ArtikelKliping

Ahmadiyah: Kontroversi Ihwal Nabi

Dalam era keterbukaan dan dialog sekarang ini, kita dikejutkan oleh aksi kekerasan di awal Juli 2005, untuk membubarkan “jalsah” (pertemuan tahunan) Jemaat Ahmadiyah di Parung, Bogor.

Tentu kita tidak bisa membenarkan, sekaligus menyesalkan aksi kekerasan itu. Tapi kita juga harus tahu, kenapa Ahmadiyah “diganyang” sebagian umat Islam?

Faktor utama penyebab penolakan umat Islam terhadap Ahmadiyah adalah karena penyataan Jemaat Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) adalah Nabi. Pernyataan ini bertentangan dengan ajaran Islam bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir.

Sebenarnya pada saat Jemaat Ahmadiyah dipimpin oleh Ghulam Ahmad sendiri sampai beliau wafat, lalu digantikan oleh Maulana Hakim Nuruddin, sama sekali tak ada pernyataan dari Jemaat Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi.

Kontroversi kenabian Ghulam Ahmad baru terjadi setelah Maulana Nuruddin wafat dan digantikan oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (putra Mirza Ghulam Ahmad). Sebagai pimpinan Jemaat Ahmadiyah kala itu, dia menyatakan bahwa ayahnya adalah seorang nabi dalam arti yang sebenar-benarnya. Nabi hakiki yang harus diimani dan ditaati oleh seluruh umat Islam.

Pernyataan kontroversial ini menimbulkan kemarahan umat Islam dan kalangan internal pengurus inti Jemaat Ahmadiyah. Sekretaris pribadi Ghulam Ahmad, yakni Maulana Muhammad Ali, juga menyatakan kegusarannya. Ia menolak mentah-mengah pernyataan Bashiruddin Mahmud Ahmad itu dan menyatakan keluar dari Jemaat Ahmadiyah.

Berikut adalah pernyataan resmi Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad: “Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa telah terjadi perubahan keyakinan saya dalam tiga perkara. Pertama, saya telah membuat konsep bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi hakiki. Kedua, saya menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok “ahmad” yang diramalkan kedatangannya oleh Nabi Isa dalam Al-Qur’an surat ke-61 (Ash-Shaff) ayat ke 6. Ketiga, saya menyatakan bahwa seluruh kaum muslimin yang tidak tergabung bersama Mirza Ghulam Ahmad, meskipun tidak tahu menahu soal beliau, adalah kafir atau di luar Islam. Saya mengakui, itulah keyakinan saya.” (dari buku Aina-i Shadaqat, oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad).

Maulana Muhammad Ali sendiri dalam menafsirkan Quran Surat 61 ayat 6 menjelaskan panjang lebar bahwa Nabi Isa a.s. meramalkan kedatangan “ahmad” yang tak lain adalah Nabi Muhammad saw. Tafsir Qur’an ini oleh Mirza Ghulam Ahmad dipuji sebagai tafsir Qur’an yang diberkati (mubarak).

Menyadari kenyataan bahwa Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad telah menyeleweng dari ajaran Islam dan amanat Pendiri Ahmadiyah, maka Maulana Muhammad Ali keluar dari Jemaat Ahmadiyah yang kala itu berpusat di Qadian, India.

Kemudian bersama para sahabat yang sependirian, seperti Khawaja Kamaluddin, Maulana Sadruddin, dll., beliau mendirikan Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam berpusat di Lahore), dengan tujuan untuk mengembalikan Ahmadiyah kepada akidah Islam sebenarnya yang diamanatkan oleh Ghulam Ahmad.

Dari sinilah kemudian kita mengenal dua Ahmadiyah yang berbeda, yaitu Ahmadiyah Qadian (Jemaat Ahmadiyah) yang menganggap Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dan Ahmadiyah Lahore (Gerakan Ahmadiyah) yang menolak anggapan tersebut, da menganggap Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid saja.

Sejarah terbentuknya dua Ahmadiyah yang berbeda itu menunjukkan bahwa keyakinan Ahmadiyah Lahore adalah sama dengan keyakinan umat Islam pada umumnya, yaitu Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir. Di Indonesia orang pertama yang menjadi anggota Ahmadiyah Lahore adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, guru politik Bung Karno, Kartosoewiryo dan Muso.

Karya Maulana Muhammad Ali bertajuk “The Holy Qur’an, Arabic Text, Translation and Commentary” oleh HOS Tjokroaminoto diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Melayu), dan diberi kata pengantar oleh Haji Agoes Salim. Karya itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Soedewo P.K. bertajuk “De Heliege Qur’an”, dan menjadi tafsir lengkap 30 Juz Qur’an yang pertama kali terbit di Indonesia.

Kedua karya itu, di samping terbitan Ahmadiyah Lahore lainnya, cukup besar pengaruhnya bagi kaum terpelajar pada masa itu, yang tidak tahu menahu bahasa Arab. Berkat tafsir Qur’an Suci itu, kaum terpelajar yang bukan alumni pesantren bisa membaca dan mempelajari agama Islam. Sebelumnya, kaum terpelajar itu buta al-Qur’an dan menjadi sasaran strategis propaganda zending Kristen dan misi Katolik.

Sebagai contoh ayah saya sendiri, Ambyah Soeropranoto. Semula ia masuk Kristen akibat beasiswa oleh zending ketika bersekolah di Christeijke MULO dan di AMS afdeling B Yogyakarta. Akhirnya, beliau bisa masuk Islam kembali karena membaca dan mempelajari “De Heilige Qoer’an” yang diterbitkan Ahmadiyah Lahore.

Penulis: Rachmat Basoeki Soeropranoto
Penyunting: Asgor Ali

Sumber Tulisan : Majalah GATRA No. 36 Tahun XI – 23 Juli 2005 | hal. 8-10

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »