masyarakat Islam.
Selain tokoh-tokoh nasional sebagaimana dikenalkan di atas, para tokoh agamis Islam tidak luput dari pengaruh Ahmadiyah Lahore, terutama Maulana Muhammad Ali. Erfan Dahlan sebagai anak dari K.H. Ahmad Dahlan merupakan orang yang paling terobsesi, bahkan sampai dirinya bersekolah DiIsha’at School yang berada di daerah Lahore pada tahun 1924. Bahkan selepas dari Lahore dirinya menjadi mubaligh/pendakwah Ahmadiyah Lahore. Sebenarnya Erfan Dahlan ingin kembali ke Indonesia, tapi saat itu tahun 1930-an para elite penguasa Muhammadiyah justru mengalami rivalitas dengan Ahmadiyah (Mirza Ahmad Wali Beig).
Dari sedikit penelusuran sejarah mengenai relasi harmonis antara Maulana Muhammad Ali melalui buku-bukunya dengan tokoh-tokoh besar, baik dari kalangan nasionalis, maupun agamis merupakan fakta sejarah yang harus kita akui bersama. Jangan sampai fakta ini kita abaikan begitu saja. Sejarah perkembangan Islam Indonesia harus dijauhkan dari sikap romantisme historis. Dengan begitu, apapun realitas yang ada dapat dipahami, dikenal, dan diambil hikmahnya.[]
- Penulis : Roma Wijaya | Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
- Sumber Tulisan : Ibtimes.id
Comment here