ArtikelDiskursus

Perkara Ahmadiyah: Quo Vadis Kebebasan Berkeyakinan? (Bagian 2)

Sesungguhnya menarik untuk membahas tuduhan-tuduhan terhadap Ahmadiyah saat ini. Dengan mengutip putusan kasus-kasus dari negara Common Law System, bagaimana hukum dibentuk dari putusan-putusan hakim.

Kontroversi kasus Ahmadiyah di antaranya dapat dikaji dalam Jurnal Pakistan Supreme Court Case 1986, di mana preseden tersebut dicatat dan dipublikasikan dalam suatu jurnal yang mana tradisi pencatatan dan publikasi putusan terpilih telah berlangsung sejak 1283 M di Inggris.

Jurnal ini mencatat kasus “Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (SA) and another v. The Muslim Judicial Council and others (1982-1985), yang diputuskan oleh Mahkamah Pengadilan Afrika Selatan.

Jika kasus Ahmadiyah itu diputuskan oleh forum yang tepat, yaitu Mahkamah Pengadilan, bukan lembaga politik “Parlemen”, seperti yang terjadi di Pakistan tahun 1974 yang menggolongkan Ahmadiyah sebagai minoritas non Muslim, maka sesungguhnya dari preseden yang ada sejak 1917 telah ditetapkan bahwa Ahmadiyah sesungguhnya hanya firkah dalam Islam saja.

Bila mengacu putusan-putusan terdahulu, dapat dikutip dalam kasus “Ahmadiyya Anjuman Isha’at-i Islam Lahore (SA) and another v. The Muslim Judicial Council and others,” sebagai berikut:

“Amongst the decisions reference may be made to the following: “Narantakath v Parakkal” (1922) 45 Indian Law Reports Madras 986. Coram: Oldfield Et Krisshnan JJ. The headnote reads:

“The essential doctrine of the Mohammedan religion is that God is only one and that Muhammad is his prophet; hence Ahmediyyans who also hold that belief are only a sect of Muhammedans, notwithstanding the fact that they differ from other Muhammedans in some other matters of religious belief. Hence on a Muhammedan becoming an Ahmediyyan he does not become an apostate.”

Then there is the case of “Maullim & Another v. Marrikan” (Case No 513/1925) Supreme Court of the Straits Settlements (Singapore). I quote from the judgment of Deane J:

“The overwhelming evidence in this case is that the fundamentals of Mohammedanism are believed in by the Ahmediyas who are also therefore entitled to be called Mohammedans and not Kafirs and that the points on which they differ from the orthodox are on the traditions which have never been considered fundamental.”

A further case is “Hakim Khalil Ahmad & others v. Malik Israfil and Others” 1917 Vol 37 Indian Cases (Patna High Court) p 302. Coram Sir Edward Chamier CJ and Roe J. The following passage appears:

“Members of the Ahmadiya sect of Qadian are Mohammedans; the court below have given … reasons for holding that the plaintiffs are Mohammedans, notwithstanding their pronounced dissent from orthodox opinion in several important articles of faith.”

Bila kita mengkaji putusan para hakim di Pengadilan Patna (1917) maupun Madras (1922) di India, ataupun di Singapura (1925), sebagaimana tersurat di atas, konklusi dan esensinya sama dengan asas-asas yang diungkapkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto (Guru Politik dari Soekarno) dalam buku Da’watoel Amal sebagaimana saya kutip di atas.

Merujuk fatwa MUI yang mengafirkan Ahmadiyah, dimana MUI juga mengacu alasan-alasan dari Rabithah ‘Alam Islami, yang menjatuhkan takfir kepada Ahmadiyah, ada baiknya disandingkan tuduhan-tuduhan dangan bantahan-bantahannya, yang telah digunakan dalam kasus Ahmadiyya Case sebagaimana tersebut dalam Jurnal Pakistan Supreme Court Cases di atas.

Perlu dicatat, publikasi Lembaga Yudikatif Pakistan ini membuat marah pihak Eksekutif. Setelah rezim otoriter Jendral Zia-ul-Haq menyadari publikasi ini, ia pun menekan Supreme Court untuk menarik Jurnal Edisi orisinilnya, dan menggantikannya tanpa laporan putusan kasus Ahmadiyah yang terjadi di Cape Town, Afrika Selatan.

Dan berikut adalah tuduhan-tuduhan terhadap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, dan fakta hukum yang terungkap dalam proses yudisial, sebagai bantahan pihak Ahmadiyah Lahore dalam menanggapi tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana terekam dalam Jurnal Pakistan Supreme Court Cases di atas.

Pertama, HMGA dituduh mengklaim diri sebagai nabi.

