Allah Ta’ala berfirman, sebagaimana termaktub dalam Qur’an Suci Surat Adh-Dhuha, sebagai berikut: “Dan sesungguhnya yang belakangan itu lebih baik bagi engkau daripada yang permulaan. Dan Tuhan dikau segera akan memberikan engkau, sehingga engkau menjadi puas” (QS 93:4-5)
Dalam menafsirkan ayat suci di atas, Maulana Muhammad Ali menyatakan sebagai berikut:
“Semakin hari perkara Nabi Suci Muhammad saw. semakin baik daripada sebelumnya. Memang demikianlah sesungguhnya Kebenaran itu. Kebenaran akan terus melaju berkesinambungan, meskipun didapatkannya dengan cara berjalan setapak demi setapak, melalui perjuangan sehebat-hebatnya melawan kepalsuan. …
Sungguh, meskipun mengalami berbagai kemunduran dalam beberapa periode sejarah, tetapi perkara Islam selalu mengalami kemajuan pada akhirnya.
Ketika pusat peradaban Islam (di Baghdad) dihancurkan oleh bangsa Mongol, timbul kemudian jumlah umat Islam yang lebih besar dengan masuknya mereka (bangsa Mongol) itu dalam barisan Islam. Ketika di belahan dunia Barat (Spanyol) Islam dibumihanguskan, ia kemudian mendapat kemajuan di Timur Jauh.
Demikian pula di Indonesia, pengikut Islam kini tidak kurang dari lima puluh juta jumlahnya.” (Tafsir No. 2754, Qur’an Suci Terjemah dan Tafsir, DKI : 2001)
Kalimat terakhir dari pernyataan Maulana Muhammad Ali di atas adalah kabar gembira bagi kami, warga Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sebabnya, jumlah lima puluh juta orang sewaktu tafsir Qur’an tersebut ditulis, sekarang ini telah meningkat menjadi sekitar 180 juta jiwa. Bahkan, umat Islam menjadi mayoritas di Indonesia.
Ya, meskipun hanya mayoritas secara statistik dan minoritas secara politik. Terbukti dalam Pemilihan Umum tanggal 7 Juni 1999 yang lalu, yang diikuti oleh 48 partai, dan belasan di antaranya adalah partai-partai Islam, pemenangnya adalah partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri, anak sulung Ir. Soekarno, Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia itu, dikenal sebagai partai nasionalis sekuler atau kaum abangan.
Mayoritas pemilih PDIP adalah Muslim, padahal calon legislatif terpilihnya mayoritas non Muslim, khususnya Kristen, baik Protestan maupun Katolik, yang secara demografis mereka kurang dari sepuluh persen dari jumlah penduduk.
Maka tak salah jika kemenangan PDIP oleh sementara pakar dan pengamat dikatakan sebagai kemenangan kaum abangan.
Rupa-rupanya nubuat Rasulullah saw. bahwa “akan datang suatu zaman di mana tidak tetap tinggal Islam kecuali tinggal namanya, dan Alquran tinggal tulisannya, serta masjid-masjid makmur tetap sunyi dari petunjuk” tergenapi di negara kami, Republik Indonesia ini.
Setelah ditimpa berbagai bencana alam, disusul krisis moneter yang berdampak krisis ekonomi dan politik, sehingga tumbanglah rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Kemenangan kaum abangan memang merupakan “petaka” bagi umat Islam fanatikus, tetapi bagi kami kaum Ahmadi adalah a blessing in disguise. Sebab hal itu berarti terbuka lebarnya pintu dakwah Islam.
Orientasi Islam yang mereka cari bukanlah Islam yang fanatik, melainkan Islam yang fitriah dan ilmiah, sebagaimana yang kita bela dan perjuangkan.
Sejarah mencatat, embrio Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1928 adalah Moeslim Broederschap, yang diasuh oleh bapak Djoyosoegito dan Muhammad Husni, yang waktu itu masih menjabat sebagai Sekretaris Jendral Pengurus Besar Muhammadiyah.
Moeslim Broederschap menerbitkan majalah “Correspondentis Blad,” yang memuat artikel-artikel yang 100% bersumber pada ajaran Mujaddid atau Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Majalah ini bertujuan menyadarkan kaum intelektual Indonesia, yang sekalipun mereka mengaku beragama Islam, namun bersikap meremehkan Islam, disebabkan karena tidak tahu akan keindahan dan kebenaran ajaran Islam.
Sejarah berulang. Bangkitnya Orde Reformasi di Indonesia ditengarai terbitnya Tafsir Maulana Muhammad Ali edisi bahasa Indonesia yang telah disunting, dan akan disusul dalam bahasa Jawa yang sekarang sedang dalam proses lay out.
Hal ini mengingatkan kami pada sejarah awal berdirinya Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Lima tahun setelah GAI didirikan, terbitlah Quran Suci berbahasa Belanda, karya terjemah Bapak Soedewo PK (1935). Tafsir inilah yang selalu dibawa Bung Karno kemana pun ia pergi, termasuk ke penjara dan pembuangan.
Jadi, kemenangan kaum abangan, yang lebih tepat disebut Soekarnois itu, boleh jadi mengandung arti pula kebangkitan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Sebab, Quran Suci Jarwa Jawi itu amat disukai oleh kaum kebatinan yang nota bene mereka pemilih PDI-P yang sedang naik daun.
Ini juga suatu fenomena bahwa Ahmadiyah adalah Gerakan Tuhan!
- Penulis: K.H. S. Ali Yasir | Ketua PB GAI Masa Bakti 1995-1999
- Ditulis pada sekitar Agustus 1999
Comment here