Temuan dalam kasus Ahmadiya Anjuman-lshaat-i-Islam Lahore (SA) and another v. The Muslim Judicial Council and others, (1982-1985) 1986 PSC 342. Entri dari Headnotes (Tajuk memorandum) dari Tim Editorial dari Jurnal Pakistan Supreme Court Cases: “Mirza Ghulam Ahmad was “Wali” or “Mujaddid” and not Prophet. Ahmadis are Muslims …” (Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang “Wali” atau “Mujaddid” dan bukan Nabi. Kaum Ahmadi adalah Muslim)

Konklusi dari Pernyataannya PSC 342: Hakim Wiliamson dalam kasus tersebut, di atas: Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (dalam paragraf 28, 1986)

“(i) Dia menyangkal menerima wahyu nubuwwat dan menegaskan menerima wahyu wilayat.

Dia menyangkal penggunaan istilah nabi dalam arti teknis/konvensi dan menegaskan penggunaannya dalam arti harfiah;

Dia menyangkal istilah muhaddats dapat diterapkan kepada dirinya dalam arti harfiah dan menegaskan bahwa dirinya merupakan seorang muhaddats dalam arti teknis/konvensi

Dia menyangkal dirinya sebagai nabi dalam arti hakiki atau yang sesungguhnya dan menegaskan dirinya sebagai nabi dalam arti majazi I kiasan.”

Kedua, HMGA dituduh mengubah teks Al-Quran

Dalil yang diajukan sebagai bukti dalam kasus Ahmadiyya Anjuman-lshaat-i-Islam Lahore (SA) and another v. The Muslim Judicial Council and others. Dikutip sebagai dalil dalam Exhibit [Alat Bukti] 2.3:

“… Kami percaya bahwa Allah Ta’ala telah berfirman dalam Qur’an Suci dan apapun sabda Nabi Suci kita, semuanya adalah benar adanya seperti yang kami nyatakan di atas. Kami percaya bahwa barangsiapa yang mengurangi atau menambah Syariat Islam, bahkan hanya sebulir/sekecil zarah/atom, atau mengesampingkan apa yang diwajibkan dan menghalalkan apa yang diharamkan, adalah bukan Islam, dan telah menyeleweng dari Islam.

Saya mengingatkan kepada pengikutku agar mereka beriman kepada Kalimah Suci [Syahadat] dari lubuk hati mereka, yakni bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya, bahkan hingga mereka mati, bahwa mereka beriman kepada semua nabi, dan segenap kitab wahyu yang kebenaran/otentisitasnya ditegaskan oleh al-Qur’an, dan bahwa mereka menerima kewajiban: berpuasa, shalat, zakat dan haji serta segala yang diwajibkan oleh Allahswt dan Rasul-Nya, dan mereka menerima semua yang dilarang sebagai yang diharamkan, dan karenanya mengikuti Islam dengan sebenar-benarnya….” (Ayyam-us-Sulh (1898), hlm. 86-87)

Ketiga, HMGA dituduh menghapus syari’at jihad

Putusan Pengadilan terhadap kasus Ahmadiwa Anjuman-lshaat-i-lslam Lahore (SA) and another v. The Muslim Judicial Council and others

Konklusi dari Hakim Wiliamson dalam kasus tersebut, diatas: Pernyataannya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, dalam paragraph 40 dari Putusan, 1986 PSC 342, 4 syarat dibolehkannya jihad dengan pedang bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi:

perang haruslah dimulai oleh kaum kafir; harus ada pembantaian/penganiayaan berat terhadap kaum Muslim; tujuan kaum kafir adalah menghancurkan Islam dan kaum Muslim; serta maksud kaum Muslim seharusnya hanyalah untuk pembelaan dan perlindungan diri.

Hazrat Mirza tidaklah menghapuskan syariat jihad, mengingatkan dan meluruskan, dalam Exhibit 17.3.11.4:

“Dalam masa awal Islam, perang untuk pembelaan diri dan pertempuran fisik juga diperlukan, karena mereka yang menyiarkan Islam menanggapi [ancaman, tantangan] pada saat itu, tidak dengan alasan atau dalil, melainkan dengan pedang. Maka sebagai jawabannya pedang terpaksa digunakan. Tetapi pada dewasa ini pedang tidak dipakai sebagai jawaban, tetapi dengan pena karena dalil telah digunakan untuk memburukkan Islam. lnilah sebabnya mengapa, pada zaman ini, Allah telah meridhai bahwa upaya pedang ini kini dilakukan dengan pena, dan para musuh akan ditundukan dengan memerangi mereka melalui tulisan. Karena itu sekarang tidaklah tepat bagi seseorang untuk membalas pena dengan pedang.” (Malfuzhat, Vol. I, him. 59).[]

  • Penulis: Ahmad Setiawan Djojosoegito | Ketua Badan Urusan Hukum dan Hubungan Internasional PB GAI Masa Bakti 2019-2024
  • Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here